Total Pageviews

Tuesday, February 8, 2011

Kebebasan Ekonomik

Kebebasan ekonomik adalah tiang pertama dalam struktur pasaar Islami, yang didasarkan atas ajaran-ajaran fundamental Islam, diantaranya prinsip tanggung jawab dan kebebasan.
Penjelasan Kebebasan ekonomik adalah tiang pertama dalam struktur pasar Islami. Kebebasan ini didasarkan atas ajaran-ajaran fundamental Islam, sebagaimana tertuang berikut ini.

1. Tanggung Jawab dan Kebebasan
Prinsip tanggung jawab individu begitu mendasar dalam ajaran-ajaran Islam sehingga ia ditekankan dalam banyak ayat Al-Qur'an dan dalam banyak Hadits Nabi. Prinsip tanggung jawab individu ini disebut dalam banyak konteks dan peristiwa dalam sumber-sumber Islam.
1. Setiap orang akan diadili sendiri-sendiri di Hari Kiamat kelak, dan bahkan ini pun akan dialami oleh para nabi dan keluarga-keluarga yang paling mereka cintai sekalipun. Tidak ada satu cara pun bagi seseorang untuk melenyapkan perbuatan-perbuatan jahatnya kecuali dengan memohon ampunan Allah dan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik (amal salih).
2. Sama sekali tidak ada konsep Dosa Warisan, (dan karena itu) tidak ada seorang pun bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahan orang lain, dan tidak pembaptisan dan juga tidak ada bangsa pilihan (Tuhan).
3. Setiap individu mempunyai hubungan langsung dengan Allah. Tidak ada perantara sama sekali. Nabi SAW sendiri hanyalah seorang utusan (Rasul) atau kendaraan untuk melewatkan petunjuk Allah yang diwahyukan untuk kepentingan umat manusia. Ampunan harus diminta secara langsung dari Allah.Tidak ada seorang pun memiliki otoritas sekecil apa pun untuk memberikan keputusannya atas nama-Nya. Justru bertentangan dengan semangat ajaran Islam bila (orang) mengemukakan "pengakuan dosa" kepada seseorang penjabat agama.
4. Setiap individu mempunyai hak penuh untuk berkonsultasi dengan sumber-sumber Islam (Al-Qur'an dan Sunnah) untuk kepentingannya sendiri. Dia harus menggunakan hak ini, karena ia merupakan landasan untuk melaksanakan tanggung jawabnya kepada Allah. Belajar adalah proses rasional, dan ia tidak dapat diperoleh melalui praktek- praktek spiritual atau meditasi. Mengajarkan agama adalah prosedur ilmiah yang tidak berisi harapan agar dia (si pengajar) mendapatkan hak istimewa atau kekuasaan terhadap orang yang diajarnya.
5. Islam telah sempurna dengan berakhirnya wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW hingga saat wafatnya. Tidak ada seorang pun dibenarkan menambah, mengurangi atau mengubahnya, walau hanya satu pernyataan saja. Setiap pemahaman deduktif dari, penafsiran atau penerapan suatu teks Al-Qur'an atau Sunnah hanyalah sekedar pemahaman perorangan yang boleh jadi berbeda-beda, dan tidak ada seorang pun diantara mereka berhak memaksakan berlakunya pemahamannya itu kepada orang lain.
Tanggung jawab Muslim yang sempurna ini tentu saja didasarkan atas cakupan kebebasan yang luas, yang dimulai dari kebebasan untuk memilih keyakinan dan berakhir dengan keputusan yang paling tegas yang perlu diambilnya. Karena kebebasan itu merupakan kembaran dari tanggung jawab, maka bila yang disebut belakangan itu semakin ditekankan berarti pada saat yang sama yang disebut pertama pun mesti mendapatkan tekanan lebih besar.
2. Sejarah Kebebasan Ekonomi di Kalangan Umat Muslim
Sepanjang sejarah umat Muslim, kebebasan ekonomi sudah dijamin dengan berbagai tradisi masyarakat dan dengan sistem hukumnya. Nabi SAW tidak bersedia menetapkan harga-harga walaupun pada saat harga-harga itu membumbung tinggi. Ketidaksediaannya itu didasarkan atas prinsip tawar-menawar secara sukarela dalam perdagangan yang tidak memungkinkan pemaksaan cara-cara tertentu agar penjual menjual barang-barang mereka dengan harga lebih rendah daripada harga pasar selama perubahan-perubahan harga itu disebabkan oleh faktor-faktor nyata dalam permintaan dan penawaran yang tidak dibarengi dengan dorongan-dorongan monopolik maupun monopsonik. Lebih dari itu, Nabi SAW berusaha sungguh-sungguh untuk memperkecil kesenjangan informasi di pasar ketika beliau menolak gagasan untuk menerima para produsen pertanian sebelum mereka sampai di pasar dan mengetahui benar apa yang ada di sana. Beliau sangat tegas dalam mengatasi masalah penipuan dan monopoli (dalam perdagangan), sehingga beliau menyamakan kedua dengan dosa-dosa paling besar dan kekafiran.
Setelah Nabi SAW dan selama berabad-abad dalam sejarah Islam, umat Muslim mempertahankan prinsip kebebasan yang senantiasa dilaksanakan ini. Konsep pengendalian perilaku moral di pasar itu dilaksanakan oleh Nabi sendiri. Selama beberapa abad pertama Hijriyyah, sejumlah pakar menulis buku-buku tentang peranan dan kewajiban-kewajiban pengendali pasar, atau al-Muhtasib itu. Tema yang terkandung dalam semua tulisan ini adalah pelestarian kebebasan di pasar dan penghapusan unsur-unsur monopolistik. Prinsip kebebasan tersebut dipertahankan oleh banyak qâdî (hakim) Muslim yang bahkan sampai mengancam sistem hukum itu sendiri dengan mencabut hak untuk ikut campur dalam kasus monopoli. Hal ini benar-benar telah mendorong Ibnu Taimiyyah menulis bukunya, Al-Hisbah fi al-lslâm, untuk menunjukkan bahwa kebebasan ekonomik individual harus dibatasi dalam hal-hal serupa itu, bahkan termasuk pembatasan-pembatasan itu adalah penentuan harga barang-barang dan jasa.
Dengan latar belakang ini, dalam rangka mengemukakan definisi kebebasan ekonomi yang dimaksudnya, Ibnu Taimiyyah secara meyakinkan dapat memberikan pernyataan tegas bahwa individu-individu sepenuhnya berhak menyimpan harta milik mereka, dan tidak ada seorang pun berhak mengambil semua atau sebagian daripadanya tanpa persetujuan mereka secara bebas, kecuali dalam hal-hal tertentu di mana mereka diwajibkan melepaskan hak-hak tersebut.
Maulânâ Abul A'lâ Maudûdî menyatakan bahwa dalam pandangan Islam, individulah yang penting dan bukan komunitas, masyarakat atau bangsa. Dia berpendapat bahwa individu tidak dimaksudkan untuk melayani masyarakat, melainkan masyarakatlah yang benar-benar harus melayani individu. Tidak ada satu komunitas atau bangsa pun bertanggung jawab di depan Allah sebagai kelompok; setiap anggota masyarakat bertanggung jawab di depan-Nya secara individual. Alasan yang bebas dan tertinggi dari adanya sistem sosial adalah kesejahteraan dan kebahagiaan individu, bukan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat. Dari sinilah ukuran yang benar dari suatu sistem sosial yang baik adalah batas yang membantu para anggota masyarakat untuk mengembangkan kepribadian mereka dan meningkatkan kemampuan personal mereka.
Berdasarkan hal itulah Islam tidak menyetujui ada organisasi sosial dan rencana kesejahteraan sosial apa pun bila ia menekan individu-individu dan mengikat mereka begitu kuat dengan otoritas sosial, sehingga kepribadian mereka yang bebas akan hilang dan sebagian besar diantara mereka menjadi sekedar mesin atau alat yang berada di tangan orang-orang lain yang berjumlah kecil.
Dalam bukunya, The Economic Enterprise in Islam, M.N. Siddîqî menyatakan bahwa Islam memberikan kepercayaan sangat besar kepada mekanisme pasar. Beberapa implikasi dari doktrin kebebasan ekonomi dalam Islam tersebut, dalam kaitannya dengan pasar, dapat dibaca dalam pikiran-pikiran Ibnu Taimiyyah sebagai berikut:
1. orang-orang bebas masuk dan meninggalkan pasar.
2. Tingkat informasi yang cukup mengenai kekuatan-kekuatan pasar dan barang-barang dagangan (komoditas) adalah perlu. Ibnu Taimiyyah meneliti beberapa kontrak (perjanjian) di mana salah satu pihak yang terlibat tidak bertindak sesuai dengan persyaratan ini, sementara dia memberikan kepada pihak lainnya kesempatan untuk meninjau kembali kontrak itu. Dia juga menganggapnya sebagai tanggung jawab pemerintah (al-Muhtasib) untuk memperbaiki situasi tersebut.
3. Unsur-unsur monopolistik harus dilenyapkan dari pasar. Ibnu Taimiyyah tidak membolehkan berbagai koalisi profesional, baik yang terdiri dari kelompok-kelompok penjual maupun pembeli. Dia membolehkan al-Muhtasib untuk ikut campur tangan dan menentukan harga barang-barang sejenis kapan saja unsur-unsur monopolistik menampilkan diri di pasar.
4. Dalam batas kebebasan ini, dia mengakui berbagai peningkatan permintaan dan penawaran yang disebabkan oleh harga-harga tersebut. Dia menyetujui penaikan harga-harga yang disebabkan olehnya, karena "memaksa orang untuk menjual barang dengan harga yang ditentukan sama dengan pemaksaan tanpa hak," dan meskipun si penjual seharusnya tidak dipaksa untuk kehilangan laba tetapi pada saat yang sama dia seharusnya tidak diperbolehkan merugikan orang lain.
5. Setiap penyimpangan dari pelaksanaan kebebasan ekonomi yang jujur, seperti sumpah palsu, penimbangan yang tidak tepat, dan niat buruk dikecam oleh para penulis Muslim, demikian juga memproduksi dan memperdagangkan barang-barang dagangan (komoditas) yang tercela karena tidak baik dari alasan-alasan kesehatan ataupun moral sesuai dengan norma-norma Qur'ânî, seperti minuman-minuman beralkohol, minuman-minuman keras, pelacuran dan perjudian.

Friday, February 4, 2011

PEMIKIRAN ISLAM DAN BARAT Upaya pengenalan global epistemologi, ontologi dan aksiologi

PROLOG
Berpikir adalah proses menemukan kepastian sesuatu yang dicari oleh akal manusia. Dikarenakan berpikir tidak

makalah,QOWAID FIQHIYAH

PENDAHULUAN

Sebagai landasan aktifitas ummat Islam sehari-hari dalam usaha memahami maksud-maksud ajaran Islam (maqasidusy Syaricah) secara lebih menyeluruh, keberadaan Qawa’id fiqhiyyah menjadi sesuatu yang amat penting, termasuk dalam kehidupan berekonomi. Baik di mata para ahli usul (usuliyyun) maupun fuqaha, pemahaman terhadap qawa’id fiqhiyyah adalah mutlak diperlukan untuk melakukan suatu “ijtihad” atau pembaharuan pemikiran dalam masalah muamalat atau lebih khas lagi ekonomi. Manfaat keberadaan qawa’id fiqhiyyah adalah untuk menyediakan panduan yang lebih praktis yang diturunkan dari nash asalnya yaitu al-qur’an dan al-Hadits kepada masyarakat. Maqasidusy Syaricah diturunkan kepada manusia untuk memberi kemudahan dalam pencapaian kebutuhan ekonomi, yang dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu:
1) Menjaga dan memelihara kepentingan primer atau Dharuriyyat (basic necessities) yang biasa didefinisikan oleh para ulama dengan 5 (lima) elemen cakupan yaitu: agama, kehidupan (jiwa) akal, keturunan dan kekayaan
2) Memenuhi kebutuhan sekunder atau Hajjiyyat yaitu kebutuhan-kebutuhan seperti kendaraan dan sebagainya sebagai fasilitas hidup manusia; serta
3) Mencapai kebutuhan tersier atau Tahsiniyyat (kemewahan) untuk melengkapi kebutuhan manusia dalam hal memperindah kehidupan dengan sedikit kemewahan secara tidak berlebihan,

Dengan qawa’id fiqhiyyah ini para ulama dan fuqaha dapat menyiapkan garis panduan hidup bagi ummat Islam dalam lingkup yang berbeda dari waktu ke waktu dan tempat ke tempat. Sebagaimana diketahui Islam memberi kesempatan kepada ummatnya melalui mereka yang memiliki otoritas yaitu para ulama untuk melakukan ijtihad dengan berbagai caara yang dituntunkan oleh Rasulullah, melalui ijma’, qiyas, istihsan, istishab, istislah (masalihul-mursalah) dan sebagainya untuk mencari kebenaran yang tak ditemukan dalam al-Qur’an maupun Hadts Rasulullah SAW. Demikian pula, dalam kehidupan ekonomi, atau yang dalam khazanah karya para fuqaha terdahulu biasa disebut muamalat, pemakaian qawa’id fiqhiyyah menjadi sesuatu yang amat penting.
Ratusan atau bahkan mungkin ribuan qawa’id telah dirumuskan oleh para fuqaha dari kalangan empat madzhab. Ash-Shiddieqie (1981) memandang qa’idah sebagai sebuah perangkat yang cukup penting sebagai panduan untuk menurunkan kaidah yang memerlukan pembuktian. Para fuqaha terdahulu menyusun qawa’id dalam suatu panduan yang disebut al-Asybah wan-Nazhaair. Istilah ini dipakai pertama kali oleh Khalifah Umar bin Khaththab ketika menunjuk Abu Musa al-‘Asycari menjadi Qadhi di Bashra, dengan menyatakan “Fahami tentang penampakan dan kemiripan suatu masalah (al-Asybah wan-Nazhaair), kemudian tetapkan qiyas untuk masalah yang serupa.” Para fuqaha sepakat bahwa proses pemahaman dan penurunan qawa’id ini sama dengan proses yang dilakukan oleh para usuliyyun dalam menurunkan panduan hukum berupa Qawa’id al-Usuliyyah berdasarkan metode qiyas.
Terdapat sejumlah qawa’id fiqhiyyah yang dirumuskan oleh para ulama/fuqaha, sebagai bagian dari fatwa mereka, yang menyinggung persoalan perilaku ekonomi umat Islam. Sebagi contoh: ‘al-aadah muhakkamah atau kebiasaan dapat menjadi dasar hukum. Dalam suatu masyarakat, dimana transaksi jual beli dalam skala kecil biasa dilaukan tanpa harus menyebutkan ‘aqadnya, maka apabila antara penjual dan pembeli sudah saling memahami akan terjadinya transaksi tersebut, sebagaimana kebiasaan pada masyarakat yang bersangkutan, maka proses transaksi yang memberi kemudahan tersebut dianggap sah.

Qawa’id Fiqhiyyah DALAM MASALAH EKONOMI
Beberapa qa’idah fiqhiyyah memberi ruang kepada pemikiran ataupun praktek-praktek ekonomi, sebagaimana yang juga diklasifikasikan oleh Jazuli (2006). Dalam karyanya, al-Fiqh al-Islam fi Tsaubihi at-Tajdid, terbitan tahun 1963, Muhammad Mustafa az-Zarqa, sebagaimana dikutip oleh Jazuli (2006), menyebutkan setidaknya 25 qawa’id yang terkait dengan transaksi muamalah. Seiring perkembangan jaman, keperluan adanya kaidah yang lebih banyak, nampaknya tidak dapat dihindarkan. Sedangkan Jazuli sendiri menyebutkan 20 qawa’id yang memberi ruang kepada transaksi ekonomi dan muamalah.
Diantara qawa’id yang paling mendasar dalam masalah ini adalah al-aslu fi al-mu’amalah al-ibaahah illaa an-yadull daliil ‘alaa tahriimihaa.
الأصل فى المعاملة الإباحة إلا أن يدل دليل على تحريمها
Segala bentuk muamalah pada dasarnya adalah mubah (boleh) kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Ini menjadi alasan bagi setiap bentuk transaksi perdagangan dan ekonomi menjadi halal kecuali jelas ada alasan yang melarangnya. Hanya penulis tidak menemukan qawa’id ini dalam al-majallah.
Dalam aspek transaksi muamalah, terdapat sekitar 25 qawa’id menurut Syeh Muhammad Mustafa Zarqa, sebagaimana dikutip oleh Jazuli (2006). Namun apabila diperluas cakupannya ke dalam ekonomi secara keseluruhan, maka jumlah qawa’id yang dapat diaplikasikan akan menjadi lebih banyak.
Dari 99 qawa’id dalam al-Majallah, lebih dari 70 qawa’id dapat diinterpretasikan secara langsung sebagai memiliki implikasi yang bersifat ekonomis, sekalipun tidak dapat lepas dari perspektif yang lain, seperti social, politik, hukum, dan sebagainya. Ini sesuai dengan pngertian atau definisinya, sebagaimana telah didiskusikan di atas (Bab 2), yaitu qa’idah berfungsi sebagai aturan umum atau universal (kuliyyah) yang dapat diterapkan untuk semua yang bersifat khusus atau bagian-bagiannya (juz’iyyah). Atau dengan kata lain, sebagaimana kesimpulan Mukhtar dkk (1995b) qa’idah sebagai aturan umum yang diturunkan dari hukum-hukum furu’ yang sejenis dan jumlahnya cukup banyak.
Apabila diperbandingkan dengan tulisan Jazuli (2006), maka hasil penelitian ini memberi gambaran bahwa jumlah qawa’id yang terkait dengan masalah ekonom ijauh lebih banyak, dari pada jumlah yang terkait dengan transaksi muamalah sebagaimana ditulis karya Jazuli. Akan tetapi perlu dicatat pula bahwa dari 20 qawa’id yang ditulisnya, hanya ada 8 (delapan) qawa’id yang sama, sedangkan selebihnya didapatkan dari karya-karya ulama lainnya. Kedelapan qawa’id tersebut dipaparan dalam Tabel 2 berikut:



Table 2
Qawa’id sebagai dalam Pemikiran Ekonomi/Muamalat dalam
al-Majallah dan dalam kKarya Jazuli (2006)

1 Apabila sesuatu itu batal maka batallah apa yang ada didalammnya إذا بطل الشيء بطل ما فى ضمنه
2 Tidaklah sempurna ‘aqad tabarru’ (pemberian) kecuali setelah diserahkan, (sebelum diminta sudah diberi) لا يتم التبرع إلا بقبض
3 Hak mendapat hasil itu sebagai ganti kerugian (yang ditanggung) الخراج بالضمان
4 Pendapatan/upah dengan jaminan itu tidak datang secara bersamaan الأجر والضمان لا يجتمعان
5 Risiko itu sejalan dengan keuntungan الغرم بالغنم
6 Hal yang dibolehkan syariat tidak dapat dijadikan beban/tanggungan الجواز الشرعي ينافي الضمان
7 Perintah menasarufkan (memanfaatkan) barang orang lain (tanpa ijin pemiliknya) adalah batal الأمر بالتصرف فى ملك الغير باطل
8 Tidak boleh bagi seorang pun merubah /mengganti milik orang lain tampa izin pemiliknya. لا يجوز لأحد أن يتصرف فى ملك الغير بلا إذنه

Ini memberitahukan kepada kita betapa jumlah qawa’id yang disusun para ulama/fuqaha terdahulu jumlahnya cukup banyak dan susah ditentukan secara pasti. Pada sisi lain, ia juga memberi gambaran betapa keseriusan mereka benar-benar luar biasa, sehingga generasi terkemudian dapat memanfaatkannya dengan lebih mudah.






KESIMPULAN
Qawa’id fiqhiyyah merupakan landasan umum dalam pemikiran dan perilaku sosial memberikan panduan bagi masyarakat untuk melakukan interaksi dengan sesamanya. Panduan yang diberikan menyangkuit beberapa aspek kehidupan seperti hukum, ekonomi, sosial, politik dan kenegaraan, budaya, dan sebagainya sampai pada masalah pernikahan
Penelitian ini memfokuskan pada qawa’id dalam karya-karya para ulama/fuqaha dari kalangan empat madzhab fiqh, dan implikasinya dalam pemikiran dan perilaku ekonomi dalam masyarakat.
Dalam hal ini, pemahaman terhadap qawa’id fiqhiyyah adalah mutlak diperlukan untuk melakukan suatu “ijtihad” atau pembaharuan pemikiran. Para ulama dan fuqaha terdahulu, sejak akhir abad ke-2 Hijriyyah telah merintis batu peletakan qawa’id melalui karya-karya agung mereka, yang sampai kini masih terlihat manfaatnya untuk diimplementasikan dalam kehidupan modern, termasuk ekonomi. Para ulama/fuqaha dari keempat madzhab fiqh tersebut menyusun qawa’id dalam jumlah yang begitu banyak, sebagiannya sama atau serupa, sehingga susah untuk diketahui jumlahnya secara pasti.
Fokus penelitian ini pada 99 (sembilan puluh sembilan) qawa’id yang disusun para ulama pada Dinasti Turki Usmani, yaitu al-majallah al-Ahkaam al-cAdliyyah pada sekitar awal abad ke-13 Hijriyah atau tepatnya sekitar tahun 1286 H. Dari keseluruhannya, terdapat lebih dari 70 (tujuh puluh) qawa’id yang dapat dijadikan rujukan untuk diturunkan ke dalam pemikiran dan perilaku ekonomi modern.








DAFTAR PUSTAKA
1. Alwani, Taha Jabir al-. Source Methodology in Islamic Jurisprudence: Usul al-Fiqh al-Islami, Revised English Ed. By Yusuf Talal DeLorenzo and Anas S. Al-Shaikh-Ali. Herndon, Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1415/1994.
2. Djazuli, H.A. (2006). Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah Praktis. Kencana, Prenada Media Group
3. Kamali, Muhammad Hashim, 1989, Principles of Islamic Jurisprudence, Pelanduk Publication (M) Sdn Bhd., Petaling Jaya, Malaysia.
4. www.qowaid fiqh tentang muamalah.com