Total Pageviews

Monday, May 30, 2011

copypaste

Pernahkah anda mendapati tulisan anda di copy oleh seseorang lalu di publikasikan tanpa izin di blog lain? Saya tahu perasaan anda: bĂȘte, kesal bercampur menjadi satu, mengingat banyaknya waktu dan perhatian yang anda curahkan untuk membuat tulisan tersebut yang lalu dicopy-paste oleh orang lain tanpa izin………….!!!
Penjarahan intelektual dengan cara mengcopy paste konten blog tanpa izin bukan barang baru lagi di blogosphere. Saya tahu betapa menyebalkannya di-copypaste, mengingat sudah seringkali tulisan-tulisan di publikasi ulang di berbagai blog tanpa izin…………….
Tapi ketahuilah bahwa segala yang kita share di internet berarti telah secara tidak langsung kita ikhlaskan untuk kita bagi, selagi kegunaannya bertujuan baik ya gak ada salahnya dong…???
Artinya dunia maya kita gunakan sebagai ajang sedekah…………tentu berpahala bukan ????
Mengapa copy paste tulisan blog seperti ini terjadi?
Pendapat saya, setidaknya ada dua penyebab mengapa hal ini terjadi:
1. Yang pertama adalah ketidaktahuan. Jangan salah, masih banyak orang yang menyangka bahwa semua yang tersedia di internet itu “gratis” dan “dapat digunakan semau mereka”. Salahkan keterbatasan penyebaran informasi dan edukasi di dunia.
2. Yang kedua adalah kesengajaan. Sederhana saja: berapa banyak dari anda yang tahu bahwa menggunakan OS bajakan itu salah dan tetap melakukannya? Bagaimana pola pikir anda? “aah, siapa juga sih yang mempermasalahkan…?”, huh?
It sucks, i know
Apapun alasannya, kemudahan mengolah informasi secara digital memang mempermudah copy paste tulisan terjadi. Jangankan tulisan, software yang rumit saja bisa dan banyak dibajak. Menyikapi hal ini, ada dua opsi yang tersedia: mencaci maki dan menyalahkan dunia, atau menyadari bahwa dunia (dan budaya serta perilaku manusia) memang sudah berubah.
Bagaimana menyikapi pembajakan tulisan blog?
Setidaknya, anda memiliki dua opsi: memproteksi atau “melepaskan” konten anda.
Yang saya maksud dengan memproteksi konten adalah melakukan segala daya dan upaya untuk menjaga konten ada agar tidak bisa di-copypaste (meskipun secara teknis saya merasa hal tersebut mustahil – seperti hacking, selalu saja ada cara).
Ada beberapa cara yang dapat anda upayakan seperti mendisable klik kanan dengan memasang sedikit kode JavaScript (untuk mencegah klik kanan copy & paste) di blog anda, membubuhkan watermark pada tiap gambar / foto, mengatur agar RSS Feed anda dipublikasikan secara parsial untuk menghindari publikasi ulang RSS Feed, dll.
Sedangkan yang saya maksud dengan “melepaskan” konten anda adalah dengan tidak melakukan upaya-upaya diatas. Malahan, lakukan hal yang sebaliknya: permudah orang lain dalam membaca tulisan anda. Mensubmit blog ke agregator, merilis tulisan RSS Feed secara penuh, Mengizinkan orang lain mempublikasikan ulang tulisan anda tanpa perlu meminta izin terlebih dahulu, dll.
Saya tahu hal ini terdengar baru untuk anda. “Gila, gue udah susah-susah nulis masa orang boleh publish ulang semaunya?“. Oke, ini mungkin agak “nyeleneh”, tapi saya rasa anda perlu membaca wacana mengenai uncopyright and minimalist mindset: mengizinkan siapapun menggunakan apa yang anda tulis. Konsep ini saya pertama ketahui dari Leo Babauta, seorang blogger asal kepulauan Guam (sekarang dia pindah ke San Fransisco) yang mengaplikasikan uncopyright dan membuat blognya zenhabits.net menjadi sangat populer dalam waktu kurang dari 3 tahun.
Bagaimana saya menyikapi copy paste
Sekarang masuk ke dalam ke bagian yang lebih praktikal dan personal: bagaimana saya menyikapi copy paste?
Oke, saya harus katakan ini: saya tidak (atau mungkin, belum) se”liberal” Leo Babauta dan uncopyrightnya, tapi saya sudah tidak terlalu memperdulikan lagi para pelaku copy paste.
Pertama kali tulisan saya di copy paste, saya menulis “komentar pedas” di artikel saya yang di-copy paste, meminta yang empunya blog setidaknya menautkan link ke artikel asli. Lama kelamaan, orang yang melakukan copy paste semakin banyak (sekarang sudah jarang lagi sih) dan saya mulai menyadari bahwa hal ini membuang-buang waktu saya. Daripada saya menggunakan waktu saya untuk mengurusi artikel saya yang di-copypaste, lebih baik saya fokus menggunakan waktu saya utuk membuat artikel yang lebih bermutu.
Ingat ini:
orang bisa saja meng-copypaste tulisan anda, tapi mereka tidak akan bisa mencuri integritas dan pengetahuan yang anda dapatkan karena proses penulisan artikel yang anda lalui.
Berangkat dari keyakinan tersebut, saya sekarang tidak terlalu memusingkan diri saya dengan masalah copy paste. Namun, saya melakukan beberapa “trik” sederhana terhadap tulisan-tulisan saya:
1. Karena saya tidak suka di copypaste, saya tidak pernah meng-copypaste tulisan orang lain. Ingat peraturan emasnya? Perlakukan orang lain seperti anda ingin diperlakukan.
2. Menulis dengan bahasa yang “saya banget”. Sehingga orang akan tahu bahwa itu tulisan saya. (pada prakteknya akan sangat sulit sih, jadi, tulis saja!)
3. Menyelipkan link ke artikel-artikel saya yang relevan (jika ada). Sehingga jika di-copypaste dan dipublikasikan di blog lain pun, setidaknya anda mendapatkan backlink. Lumayan untuk search engine indexing
4. Jika ada gambar yang berupa ilustrasi, bubuhkan watermark
Yap, itu saja sih yang saya lakukan untuk mengatasi copy paste. Bagaimana dengan anda? Apa pendapat anda dan apa yang anda lakukan untuk menangani copy paste?

Sangsi Hukum Copy Paste Konten Blog

oleh Heryan Tony dalam Blogging Tips, Komputer, Handphone & Internet pada 25-04-2009 jam 2:39 pm

Hasil karya seseorang baik berupa tulisan dalam bentuk buku, penemuan hal-hal yang baru, lagu, software, hardware. Semuanya itu tidak luput dari berbagai pembajakan. Rendahnya daya beli masyarakat dan kurangnya kesadaran serta sangsi hukum yang belum berjalan sempurna, menyebabkan mudahnya hal tersebut untuk dilakukan, ditambah dengan perkembangan teknologi yang semakin cangkih.
Bicara masalah pembajakan hak cipta seseorang, penjiblakan konten Blog pun kerap kita dengar di sana sini. Banyak blogger sudah mengangkat masalah ini di blog mereka, karena merasa dirugikan atas hak ciptanya yang di-copas oleh seseorang. Aneh lagi, sumber asli yang punya artikel kadang dituduh menjiblak hasil karya jiblakan tersebut. Dan berbagai keluhan lainnya, seperti artikel yang dibajak kadang menempati urutan pertama di mesin pencari (search engine), hal ini kadang membuat sumber asli artikel merasa lebih dirugikan lagi. Bukan saja artikel yang dibajak, kadang gambar pun sudah kerap terdengar para blogger yang mempermasalahkannya.
Sebenarnya, masalah copy paste konten blog ini diperbolehkan dan sah-sah saja bila si penjiblak mencantumkan link sumber asli artikel tersebut. Tapi, kebanyakan seseorang yang melakukan copas kadang sumber aslinya tidak dicantumkan. Atau sumbernya dicantumkan kadang bukan link yang menuju ke sumber artikel yang dibuat. Sehingga si empunya artikel tidak mendapat keuntungan dari segi SEO. Misalnya Saudara mengcopy paste postingan ini, maka link yang dicantumkan seharusnya adalah: http://heryantony.com/sangsi-hukum-copy-paste-konten-blog boleh ditulis langsung seperti itu atau diganti nama lain, misalnya: Sangsi Hukum Copy Paste, yang jelas linknya harus menuju ke sumber artikel atau minimal mencantumkan link: http://heryantony.com.
Bicara mengenai sangsi hukum. Sejauh ini, sudah tersedia Undang-Undang ITE, apakah Undang-Undang ini sudah memuat peraturan copy paste? Menurut saya, yang terpenting adalah kesadaran dari si pelaku itu sendiri. Karena walaupun hasil artikel itu salinan dari blog lain, kalau sudah diracik ulang tentu ciri khas dari sumber asli akan tidak kelihatan. Saat ini sudah tersedia berbagai tools yang dapat digunakan itu memproteksi konten blog, namun kekuatan dari protector ini masih diragukan dan gampang diatasi. Berhubung biaya yang dikeluarkan untuk membuat artikel yang akan diposting lebih kecil dari pada menerbitkan sebuah buku, hal inilah yang mungkin menyebabkan sangsi hukum copas belum ditegakkan saat ini.
Secara pribadi, saya sangat senang kalau artikel saya dipajang di blog orang lain. Sejauh ini yang saya temui, ada yang memberikan link ke blog ini, namun ada juga yang tidak menyertakan. Tapi saya tetap senang juga, berarti artikel yang saya buat ada yang tertarik karena apa yang saya tulis di blog ini masih asal-asalan, kadang cuma butuh waktu beberapa menit langsung joss. “Gitu aja kok repot!” kata Gusdur. Dan saya pribadi mengakui, kalau saya belum bersih dari hal-hal bajakan.
Saya yakin, di antara kita sudah banyak mengkonsumsi barang bajakan. Namun, apakah kita sudah menyadari kegiatan meminta satu buah lagu dari teman pun kita sudah dikatakan membajak hak cipta orang lain. Jadi, bagaimana menurut Anda mengenai copas yang dilakukan dari blog lain? Apakah perlu dihalalkan, atau harus dibentuk tim khusus (SatPol PP online, Polisi online) untuk mengawasi pembajakan konten blog?

makalah tarikh TASYRI’ PADA MASA KHULAFAUR-ROSYIDIN

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada masa dimana wafatnya rasul suatu kereta pemerintahan mulai di kendalikan oleh sahabat-sahabatnya. Memang diakui atau tidak fakta sejarah mengatakan bahwa rasul tidak pernah menunjuk seorangpun sebagai pengganti beliau dalam roda kepemimpinan pemerintahan Islam. Akan tetapi, sumbang kepedulian sahabat pada tatanan Islam yang memang sudah dibentuk sedemikian rupa oleh rasululloh, mereka mulai berfikir bagaimana supaya agar tatanan Islam yang memang sudah dibentuk tidak pudar dan tetap langgeng. Dari situ, sahabat mulai memilih salah satu sahabat dan Abu Bakarlah yang pertama terpilih sebagai khalifah pertama disusul kemudian oleh Umar Bin Khathab, Utsman Bin Affan, dan yang terakhir adalah Ali Bin Abi Tholib.
Sahabat adalah sebagai generasi Islam pertama, yang meneruskan ajaran dan misi kerasulan, dimana ia dalam menentukan hokum Islam selalu berpegang pada fatwa rasul yang telah ada. Akan tetapi dari satu sisi itu pula sahabat menemukan yang memang dalam fatwa rasul tidak ada, mereka berupaya untuk berijtihad tetapi masih dalam takaran syariat keislaman yang di sandarkan pada Al-Quran dan Al-Hadits.
Tasyri’ pada masa sahabat sudah dimulai oleh nuansa politik, dimana suatu penetapan hokum juga sudah berbau politik. Dimana dulu ketika rasul masih hidup semua permasalahan langsung di pertanyakan pada Rasul. Dan mungkin pula ada banyak perbedaan penentuan hokum melihat pada tatanan social politik kala itu. Mereka sudah mulai berinterpretasi tentang Al-Quran dan al-Hadits demi maslahatul umat yang di lihat pada tatanan sosialnya.



B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kondisi tasyri’ pada masa khulafaurrasyidin, dan faktor-faktor penyebab perkembangannya?
2. Apa saja yang menjadi sumber tasyri’ pada masa khulafaurrasyidin?
3. Bagaimana karakteristik tasyri’ pada masa khulafaurrasyidin?
4. Apakah sebab-sebab timbulnya perbedaan pendapat di kalangan sahabat?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Kondisi Tasyri’ Pada Masa Khulafaurrasyidin dan Faktor-faktor Penyebab Perkembangannya
Apabila tahap pertumbuhan dan perkembangan hokum Islam diamati sesudah periode Nabi Muhammad saw dalam literatur hukum Islam, maka ditemukan beberapa pendapat berdasarkan sudut pandang, di antaranya ada pendapat yang mengungkapkan 4 (empat) tahapan, yaitu (a) Masa Khulafaurrasyidin (632-662 M); (b) Masa Pembinaan, pengembangan dan pembukuan (abad ke 7-10 M); (c) Masa kelesuan pemikiran (abad ke 10-19M); (d) Masa kebangkitan kembali ( abad ke 19 M sampai saat ini).
Masa Khulafaurrasyidin (632 M-662 M) ditandai dengan wafatnya Nabi Muhammad saw, yaitu berhenti wahyu turun. Wahyu diturunkan oleh Alloh SWT kepada Nabi Muhammad saw melalui Malaikat Jibril selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, baik wahyu yang turun di Mekah maupun di Madinah. Demikian juga hadis dan/atau sunnah berakhir pula dengan meninggalnya Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, kedudukan Nabi Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul Alloh tidak dapat digantikan oleh manusia lainnya termasuk sahabatnya. Namun, tugas beliau sebagai pemimpin masyarakat Islam sekaligus sebagai kepala negara harus di lanjutkan oleh orang lain. Pengganti Nabi Muhammad saw sebagai pemimpin masyarakat dan kepala negara disebut khalifah. Pejabat kekhalifahan yang disebut Khulafaurrasyidin ini silih berganti selama empat periode, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddieq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Periode kekuasaan pemerintahan Nabi Muhammad saw hanya meliputi semenanjung Arabia, tetapi periode Khulafaurrasyidin meliputi wilayah arab dan non-Arab, sehingga masalah yang muncul semakin kompleks sementara ketetapan hokum yang rinci di dalam Al-Quran dan al-Hadits terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, Khulafaurrasyidin menghadapi banyak masalah yang tadinya tidak terdapat di masyarakat Arab. Misalnya masalah pengairan, keuangan, kemiliteran, pajak, cara penetapan hokum di pengadilan, dan lain-lain budayahukum di Damaskus, Mesir, Irak, Iran, Maroko, Samarkan, Andalusia dan lain-lain. Pada masa inilah mulai muncul interpretasi terhadap nash-nash Al-Quran yang diterima oleh Rosululloh saw, dan terbukalah pintu istinbat terhadap masalah-masalah yang tidak ada didalam nash secara jelas. Dalam masa ini pula Islam mulai berkembang pesat meluas sampai ke-Timur dan ke-Barat, sahabat-sahabat besar dalam masa ini mencoba untuk menginterpretasikan nash-nash hokum baik dalam Al-Quran maupun Al-hadits, yang kemudian menjadi pegangan untuk menta’wil nash-nash yang belum jelas itu. Selain dari pada itu para sahabat besar memberikan fatwa-fatwa dalam berbagai masalah dalam kejadian-kejadian sosial maupun politik yang tidak ada kejelasan dalam nash mengenai hal itu, yang kemudian itu menjadi dasar sebagai bahan untuk berijtihad. Para sahabat juga dapat dikatakan sebagai musyari’ yaitu menerangkan hal dan tidak ketinggalan memberikan fatwa dalam urusan-urusan yang tercantum secara tersurat dalam nash. Jika ini semua di hadapkan pada kita, maka tidak sepatutnya kita merasakan keheranan, sebab mereka dalam kesehariannya selalu bergaul dengan Nabi, sehingga mereka menyaksikan dan mengetahui asbabun-nuzul serta asbabul-wurud suatu hadits melebihi pengetahuan ulama-ulama’ sesudahnya. Bahkan Khulafaurrasyidin bergabung dalam kelompok yang biasa diajak bermusyawarah oleh Rosululloh saw. Karena itulah maka munculah kepercayaan umat yang perlu di simak, pada periode ini fatwa-fatwa dan masail fiqhiyah masih dicampur dengan dalil-dalil dan kaidah-kaidah istidlal. Memang hal seperti ini perlu di acungi jempol, tetapi bukan berarti Khulafaurrasyidin memiliki wewenang mutlak untuk mengganti syari’at yang telah di ajarkan oleh Nabi. Penetapan-penetapan pada waktu itu sebagian besar hanya bersifat melanjutkan apa yang pernah diperbuat oleh Nabi, kecuali mengenai beberapa peristiwa yang pada zaman Nabi belum ada.
Sebelum mengetahui pengaruh fatwa terhadap perkembangan hokum, terlebih dahulu kita perlu mengetahui persoalan-persoalan penting yang dihadapi oleh sahabat. Berikut di antara persoalan penting yang di hadapi oleh sahabat.
a. Sahabat khawatir akan kehilangan Al-Quran karena banyaknya sahabat yang hafal Al-Quran meninggal dunia dalam perang melawan orang-orang murtad.
b. Sahabat mengkhawatirkan terjadinya ikhtilaf sahabat terhadap Al-Quran akan seperti ikhtilaf Yahudi dan Nasrani yang terjadi sebelumnya.
c. Sahabat takut akan terjadi pembohongan terhadap Sunnah Rosululloh Saw.
d. Sahabat khawatir umat Islam akan menyimpang dari hukum Islam.
e. Sahabat menghadapi perkembangan kehidupan yang memerlukan ketentuan syariat, karena Islam adalah petunjuk bagi mereka tetapi belum ditetapkan ketentuannya dalam Al-Quran dan Sunnah.
Pada masa ini perkembangan Islam semakin luas ke segala arah, sehingga banyak ditemukan kasus-kasus baru yang memerlukan pemecahan atau penyelesaian. Pada kesempatan inilah para sahabat utama tampil sebagai mufti ( konsultan ) dalam masalah hukum dengan memberikan fatwa-fatwa kepada masyarakat, karena merekalah yang banyak berinteraksi dengan Rosululloh Saw. Merekalah yang paling sering mengikuti kegiatan Rasul serta paling sering menyaksikan sebab-sebab turunnya suatu ayat ( asbabun-nuzul ) dan keluarnya hadits. Diantara mereka ada yang menjadi peserta sidang dalam mesyawarah-musyawarah yang di selenggarakan Rosululloh Saw. Diantara para sahabat yang bertindak sebagai mufti antara lain :
1. Di Madinah : Zaid bin Tsabit, Ubai bin Kaab, Abdulloh bin Umar dan Siti Aisyah.
2. Di Makkah : Abdulloh bin Abbas.
3. Di Kuffah : Ali bin Abi Thalib dan Abdulloh bin Mas’ud.
4. Di Syam : Mu’adz bin Jabbal dan Ubadan bin Shamir.
5. Di mesir : Abdulloh bin Ammar.
Pada mulanya para mufti berdomisili di Madinah, dengan berkembangnya syiar Islam, maka mereka berpencar ke daerah-daerah maupun ke kota-kota. Para sahabat, khususnya periode ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam membela dan mempertahankan agama. Mereka tidak sekedar melestarikan “tradisi hidup” Nabi, tetapi juga melebarkan sayap dakwah Islam hingga ke negeri Persia, Irak, Syam dan Mesir. Ini untuk pertama kalinya fiqih di hadapkan dengan persoalan baru, penyelesaian atas masalah moral, etika, kultural dan kemanusiaan dalam suatu masyarakat yang pluralistik.
Agaknya inilah faktor yang terpenting yang mempengaruhi perkembangan fiqih pada periode ini. Daerah-daerah yang di buka dan “diislamkan” saat itu memiliki perbedaan masalah kultural, tradisi, situasi dan kondisi yang menghadang para Fuqaha, sahabat untuk memberikan “hukum” pada persoalan-persoalan baru yang muncul belakangan.
Para Khulafaurrasyidin dengan tingkat pemahaman yang tinggi terhadap Al-Quran dan Sunnah, menyikapi persoalan-persoalan yang dating dengan langsung merujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Adakalanya mereka menemukan nash dalam Al-Quran dan Hadits secara tersurat, tetapi juga tidak jarang mereka menemukan dalam dua sumber syariat Islam tersebut. Kondisi yang demikian ini yang mendorong mereka secara paksa untuk berjuang menggali kaidah-kaidah dasar dan tujuan moral dari berbagai tema-tema dalam Al-Quran dan Hadits untuk di aplikasikan terhadap persoalan-persoalan baru.
Konsekuensi lain dari perluasan wilayah Islam adalah bercampurnya orang-orang Arab dengan yang lainnya. Sebagian dari mereka banyak yang memeluk Islam, tetapi sebagian tetap pada agama dan kepercayaan masing-masing. Dari sinimuncul suatu tuntutan untuk menetapkan hukum baru yang mengatur hubungan orang-orang Islam dengan orang-orang non-muslim. Para Fuqaha untuk kesekian kalinya berusaha merumuskan bagaimana Islam mengatur pluralitas hidup seperti ini, termasuk disini adalah persoalan baru yang belum pernah terjadi pada era kenabian disamping belum ada sumber hukum yang secara jelas-jelas merinci hukum masalah ini.



B. Sumber-sumber Tasyri’ Pada Masa Khulafaurrasyidin
Sumber atau dalil hukum Islam yang digunakan pada zaman sahabat adalah (a) Al-Quran; (b) Sunnah, dan (c) Ijtihad (ra’yu). Ijtihad yang dilakukan ketika itu berbentuk kolektif, disamping individual. Dalam melakukan ijtihad kolektif, para sahabat berkumpul dan memusyawarahkan hukum suatu kasus. Hasil musyawarah sahabat disebut Ijmak. Al-Quran pada masa ini sudah dibukukan, yaitu pada masa Utsman bin Affan setelah dipertimbangkan akan kemaslahatannya yang lebih besar. Adapun smber hukum Islam yang kedua adalah Hadits, yang ketika itu belum dibukukan, sebab dikhawatirkan akan bercampur dengan Al-Quran. Meski demikian upaya untuk pemeliharaan tetap dilakukan, sehingga kenbenaran riwayatnya dijamin. Abu Bakar misalnya, beliau tidak mau menerima hadits dari seseorang kecuali mendapat pengakuan dan pengetahuan dari orang lain yang terpercaya. Umar bin Khattab menuntut adanya bukti-bukti bahwa hadits tersebut datang dari Rasululloh, demikian juga Ali bin Abi Thalib, beliau senantiasa menyumpah perawinya. Kemudian sumber hukum yang ketiga adalah ijtihad. Para sahabat dalam berpendapat tidak selalu sama, artinya pendapat mereka kadang-kadang berbeda. Misalnya, Ali dan Ibnu Abbas berbeda pendapat dengan Umar bin Khattab dalam masalah ‘iddah. Dalam surat Al-Baqarah ayat 234 disebutkan bahwa wanita yang ditinggal mati oleh suaminya ‘iddahnya 4 bulan 10 hari, kemudian dalam surat At-Thalaq ayat 4 dijelaskan bahwa wanita yang hamil ‘iddahnya sampai dia melahirkan. Lalu persoalannya, bagaimana kalau ada wanita hamil dan ditinggal mati oleh suaminya. Menurut Ali dan Ibnu Abbas ‘iddahnya diambil yang lebih panjang diantara dua masalah tersebut ( 4 bulan 10 hari dan sampai melahirkan), sementara menurut Umar, ‘iddahnya sampai melahirkan.
Kita ketahui secara pasti bahwa kasus-kasus yang telah ditetapkan hukumnya oleh para sahabat sangat banyak jumlahnya. Kasus-kasus bermunculan, pembahasan terus dilakukan, namun tidak satu masalahpun yang tertinggal tanpa diberikan ketetapan hukumnya. Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru, para sahabat kembali kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi. Para sahabat banyak yang hafal Al-Quran, kendati pernah timbul keresahan ketika banyak yang gugur menghadapi peperangan, karenanya kembali kepada Al-Quran itu mudah.Hadits memang diriwayatkan dan dihafalkan, tetapi nasib hadits tidak sebagus Al-Quran karena perhatian mereka lebih terpusat pada Al-Quran, disamping dihafal Al-Quran juga ditulis sebagai antisipasi hilangnya Al-Quran karena banyaknya orang-orang Islam yang hafal Al-Quran gugur dalam pertempuran. Dan dengan tujuan penulisan ini pula ditemukannya keseragaman Al-Quran dalam bacaan dan penulisan. Mushaf yang diusahakan oleh Khalifah Utsman ( 624-630 M ) itu disebut Mushaf Utsmani. Sedangkan penulis hadits secara tertib berjarak lebih dari satu abad dari penulisan Al-Quran. Namun demikian sumber hhukum Islam di masa ini adalah Al-Quran dan Al-Sunnah. Berdasarkan kedua sumber itulah para Sahabat dan Khalifah berijtihad dengan menggunakan akal pikiran.
Alasan para sahabat kembali kepada Al-Quran dan Al-Sunnah ialah karena banyaknya ayat-ayat Al-Quran yang memeritahkan taat kepada Alloh dan Rasul, mengembalikan sesuatu yang dipertentangkan kepada Alloh dan Rasul, serta berserah kepada apa yang telah ditetapkan oleh Alloh dan Rasul.
Alasan para sahabat melakukan ijtihad, ialah karena mereka melihat Rasululloh melakukan ijtihad bila wahyu Ilahi tidak turun. Suatu ketika Rasul mengutus Mu’adz ibn Jabal ke Yaman. Rasul bertanya kepada Mu’adz, “Dengan apa Engkau menghukumi sesuatu?” Jawab Mu’adz, “Saya menghukumi dengan Kitab Alloh.” Rasul bertanya, ”Jika tidak kamu jumpai (dalam Kitab Alloh)?” Jawab Mu’adz, “Saya menghukumi dengan Sunnah Rasululloh.” Rasul bertanya, “Jika tidak kamu jumpai(dalam Sunnah Rasululloh)?” Jawab Mu’adz, “Saya berijtihad dengan pendapatku.” Kemudian Rasul membenarkannya seraya memuji Alloh atas limpahan Taufik-Nya.

C. Karakteristik Tasyri’ Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Tidak setiap orang Islam mampu mengembalikan berbagai persoalan pada materi undang-undang serta mampu memahami hukum-hukum yang ditunjuk oleh Nash. Ini bias dimaklumi karena, dari aspek pertama, terdapat umat Islam yang tergolong “awam”, yang baru bias memahami nash melalui perantara orang yang lebih “pandai” dan memahami seluk beluk penafsiran nash.
Aspek kedua ialah, bahwa materi undang-undang belum tersebar di kalangan umat Islam secara merata. Nash-nash Al-Quran pada permulaan periode ini baru dibukukan dalam lembaran-lembaran khusus yang disimpan di rumah Rasuldan di rumah sementara sahabatnya, sedangkan Al-Sunnah sama sekali belum dibukukan.
Aspek ketiga ialah, bahwa materi undang-undang mensyariatkan hukum bagi kejadian dan urusan peradilan yang terjadi ketika di-tasyri’kannya hukum-hukum itu, tidak mensyariatkan hukum-hukum bagi peristiwa yang dibayangkan kemungkinan terjadinya.
Dengan adanya tiga sebab itu, maka para pemuka sahabat berpendapat bahwa di atas pundak merekalah kewajiban tasyri’ wajib mereka tegakkan. Kewajiban dimaksud adalah memberi penjelasan kepada umat Islam mengenai hal-hal yang memerlukan penjelasan dan penafsiran dari nash-nash Al-Quran dan Al-Sunnah, dan menyebarluaskan di kalangan umat Islam apa yang mereka hafal dari ayat Al-Quran dan Hadits Rasul, serta memberi fatwa hukum kepada orang-orang dalam peristiwa-peristiwa hukum dan urusan-urusan peradilan yang tidak ada nashnya. Mereka itulah tokoh-tokoh pengendali kekuasaan tasyri’ dalam periode ini, dan mereka itulah yang menggantikan Rasul dan tempat bertanya umat Islam tentang berbagai persoalan. Para pemuka sahabat memangku hak tasyri’ bukan karena pengangkatan Khalifah atau pemilihan umat, melainkan karena keistimewaan pribadi yang di milikinya. Para sahabat telah lama bergaul dengan Rasul, serta menghafal Al-Quran dan Al-Sunnah, para sahabat menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat dan sebab-sebab datangnya Sunnah, banyak di antara mereka adalah teman bermusyawarah Rasul dalam berijtihad. Karena keistimewaan inilah, maka para sahabat mampu menjelaskan nash-nash dan mampu berijtihad dalam persoalan yang tidak ada rujukan nashnya. Para sahabat adalah tempat bertanya umat Islam, dan umat Islam mempercayai apa yang dating dari para sahabat, baik yang berupa penjelasan maupun yang berupa fatwa.
Perkembangan tasyri’ pada masa Khulafaurrasyidin pada periode Abu Bakar, tasyri’ tidak banyak mengalami perkembangan, periode ini lebih menekankan konsolidasi kedalam dari pada melakukan ekspansi. Adapun metode yang di pakai Abu Bakar dalam menetapkan hukum adalah apabila masalah tersebut tidak ada dalam nash, maka Abu Bakar mengumpulkan para sahabat dalam majlis tasyri’, dari hasil majlis tersebut maka di anggap sebagai keputusan bersama dan harus dijalankan oleh ummat Islam waktu itu, sehingga perbedaan pendapat tidak banyak terjadi pada periode ini. Masa pemerintahan Khulafaurrasyidin ini sangat penting dilihat dari perkembangan hukum Islam, karena dijadikan model atau contoh oleh generasi-generasi berikutnya, terutama generasi ahli hukum Islam di zaman mutakhir ini, tentang cara mereka menemukan dan menerapkan hukum Islam pada waktu itu.
Umat Islam telah berusaha sungguh-sungguh dalam meriwayatkan ayat Al-Quran, dan mengisnadkan para perawinya, sehingga tidak timbul perbedaan sama sekali dalam segi ini. Adapun sumber perundang-undangan yang kedua, yaitu nash-nash hukum dalam Al-Sunnah belum di bukukan pada periode ini, sebagaimana Al-Sunnah secara keseluruhan juga belum di bukukan. Dalam periode ini Khalifah kedua yakni ‘Umar Ibn Khattab, telah memikirkan pembukuan Al-Sunnah. Namun, sesudah beliau bertukar pikiran dan bermusyawarah dengan para sahabat, beliau khawatir terhadap pembukuan Al-Sunnah. Mengapa? Karena waktu itu hanya dikenal satu versi Al-Sunnah dari ‘Abdullah Ibn ‘Amr Ibn Al-‘Ash yang mempunyai sebuah lembaran bernama Al-Shadiq, yang menghimpun hadits-hadits yang di dengar dari Rasululloh. Pengumpulan hadits dan rencana pembukuan Al-Sunnah dilakukan oleh para sahabat dengan sangat hati-hati dan selektif, terutama dari aspek perawinya. Abu Bakar hanya menerima hadits dari seorang perawi yang benar-benar di perkuat oleh seorang saksi. Umar Ibn Khattab meminta si perawi hadits mendatangkan bukti bahwa ia benar-benar telah meriwayatkannya, sedangkan Ali Ibn Abi Thalib meminta agar si perawi hadits bersumpah. Namun demikian, sikap hati-hati ini belum dapat merealisir tujuan yang sebenarnya, yaitu pembukuan Al-Sunnah.
Dalam periode (ijtihad) sahabat, belum ada pembukuan terhadap atsar-atsar mereka sedikitpun. Nilai fatwa para sahabat merupakan pendapat perseorangan; jika benar maka berasal dari Alloh, tetapi jika keliru berasal dari pribadi para sahabat itu sendiri. Para sahabat tidak mengharuskan siapa pun khususnya umat Islam untuk mengikuti fatwanya.

D. Sebab-sebab Timbulnya Perbedaan Pendapat dikalangan Sahabat
Setelah Nabi Saw wafat, timbul dua pandangan yang berbeda tentang otoritas kepemimpinan umat Islam. Hal ini berhubungan langsung dengan otoritas penetapan hukum ; Kelompok pertama memandang bahwa otoritas untuk menetapkan hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan makna Al-Quran setelah Nabi Muhammad wafat dipegang oleh Ahlul Bait. Hanya mereka menurut nash dari Nabi Muhammad Saw yang harus dirujuk dalam menyelesaikan masalah-masalah dan menetapkan hukum-hukum Allah. Kelompok ini kelak dikenal sebagai kelompok Syi’ah. Sedangkan menurut kelompok yang kedua, sebelum meninggal, Nabi Muhammad tidak menentukan dan tidak menunjuk penggantinya yang dapat menafsirkan dan menetapkan perintah Allah. Al-Quran dan Al-Sunnah adalah sumber hukum untuk menarik hukum-hukum berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul. Mereka ini kelak dikenal sebagai kelompok Ahlu Sunnah atau Sunni.
Selain itu, sebab ikhtilaf pada zaman sahabat dapat dibedakan menjadi tiga ; yang pertama, perbedaan pendapat yang disebabkan oleh sifat Al-Quran ; Kedua, perbedaan yang disebabkan oleh Al-Sunnah. Dan yang ketiga, perbedaan pendapat dalam menggunakan ra’yu ( intervensi akal ).
Sebab-sebab perbedaan yang disebabkan oleh sifat-sifat Al-Quran diantaranya sebagai berikut :
a. Dalam Al-Quran terdapat kata atau lafadz yang bermakna ganda (isytirak). Umpamanya firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 228 : “yang di ceraikan oleh suaminya hendaklah menunggu tiga kali quru’.” Kata quru’ mengandung dua arti ; al-haidl dan al-thuhr.
b. Hukum yang ditentukan Al-Quran masing-masing “berdiri sendiri” tanpa mengantisipasi kemungkinan bergabungnya dua sebab dalam satu kasus. Misalnya, dalam Al-Quran terdapat ketentuan bahwa waktu tunggu (‘iddah) bagi wanita yang dicerai karena suaminya meninggal dunia adalah 4 bulan 10 hari, dan waktu tunggu bagi wanita yang dicerai dalam keadaan hamil (‘iddah hamil) adalah hingga melahirkan. Dua ayat tersebut tidak mengantisipasi kemungkinan terjadinya seorang wanita yang hamil ditinggal wafat suaminya. Ali Ibn Abi Thalib dan Ibnu Abbasy berpendapat bahwa ‘iddah yang berlaku bagi wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya dalam keadaan hamil adalah ‘iddah yang terpanjang antara dua ‘iddah tersebut. Sedangkan Abdullah Ibn Mas’ud berpendapat, bahwa yang berlaku adalah ‘iddah hamil, sebab ayat tentang ‘iddah hamil diturunkan setelah ayat ‘iddah wafat, yang berlaku konsep Naskh.
Adapun sebab perbedaan pendapat yang berhubungan dengan Sunnah adalah sebagai berikut :
a. Tidak semua sahabat memiliki penguasaan yang sama terhadap Sunnah. Di antara mereka ada yang penguasaannya cukup luas, ada pula yang sedikit. Hal itu terjadi karena perbedaan mereka dalam menyertai Nabi ada yang intensif ada yang tidak, ada yang lebih awal masuk Islam ada yang terakhir.
b. Kadang-kadang riwayat sampai kepada seorang sahabat tetapi belum atau tidak sampai kepada sahabat yang lain, sehingga diantara mereka ada yang mengamalkan ra’yu karena ketidaktahuan mereka terhadap Sunnah. Umpamanya Abu Hurairah r.a berpendapat bahwa orang yang masih junub pada waktu subuh, tidak dihitung berpuasa ramadhan, “man ashbaha junuban fala shouma lahu”. Kemudian pendapat ini di dengar oleh Aisyah yang berpendapat sebaliknya, Aisyah menjadikan peristiwa dengan Nabi Saw sebagai alas an. Maka Abu Hurairah menarik kembali pendapatnya.
c. Sahabat berbeda pendapat dalam menta’wilkan Sunnah. Umpamanya, Thowaf sebagian besar sahabat berpendapat bahwa bersegera dalam Thowaf adalah Sunnah, sedangkan Ibnu Abbas berpendapat bahwa bersegera dalam Thowaf tidak Sunnah.
Adapun perbedaan pendapat di kalangan sahabat yang disebabkan oleh penggunaan ra’yu, diantaranya perbedaan pendapat antara Umar dan ali tentang perempuan yang menikah dalam waktu tunggunya. Umar berpendapat, perempuan yang menikah dalam waktu tunggu, apabila belum dukhul harus dipisah, ia harus menyelesaikan waktu tunggunya, apabila sudah dukhul, pasangan itu harus dipisahkan dan menyelesaikan dua waktu tunggu, waktu tunggu dari suami yang pertama dan waktu tunggu dari suami berikutnya. Sedangkan menurut Ali perempuan itu harus diwajibkan menyelesaikan waktu tunggu yang pertama. Ali berpegang pada keumuman ayat, sedangkan Umar berpegangan pada tujuan hukum, yakni agar orang tidak melakukan pelanggaran.
Menurut para ahli, timbulnya perbedaan pendapat dikalangan sahabat disebabkan adanya beberapa factor, setidaknya kita perlu mengatakan lima persoalan mendasar yang menyebabkan beberapa ikhtilaf pada periode ini.
Pertama, perbedaan dalam memahami nash Al-Quran dan Hadits. Perbedaan seperti ini biasanya disebabkan karena tidak jelasnya batasan pengertian nash dan perbedaan persepsi di kalangan sahabat seperti persoalan quru’. Adanya ayat-ayat ahkam yang musytarak, atau belum pasti pengertiannya (dzanni). Dalam Surat Al-Baqarah : 228 memiliki dua pengertian. Zaid bin Tsabit, quru’ berarti suci, sementara Umar bin Khattab memahaminya sebagai Haidh.
Kedua, munculnya dua persoalan yang merujuk pada dua nash saling berlawanan kesepakatan akhir dari para sahabat bahwa masalah seperti ini harus melewati tiga tahapan, caranya mencari titik temu antara dua nash tersebut, baru kemudian mencari dalil-dalil yang menguatkan salah satu dari nash ( at-Tarjih ), dan jika kedua cara tersebut tidak memungkinkan maka diterapkan teori nash.
Ketiga, sebagian fuqaha dari kalangan sahabat mengatakan bahwa suatu peristiwa berdasarkan pengetahuan dari Sunnah, sementara yang lain belum mendapatkannya atau menganggapnya tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai Hadits Shahih. Pada masa ini terjadi seleksi yang sangat ketat terhadap periwayatan Hadits. Beberapa Hadits yang dijadikan sebagai sumber hukum oleh sebagian Fuqaha ditolak oleh Fuqaha lain sebab berbagai alas an. Selektifnya penerimaan periwayatan Hadits ini diatur pihak dan kecenderungan untuk mengamalkan Hadits di lain pihak, terutama dikalangan Ulama Madinah.
Keempat, perbedaan kaidah dan metode ijtihad dari para sahabat. Dari perbedaan penggunaan kaidah dan metode ini muncul beberapa perbedaan pendapat dalam suatu persoalan yang sama dan ini sangat memperkaya perbendaharaan Fiqh Islam.
Kelima, ini mungkin yang terpenting, kebebasan dan kesungguhan para sahabat periode Khulafaurrasyidin dalam melakukan ijtihad terhadap berbagai masalah yang mereka hadapi. Kebebasan dan kesungguhan inilah yang menjadi sumber konseptualisasi dan redinamisasi syariat periode ini.
Keenam, perbedaan mereka dalam menerima Hadits dari Rasulullah. Sebagian sahabat ada yang menerima Hadits dengan jelas dan cukup banyak, sementara yang lain hanya menerima sebagian saja. Hal ini disebabkan karena kondisi tempat tinggal mereka . Bagi yang dekat dengan Rasulullah praktis saja mereka banyak menerima Hadits, demikian sebaliknya.

BAB III
PENUTUP
I. Kesimpulan
Khulafaurrasyidin adalah pewaris kepemimpinan Islam setelah wafatnya Rasulullah Saw. Setelah Rasul Saw wafat para sahabat berkedudukan sebagai musyar’i dalam istinbat suatu hukum yang tentunya dengan jalan musyawarah seperti yang dilakukan Rasul dan mereka bertindak sebagai musyawirin Rasul Saw.
Adapun sumber atau dalil hukum Islam yang digunakan pada zaman sahabat adalah Al-Quran, Sunnah dan Ijtihad ( ra’yu ). Ijtihad yang dilakukan ketika itu berbentuk kolektif, para sahabat berkumpul dan memusyawarahkan hukum suatu kasus, hasil musyawarah sahabat disebut Ijma’. Walaupun para sahabat melakukan musyawarah tetapi diantara mereka tetap terjadi khilafiah dalam istinbat hukum. Faktor yang mempengaruhi adalah sifat Al-Quran, dan Sunnah serta perbedaan ra’yu. Disamping sosiokultur yang jelas sangat mempengaruhi.
Perkembangan tasyri’ pada masa Khulafaurrasyidin sangat hidup dan semarak. Beberapa ikhtilaf mulai muncul meskipun lebih kecil disbanding masa-masa berikutnya. Para sahabat Khulafaurrasyidin tidak menyikapi hukum-hukum Islam secara ideal yang lepas dari konteks social, tetapi dimensi social itu telah menyadarkan mereka untuk mencari jawaban-jawaban yang tepat dan ideal terhadap berbagai problematika yang bermunculan.


LITERATUR
Zainuddin Ali, Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika Ofset, 2006), 68
M. Hasbi Ash Shidiqi, Pengantar Kebudayaan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1967), 56
http://www.scribd.com/doc/24408760/Tasyri-Pada -Masa-Khulafaurrasyidi1, di akses pada tanggal 25 Desember 09
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2000), 37
http://www.scribd.com/doc/24408760/Tasyri-Pada -Masa-Khulafaurrasyidi1, di akses pada tanggal 25 Desember 09
Sirry Mun’im, Sejarah Fiqih Islam, (Surabaya : Risalah Gusti, 1995), 33
http://www.scribd.com/doc/24408760/Tasyri-Pada -Masa-Khulafaurrasyidi1, di akses pada tanggal 25 Desember 09
Jaih Mubarok, Sejarah dan perkembangan Hukum Islam, 41
http://www.scribd.com/doc/24408760/Tasyri-Pada -Masa-Khulafaurrasyidi1, di akses pada tanggal 25 Desember 09
Abuddin Nata, MA, Masail Al-Fiqhiyah, ( Jakarta : Prenada Media Group, 2003), 65
Nazar Bakry, Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996), 23
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Hukum Islam, Sebuah Ikhtisar dan Dokumentasinya, (Darul-Kutub, Mesir : Marja, 2005), 34
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Hukum Islam, Sebuah Ikhtisar dan Dokumentasinya, (Darul-Kutub, Mesir : Marja, 2005), 32
Ibid, 33
http://www.scribd.com/doc/15169629/Tarikh-Tasyri-Makalah-Mui, di akses tanggal 30 Desember 2009
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1990), 155
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Hukum Islam, Sebuah Ikhtisar dan Dokumentasinya, (Darul-Kutub, Mesir : Marja, 2005), 38
Ibid, 39
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, , (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2000),41
Hasbi Ashidiqi, Pengantar Ilmu Fiqih, (Jakarta : Bulan Bintang, 1993), 33
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, , (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2000), 42
http://abdulhobir.blogspot.com/2009/05/tasyri-pada-masa-khulafaurrasyidin.html, di akses pada tanggal 25 Desember 2009
http://hadirukiyah.blogspot.com/2009/08/pengaruh-pentadwinan - Sunnah-dalam.html diakses pada tanggal 30 Desember 2009

Sunday, May 29, 2011

MAKALAH PROFESI KEGURUAN

BAB I PENDAHULUAN
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Pendidikan adalah suatu bentuk investasi jangka panjang yang penting bagi seorang manusia. Pendidikan yang berhasil akan menciptakan manusia yang pantas dan berkelayakan di masyarakat seta tidak menyusahkan orang lain. Masyarakat dari yang paling terbelakang sampai yang paling maju mengakui bahwa pendidik / guru merupakan satu diantara sekian banyak unsur pembentuk utama calon anggota masyarakat. Namun, wujud pengakuan itu berbeda-beda antara satu masyarakat dan masyarakat yang lain. Sebagian mengakui pentingnya peranan guru itu dengan cara yang lebih konkrit, sementara yang lain masih menyangsikan besarnya tanggung jawab seorang guru, termasuk masyarakat yang sering menggaji guru lebih rendah daripada yang sepantasnya.
Demikian pula, sebagian orang tua kadang-kadang merasa cemas ketika menyaksikan anak-anak mereka berangkat ke sekolah, karena masih ragu akan kemampuan guru mereka. Di pihak lain setelah beberapa bulan pertama mengajar, guru-guru pada umumnya sudah menyadari betapa besar pengaruh terpendam yang mereka miliki terhadap pembinaan kepribadian peserta didik.
Dalam makalah ini akan dipaparkan pengertian profesi dan ciri-cirinya berikut syarat-syarat profesi secara umum. Kemudian di bab selanjutnya diketengahkan profesi guru dan syarat-syarat dalam membangun profesionalisme guru. Dan yang terakhir, kesimpulan pembahasan yang telah dipaparkan.
BAB II PENGERTIAN PROFESI DAN SYARATNYA
2.1. Pengertian Profesi dan ciri-cirinya
Secara estimologi, istilah profesi berasal dari bahasa Inggris yaitu profession atau bahasa latin, profecus, yang artinya mengakui, adanya pengakuan, menyatakan mampu, atau ahli dalam melakukan suatu pekerjaan. Sedangkan secara terminologi, profesi berarti suatu pekerjaan yang mempersyaratkan pendidikan tinggi bagi pelakunya yang ditekankan pada pekerjaan mental; yaitu adanya persyaratan pengetahuan teoritis sebagai instrumen untuk melakukan perbuatan praktis, bukan pekerjaan manual (Danin, 2002). Jadi suatu profesi harus memiliki tiga pilar pokok, yaitu pengetahuan, keahlian, dan persiapan akademik.[1]
Profesi Keguruan, Kata Profesi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (ketrampilan, kejuruan, dsb) tertentu. Di dalam profesi dituntut adanya keahlian dan etika khusus serta standar layanan. Pengertian ini mengandung implikasi bahwa profesi hanya dapat dilakukan oleh orang-orang secara khusus di persiapkan untuk itu. Dengan kata lain profesi bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak memperoleh pekerjaan lain.
Profesi adalah suatu pekerjaan yang dalam melaksanakan tugasnya memerlukan/menuntut keahlian (expertise), menggunakan teknik-teknik ilmiah, serta dedikasi yang tinggi. Keahlian diperoleh dari lembaga pendidikan yang khusus diperuntukkan untuk itu dengan kurikulum yang dapat dipertanggungjawabkan.[2]
Dengan demikian seorang profesional jelas harus memiliki profesi tertentu yang diperoleh melalui sebuah proses pendidikan maupun pelatihan yang khusus, dan disamping itu pula ada unsur semangat pengabdian (panggilan profesi) didalam melaksanakan suatu kegiatan kerja. Hal ini perlu ditekankan benar untuk mem bedakannya dengan kerja biasa (occupation) yang semata bertujuan untuk mencari nafkah dan/ atau kekayaan materiil-duniawi Dua pendekatan untuk mejelaskan pengertian profesi:
1. Pendekatan berdasarkan Definisi
Profesi merupakan kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan kegiatan yang memerlukan ketrampilan dan keahlian tinggi guna memenuhi kebutuhan yang rumit dari Manusia, di dalamnya pemakaian dengan cara yang benar akan ketrampilan dan keahlian tinggi, hanya dapat dicapai dengan dimilikinya penguasaan pengetahuan dengan ruang lingkup yang luas, mencakup sifat manusia, kecenderungan sejarah dan lingkungan hidupnya; serta adanya disiplin etika yang dikembangkan dan diterapkan oleh kelompok anggota yang menyandang profesi tersebut.
2. Pendekatan Berdasarkan Ciri
Definisi di atas secara tersirat mensyaratkan pengetahuan formal menunjukkan adanya hubungan antara profesi dengan dunia pendidikan tinggi. Lembaga pendidikan tinggi ini merupakan lembaga yang mengembangkan dan meneruskan pengetahuan profesional. Karena pandangan lain menganggap bahwa hingga sekarang tidak ada definisi yang yang memuaskan tentang profesi yang diperoleh dari buku maka digunakan pendekatan lain dengan menggunakan ciri profesi. Secara umum ada 3 ciri yang disetujui oleh banyak penulis sebagai ciri sebuah profesi. Adapun ciri itu ialah:
- Sebuah profesi mensyaratkan pelatihan ekstensif sebelum memasuki sebuah profesi. Pelatihan ini dimulai sesudah seseorang memperoleh gelar sarjana. Sebagai contoh mereka yang telah lulus sarjana baru mengikuti pendidikan profesi seperti dokter, dokter gigi, psikologi, apoteker, farmasi, arsitektut untuk Indonesia. Di berbagai negara, pengacara diwajibkan menempuh ujian profesi sebelum memasuki profesi.
- Pelatihan tersebut meliputi komponen intelektual yang signifikan. Pelatihan tukang batu, tukang cukur, pengrajin meliputi ketrampilan fisik. Pelatihan akuntan, engineer, dokter meliputi komponen intelektual dan ketrampilan. Walaupun pada pelatihan dokter atau dokter gigi mencakup ketrampilan fisik tetap saja komponen intelektual yang dominan. Komponen intelektual merupakan karakteristik profesional yang bertugas utama memberikan nasehat dan bantuan menyangkut bidang keahliannya yang rata-rata tidak diketahui atau dipahami orang awam. Jadi memberikan konsultasi bukannya memberikan barang merupakan ciri profesi.
- Tenaga yang terlatih mampu memberikan jasa yang penting kepada masyarakat. Dengan kata lain profesi berorientasi memberikan jasa untuk kepentingan umum daripada kepentingan sendiri. Dokter, pengacara, guru, pustakawan, engineer, arsitek memberikan jasa yang penting agar masyarakat dapat berfungsi; hal tersebut tidak dapat dilakukan oleh seorang pakar permainan catur, misalnya. Bertambahnya jumlah profesi dan profesional pada abad 20 terjadi karena ciri tersebut. Untuk dapat berfungsi maka masyarakat modern yang secara teknologis kompleks memerlukan aplikasi yang lebih besar akan pengetahuan khusus daripada masyarakat sederhana yang hidup pada abad-abad lampau. Produksi dan distribusi enersi memerlukan aktivitas oleh banyak engineers. Berjalannya pasar uang dan modal memerlukan tenaga akuntan, analis sekuritas, pengacara, konsultan bisnis dan keuangan. Singkatnya profesi memberikan jasa penting yang memerlukan pelatihan intelektual yang ekstensif.’[3]
Menurut Ornstein dan Levine (1984) menyatakan bahwa profesi itu adalah jabatan yang sesuai dengan pengertian profesi di bawah ini:
1. Melayani masyarakat merupakan karier yang akan dilaksanakan sepanjang hayat.
2. Memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tertentu diluar jangkauan khalayak ramai.
3. Menggunakan hasil penelitin dan aplikasi dari teori ke praktik.
4. Memerlukan pelatihan khusus dengan waktu yang panjang
5. Terkendali berdasarkan lisensi buku dan atau mempunyai persyaratan yang masuk.
6. Otonomi dalam membuat keputusan tentang ruang lingkup kerja tertentu
7. Menerima tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil dan unjuk kerja yang ditampilkan yang gerhubungan denan layanan yang diberikan
8. Mempunyai komitmen terhadap jabatan dan klien
9. Menggunakan administrator untuk memudahkan profesinya relatif bebas dari supervisi dalam jabatan
10. Mempunyai organisasi yang diatur oleh anggota profesi sendiri
11. Mempunyai asosiasi profesi dan atau kelompok ‘elit’ untuk mengetahui dan mengakui keberhasilan anggotanya
12. Mempunyai kode etik untuk menjelaskan hal-hal yang meragukan atau menyangsikan yang berhubungan dengan layanan yang diberikan
m. Mempunyai kadar kepercayaan yang tinggi dari pablik dan kpercayaan diri setiap anggotanya
1. Mempunyai status sosial dan ekonomi yang tinggi
Pada sisi lain profesi mempunyai pengertian seorang yang menekuni pekerjaan berdasarkan keahlian, kemampuan, teknik dan prosedur berdasarkan intelektual. Hal demikian dapat dibaca pula pendapat Volmer dan Mills (1966), Mc Cully (1969), dan Diana W. Kommer (dalam sagala, 2000:195-196), mereka sama-sama mengartikan profesi sebagai spesialisasi dari jabatan intelektualyang diperoleh melalui study dan training, bertujuan menciptakan keterampilan, pekerjaan yang bernilai tinggi, sehingga keterampilan dan pekerjaan itu diminati, disenangi oleh orang lain, dan dia dapat melakukan pekerjaan itu dengan mendapat imbalan berupa bayaran, upah, dan gaji (payment).[4]
2.2. Syarat-syarat Profesi
Berdasarkan pengertian dan cirri-ciri profesi yang telah disebutkan di atas, maka dapat ditarik beberapa hal yang menjadi syarat-syarat Profesi seperti;
1. Standar unjuk kerja.
2. Lembaga pendidikan khusus untuk menghasilkan pelaku profesi tersebut dengan standar kualitas.
3. Akademik yang bertanggung jawab.
4. Organisasi profesi.
5. Etika dan kode etik profesi.
6. Sistem imbalan.
7. Pengakuan masyarakat.
BAB III PROFESI GURU DAN SYARAT-SYARATNYA
3.1. Profesi Keguruan
Guru adalah sebuah profesi, sebagaimana profesi lainnya merujuk pada pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan. Suatu profesi tidak bisa di lakukan oleh sembarang orang yang tidak dilatih atau dipersiapkan untuk itu. Suatu profesi umumnya berkembang dari pekerjaan (vocational), yang kemudian berkembang makin matang serta ditunjang oleh tiga hal: keahlian, komitmen, dan keterampilan, yang membentuk sebuah segitiga sama sisi yang di tengahnya terletak profesionalisme.
Senada dengan itu, secara implisit, dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan, bahwa guru adalah : tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi (pasal 39 ayat 1).
Menurut Dedi Supriadi (1999), profesi kependidikan dan/atau keguruan dapat disebut sebagai profesi yang sedang tumbuh (emerging profession) yang tingkat kematangannya belum sampai pada apa yang telah dicapai oleh profesi-profesi tua (old profession) seperti: kedokteran, hukum, notaris, farmakologi, dan arsitektur. Selama ini, di Indonesia, seorang sarjana pendidikan atau sarjana lainnya yang bertugas di institusi pendidikan dapat mengajar mata pelajaran apa saja, sesuai kebutuhan/ kekosongan/ kekurangan guru mata pelajaran di sekolah itu, cukup dengan “surat tugas” dari kepala sekolah.[5]
Pada dasarnya profesi guru adalah profesi yang sedang tumbuh. Walaupun ada yang berpendapat bahwa guru adalah jabatan semiprofesional, namun sebenarnya lebih dari itu. Hal ini dimungkinkan karena jabatan guru hanya dapat diperoleh pada lembaga pendidikan yang lulusannya menyiapkan tenaga guru, adanya organisasi profesi, kode etik dan ada aturan tentang jabatan fungsional guru (SK Menpan No. 26/1989).
Usaha profesionalisasi merupakan hal yang tidak perlu ditawar-tawar lagi karena uniknya profesi guru. Profesi guru harus memiliki berbagai kompetensi seperti kompetensi profesional, personal dan sosial.
Jabatan guru dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan tenaga guru. Kebutuhan ini meningkat dengan adanya lembaga pendidikan yang menghasilkan calon guru untuk menghasilkan guru yang profesional. Pada masa sekarang ini LPTK menjadi satu-satunya lembaga yang menghasilkan guru. Walaupun jabatan profesi guru belum dikatakan penuh, namun kondisi ini semakin membaik dengan peningkatan penghasilan guru, pengakuan profesi guru, organisasi profesi yang semakin baik, dan lembaga pendidikan yang menghasilkan tenaga guru sehingga ada sertifikasi guru melalui Akta Mengajar. Organisasi profesi berfungsi untuk menyatukan gerak langkah anggota profesi dan untuk meningkatkan profesionalitas para anggotanya. Setelah PGRI yang menjadi satu-satunya organisasi profesi guru di Indonesia, kemudian berkembang pula organisasi guru sejenis (MGMP).
3.2 syarat-syarat Profesi keguruan
Adapun syarat-syarat Profesi Keguruan adalah sebagai berikut;
1. Jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual.
2. Jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.
3. Jabatan yang memerlukan persiapan profesional yang lama (dibandingkan dengan pekerjaan yang memerlukan latihan umum belaka).
4. Jabatan yang memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan.
5. Jabatan yang menjanjikan karier hidup dan keanggotaan yang permanen.
6. Jabatan yang menentukan baku (standarnya) sendiri.
7. Jabatan yang lebih mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi.
8. Jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
BAB IV KESIMPULAN
Kesadaran umum akan besarnya tanggung jawab seorang guru serta berbagai pandangan masyarakat terhadap peranannya telah mendorong para tokoh dan ahli pendidikan untuk merumuskan ruang lingkup tugas, tanggung jawab dan kualifikasi yang seharusnya dipenuhi oleh guru, sebagai pengajar guru mempunyai tugas menyelenggarakan proses belajar-mengajar tugas yang mengisi porsi terbesar dari profesi keguruan ini pada garis besarnya meliputi minimal empat pokok, yaitu :
1. menguasai bahan pengajaran
2. merencanakan program belajar-mengajar
3. melaksanakan, memimpin dan mengelola proses belajar-mengajar serta,
4. menilai dan mengevaluasi kegiatan belajar-mengajar[6]
Jabatan guru merupakan jabatan Profesional, dan sebagai jabatan profesional, pemegangnya harus memenuhi kualifikasi tertentu. Kriteria jabatan profesional antara lain bahwa jabatan itu melibatkan kegiatan intelektual, mempunyai batang tubuh ilmu yang khusus, memerlukan persiapan lama untuk memangkunya, memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan, merupakan karier hidup dan keanggotaan yang permanen, menentukan baku perilakunya, mementingkan layanan, mempunyai organisasi profesional, dan mempunyai kode etik yang di taati oleh anggotanya.
Jabatan guru belum dapat memenuhi secara maksimal persyaratan itu, namun perkembangannya di tanah air menunjukkan arah untuk terpenuhinya persyaratan tersebut. Usaha untuk ini sangat tergantung kepada niat, perilaku dan komitmen dari guru sendiri dan organisasi yang berhubungan dengan itu, selain juga, oleh kebijaksanaan pemerintah.
________________________________________
[1] http://qade.wordpress.com/2009/02/11/profesi-keguruan/
[2] http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/konsep-profesi-keguruan
[3] http://erwadi.polinpdg.ac.id
[4] http://qade.wordpress.com/2009/02/11/profesi-keguruan/
[5] http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/konsep-profesi-keguruan
[6] http://ilmuwanmuda.wordpress.com/profesi-keguruan/

makalah psikologi umum

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB. I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. TUJUAN MASALAH
BAB. II PEMBAHASAN MASALAH
A. PENGERTIAN BERPIKIR DAN MENGINGAT

BAB. III PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Berpikir adalah tingkah laku yang menggunakan ide-ide yaitu proses simbolis contohnya. Kalau kita membayangkan suatu makanan yang tidak ada maka kita menggunakan ide (berpikir) atau simbol-simbol tertentu.

Mengingat adalah bukti bahwa seseorang telah belajar untuk mengingat banyak hal setiap harinya.

B. TUJUAN MASALAH
Sesuai tugas yang diberikan dosen mata kuliah psikologi umum semester satu, bahwa tujuan penulisan psikologi umum semester satu, bahwa tujuan penulisan ini untuk memenuhi tugas pelajaran psikologi umum serta untuk menambah nilai psikologi umum. Serta memberikan masukan kepada para mahasiswa/ mahasiswi tentang bagaimana caranya membedakan antara berpikir dan mengingat.

KATA PENGANTAR

Alhamdullilah, Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Berkat limpahan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini tepat waktu yang telah ditentukan.
Makalah ini disusun untuk menambah nilai ulangan umum semester ganjil.

Makalah ini telah disusun oleh kami dengan usaha yang maksimal. Namun, apabila menurut pembaca masih ada kekurangan dan kesalahan. Kami harapkan saran perbaikan yang sifatnya membangun. Demi kesempurnaan karya tulis selanjutnya.

……………….., 20 Oktober 2008


Penyusun


BAB II
PEMBAHASAN MASLAAH
A. PENGERTIAN BERPIKIR DAN MENGINGAT
a. Pengertian Berpikir
Berpikir adalah tingkah laku yang menggunakan ide untuk membantu seseorang berpikir.
Macam-macam kegiatan berpikir dapat kita golongkan sebagai berikut:
1. Berpikir asosiatif, yaitu proses berpikir di mana suatu ide merangsang timbulnya ide lain. Jalan pikiran dalam proses berpikir asosiatif tidak ditentukan atau diarahkan sebelumnya, jadi ide-ide timbul secara bebas. Jenis-jenis berpikir asosiatif:
a. Asosiasi bebas: Suatu ide akan menimbulkan ide mengenai hal lain, tanpa ada batasnya. Misalnya, ide tentang makan dapat merangsang timbulnya ide tentang restoran dapur, nasi atau anak yang belum sempat diberi makanan atau hal lainnya.
b. Asosiasi terkontrol: Satu ide tertentu menimbulkan ide mengenai hal lain dalam batas-batas tertentu. Misalnya, ide tentang membeli mobil, akan merangsang ide-ide lain tentang harganya, pajaknya, pemeliharaannya, mereknya, atau modelnya, tetapi tidak merangsang ide tentang hal-hal lain di luar itu seperti peraturan lalu lintas, polisi lalu lintas, mertua sering meminjam barang-barang, piutang yang belum ditagih, dan sebagainya.
c. Melamun: yaitu menghayal bebas, sebebas-bebasnya tanpa batas, juga mengenai hal-hal yang tidak realistis.
d. Mimpi: ide-ide tentang berbagai hal yang timbul secara tidak disadari pada waktu tidur. Mimpi ini kadang-kadang terlupakan pada waktu terbangun, tetapi kadang-kadang masih dapat diingat.
e. Berpikir artistik: yaitu proses berpikir yang sangat subjektif. Jalan pikiran sangat dipengaruhi oleh pendapat dan pandangan diri pribadi tanpa menghiraukan keadaan sekitar. Ini sering dilakukan oleh para seniman dalam mencipta karya-karya seninya.
2. Berpikir terarah, yaitu proses berpikir yang sudah ditentukan sebelumya. Dan diarahkan pada sesuatu, biasanya diarahkan pada pemecahannya persoalan. Dua macam berpikir terarah, yaitu:
a. Berpikir kritis yaitu membuat keputusan atau pemeliharaan terhadap suatu keadaan.
b. Berpikir kreatif, yaitu berpikir untuk menentukan hubungan-hubungan baru antara berbagai hal, menemukan pemecahan baru dari suatu soal, menemukan sistem baru, menemukan bentuk artistik baru dan sebagainya.
Dalam berpkir selalu dipergunakan simbol, yaitu sesuatu yang dapat mewakili segala hal dalam alam pikiran. Misalnya perkataan buku adalah simbol uang mewakili benda yang terdiri dari lembaran-lembaran kertas yang dijilid dan tertulis huruf-huruf. Di samping kata-kata, bentuk-bentuk simbol antara laibn angka-angka dan simbol matematika, simbol simbol yang dipergunakan dalam peraturan lalu lintas, not musik, mata uang, dan sebagainya.
Telah dikatakan di atas, bahwa berpikir terarah diperlukan dalam memecahkan persoalan-persoalan. Untuk mengarahkan jalan pikiran kepada pemecahan persoalan, maka terlebih dahulu diperlukan penyusunan strategi. Ada dua macam strategi umum dalam memecahkan persoalan:
1. Strategi menyeluruh: di sini persoalan dipandang sebagai suatu keseluruhan dan dipecahkan untuk keseluruhan itu.
2. Strategi detailistis: di sini persoalan di bagi-bagi dalam bagian-bagian dan dipecahkan bagian demi bagian.
Kesulitan dalam memecahkan persoalan dapat ditimbulkan oleh:
1. Set: pemecahan persoalan yang berhasil biasanya cenderung dipertahankan pada persoalan-persoalan yang berikutnya (timbul: set). Padahal belum tentu persoalan berikut itu dapat dipecahkan dengan cara yang sama. Dalam hal ini akan timbul kesulitan-kesulitan terutama kalau orang yang bersangkutan tidak mau mengubah dirinya.
2. Sempitnya pandangan: sering dalam memecahkan persoalan, seseorang hanya melihat satu kemungkinan jalan keluar. Meskipun ternyata kemungkinan yang satu ini tidak benar, orang tersebut akan mencobanya terus, karena ia tidak melihat jalan keluar yang lain. Tentu saja ia akan mengalami kegagalan. Kesulitan seperti ini disebabkan oleh sempitnya padangan orang tersebut. Sehingga tidak dapat melihat adanya beberapa kemungkinan jalan keluar.

c. Pengertian Mengingat
Mengingat adalah tingkah laku manusia yang selalu diperoleh pengalaman masa lampau yang diingatnya.
Mengingat dapat didefinisikan sebagai pengetahuan sekarang tentang pengalaman masa lampau.
1. Mengingat dapat terjadi dalam beberapa bentuk. Bentuk yang paling sederhana adalah mengingat sesuatu apabila sesuatu itu dikenakan pada indera. Bentuk ini disebut rekognisi. Misalnya, kita mengingat wajah kawan, komposisi musik, lukisan, dan sebagainya.
2. Bentuk mengingat yang lebih sukar adalah recall. Kita me-recall sesuatu apabila kita sadar bahwa kita telah mengalami sesuatu di masa yang lalu,tanpa mengenakan sesuatu itu pada indera kita. Misalnya, kita me-recall nama buku yang telah selesai kita baca minggu lalu.
3. Lebih sukar lagi ialah mengingat dengan cukup tepat untuk memproduksi bahan yang pernah dipelajari. Misalnya anda mengenal kembali (rekognisi) sebuah nyanyian dan ingat juga bahwa anda pernah mempelajari nyanyian itu (recall), tetapi apakah anda menyanyikannya kembali (reproduksi)?
4. Bentuk mengingat yang keempat ialah melakukan (performance) kebiasaan-kebiasaan yang sangat otomatis.
Apabila kita melakukan rekognisi, recall, reproduksi ataupun performance, pertama-tama kita harus memperoleh materinya. Memperoleh materi merupakan langkah pertama dalam keseluruhan proses yang bertitik puncak pada mengingat.
Suatu bentuk memperoleh materi tertentu dikaitkan dengan tiap bentuk mengingat. Untuk merekognisi dan me-recall, seseorang harus mempersepsi, sedangkan untuk memperoduksi, seseorang harus membentuk kebiasaan. Karena itu, seseorang perlu belajar.
Ada beberapa cara untuk mengingat kembali hal-hal yang sudah pernah diketahui sebelumnya.
1. Rekoleksi, yaitu menimbulkan kembali ingatan suatu peristiwa, lengkap dengan segala detail dan hal-hal yang terjadi di sekitar tempat peristiwa yang terjadi pada masa lalu. Misalnya: seorang pria mengingat peristiwa pertama kali ia pergi dengan seorang gadis.
2. Pembauran ingatan, hampir sama dengan rekoleksi, tetapi ingatannya hanya timbul kalau ada hal yang merangsang ingatan itu. Misalnya dalam contoh di atas ingatan timbul setelah pria tersebut secara kebetulan berjumpa kembali dengan gadis yang bersangkut.
3. Memanggil kembali ingatan, yaitu mengingat kembali suatu hal, sama sekali terlepas dari hal-hal lain di masa lalu. Misalnya, mengingat sajak. Yang diingat di sini hanya sajaknya saja, tetapi pada suatu saat apa saja yang dipelajari untuk pertama kalinya, tidak diperhatikan lagi.
4. Rekognisi, yaitu mengingat kembali suatu hal setelah menjumpai sebagian dari hal tersebut. Misalnya ingat suatu lagu, setelah mendengar sebagian dari nada lagu tersebut.
5. Mempelajari kembali, terjadi kalau kita mempelajari hal sama untuk kedua kalinya, bhanyak hal-hal yang akan diingat kembali, sehingga tempo belajar dapat menjadi jauh lebih singkat.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian kami yang telah diuraikan pada bab pembahasan masalah dapatlah disimpulkan hal-hal berikut:
1. Berpikir adalah seseorang yang berpikir bukan saja dengan otaknya tetapi berpengaruh juga dengan keseluruhan anggota tubuhnya.
2. Berpikir selalu berdampingan dalam mengingat suatu peristiwa/ kejadian masa lampau, yang telah terjadi pada diri kita sendiri maupun orang lain.
3. Berpikir dan mengingat yang bermanfaat maka akan menghasilakn hal yang sangat baik (positif) apabila berpikir dan mengingat yang tidak bermanfaat maka akan menghasilkan hal yang buruk (negatif)
4. Berpikir dan mengingat juga mempunyai perbedaan

B. SARAN
1. Berpikir dan mengingat merupakan cara yang baik dalam proses belajar. Oleh karena itu sebagai kaum pelajar kita harus mengembangkannya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Pelajar adalah masyarakan yang terpelajar. Yang dianggap sebagai kaum pelajar, karena mereka telah mengetahui apa itu berpikir dan mengingat.

DAFTAR PUSTAKA
Fauzi, Ahmad.Drs. H. 1999. Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK. Bandung: Penerbit: Pustaka Setia.

Makalah psikologi perkembangan “remaja dan pacaran”

BAB I
PENDAHULUAN

1.Latar Belakang
Psikologi perkembangan merupakan cabang dari psikologi individu, baik sebelum maupun setelah kelahiran berikut kematangan perilaku J.P. Chaplin, 1979) psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari karakteristik setiap fase-fase perkembangan. Dalam hal ini penulis merasa tertarik untuk mengetahui karakteristik perkembangan fase remaja, hal-hal apa saja yang mempengaruhi psikologi perkembangan pada fase remaja, serta problematika pacaran pada masa remaja, maka dengan ini penulis mengambil judul REMAJA DAN PACARAN
untuk makalah ini. Pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mandiri yang diberikan oleh dosen mata kuliah psikologi perkembangan serta bertujuan untuk memenuhi atau menjawab rasa penasaran yang begitu kuat untuk mengetahui lebih dalam tentang remaja and pacaran.

2.Batasan Masalah
Psikologi perkembangan adalah ilmu yang luas yang saling berkesinambungan antara setiap fase-fase perkembangan agar masalah penelitian leih terfokus kepada tujuan penelitian dan tidak terlalu luas, maka dengan ini penulis membatasi masalah penelitian hanya pada ruang lingkup Remaja dan pacaran saja.

3.Identifikasi Masalah
Dalam hal ini penulis mengidentifikasi masalah penelitian sebagai berikut:
1.Pengertian psikologi perkembangan
2.Karakteristik perkembangan fase remaja
3.Pembahasan atau analisis data yang diperoleh tentang pacaran.

4.Metode Penelitian
Pada makalah ini penulis menggunakan metode deskripsi untuk menggambarkan masalah penelitian. Adapun azas teknik pengumpulan data yang
dilakukan penulis adalah sebagai berikut:
1.Penelitian lapangan, merupakan penelitian dengan cara melakukan penelitian langsung ke lapangan untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan dari objek penelitian, hal ini dilakukan dengan cara membagikan angket yang berisi pertanyaan-pertanyaan tentang masalah penelitian.
2.Penelitian kepustakaan atau library research yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data dan keterangan melalui buku-buku dan bahan lainnya yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti
3.Metode analisa kualitatif dan kuantitatif yaitu dengan cara menganalisa data dengan menggunakan uraian-uraian angka atau kalimat yang berdasarkan teori disertai dengan penjelasan dalam pemecahan masalah yang dapat melengkapi kesimpulan yang diharapkan.
BAB II
LANDASAN TEORI

1.Pengertian psikologi perkembangan dan makna remaja
a.Pengertian psikologi perkembangan
Psikologi perkembangan merupakan cabang dari psikologi yang mempelajari proses perkembangan individu, baik sebelum maupun setelah kelahiran berikut kematangan perilaku. ( J.P. Chaplin, 1979 ).
Psikologi perkembangan merupakan cabang psikologi yang mempelajari perubahan tingkah laku dan kemampuan sepanjang proses perkembangan individu dari mulai masa konsepsi sampai mati. ( Ross Vasta. dkk, 1992 ).
b.Makna remaja
Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak berakhir, ditandai oleh pertumbuhan fisik cepat. Pertumbuhan cepat yang terjadi pada tubuh remaja luar dan dalam itu, membawa akibat yang tidak sedikit terhadap sikap, perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja. (Darajat Zakiah, Remaja harapan dan tantangan: 8).
Hal inilah yang membawa para pakar pendidikan dan psikologi condong untuk menamakan tahap-tahap peralihan tersebut dalam kelompok tersendiri, yaitu remaja yang merupakan tahap peralihan dari kanak-kanak, serta persiapan untuk memasuki masa dewasa. Biasanya remaja belum dianggap sebagai anggota masyarakat yang perlu didengar dan dipertimbangkan pendapatnya serta dianggap bertanggung jawab atas dirinya. Terlebih dahulu mereka perlu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kapasitas tertentu, serta mempunyai kemantapan emosi, sosial dan kepribadian. Dalam pandangan Islam seorang manusia bila telah akhil baligh, maka telah bertanggung jawab atas setiap perbuatannya. Jika ia berbuat baik akan mendapat pahala dan apabila melakukan perbuatan tidak baik akan berdosa. Masa remaja merupakan masa dimana timbulnya berbagai kebutuhan dan emosi serta tumbuhnya kekuatan dan kemampuan fisik yang lebih jelas dan daya fakir menjadi matang. Namun masa remaja penuh dengan berbagai perasaan yang tidak menentu, cemas dan bimbang, dimana berkecambuk harapan dan tantangan, kesenangan dan kesengsaraan, semuanya harus dilalui dengan perjuangan yang berat, menuju hari depan dan dewasa yang matang.
Secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintelegensi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan uang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber. Termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok. Transformasi intelektual yang khas dari cara berfikir remaja ini memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan ini.
Fase remaja merupakan perkembangan individu yang sangat penting, yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu bereproduksi. Menurut Konpka (Pikunas, 1976) masa remaja ini meliputi (a) remaja awal: 12-15 tahun; (b) remaja madya: 15-18 tahun; (c) remaja akhir: 19-22 tahun. Sementara Salzman mengemukakan, bahwa remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence) terhadap orang tua ke arah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral.
Dalam budaya Amerika, periode remaja ini dipandang sebagai “Strom dan Stress”, frustasi dan penderitaan, konflik dan krisis penyesuaian, mimpi dan melamun tentang cinta, dan perasaan teralineasi (tersisihkan) dari kehidupan sosial budaya orang dewasa (Lustin Pikunas, 1976).

2.Ciri-Ciri Masa Remaja
1.Masa remaja sebagai periode peralihan, yaitu peralihan dari masa kanak-kanak ke peralihan masa dewasa.
2.Masa remaja sebagai periode perubahan.
3.Masa remaja sebagai usia bermasalah.
4.Masa remaja sebagai masa mencari identitas.
5.Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan, karena masalah penyesuaian diri dengan situasi dirinya yang baru, karena setiap perubahan membutuhkan penyesuaian diri.
6.Masa remaja sebagai ambang masa dewasa.
7.Ciri-ciri kejiwaan remaja, tidak stabil, keadaan emosinya goncang, mudah condong kepada ekstrim, sering terdorong, bersemangat, peka, mudah tersinggung, dan perhatiannya terpusat pada dirinya.

3.Alasan-Alasan Yang Umum Untuk Berpacaran Selama Masa Remaja
1.Hiburan
Apabila berkencan dimaksudkan untuk hiburan, remaja menginginkan agar pasanganya mempunyai berbagai keterampilan sosial yang dianggap penting oleh kelompok sebaya, yaitu sikap baik hati dan menyenangkan
2.Sosialisasi
Kalau anggota kelompok sebaya membagi diri dalam pasangan-pasangan kencan, maka laki-laki dan perempuan harus berkencan apabila masih ingin menjadi anggota kelompok dan mengikuti berbagai kegiatan sosial kelompok
3.Status
Berkencan bagi laki-laki dan perempuan, terutama dalam bentuk berpasangan tetap, memberikan status dalam kelompok sebaya, berkencan dalam kondisi demikian merupakan batu loncatan ke status yang lebih tinggi dalam kelompok sebaya.
4.Masa Pacaran
Dalam pola pacaran, berkencan berperan penting karena remaja jatuh cinta dan berharap serta merencanakan perkawinan, ia sendiri harus memikirkan Sungguh-sungguh masalah keserasian pasangan kencan sebagai teman hidup.
5.Pemilihan Teman Hidup
Banyak remaja yang bermaksud cepat menikahi memandang kencan sebagai cara percobaan atau usaha untuk mendapatkan teman hidup.

4.Kebutuhan Remaja
1.Kebutuhan akan pengendalian diri
2.Kebutuhan akan kebebasan
3.Kebutuhan akan rasa kekeluargaan
4.Kebutuhan akan penerimaan sosial
5.Kebutuhan akan penyesuaian diri
6.Kebutuhan akan agama dan nilai-nilai sosial

5.Berbagai konflik yang dialami oleh remaja
1.Konflik antara kebutuhan untuk mengendalikan diri dan kebutuhan untuk bebas dan merdeka
2.Konflik antara kebutuhan akan kebebasan dan kebutuhan akan ketergantungan kepada orang tua.
3.Konflik antara kebutuhan seks dan kebutuhan agama serta nilai sosial.
4.Konflik antara prinsip dan nilai-nilai yang dipelajari oleh remaja ketika ia kecil dulu dengan prinsip dan nilai yang dilakukan oleh orang dewasa di lingkungannya dalam kehidupan sehari-hari.
5.Konflik menghadapi masa depan.

6.Tugas-tugas perkembangan remaja
William Kay mengemukakan tugas-tugas perkembangan remaja itu sebagai berikut :
a.Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya.
b.Mencapai kemandirian emosional dari orangtua atau figur-figur yang mencapai otoritas.
c.Mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan belajar bergaul dengan teman sebaya atau orang lain, baik secara individu maupun kelompok.
d.Menemukan manusia model yang dijadikan identitasnya.
e.Menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri
f.Memperkuat self-control (kemampuan mengendalikan diri) atas dasar skala nilai. Prinsip-prinsip atau falsafah hidup (Weltanschauung).
g.Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri (sikap/perilaku) kenak-kanakan.

7.Masa-Masa Remaja
Masa remaja merupakan masa yang banyak menarik perhatian karena sifat-sifat khasnya dan peranannya yang menentukan dalam kehidupan individu dalam masyarakat orang dewasa. Masa ini dapat diperinci lagi menjadi beberapa masa, yaitu sebagai berikut.
1)Masa praremaja (remaja awal)
Masa praremaja biasanya berlangsung hanya dalam waktu relatif singkat. Masa ini ditandai oleh sifat-sifat negative pada si remaja sehingga seringkali masa ini disebut masa negative dengan gejalanya seperti tidak senang, kurang suka bekerja, pesimisitik, dan sebagainya. Secara garis besar sifat-sifat negative tersebut dapat diringkas, yaitu a) negative dalam prestasi, baik prestasi jasmani maupun prestasi mental; dan b) negative dalam sosial, baik dalam bentuk menarik diri dari masyarakat (negative positif) maupun dalam bentuk agresif terhadap masyarakat (negative aktif).
2)Masa remaja (remaja madya)
Pada masa ini mulai tumbuh dalam diri remaja dorong untuk hidup, kebutuhan akan adanya teman yang dapat memahami dan menolongnya, teman yang dapat turut merasakan suka dan dukanya. Pada masa ini, sebagai masa mencari sesuatu yang dapat dipandang menilai, pantas dijunjung tinggi dan di puja-puja sehingga masa ini disebut masa merindu puja (mendewa-dewakan), yaitu sebagai dewa remaja.
Proses terbentuknya pendirian atau pandangan hidup atau cita-cita hidup itu dapat di pandang sebagai penemuan nilai-nilai kehidupan. Proses penemuan nilai-nilai kehidupan tersebut adalah pertama, karena tiadanya pedoman, si remaja pedoman, si remaja merindukan sesuatu bayang dianggap bernilai, pantas dipuja walau pun sesuatu yang dipujanya belum mempunyai bentuk tertentu, bahkan seringkali remaja hanya mengetahui bahwa dia menginginkan sesuatu tetapi tidak mengetahui apa yang diinginkannya. Kedua objek pemujaan itu telah menjadi lebih jelas, yaitu pribadi-pribadi yang dipandang mendukung nilai-nilai tertentu (jadi personifikasi nilai-nilai). Pada anak laki-laki sering aktif meniru, sedangkan pada anak perempuan kebanyakan pasif, mengagumi, dan memujanya dalam khayalan.
3)Masa remaja akhir
Setelah remaja telah ditentukan pendirian hidupnya, pada dasarnya telah tercapailah masa remaja akhir dan telah terpenuhilah tugas-tugas perkembangan masa remaja, yaitu menemukan pendirian hidup masuklah individu ke dalam masa dewasa.
4)Masa Usia Kemahasiswaan
Masa usia mahasiswa sebenarnya berumur sekitar 18,0 sampai 25,0 tahun. Mereka dapat digolongkan pada masa remaja akhir sampai masa dewasa awal atau dewasa madya. Dilihat dari segi perkembangan, tugas perkembangan pada usia mahasiswa ini ialah pemantapan pendirian hidup.

8.Karakteristik Perkembangan Remaja
Seiring perkembangan dan pertumbuhan fisik, terjadi pula perubahan dan perkembangan di dalam tubuhnya. Kelenjar kanak-kanaknya telah berakhir, berganti dengan kelenjar endokrin yang memproduksi hormon, sehingga menggalakan Pertumbuhan organ seks yang tumbuh menuju kesempurnaan.
Organ seks menjadi besar disertai dengan kemampuannya untuk melaksanakan fungsinya. Pada remaja putri terjadi pembesaran payudara dan pembesaran pinggul. Di samping itu meningkat pula dengan cepat berat dan tinggi badan. Sedangkan pada remaja pria mulai kelihatan (membesar) jakun di lehernya dan suara menjadi sengau / besar. Di samping itu bahunya bertambah lebar dan mulai tumbuh bulu di ketika dan di atas bibir atasnya (kumis). Satu tanda Kematangan seksual dengan jelas pada remaja putri tetapi hanya diketahui oleh yang bersangkutan saja, yaitu terjadinya datang bulan / haid dan pada remaja putera mimpi basah. Tanda-tanda permulaan Kematangan seksual tidak berarti bahwa secara langsung terjadi kemampuan reproduksi.

9.Penyimpangan atau Kenakalan Remaja
1.Seks bebas di kalangan remaja, yang bisa menyebabkan terjangkitnya penyakit AIDS.
2.Kecanduan akan Narkoba yang menyebakan kematian dan AIDS
3.Kecanduan Alkohol / minuman keras.
4.Tawuran.
5.Sering berkunjung ke diskotik.
6.Menjajakan diri kepada pria hidung belang.

10.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Menyimpang Pada Remaja
1.Kelalaian orangtua dalam mendidik anak (memberikan ajaran dan bimbingan tentang nilai-nilai agama).
2.Sikap perilaku orangtua yang buruk terhadap anak.
3.Kehidupan ekonomi keluarga yang morat marit (miskin/fakir).
4.Diperjualbelikannya minuman keras/obat-obatan terlarang secara bebas.
5.Kehidupan moralitas masyarakat yang bobrok.
6.Beredarnya film-film atau bacaan-bacaan porno.
7.Perselisihan atau konflik orangtua (antar anggota keluarga).
8.Perceraian orangtua.
9.Penjualan alat-alat kontrasepsi yang kurang terkontrol.
10.Hidup menganggur.
11.Kurang dapat memanfaatkan waktu luang.
12.Pergaulan negatif (teman bergaul yang sikap dan perilakunya kurang memperhatikan nilai-nilai moral).
BAB IV
PENUTUP

A.Kesimpulan
Dalam ajaran Islam sesungguhnya istilah pacaran itu tidak ada, yang ada hanyalah istilah ta’aruf yaitu perkenalan antara calon istri dan calon suami. Tetapi mungkin disebabkan oleh semakin berkembangnya teknologi sehingga pergaulan semakin luas dan berkembang sehingga banyak orang yang setuju dengan pacaran. Hal ini juga mungkin disebabkan karena Indonesia bukan negara Islam, sehingga peraturan / hukum-hukum islam di Indonesia tidak begitu kuat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari tidak seperti di negara Islam lainnya seperti Arab Saudi. Serta tuntutan dan perkembangan zaman yang membuat sistem /cara didik dan pergaulan pada zaman “Siti Nurbaya” tidak bisa diterapkan lagi dalam kehidupan zaman sekarang.
Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis dengan cara membagikan angkat yang berisi pertanyaan-pertanyaan tentang masalah penelitian kepada 50 responden, dapat disimpulkan bahwa :
1.Sebagian besar responden menyatakan setuju hingga pacaran.
2.Sebagian besar responden menyatakan pernah mempunyai pacar atau berpacaran.
3.Sebagian besar responden menyatakan sedang tak mempunyai pacar saat ini (periode 2008).
4.Sebagian besar responden menyatakan pertama kali mempunyai pacar pada usia < 17 tahun. Hal ini sangat beresiko sekali, karena umur <17 tahun adalah umur yang sangat rentan dan labil terjerumus ke dalam hal-hal yang sifatnya negatif serta masih kurangnya daya kontrol untuk mengontrol diri, emosi nafsunya.

B.Saran
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan kepada 50 responden, penulis menyadari bahwa ada perbedaan prinsip hidup, penulis sangat menghargai kepada mahasiswa atau responden yang menyatakan tak setuju hingga pacaran dan yang menyatakan setuju hingga pacaran. Maka dengan ini, penulis ingin memberikan saran-saran kepada pembaca yang mungkin bisa bermanfaat, diantaranya:
1.Bagi responden mahasiswa yang menyatakan tak setuju hingga pacaran, dapat melakukan ta’aruf kepada calon suami atau istri.
2.Bagi responden atau mahasiswa yang menyatakan setuju hingga pacaran diharapkan agar bisa menjaga kelancaran kuliahnya, jadikan pacaran sebagai motivasi atau penyemangat untuk berprestasi dalam bidang pendidikan.
3.Jadikan agama dan keimanan sebagai alat untuk membatasi atau mengontrol diri dalam berpacaran agar tidak terjerumus dalam pergaulan bebas atau seks bebas.
4.Bagi mempunyai pacar diharapkan untuk bisa menjaga diri, kehormatan kesucian dan nama baik dirinya sendiri, keluarga, agama, almamater dan daerah asalnya serta bangsanya.





DAFTAR PUSTAKA

Darajat Zakiah, 1995, Remaja Harapan dan Tantangan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.
B. Hur lock Elizabeth, 1999, Psikologis Perkembangan, Jakarta: Erlangga
Syamsu Yusuf, 2004, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Makalah Profesi dan etika guru

A. Pendahuluan
Ada beberapa istilah yang harus diterangkan dahulu maksudnya sebelum kita melanjutkan pembicaraan kita mengenai tajuk kertas ini. Pertama sekali adalah keguruan. Maksudnya pekerjaan sebagai guru. Jadi ia adalah salah satu kerja (profesion) sebagaimana halnya dengan kerja-kerja yang lain dalam masyarakat seperti akuntan, Dokter, konseling, kejuruteraan, perniagaan dan lain-lain sebagainya. Sebagai sebuah kerja keguruan, ia tunduk kepada pelbagai syarat yang dikenakan kepada kerja-kerja yang lain seperti kode etika dan sebagainya. Kedua kode etika adalah aturan-aturan yang disepakati bersama oleh ahli-ahli yang mengamalkan kerja tertentu seperti akuntan, Dokter, konseling dan sebagainya. Ketiga, nilai-nilai yang menyertai setiap kerja itu seperti memberi perkhidmatan yang sebaik-baiknya kepada pelanggan dan sebagainya. Ini semua adalah nilai. Keempat pengamalan, memang semua kerja mementingkan amalan. Sebab setiap pemegang kerja itu dipanggil pengamal (practitioner) dalam bidang tertentu seperti akuntan, Dokter, konseling dan lain-lain. Tetapi sebelum sampai kepada amalan, nilai-nilai kerja itu harus dihayati (intemalized) lebih dahulu, ini yang membawa kita kepada aspek terakhir pada makalah, yaitu penghayatan. Kelima penghayatan, yaitu penghayatan nilai-nilai. Kalau ilmu seperti matematika, pengobatan dan lain-lain dipelajari, maka nilai-nilai seperti keikhlasan, kejujuran, dedikasi dan lain-lain itu dihayati. Kalau mau dipertegaskan lagi makalah ini sebenarnya diharapkan menjawab persoalan bagaimana cara membimbing guru-guru pendidikan Islam agar menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam etika keguruan itu. Oleh yang demikian marilah kita membicarakan dahulu di bawah ini apakah etika keguruan itu.
B. Maksud Mengajar
Mengajar sebenarnya bermaksud menyampaikan ilmu pengetahuan maklumat, memberi galakan, membimbing, memberi dan meningkatkan kemahiran, meningkatkan keyakinan, menanam nilai-nilai murni dan luhur kepada para pelajar yang belum mengetahui. Ia bukan sekadar menyampaikan maklumat atau bahan pengajaran dalam sebuah kelas. lebih mendukacitakan lagi jika proses mengajar dianggap sekadar menyampai maklumat dan menghabiskan sukatan pelajaran yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Proses mengajar mempunyai konsep yang sangat luas, ia bertujuan untuk menjadikan seseorang individu itu lebih bertanggungjawab dan mampu menjana fikirannya untuk terus bahagia dan berjaya mengatasi cabaran yang akan dihadapai. Ini hanya akan dicapai sekiranya proses pengajaran dan pembelajaran yang dilakukan mencapai tahap pengajaran berkesan.
C. Siapa itu Guru?
Orang yang mengajar dikenali sebagai guru. Perkataan guru adalah hasil gabungan dua suku kata iaitu `Gur’ dan `Ru’.
Dalam bahasa jawa, Gu diambil daripada perkataan gugu bermakna boleh dipercayai manakala Ru diambil daripada perkataan tiru yang bermaksud boleh diteladani atau dicontohi. Oleh itu, GURU bermaksud seorang yang boleh ditiru perkataannya, perbuatannya, tingkah lakunya, pakaiannya, amalannya dan boleh dipercayai bermaksud keamanahan yang dipertanggungjawabkan kepadanya untuk dilakukan dengan jujur.
D. Peranan dan Tugas Mengajar
Setiap guru seharusnya mengetahui peranan dan tugas mereka secara terperinci jika mereka ingin berusaha melakukan dan menghasilkan pengajaran yang berkesan.
Di antara tugas seorang guru ialah
1. menyampaikan ilmu pengetahuan
2. menyampaikan maklumat
3. menyampai dan
4. memberi kemahiran serta
5. memupuk nilai-nilai murni dan luhur sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Manakala peranan guru pula ialah sebagai pembimbing, pendidik, pembaharu, contoh dan teladan, pencari dan penyelidik, penasihat dan kaunselor, pencipta dan pereka, pencerita dan pelakon, penggalak dan perangsang, pengilham cita-cita, pengurus dan perancang, penilai, pemerhati, rakan dan kawan pelajar, doktor dan pengubat, penguat kuasa, pemberi petunjuk orang yang berwibawa dan sebagainya.
Jelas menunjukkan bahawa menjadi seorang guru merupakan satu tugas dan peranan yang agak berat. Sebenarnya, jika anda anggap tugas itu berat, maka beratlah ia. Jika anda terima ia sebagai satu cabaran dengan cara yang positif, maka mudahlah ia.
E. Pengertian Profesi
Profesi berasal dari bahasa latin “Proffesio” yang mempunyai dua pengertian yaitu janji/ikrar dan pekerjaan. Bila artinya dibuat dalam pengertian yang lebih luas menjadi: kegiatan “apa saja” dan “siapa saja” untuk memperoleh nafkah yang dilakukan dengan suatu keah-lian tertentu. Sedangkan dalam arti sempit profesi berarti kegiatan yang dijalankan berdasarkan keahlian tertentu dan sekaligus dituntut daripadanya pelaksanaan norma-norma sosial dengan baik.
Jabatan Guru Sebagai Suatu Profesi. Jabatan guru dapat dikatakan sebuah profesi karena menjadi seorang guru dituntut suatu keahlian tertentu (mengajar, mengelola kelas, merancang pengajaran) dan dari pekerjaan ini seseorang dapat memiliki nafkah bagi kehidupan selanjutnya. Hal ini berlaku sama pada pekerjaan lain. Namun dalam perjalanan selanjutnya, mengapa profesi guru menjadi berbeda dari pekerjaan lain. Menurut artikel “The Limit of Teaching Proffesion,” profesi guru termasuk ke dalam profesi khusus selain dokter, penasihat hukum, pastur. Kekhususannya adalah bahwa hakekatnya terjadi dalam suatu bentuk pelayanan manusia atau masyarakat. Orang yang menjalankan profesi ini hendaknya menyadari bahwa ia hidup dari padanya, itu haknya; ia dan keluarganya harus hidup akan tetapi hakikat profesinya menuntut agar bukan nafkah hidup itulah yang menjadi motivasi utamanya, melainkan kesediaannya untuk melayani sesama.
Di lain pihak profesi guru juga disebut sebagai profesi yang luhur. Dalam hal ini, perlu disadari bahwa seorang guru dalam melaksanakan profesinya dituntut adanya budi luhur dan akhlak yang tinggi. Mereka (guru) dalam keadaan darurat dianggap wajib juga membantu tanpa imbalan yang cocok. Atau dengan kata lain hakikat profesi luhur adalah pengabdian kemanusiaan.
F. Dua Prinsip Etika Profesi Luhur
Tuntutan dasar etika profesi luhur yang pertama ialah agar profesi itu dijalankan tanpa pamrih. Dr. B. Kieser menuliskan: “Seluruh ilmu dan usahanya hanya demi kebaikan pasien/klien. Menurut keyakinan orang dan menurut aturan-aturan kelompok (profesi luhur), para profesional wajib membaktikan keahlinan mereka semata-mata kepada kepentingan yang mereka layani, tanpa menghitung untung ruginya sendiri. Sebaliknya, dalam semua etika profesi, cacat jiwa pokok dari seorang profe-sional ialah bahwa ia mengutamakan kepentingannya sendiri di atas kepentingan klien.”
Yang kedua adalah bahwa para pelaksana profesi luhur ini harus memiliki pegangan atau pedoman yang ditaati dan diperlukan oleh para anggota profesi, agar kepercayaan para klien tidak disalahgunakan. Selanjutnya hal ini kita kenal sebagai kode etik. Mengingat fungsi dari kode etik itu, maka profesi luhur menuntut seseorang untuk menjalankan tugasnya dalam keadaan apapun tetap menjunjung tinggi tuntutan profesinya.
Kesimpulannya adalah jabatan guru juga merupakan sebuah profesi. Namun demikian profesi ini tidak sama seperti profesi-profesi pada umumnya. Bahkan boleh dikatakan bahwa profesi guru adalah profesi khusus luhur. Mereka yang memilih profesi ini wajib menginsafi dan menyadari bahwa daya dorong dalam bekerja adalah keinginan untuk mengabdi kepada sesama serta menjalankan dan menjunjung tinggi kode etik yang telah diikrarkannya, bukan semata-mata segi materinya belaka.
G. Tuntutan Seorang Guru
Di atas telah dijelaskan tentang mengapa profesi guru sebagai profesi khusus dan luhur. Berikut akan diuraikan tentang dua tuntutan yang harus dipilih dan dilaksanakan guru dalam upaya mendewasakan anak didik. Tuntutan itu adalah:
1. Mengembangkan visi anak didik tentang apa yang baik dan mengembangkan self esteem anak didik.
2. Mengembangkan potensi umum sehingga dapat bertingkah laku secara kritis terhadap pilihan-pilihan. Secara konkrit anak didik mampu mengambil keputusan untuk menentukan mana yang baik atau tidak baik.
Apabila seorang guru dalam kehidupan pekerjaannya menjadikan pokok satu sebagai tuntutan yang dipenuhi maka yang terjadi pada anak didik adalah suatu pengembangan konsep manusia terhadap apa yang baik dan bersifat eks-klusif. Maksudnya adalah bahwa konsep manusia terhadap apa yang baik hanya dikembangkan dari sudut pandang yang sudah ada pada diri siswa sehingga tak terakomodir konsep baik secara universal. Dalam hal ini, anak didik tidak diajarkan bahwa untuk mengerti akan apa yang baik tidak hanya bertitik tolak pada diri siswa sendiri tetapi perlu mengerti konsep ini dari orang lain atau lingkungan sehingga menutup kemung-kinan akan timbulnya visi bersama (kelompok) akan hal yang baik.
Berbeda dengan tujuan yang pertama, tujuan yang kedua lebih menekankan akan kemampuan dan peranan lingkungan dalam menentukan apa yang baik tidak hanya berdasarkan pada diri namun juga pada orang lain berikut akibatnya. Di lain pihak guru mempersiapkan anak didik untuk melaksanakan kebebasannya dalam mengembangkan visi apa yang baik secara konkrit dengan penuh rasa tanggung jawab di tengah kehidupan bermasyarakat sehingga pada akhirnya akan terbentuklah dalam diri anak sense of justice dan sense of good. Komitmen guru dalam mengajar guna pencapaian tujuan mengajar yang kedua lebih lanjut diuraikan bahwa guru harus memiliki loyalitas terhadap apa yang ditentukan oleh lembaga (sekolah). Sekolah selanjutnya akan mengatur guru, KBM dan siswa supaya mengalami proses belajar-mengajar yang berlangsung dengan baik dan supaya tidak terjadi penyalahgunaan jabatan. Namun demikian, sekolah juga perlu memberikan kebebasan bagi guru untuk mengembangkan, memvariasikan, kreativitas dalam merencanakan, membuat dan mengevaluasi sesuatu proses yang baik (guru mempunyai otonomi). Hal ini menjadi perlu bagi seorang yang profesional dalam pekerjaannya.
Masyarakat umum juga dapat membantu guru dalam proses kegiatan belajar mengajar. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat ikut bertanggung jawab terhadap `proses’ anak didik. Ma-syarakat dapat mengajukan saran, kritik bagi lembaga (sekolah). Lembaga (sekolah) boleh saja mempertimbangkan atau menggunakan masukan dari masyarakat untuk mengembangkan pendidikan tetapi lembaga (sekolah) atau guru tidak boleh bertindak sesuai dengan kehendak masyarakat karena hal ini menyebabkan hilangnya profesionalitas guru dan otonomi lembaga (sekolah) atau guru.
Dengan demikian, pemahaman akan visi pekerjaan sesuai dengan etika moral profesi perlu dipahami agar tuntutan yang diberikan kepada guru bukan dianggap sebagai beban melainkan visi yang akan dicapai guru melalui pro-ses belajar mengajar. Guru perlu diberikan otonomi untuk mengembangkan dan mencapai tuntutan tersebut.
H. Etika Keguruan
Sebenarnya kode etika pada suatu kerja adalah sifat-sifat atau ciri-ciri vokasional, ilmiah dan aqidah yang harus dimiliki oleh seorang pengamal untuk sukses dalam kerjanya. Lebih ketara lagi ciri-ciri ini jelas pada kerja keguruan. Dari segi pandangan Islam, maka agar seorang muslim itu berhasil menjalankan tugas yang dipikulkan kepadanya oleh Allah S.W.T pertama sekali dalam masyarakat Islam dan seterusnya di dalam masyarakat antarabangsa maka haruslah guru itu memiliki sifat-sifat yang berikut:
1. Bahwa tujuan, tingkah laku dan pemikirannya mendapat bimbingan Tuhan (Rabbani), seperti disebutkan oleh surah Al-imran, ayat 79, “Tetapi jadilah kamu Rabbani (mendapat bimbingan Tuhan)”.
2. Bahwa ia mempunyai persiapan ilmiah, vokasional dan budaya menerusi ilmu-ilmu pengkhususannya seperti geografi, ilmu-ilmu keIslaman dan kebudayaan dunia dalam bidang pengkhususannya.
3. Bahwa ia ikhlas dalam kerja-kerja kependidikan dan risalah Islamnya dengan tujuan mencari keredhaan Allah S.W.T dan mencari kebenaran serta melaksanakannya.
4. Memiliki kebolehan untuk mendekatkan maklumat-maklumat kepada pemikiran murid-murid dan ia bersabar untuk menghadapi masalah yang timbul.
5. Bahwa ia benar dalam hal yang didakwahkannya dan tanda kebenaran itu ialah tingkah lakunya sendiri, supaya dapat mempengaruhi jiwa murid-muridnya dan anggota-anggota masyarakat lainnya. Seperti makna sebuah hadith Nabi S.A.W, “Iman itu bukanlah berharap dan berhias tetapi meyakinkan dengan hati dan membuktikan dengan amal”.
6. Bahwa ia fleksibel dalam mempelbagaikan kaedah-kaedah pengajaran dengan menggunakan kaedah yang sesuai bagi suasana tertentu. Ini memerlukan bahawa guru dipersiapkan dari segi professional dan psikologikal yang baik.
7. Bahwa ia memiliki sahsiah yang kuat dan sanggup membimbing murid-murid ke arah yang dikehendaki.
8. Bahwa ia sedar akan pengaruh-pengaruh dan trend-trend global yang dapat mempengaruhi generasi dan segi aqidah dan pemikiran mereka.
9. Bahawa ia bersifat adil terhadap murid-muridnya, tidak pilih kasih, ia mengutamakan yang benar.
Seperti makna firman Allah S.W.T dalam surah al Maidah ayat ke 8,
“Janganlah kamu terpengaruh oleh keadaan suatu kaum sehinga kamu tidak adil. Berbuat adillah, sebab itulah yang lebih dekat kepada taqwa. Bertaqwalah kepada Allah, sebab Allah Maha Mengetahui apa yang kamu buat”.
Inilah sifat-sifat terpenting yang patut dipunyai oleh seorang guru Muslim di atas mana proses penyediaan guru-guru itu harus dibina.
Buku-buku pendidikan telah juga memberikan ciri-ciri umum seorang guru, ciri-ciri itu tidak terkeluar dan sifat-sifat dan aspek-aspek berikut:
1. Tahap pencapaian ilmiah
2. Pengetahuan umum dan keluasan bacaan
3. Kecerdasan dan kecepatan berfikir
4. Keseimbangan jiwa dan kestabilan emosi
5. Optimisme dan entusiasme dalam pekerjaan
6. Kekuatan sahsiah
7. Memelihara penampilan(mazhar)
8. Positif dan semangat optimisme
9. Yakin bahawa ia mempunyai risalah(message)
Dari uraian di atas jelaslah bahawa seorang guru Muslim memiliki peranan bukan sahaja di dalam sekolah, tetapi juga diluarnya. Oleh yang demikian menyiapkannya juga harus untuk sekolah dan untuk luar sekolah. Maka haruslah penyiapan ini juga dipikul bersama oleh institusi-institusi penyiapan guru seperti fakulti-fakulti pendidikan dan maktab-maktab perguruan bersama-sama dengan masyarakat Islam sendiri, sehingga guru-guru yang dihasilkannya adalah guru yang soleh, membawa perbaikan (muslih), memberi dan mendapat petunjuk untuk menyiarkan risalah pendidikan Islam. Petunjuk (hidayah) Islam di dalam dan di luar adalah sebab tujuan pendidikan dalam Islam untuk membentuk generasi-generasi umat Islam yang memahami dan menyedari risalahnya dalam kehidupan dan melaksanakan risalah ini dengan sungguh-sungguh dan amanah dan juga menyedari bahawa mereka mempunyai kewajipan kepada Allah S.W.T dan mereka harus melaksanakan tugas itu dengan sungguh-sungguh dan ikhlas. Begitu juga mereka sedar bahawa mereka mempunyai tanggung jawab, maka mereka menghadapinya dengan sabar, hati-hati dan penuh prihatin. Begitu juga mereka sedar bahawa mereka mempunyai tanggungjawab terhadap masyarakatnya, maka mereka melaksanakannya dengan penuh tanggungjawab, amanah, professionalisme dan kecekalan. Dengan demikian umat Islam akan mencapai cita-citanya dalam kehidupan dengan penuh kemuliaan, kekuatan, ketenteraman dan kebanggaan. Sebab Allah S.W.T telah mewajibkan kepada diriNya sendiri dalam surah al-Nahl ayat ke 97,
“la tidak akan mensia-siakan pahala orang-orang yang berbuat baik”
Setelah berpanjang lebar tentang kode etika keguruan dalam pandangan pendidikan Islam, marilah kita tutup bagian ini dengan suatu misal atau model yang menjamin bahwa bila dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh ketekunan maka masyarakat akan hidup bahagia dan individu-individu dan kumpulan-kumpulan akan hidup dengan tenteram. Model ini tergambar dalam firman Allah S.W.T yang bermaksud,
“Katakanlah (wahai Muhammad) marilah aku bacakan apa yang dihararamkan kepadamu oleh Tuhanmu. Hendaklah berbuat baik kepada kedua ibu bapa. Janganlah kamu membunuh anak-anakmu kerana takut kemiskinan, sebab Kamilah yang memberi mereka dan kamu rezeki. Jangan kamu mendekati perkara-perkara buruk yang terang-terangan dan yang tersembunyi. Jangan kamu membunuh diri yang dihararamkan kamu membunuhnya kecuali dengan kebenaran, itulah wasiat Allah kepadamu, mudah-mudahan kamu berakal. Jangan kamu mendekati harta anak yatim kecuali untuk yang lebih baik sehinggalah ia dewasa. Sempumakanlah ukuran dan timbangan dengan adil. Allah tidak memberi beban seseorang kecuali yang disanggupinya. Jika kamu berkata, maka berbuat adillah walaupun kepada sanak saudara. Sempurnakanlah janjimu kepada Allah. Itulah pesanNya bagimu, mudah-mudahan kamu ingat. Sungguh inilah jalanKu yang lurus, maka ikutilah olehmu, jangan kamu ikut jalan-jalan lain nescaya kamu bercerai-berai dari jalanNya. Itulah pesanNya bagimu, mudah-mudahan kamu bertaqwa ”
Ayat-ayat ini mengandungi sepuluh perakuan (wasaya) penting dalam kehidupan individu dan kumpulan-kumpulan Islam dan kemanusiaan. Ia merupakan perlembagaan Ilahi dalam pendidikan dan bimbingan akhlak dan sosial yang intinya adalah sebagai berikut;
1. Jangan mensyarikatkan Allah S.W.T.
2. Berbuat baik kepada ibu bapa.
3. Jangan membunuh anak kerana takut miskin.
4. Jangan mendekati perkara-perkara buruk.
5. Jangan membunuh manusia.
6. Jangan mendekati harta anak-anak yatim.
7. Sempurnakanlah timbangan dan ukuran dengan adil.
8. Tidak boleh dibebani seseorang lebih dari kemampuannya.
9. Berbuat adillah dalam berkata-kata walaupun pada kaum kerabat.
10. Sempumakanlah janjimu dengan Allah S.W.T.
Selepas uraian tentang kode etika dalam keguruan, marilah kita bahas tentang penghayatan dan pengamalan nilai. Masalah penghayatan (internalization) sesuatu perkara berlaku bukan hanya pada pendidikan agama saja tetapi pada aspek pendidikan, pendidikan pra-sekolah, pendidikan sekolah, pengajian tinggi, pendidikan latihan perguruan dan lain-lain. Sebab adalah terlalu dangkal kalau pendidikan itu hanya ditujukan untuk memperoleh ilmu (knowledge) dan ketrampilan (skill) saja tetapi yang lebih penting dari itu semua adalah penanaman sikap (attitude) yang positif pada diri pendidik terhadap hal yang menjadi tumpuan pendidikan. Pendidikan ilmu (knowledge) terutama yang berkenaan dengan fakta-fakta dan ketrampilan tidaklah terlalu rumit sebab tidak terlalu banyak melibatkan nilai-nilai. Tetapi sebaliknya pendidikan sikap di mana terlibat nilai-nilai yang biasanya berasal dari cara-cara pemasyarakatan yang diperoleh oleh kanak-kanak semasa kecil, apa lagi kalau objek pendidikan itu memang adalah nilai-nilai yang tidak dapat dinilai dengan betul atau salah tetapi dengan baik atau buruk, percaya atau tidak percaya, suka atau tidak suka dan lain-lain lagi. Dalam keadaan terakhir ini pendidikan tidak semudah dengan pendidikan fakta atau ketrampilan.
Pendidikan nilai-nilai, yang selanjutnya kalau diulang-ulang sebab diteguhkan akan berubah menjadi penghayatan nilai-nilai, mempunyai syarat-syarat yang berlainan dengan pendidikan fakta-fakta ketrampilan.
1. Pertama sekali nilai itu mestilah mempunyai model. Yang berarti tempat di mana nilai itu melekat supaya dapat disaksikan bagaimana nilai-nilai itu beroperasi. Ambillah suatu nilai seperti kejujuran. Nilai ini bersifat mujarrad(abstract), jadi tidak dapat diraba dengan pancaindera. Tidak dapat dilihat dengan mata, rupanya bagaimana. Tidak dapat dicium baunya, harum atau busuk dan sebagainya. Pendeknya, supaya nilai yang bernama kejujuran itu dapat disaksikan beroperasi maka ia harus melekat pada suatu model, seorang guru, seorang bapa, seorang kawan dan lain-lain. Kalau model tadi dapat mencerminkan nilai-nilai yang disebut, kejujuran itu pada dirinya, maka kejujuran itu boleh menjadi perangsang. Itu syarat pertama. Syarat yang kedua kalau kejujuran itu dapat menimbulkan peneguhan pada diri murid-murid maka ia akan dipelajari, ertinya diulang-ulang dan kemudian berubah menjadi penghayatan. Syarat kedua agak rumit sedikit, sebab selain daripada nilai kejujuran itu sendiri, juga model tempat kejujuran itu melekat diperlukan berfungsi bersama untuk menimbulkan peneguhan itu. Dengan kata-kata yang lebih sederhana, seorang guru atau ibu yang mengajarkan kejujuran kepada murid atau anaknya, haruslah ia sendiri lebih dahulu bersifat jujur, kalau tidak maka terjadi pertikaian antara perkataan dan perbuatan. Dalam keadaan terakhir ini, guru sebagai perangsang(stumulus) telah gagal sebagai model, sebab ia tidak akan memancing tingkahlaku kejujuran dan murid-muridnya.
2. Oleh sebab model tempat melekatnya nilai-nilai yang ingin diajarkan kepada murid-murid adalah manusia biasa, dengan pengertian dia mempunyai kekurangan-kekurangan, maka nilai-nilai yang akan diajarkan itu boleh menurun nilainya disebabkan oleh kekurangan-kekurangan yang ada pada model itu, malah ada kemungkinan anak didik mempelajari nilai sebaliknya. Jadi daripada jujur dia menjadi tidak jujur, jika pada model itu timbul sifat-sifat atau tingkah laku yang tidak meneguhkan kejujuran itu. Sebagai misal, ada murid-murid yang benci kepada matematik sebab ia tidak suka kepada guru yang mengajarkan matematik, kalau sikap ini dikembangkan, murid-murid boleh benci kepada semua yang berkaitan dengan matematik, seperti pelajaran sains misalnya. Oleh sebab itu dikehendaki dari guru-guru, terutama pada tingkat-tingkat sekolah dasar agar mereka melambangkan ciri kesempumaan dari segi jasmaniah dan rohaniah. Dengan kata lain syarat penghayatan nilai-nilai sangat bergantung pada peribadi model yang membawa nilai-nilai itu.
3. Semua guru, terlepas daripada mata pelajaran yang diajarkannya, adalah pengajar nilai-nilai tertentu. Sebab guru-guru sama ada sedar atau tidak, mempengaruhi murid-muridnya melalui kaedah-kaedah dan strategi-strategi pengajaran yang digunakan yang sebahagian besarnya termasuk dalam kawasan “kurikulum informal”. Sebagaimana setiap guru, apapun yang diajarkannya, adalah seorang guru bahasa maka setiap guru juga adalah seorang pengajar nilai-nilai. Bila seorang guru memuji seorang murid, maka ia meneguhkan sesuatu tingkahlaku. Bila guru menghukum seorang murid, maka ia menghukum tingkahlaku tertentu. Malah bila guru tidak mengacuhkan seorang murid, maka murid tersebut mungkin merasa bahawa guru tidak menyukai perbuatannya. Ini semua adalah nilai-nilai. Begitu juga dengan pendidikan agama, sebahagian, kalau tidak sebahagian besar, nilai-nilai agama itu sendiri tidak diajarkan oleh guru-guru agama di sekolah, tetapi oleh guru-guru matematik, geografi, sejarah dan lain-lain. Kalau mereka mencerminkan nilai-nilai Islam dalam cara berpakaian, bersopan-santun, beribadat atau dengan kata lain kalau amal mereka mencerminkan nilai-nilai Islam. Malah sebaliknya, mungkin ada setengah-setengah guru-guru agama sendiri tidak menjadi perangsang nilai-nilai Islam itu, kalau tidak menjadi perangsang negatif yang boleh menimbulkan sifat anti-agama pada diri murid-murid, iaitu jika perangai mereka sehari-hari bertentangan dengan nilai-nilai Islam, walaupun mereka sendiri mengajarkan agama. Jadi jangankan menghayati agama, sebaliknya murid-murid semakin menjauhi kalau tidak membenci segala yang berbau agama.
Inilah sebahagian syarat-syarat yang perlu wujud untuk penghayatan nilai-nilai. Oleh sebab pendidikan agama merupakan pendidikan ke arah nilai-nilai agama, maka orientasi pendidikan agama haruslah ditinjau kembali sesuai dengan tujuan tersebut. Pendidikan agama sekadar untuk lulus ujian mata pelajaran agama sudah lewat masanya. Orientasi sekarang adalah ke arah kemasyarakatan yang bermotivasi dan berdisiplin. Ini tidaklah mengesampingkan bahawa dalam pelajaran agama itu sendiri ada perkara-perkara yang bersifat fakta-fakta dan ketrampilan-ketrampilan. Maka pada yang terakhir ini juga berlaku kaedah pengajaran fakta-fakta dan ketrampilan. Tetapi memperlakukan semua pendidikan agama sebagai pengajaran fakta-fakta dan ketrampilan-ketrampilan saja adalah suatu kesalahan besar yang perlu diperbaiki dengan segera. Sebab kalau tidak maka suatu masa nanti akan timbul dalam masyarakat Islam sendiri ahli-ahli agama yang tidak menghayati ajaran agama atau orang-orang orientalis yang berdiam di negeri-negeri Timur.
Pengamalan nilai-nilai adalah kelanjutan daripada penghayatan nilai. Nilai-nilai yang sungguh-sungguh dihayati akan tercermin dalam amalan sehari-sehari. Sebab penghayatan itu pun berperingkat-peringkat, mulai dari peringkat yang paling rendah sampai kepada peringkat tinggi, seperti tergambar pada gambarajah di bawah,
Kelima : Peringkat Perwatakan
Keempat : Peringkat Organisasi
Ketiga : Peringkat Penilaian
Kedua : Peringkat Gerak balas
Pertama : Peringkat Penerimaan
Bila nilai-nilai itu dihayati sampai ke peringkat perwatakan maka ia sebati dengan sahsiah dan sukar untuk diubah dan sentiasa terpancar dalam amalan sehari-hari.Kesimpulan. Oleh sebab kode etika itu adalah nilai-nilai maka ia perlu dihayati dan diamalkan, bukan sekadar diketahui dan dihafalkan. Di situ juga telah dinyatakan perakuan yang sepuluh (al-Wisaya al-’Asyarah) tentang segala kerjanya seorang muslim yang tercantum dalam al-Quran (al-An’am: 151-153).
I. Penutup
Seandainya kita coba mengkaji lebih dalam akan arti/makna dari lagu tersebut, maka tampaklah sebuah gambaran keseharian seorang guru, dengan loyalitasnya, ketekunan serta pengor-banan dalam mendidik siswa untuk mencapai suatu proses perkembangan yang optimal. Namun, dibalik itu semua juga tersirat suatu dilema profesi ini dimana seringkali guru tidak menerima penghargaan ataupun perlakuan yang sebanding dengan apa yang telah dikorbankan. Sebagai seorang yang berprofesi sebagai seorang guru apakah yang harus kita lakukan? Bagaimana pula sebaiknya kita menyikapi hal ini dengan lebih arif dan bijaksana? Karangan ini hanyalah sebuah tulisan dari pemikiran dan diskusi yang teoritis ini, namun de-ngan yang teoritis ini, penulis bisa berharap dapat memberikan masukan untuk merefleksikan kembali pilihan kita.
Jabatan guru merupakan jabatan Profesional, dan sebagai jabatan profesional, pemegangnya harus memenuhi kualifikasi tertentu. Kriteria jabatan profesional antara lain bahwa jabatan itu melibatkan kegiatan intelektual, mempunyai batang tubuh ilmu yang khusus, memerlukan persiapan lama untuk memangkunya, memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan, merupakan karier hidup dan keanggotaan yang permanen, menentukan baku perilakunya, mementingkan layanan, mempunyai organisasi profesional, dan mempunyai kode etik yang di taati oleh anggotanya.
Jabatan guru belum dapat memenuhi secara maksimal persyaratan itu, namun perkembangannya di tanah air menunjukkan arah untuk terpenuhinya persyaratan tersebut. Usaha untuk ini sangat tergantung kepada niat, perilaku dan komitmen dari guru sendiri dan organisasi yang berhubungan dengan itu, selain juga, oleh kebijaksanaan pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Soetjipto, Raflis Kosasi, 1999, “Profesi Keguruan”, Cetakan ke I, Jakarta, Penerbit Rineka Cipta
Suharsimi Arikunto, 1980 “Pengelolaan Kelas dan Siswa”, Cetakan ke II, Jakarta : Penerbit Rajawali.
Suharsimi Arikunto, 1993, “Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi”, Cetakan ke II, Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, 1997, “Strategi Belajar Mengajar”, Cetakan ke I, Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.
Syaiful Bahri Djamarah, 2000, “Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif”, Cetakan ke I, Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.