Oleh : Fadlolan Musyaffa’, MA.
Mukadimah
Dalam perkembangan kehidupan manusia,
selalu akan mengalir bersama perubahan zaman dan alamnya. Dari sini akan ada ketimpangan pola hidup dan aturan kehidupan yang tidak selaras dengan hukum taklif Tuhan yang di bebankan kepada manusia.Hal ini, fikih sebagai aturan interaksi manusia sudah sewajarnya membutuhkan akselerasi untuk menghadapi problematika yang selalu berkembang seiring perkembangan zamannya.
Para Imam Mujtahid telah menempatkan Ijtihad fikihnya, dengan secara sempurna dan cukup sebagai representatisi dari segala pola hidup pada setiap zamannya. Hanya saja kita perlu mengakselerasikan masalah klasik pada masalah kontemporer, sehingga fikih tetap sebagai juklak kehidupan bagi setiap manusia.
Sampai sekarang, Al-Imam al-Madzahib al-Arba’ah, telah teruji sekitar 1000 tahun silam, dan ternyata hasil ijtihad yang dituangkan dalam karya mereka, masih relevan dan bahkan sebagi rujukan dalam setiap praktik hukum yang terjadi di masyarakat. Mereka di sahkan dan di proklamirkan sebagai Madzahib oleh para muridnya dan pengikut madzhabnya stelah rumusan fikihnya di kaji dan di uji coba kelayakannya, sekitar 400 tahun setelah mereka wafat. Kealiman dan keihlasan mereka terpancarkan dari barokah ilmunya yang monumental bagi tatanan kehidupan umat Islam seluruh dunia.
Sampai sekarang kami belum pantas dan belum berani mengkritik hasil ijtihad Imam Madzhab Fikih yang empat. Bukan berarti tidak terbuka, atau tidak objektif dalam “kekurangan” madzhab kita, melainkan menjaga moralitas intelektual yang belum sepadan, sehingga ada semacam akhlak seorang pengikut kepada al-Imam Madzhabnya. Mengingat kemampuan kita dalam memahami hukum dari sumbernya, sama sekali tidak ada setites air dari lautan ilmu yang dimiliki oleh para Imam Madzahib al-Arbaah. Maksimal yang bisa kita kerjakan adalah mereaktualisasikan istilah klasik pada istilah kekinian, sehingga fikih tidak terkesan jumud dan ketinggalan zaman.
Problematika kehidupan era modern akibat globalisasi ilmu dan teknologi
Di masa modern sekarang agama adalah kebutuhan pokok yang tidak bisa di lupakan, bahkan tidak sesaat-pun manusia mampu meninggalkan agamanya, yang mana agama adalah paradigma hidup dan penuntun kehidupan, sejak lahir sampai mati, bahkan sejak mulai bangun tidur sampai kembali tidur, agama selalu akan memberikan bimbingan. Semata, demi menuju hidup sejahtera dunia dan akhirat. Kebutuhan manusia terhadap agama disini tidak sekedar sebagaimana butuhnya materi, melainkan lebih dari itu, karena sepiritual adalah ruh dari segala bentuk kehidupan dan materi.
Agama adalah pembimbing manusia sepanjang waktu, terutama dalam waktu sedih dan kejiwaan yang tidak menetu, maka hanya agama yang membimbing menuju Tuhannya, dan hanya Allah-lah yang mendengar segala doa dan permohonannya. Sebagaimana firman Allah Swt:
Artinya : Tuhanmu berkata : Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan memenuhinya” (QS Al Ghafir :60)
Di era modern ini manusia cenderung disibukkan dengan angkuhnya kehidupan, di sisi lain ia menjadi hamba Allah yang harus mengabdi dan memberikan kepatuhan diri kepada Tuhannya. Tidak sedikit orang yang lena disibukkan dengan materi, bahkan ada yang tidak tersentuh agama sama sekali, karena kerasnya kehidupan sosial yang memberikan dampak negativ atas dirinya. Atau bahkan jauh sekali dari pola kehidupan beragama, akibat kurangnya seruan agama atau tidak tersentuhnya para da’i dan ulama.
Pada dasarnya manusia mempunyai dua fungsi; yaitu sebagai individu dan bagian dari sosial. Dalam fungsinya sebagai makhluk individu, manusia mempunyai hak untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, misalnya pendidikan, kesehatan, kebahagiaan dan sebagainya. Di sisi lain, manusia juga harus memerankan fungsinya sebagai makhluk sosial yang hidup dan berinteraksi dengan masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat ini, manusia akan menjalani proses alam untuk berkembang. Dalam proses berkembang ini, tentu saja masyarakat memerlukan suatu pedoman yang mengatur lajur dinamika yang ada. Sehingga aktifitas manusia akan menjadi teratur sesuai dengan aturan yang ada.
Bisa dibayangkan kalau kehidupan bermasyarakat tidak ada aturan. Problem akan datang silih berganti. Ini sudah menjadi sunnatullah yang tidak bisa dipungkiri.
Allah Swt telah memuliakan manusia dengan akal dan nurani. Ia sebagai pengontrol utama atas semua yang berlaku dalam aktifitas manusia. Namun, dalam prakteknya, posisi dan peran akal –sebagai pengontrol perilaku positif ini- seringkali terkalahkan oleh nafsu dan kehendak syaitan. Maka tidak mengherankan ketika kemaksiatan terjadi dimana-mana. Kemaksiatan yang terjadi merupakan dampak yang ditimbulkan oleh pertentangan yang luar biasa antara akal dan nafsu. Ketika akal dominan, maka perilaku positif yang akan terjadi. Sebaliknya, jika nafsu mendominasi akal, kemaksiatan akan merajalela. Oleh karenanya, manusia perlu mendapatkan blue print aturan yang bisa mengatur dan mengendalikan kemaksiatan yang timbul. Sehingga peran akal bisa dioptimalkan.
Ketika manusia hidup di dunia, maka di sana ia akan dihadapkan kepada beragam problematika dan tuntutan hidup. Banyak keinginan dan kesenangan yang diinginkan. Juga, aktifitas menerjang syariat –seiring dengan tuntutan yang ada- bukanlah perkara yang mustahil. Ia hidup di tengah masyarakat, ia bergumul dengan beragam tuntutan hidup, dan ia juga mempunyai hak dan kewajiban. Di sinilah seringkali manusia tertuntut untuk mencapai taraf dan keadaan yang ideal. Terutama dalam kehidupan masyarakat, akan sangat mungkin terjadi benturan (clash) antara individu satu dengan lainnya. Tuntutan dan keinginan seseorang kadangkala tidak singkron dengan keadaan dan lingkungan. Apalagi, pada zaman global seperti sekarang ini, persaingan yang terjadi dalam tataran praksis sangatlah ketat. Siapa yang cepat dan tanggap membaca peluang, maka ia akan mendapatkannya. Dan implikasinya dalam kehidupan, yang kuat seringkali menindas yang lemah, kesenjangan antara si kaya dan si miskin menjadi sangat kentara dan sebagainya.
Di sinilah syariat datang menyapa umat dan memberikan pedoman hidup yang mengatur dinamika umat manusia. Keragaman yang ada, hendaknya diposisikan sebagai keragaman yang positif untuk saling berinteraksi dan mengenal. Sebagaimana firman Allah Swt:
Artinya: Wahai umat manusia, sesungguhnya telah kami ciptakan kalian (terdiri dari) laki-laki dan perempuan. Dan Kami telah jadikan kalian bersuku-suku dan berkelompok supaya kalian bisa saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah Swt adalah ketaqwaan kalian kepada Allah Swt. sesungguhnya Allah Swt adalah Dzat yang Maha Mengetahu” (QS. Al-Hujurat:13).
Oleh karenanya, dari dulu, Allah Swt selalu mengutus para Rasul kepada masyarakat untuk membawa Risalah Ilahi. Risalah tersebut berperan sebagai undang-undang yang menjadi mainstream keberagaman yang ada pada masyarakat. Sehingga kehidupan masyarakat bisa berjalan selaras, serasi dan seimbang dalam koridor yang telah ditentukan oleh Allah Swt.
Setelah Agama Islam di anggap sempurna oleh Allah, dengan nabi Akhirizzaman, mka tidak ada aturan baru dalam Islam, kecuali hanya mengembangkan dan mengkiyaskan pada ajaran yang sudah menjadi ketetapan Islam. Diantaranya dengan ijtihad dan mengkiyaskan satu kejadian atau satu tradisi pada tradisi yang serupa atau mendekati dengan kejadian masa lalu.
Kebutuhan akan hukum yang relevan
Seiring dengan berkembangnya zaman, saat ini umat Islam telah tersebar di berbagai belahan dunia. Tentu saja, hal ini akan memberikan pengaruh besar secara langsung kepada kondisi sosial kemasyarakatan. Misalnya, dinamika negara-negara di belahan Asia, berbeda dengan negara-negara Arab, akan berbeda jauh lagi dibanding dengan negara-negara Eropa.
Keadaan ini selanjutnya akan memberikan pengaruh kepada masing-masing individu (muslim) dalam mengejawantahkan nilai-nilai keislaman. Bagi mukallaf yang berdomisili di negara dengan muslim sebagai kaum mayoritas, pengaplikasian nilai-nilai keislaman tidaklah menjadi masalah. Lain halnya dengan mereka yang hidup di negara di mana muslim sebagai kaum minoritas. Lagi-lagi, Islam selalu memberikan kemudahan dan keleluasaan bagi umat Islam untuk bisa menjalankan syariat secara baik, dimanapun mereka berada. Syara’ tidak memberikan paksaan dan tuntutan kepada mukallaf untuk mengaplikasikan nilai-nilai universal keisalaman secara letterlijk karena hal itu akan memberikan dampak buruk baginya.
Keberadaan syariat Islam adalah sebagai undang-undang global yang mengatur kehidupan manusia. Syariat bersifat mengikat dan feleksibel. Dengan kata lain bahwa aturan yang telah ditetapkan syara' harus dijalankan secara baik sesuai dengan kondisi dan kemampuan yang ada. Hal ini tentu saja sangat beralasan karena syara' sangat memperhatikan kondisi masing-masing individu. Kalau diibaratkan dengan dokter, resep yang diberikan dokter, tentu saja disesuaikan dengan kondisi fisik masing-masing pasien sesuai dosisnya. Setelah didiagnosa, maka akan diketahui bagaimana kondisi pasien bagaimana dan jenis obat apa yang layak diberikan.
Bukankah di awal kali pembebanan taklif, Allah Swt telah menyerukan kepada mukallaf untuk mengenal terlebih dahulu hal-hal yang baik dan buruk sekaligus implikasi yang ditimbulkan. Seruan ini mengisyaratkan bahwa seorang mukallaf akan mempunyai opsi dan alternatif dalam menjalankan aktifitas hidupnya. Dengan demikian ia akan memahami bahwa aturan-aturan yang telah digariskan oleh Allah Swt merupakan pedoman ideal bagi umat manusia yang selalu memberikan kemashlahatan hidup. Tidak ada benturan (clash) antara pedoman yang ada dengan nilai-nilai kemanusiaan. Keduanya berjalan seiring dan selaras. Sebagimana firman Allah Swt:
Artinya: “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai aatap, dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu mengeluarkan buah-buahan sebagai rizki untukmu...” (QS. Al-Baqarah:22).
Artinya: “Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dn menurunkan adari langit air yang bisa mengeluarkan buah-buahan sebagai rizki kalian, dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu, supaya bisa berlayar dilaut atas perintahnya” (QS. Ibrahim:32).
Artinya: “Dia-lah tang menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebagian dari air tsb untuk minuman, dan sebahagian bisa menyuburkan tumbuh-tumbuhan untuk menggembala ternakmu” (QS. Annahl:10).
Dalam ayat lain, Allah Swt juga sudah menyitir bahwa anugerah yang telah diberikan-Nya, bisa dikonsumsi oleh umat manusia. Hal ini sekaligus menjadi modal dan investasi bagi kehidupan di akhirat. Keberadaan hal-hal yang bersifat duniawi ini, sekaligus menjadi ujian bagi umat manusia.
Artinya: “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan dunia itu, bagaikan hujan yang Kami turunkan dari langit, kemudian bercampur dengan tumbuh-tumbuhan yang ad dibumi, yang sebahagian dimakan manusia dan ternak, hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya dan memakai perhiyasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datang kepadanya adzab Kami diwaktu malam hari atau siang hari, lalu Kami jadikan tanama-tanaman itu seperti di sabit, seakan belum tumbuh sebelumnya. Demikianlak Kami menjelaskan kekuasaan Kami kepada orang-orang yang berfikir”. (QS. Yunus:24).
Artinya: “Tidak ada kehidupan dunia ini ahanya permainan dan kesenangan, dan sesungguhnya tempat tinggal di akhirat adalah tempat kehidupan, apabila kamu mengerti” (QS. Al-Ankabut: 64).
Intinya bahwa semua yang telah dianugerahkan oleh Allah Swt kepada mukallaf, memberikan dampak yang berbeda. Semuanya berpulang kepada mukallaf; sejauh mana ia mampu mengoptimalkan anugerah yang ada?.
Jika kita menelaah lebih dalam tentang syariat Islam, maka nilai universal yang diusung adalah keadilan. Dengan kata lain bahwa syara’ telah memberikan beragam alternatif kepada mukallaf untuk menjawab pelbagai fenomena hidup. Ketika mukallaf dihadapkan kepada sebuah dilema, maka syara ‘ pun telah menawarkan beragam alternatif untuk menjawabnya. Intinya, syariat merupakan solver ampuh yang akan selalu relevan sampai kapanpun, dimanapun dan dan dalam kondisi apapun.
Dalam konteks keindonesiaan misalnya, masyarakat Indonesia sejak dulu menganut 4 (empat) madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali) yang diperoleh dari ajaran para ulama yang alim di bidangnya. Al-Quran dan al-Hadits merupakan 2 (dua) referensi utama dalam syariat Islam. Teks yang ada memang sangat global. Namun, madzhab 4 (empat) telah melakukan elaborasi dan ijtihad yang kemudian dituangkan dalam bentuk disiplin Ilmu Tafsir, Hadits, Fikih dan sebagainya. 4 (empat) madzhab ini dianggap efektif dalam memberikan petunjuk beragama bagi masyarakat Indonesia. Negara Indonesia merupakan negara republik. Kondisi sosial-kemasyarakatannya pun sangat berbeda dengan kondisi negara-negara Arab secara umum. Begitu kompleks.
Namun demikian, kehadiran 4 (empat) madzhab yang merupakan RUJUKAN Fikih Ahlussunnah Wal Jamaah ini memberikan warna yang sangat dominan bagi masyarakat untuk tetap bisa menjalankan kewajibannya sebagai hamba.
Inilah wujud dan bukti bahwa syariat sangat peduli terhadap dinamika umat manusia. Oleh karenanya, mukallaf hendaknya pandai dalam mengakomodasi ajaran-ajaran yang ada untuk menjawab tantangan hidup. Mukallaf diberi keleluasaan untuk mengikuti hukum yang ada selama relevan dan masih dalam koridor yang telah ditentukan syara’.
Kaidah Fikih sebagai dasar dan sarana pengembangan Fikih kontemporer
Para salafussaleh mempunyai semangat dan kemampuan yang luar biasa dalam mengelaborasi berbagai topik keilmuan. Berawal dari teks (nash) global yang terkandung dalam al-Quran dan al-Hadits, mereka mengkaji dan menelaah secara mendalam kandungan hukum yang terkandung di dalamnya. Di samping global, tatanan bahasa Arab yang sarat dengan 'misteri' makna, memberikan andil besar terjadinya perbedaan ulama dalam menghasilkan konklusi ijtihad yang merambah semua aspek, diantaranya ibadah dan muamalah, misalnya sholat, zakat, puasa, nikah, talak, jual beli, persewaan (rahn), jihad, waris dan sebagainya. Kajian-kajian tersebut –saat ini-- telah terkodifikasi dengan baik. Jadi, hal ini efektif menjadi rujukan bagi siapapun yang hendak menelaah hukum-hukum syara’.
Eksistensi sebuah hukum, ditentukan oleh illat. Jadi ada dan tidaknya hukum, tergantung pada ada tidaknya illat tersebut. Dengan illat pula, persoalan yang belum mendapatkan legitimasi dari syara’, bisa dilegalisasi secara tepat. Caranya, persoalan yang ada dikompromikan illatnya dengan persoalan-persoalan lain yang telah mendapatkan legitimasi lebih dulu.
Contoh kasus dalam terapan kaidah fikhiah :
(Hajat/Kebutuhan, Baik Yang Bersifat Umum, Atau Khusus, Dalam Kondisi Tertentu, Bisa Menempati Level Darurat, Didalam Status Memperoleh Hukum Rukhsahnya)
Yang dimaksud dengan hajat dalam kaidah tersebut adalah segala kebutuhan yang tidak sampai pada derajat darurat. Karena syara' memberikan tingkatan atas kebutuhan sebagai berikut:
I. Al-Dzarûrât, adalah kondisi di mana jika seseorang tidak mendapatkan sesuatu itu, akan mati atau akan ada dalam kondisi chaos. Dalam konteks ini, seseorang boleh melakukan hal-hal yang secara tegas diharamkan syara.
II. Al-Hâjât, adalah kondisi di mana jika sesesorang tidak mendapatkan itu, tidak sampai menyebabkan kematian. Hanya dia akan mengalami kesusahan atau kepayahan. Dalam konteks ini seseorang tidak boleh melakukan apa-apa yang diharamkan. Hanya saja pada konteks tertentu boleh melakukan hal-hal yang diharamkan. Karena kaidah di atas, di mana dikatakan bahwa dalam konteks tertentu kondisi hajat bisa disejajarkan dengan status darurat dalam hukum bolehnya mengonsumsi hal-hal yang dalam kondisi normal diharamkan
III. Al-Tahsîniyyât, adalah hal-hal tersier, yang boleh dilakukan oleh seseorang sebagai pelengkap sesuatu. Ketika hal ini tidak ditemukan, hidup tetap dalam kondisi normal, cuman kurang sedikit nyaman.
Beberapa contoh pengaplikasian kaidah ini adalah sebagai berikut:
a. Syara’ membolehkan sewa-menyewa (Ijârah), sayembara (Ji'alah), Letter of Credit (Hiwalah), dan Salam. Salam dan Ijarah adalah transaksi atas barang yang belum ada. Hal itu dilarang dalam syara’. Namun, seiring dengan kebutuhan manusia dan dalam tataran praksisnya hal itu sangat dibutuhkan sejatinya, maka akhirnya diboelhkan. Begitu juga dengan Ju'âlah hukum asalnya tidak boleh karena ada unsur jahalah (tidak transparan) atau Hiwâlah karena ada unsur bai dain bi addain (juab beli piutang) namun karena kebutuhan yang bersifat massif (umum) maka akhirnya diperbolehkan.
b. Bolehnya praktik Riba Fadl karena suatu kebutuhan. Misalnya Arâyâ (jual beli kurma kering dengan kurma basah). Keduanya berasal dari satu jenis, yaitu kurma tapi timbangannya mengalami perbedaan. Meski demikian, Rasulullah Saw membolehkan praktik Arâyâ karena kebutuhan (HR. Imam Bukhori, jilid 4 hal. 390, jilid 3).
c. Bolehnya praktik Istishna' –, misalnya memesan kepada penjahit untuk membuatkan baju dengan model dan kriteria seperti yang pemesan minta
d. Seorang penguasa boleh membeli paksa tanah seseorang jika tanah tersebut menjadi alternatif satu-satunya pelebaran jalan yang sempit dan beresiko besar, misalnya rawan kecelakaan.
e. Dalam beberapa hadits disebutkan bahwa fotografi hukumnya haram. Namun dengan pertimbangan kebutuhan pada zaman kekinian, hal ini perbolehkan menurut syara.
f. Tasâluh (damai) sebetulnya tidak boleh karena bisa mencabut hak orang lain dan menyebabkan pihak lain mendapatkan harta orang tersebut tanpa melalui mekanisme yang disyariatkan. Misalnya khulu. Tapi karena demi pertimbangan yang lebih luas, di mana perdamaian akan memberikan kemaslahatan besar maka shuluh itu diperbolehkan..
Beberapa contoh permasalahan yang hanya terbatas untuk golongan tertentu:
a. Laki-laki muslim diperbolehkan memakai pakaian yang terbuat dari sutera jika untuk keperluan penyakit kulit, misalnya bintil-bintil, kudis dan sebagainya.
b. Wanita yang sedang menstruasi diperbolehkan memasuki masjid jika ada keperluan yang sangat mendesak.
Dalam beberapa kasus lain :
Imam Zarkasyi dalam al-Mantsûr fi al-Qawâid( ) mengatakan: "Bagi mereka yang melakukan perjalanan dengan niat dan tujuan kemaksiatan, baginya tidak ada rukhsoh, misalnya boleh berbuka puasa, mengqashar shalat, memakan bangkai (dalam keadaan tidak ada makanan), dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa keringanan atau rukhsoh yang diberikan syara, terbatas pada aktifitas-aktifitas yang dilegalkan syara".
Oleh karenanya, kalau seseorang gila karena kebanyakan mengkonsumsi barang-barang haram, seperti ganja, heroin, miras, baginya tidak ada rukhsoh. Begitu juga ber-istinjak dengan barang haram atau makanan. Hal itu tidak sah karena bertentangan dengan aturan syara’ dimana beristinjak harus menggunakan batu atau barang yang keras yang suci dan bukan hal yang dimulyakan seperti emas atau makanan.
Masih berkaitan dengan aktifitas yang haram. Dalam keadaan tidak ada air, dia tidak boleh melakukan tayammum meskipun satu pendapat mengatakan boleh. Namun demikian, dalam keadaan normal (ada air), dia wajib mengqadla sholatnya tadi.
Kaidah ini membawa pesan bahwa kemaksiatan bisa menggugurkan adanya rukhsoh. Jika kemaksiatan itu disebabkan adanya rukhsoh, misalnya budak yang melarikan diri, maka dia tidak mendapatkan rukhsoh seperti yang diberikan kepada musafir. Barangsiapa yang melakukan perjalanan dan –tiba-tiba- melakukan kemaksiatan, maka dia mendapatkan rukhsoh. Karena kemaksiatan itu dilakukan di dalam perjalanannya, bukan semata-mata perjalanan ini maksiat dari awal. Ketika seseorang gila dan kemudian dia murtad, maka ketika dia sadar dan kembali masuk Islam, wajib baginya mengqadla kewajiban-kewajiban yang ia tinggalkan karena murtadnya, bukan gilanya. Menurut syara’, tidak ada keringanan apapun yang diberikan kepada orang yang murtad.
Kasus tersebut para ulama’ ushul mengembalikan pada satu kaidah fikih yang kita kenal dengan :
(Fasilitas Dispensasi Dari Syara’ Tidak Boleh Dilakukan Dengan Unsur Kemaksiatan)
Redaksi singkat (kaidah-kaidah) inilah yang pada akhirnya nanti menjadi referensi manakala ada persoalan-persoalan serupa yang mempunyai kesamaan illat.
Kaidah Fikih merupakan perangkat global yang memberikan acuan hukum atas sebuah persoalan dan bersifat hierarkis. Artinya, kaidah ini terdiri dari kaidah pokok yang di bawahnya nanti akan muncul kaidah-kaidah lain dengan kesamaan visi (illat), namun cakupannya lebih spesifik.
Munculnya kaidah ini merupakan penerjemahan atas teks-teks yang termaktub dalam al-Quran atau al-Hadits. Dengan kata lain, munculnya –redaksi- kaidah ini, setelah melalui proses pengijtihadan yang mendalam atas al-Quran dan al-Hadits. Sebagai contoh, kaidah "al-Yaqînu lâ yuzâlu bisysyakki", "lâ dzororo wa lâ dzirôro", "al-Masyaqqatu tajlibu al-taysîr", merupakan hasil pengkajian atas firman Allah:
Artinya: “Dan Allah tidak akan sekali-kali membiarkanmu mengalami kesempitan dalam beragama” (QS. Al-Hajj [22]: 78)
Ayat ini dikuatkan oleh beberapa sabda Rasulullah Saw yang intinya, syara selalu menyerukan kemudahan dalam melaksanakan ajaran-ajaran Islam (taklîf).
Reinterpretasi rumusan Fikih klasik
Fikih dirumuskan oleh para Tabiin, sebagai upaya mempermudah dalam mengkelompokkan rumusan hukum yang di ambil dari dalil yang rinci yang bersumber dari Alquran dan Alhadis.
Seiring dengan perjalanan zaman dan perubahan tatanan social masyarakat yang paling tidak telah menggeser pola hidup manusia. Dari sini, Fikih sebagai dasar hukum kehidupan dan tatanan interaksi di semua lini kehidupan, paling tidak kurang representative, sehingga memerlukan perumusan ualang, atau paling tidak memerlukan reinterpretasi.
Contoh kecil :
Dalam transaksi jual beli, hendaknya dua orang penjual dan pembeli harus ada dalam satu tempat. Demikian pula di syaratkan wujudnya barang dagangan harus ada dan jelas keadaannya di depan mata pembeli.
Rumusan Fikih seperti ini, sudah banyak tidak di pakai oleh masyarakat modern, yang terbuka dan transparan.
Dalam informasi global sekarang ini, transaksi jual beli, simpan pinjam, sewa dan rental, cukup dengan telpon atau bahkan dengan cyber, internet atau parabola dan TV, yang mana mereka live interaktiv dalam ijab dan qabul, bahkan cukup via kybord, menberikan jawaban : YES atau NO.
Juga dalam promosi barang dagangan mereka cukup memberikan sifat barang yang di tawarkan menggunakan dunia maya, namun bisa diakses seluruh penjuru dunia, dengan mudah menemukan sifat (maushufat) barang tawaran dengan sangat detail.
Bahkan dalam meyerahkan uang bayar (ma’qud) cukup dengan credit card yang digesek pada mesin computer, juga kembali pada dunia maya.
Dalam rumusan fikih klasik, belum memberikan jawaban konkrit pada fenomena transaksi moderen, melainkan hanya pada isyarat “UQUD KINAYAH”. Sedangkan kinayah itu sendiri, masih belum jelas prakteknya.
Dari sini hendaknya ada perumusan ulang, atau amandemen fikih klasik, sehingga tetap mampu menjawab dan menjadi juklak setiap bentuk kehidupan modern.
Reaktualisasi istilah Fikih klasik pada istilah kekinian
Pembaharuan Istilah Fikih, Sebenarnya tidak begitu penting, selagi substansi Fikih klasik masih cukup relevan dan representative. Namun akan sangat baik, jika istilah Fikih klasik di akselerasikan dengan istilah modern (qadhaya muashirah) yang selalu akan berkembang.
Fikih sebagai juklak setiap kehidupan, hendaknya relevan dengan kasus yang selalu berkembang, sehingga selaras antara obyek dengan predekat, antara mahkum dengan mahkum alaih. Berkenaan dengan efek positif lajunya ilmu dan teknologi, tidak boleh Fikih memberikan penilaian terhadap satu praktik modern yang tidak diketemukan dalam rumusan hukum Fikih klasik, lalu di katakana “Tidak Boleh” atau di hukumi “Haram”. Dengan dalil “Bidah” atau bahkan hanya belum di ketemukan dalam rumusan para mujtahid terdahulu.
Setidaknya, Ulama’ sekarang harus mengadakan kiyas atau mencarikan hukum yang sama atau mendekati pada rumusan Fikih Klasik, selagi ada di sana. Apabila tidak ada dalam rumusan Klasik, maka tugas bagi mujaddid fikih adalah meninjau dan mengembalikan pada aal-adillah al-mujmaliah (Alquran dan Assunah), dengan mengembangkan tapak tilas melalui al-Adillah al-Tafshiliyah. Dalam praktik ini seorang ulama’ tersebut, hanya sebagai seorang mujaddid dari madzhab yang ada. Tidak sampai pada kelas mujtahid mutlak. Karena sebenarnya substansi rumusan fikih klasik telah sempurna. Hanya pengembangan dan penambahan ranting-ranting dari substansi tersebut, yang masuk dalam kategori : Qiyas, Tahsiniyat dan Masholih al-Murasalah. Bahkan Imam Malik, membangun Madzhabnya (Methodologi Istimbatnya) pada urutan Dasar sebagai berikut : Alquran, As-Sunah, Al-Ijma’, Al-Qiyas, atau Tindakan Ahlu al-Madinah, Hadist Al-Ahad selagi tidak bertentangan tindakan ahli al-Madinah, Mashalih Al-Murasalah, Al’urf, Al-Istishab, dan Saddu al-Dzarai’. Dari sinilah hukum fikih tidak jumud, dan ketinggalan zaman.
Saya pribadi lebih senang istilah reaktualisasi fikih dari pada rekonstruksi fikih atau bahkan dekonstruksi fikih yang sama sekali tidak diperbolihkan. Reaktualisasi bersifat hanya mengembangkan dan menambah yang belum sempurna atau belum begitu jelas. Jadi hanya bersifat merubah dan mengambangkan pagar atau memberikan warna yang belum jelas atau warna yang sudah usang, karena lapuknya zaman. Sehingga bangunan substansi fikih masih tetap diatas pondasi semula.
Berbeda dengan istilah rekonstruksi, yang mana fikih semacam di angkat dan dipindahkan dari atas pondasi dan berbentuk dengan kontruksi bangunan yang berbeda. Lebih jauh lagi dekonstruksi, yang mana bangunan fikih semacan diadakan refounding. Kalau sampai sempat terjadi refounding, maka fikih telah lemah dan mudah di angkat dan dipindah-pindah dari fondasi-fondasi barunya. Maka kekokohan dan keasliannya telah hilang. Hal ini adalah harapan dan upaya dari para orientalis barat yang mecoba mengaburkan ajaran islam (Fikih) dan mendangkalkan akidah yang oleh umat Islam telah meyakini baku dan permanen.
Ijtihad kontemporer
Allah, akan selalu menurunkan seorang pembaharu dalam setiap masa. Seorang mujtahid temporer (ashri) selalu akan memberikan pembaharuan syariat Allah. Demikian tersebut karena tuntutan tempat dan zaman( ).
Dalam Fikih dikenal dengan istilah qiyas, yaitu menyamakan sesuatu hal pada hal yang lain, karena sama ilat hukumnya. Dari sinilah seorang mujtahid mendapatkan tanggung jawab untuk mengkiyaskan masalah baru temporer yang sama dengan masalah klasik, serta menginterpretasikan Ayat-Ayat Ahkam dan Nash Hadis sebagai dasar hukum yang datang baru, yang belum terjadi pada zaman para imam mujtahid yang empat.
Setiap saat hendaknya ada mujtahid yang selalu mengembangkan Fikih, sebagai amandemen kekurangan dan mengantarkan Fikih pada sikap mencerahkan yang remang-remang atau belum ada induk hukumnya.
Issu pintu Ijtihad ditutup yang di akukan kepada Imam Suyuti, adalah asumsi tidak benar. Imam Suyuthi sendiri sangat antosias dalam menyerukan berijtihad. Hanya satu kesempatan beliau pernah mencoba selalu mengembalikan ijtihadnya dari dalil yang mujmal, namun selalu sudah ada rumusan hasil ijtihad dari para pendahulunya al-Imam al-Arba’ah, maka beliau termasuk yang merekomendasikan penetapan empat madzhab tersebut.
Maka yang benar adalah pintu ijtihad masih terbuka sepanjang zaman, selagi masih ada kehidupan. Butuhnya aturan dan hukum yang relevan bagi individu maupun masyarakat, yang mana setiap zaman dan lingkungan hidup selalu akan berkembang, adalah sunnatullah dan tabiat alam semesta. Islam yang universal tidak bisa dibuktikan selagi tidak ada upaya untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan. Islam yang rahmatan lil Alamin tidak akan ada buktinya, selagi pengukutnya tidak merubah dengan sendirinya. Islam tidak tiba-tiba datang dipeluk banyak orang, melainkan dengan proses seruan dan promosi dari para ulama’ dan da’I lewat ceramah dan mauidhoh hasanah.
Penutup
Demikinalah para ulma’ dan para kiyai hendaknya selalu menyerukan agama dan selalu memberikan pencerahan atas problematika yang timbul di masyarakat, karena hal ini telah menjadi suatu kewajiban bagi stiap generasi agent of change untuk selalu memperbaharui dan mengembangkan ajaran Islam yang universal.
Tatanan sosial dan kehidupan modern dikatakan bukan bersumber dari sumber hukum Islam adalah semu. Kepentingan duniawi dan tipu dayanya adalah ujian hidup, bagi yang mampu menyikapinya dengan solusi agama adalah lulus dari ujian dunia.
Ajaran agama Islam hendaknya sebagai palsafah hidup dan kembalinya dari setiap aktifitas kehidupan. Fikih sebagi juklak kehidupan, selalu menunjukkan wana terang bagi setiap langkah dari bangun tidur sampai kembali tidur. Fikih sebagai tolok ukur hukum Islam yang lima, adalah akan di mintai pertanggung jawaban sebuah kehidupan dihadapan penciptanya.
Makalah ini kami sampaikan, bukan untuk berani mencoba mereka-reka hukum Islam, melainkan untuk pengembangan positif atas kekurangan corak warna Fikih dalam menyikapi kehidupan yang modern. Beberapa ide dan saran tersebut diatas, hendaknya dimurajaah kepada karya ulama’ salaf yang shalih. Paling tidak kemabli pada karya-karya al-Madzahib al-Arbaah dan para muridnya, tidak sekedar membaca kritik dari kritikus Fikih zaman sekarang, sehingga tidak obyektif.
Akhirnya, Wallahu al-muwafiq ila aqwami at-thoriq, Wallahu a’lam bi as-shawaf.
*****
Daftar Pustaka :
1. Al-Asybah wan Nadzâ'ir, Imam Subuki Tajuddin Abdul Wahab bin Abdul Kafi Al-Syafi'I (771 H), revisitor: Adil Ahmad Abdul Maujud & Ali Muhammad Awadz, Darul Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1411 H.
2. Al-Asybah wan Nadzâ'ir, Imam Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi (911 H), revisitor: Muhammad Muhammad Tamir & Hafidz Asyur Hafidz, Darussalam, 1424 H – 2004 M.
3. Al-Asybah wan Nadzâ'ir, Ibnul Wakil Sadruddin Muhammad bin Umar bin Makky al-Syafi'I (716 H), revisitor: Ahmad bin Muhammad al-Anqary al-Hambali & Adil bin Abdullah al-Syuwaikh al-Iraqi. Tesis pada program Magister pada fakultas Syariah Universitas Imam Muhammad bin Sa'ud al-Islamiyyah, Riyad, 1404 H.
4. Al-Asybah wan Nadzâ'ir, Imam Zainuddin bin Ibrahim [Ibnu Nujaim al-Hanafi], wafat tahun 90 H, revisitor: Dr. Muhammad Muthi', Darul Fikr, Beirut, 1420 H – 1999 M.
5. Al-Inshâf fî Ma'rifati al-Râjih min al-Khilâf, Syeikh Ala'uddin Abul Hasan Ali bin Sulaiman al-Mardawi (885 H), Baitul Afkar Addauliyyah, Jordan.
6. Al-Muwâfaqât, Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Qarnati (790 H), revisitor: Muhammad Abdul Qadir al-Fadhili, Al-Maktabah al-Ashriyah, Beirut, 1423 H – 2003 M.
7. Al-Nadzariyah al-Fiqhiyyah, Dr. Wahbah Zuhayli, Darul Qalam, Darul Qalam, Damaskus, 1414 H.
8. Qawâidul Ahkâm fî Islâhil Anâm, Imam Al-Izz bin Abdussalam (660 H), Daru Ibni Hazm, Beirut, 1424 H – 2003 M.
9. Masqâshid al-Syarîah inda Ibnu Taimiyah, Dr. Yusuf Ahmad Muhammad al-Badawi, Darun Nafais, Jordan, 1421 H – 2000 M.
10. Masqâshid al-Syarîah al-Imiyah, Al-Imam Muhammad al-Thohir bin ‘Asyur, Dar el-Salam, Cairo, 1427 H – 2006 M.
11. AL-Mantsûr fil Qawâ'id li al-Zarkasyi, Imam Badruddin Muhammad bin Bahadir al-Syafi'i (794 H), Wizaratul Awqaf was Syu'un al-Islamiyyah, Kuwait, cet. 2, 1405 H – 1985 M.
12. Qadlaya Fiqhiyah Muasharah, Dr. Ramdlan el-Buthi, Dar el-Farabi, Syria, 2004 M.
*Artikel ini dipresentasikan pada “Workshop Istinbath Hukum Syariat” yang diselenggarakan Kerja sama PCI-NU Mesir, bersama PPMI, KSW, dan KKS, pada tanggal 25 Maret 2007.
Penerbit Syauqipress : http://www.syauqipress.com
Versi Online : http://www.syauqipress.com/?pilih=lihat&id=6
Mukadimah
Dalam perkembangan kehidupan manusia,
selalu akan mengalir bersama perubahan zaman dan alamnya. Dari sini akan ada ketimpangan pola hidup dan aturan kehidupan yang tidak selaras dengan hukum taklif Tuhan yang di bebankan kepada manusia.Hal ini, fikih sebagai aturan interaksi manusia sudah sewajarnya membutuhkan akselerasi untuk menghadapi problematika yang selalu berkembang seiring perkembangan zamannya.
Para Imam Mujtahid telah menempatkan Ijtihad fikihnya, dengan secara sempurna dan cukup sebagai representatisi dari segala pola hidup pada setiap zamannya. Hanya saja kita perlu mengakselerasikan masalah klasik pada masalah kontemporer, sehingga fikih tetap sebagai juklak kehidupan bagi setiap manusia.
Sampai sekarang, Al-Imam al-Madzahib al-Arba’ah, telah teruji sekitar 1000 tahun silam, dan ternyata hasil ijtihad yang dituangkan dalam karya mereka, masih relevan dan bahkan sebagi rujukan dalam setiap praktik hukum yang terjadi di masyarakat. Mereka di sahkan dan di proklamirkan sebagai Madzahib oleh para muridnya dan pengikut madzhabnya stelah rumusan fikihnya di kaji dan di uji coba kelayakannya, sekitar 400 tahun setelah mereka wafat. Kealiman dan keihlasan mereka terpancarkan dari barokah ilmunya yang monumental bagi tatanan kehidupan umat Islam seluruh dunia.
Sampai sekarang kami belum pantas dan belum berani mengkritik hasil ijtihad Imam Madzhab Fikih yang empat. Bukan berarti tidak terbuka, atau tidak objektif dalam “kekurangan” madzhab kita, melainkan menjaga moralitas intelektual yang belum sepadan, sehingga ada semacam akhlak seorang pengikut kepada al-Imam Madzhabnya. Mengingat kemampuan kita dalam memahami hukum dari sumbernya, sama sekali tidak ada setites air dari lautan ilmu yang dimiliki oleh para Imam Madzahib al-Arbaah. Maksimal yang bisa kita kerjakan adalah mereaktualisasikan istilah klasik pada istilah kekinian, sehingga fikih tidak terkesan jumud dan ketinggalan zaman.
Problematika kehidupan era modern akibat globalisasi ilmu dan teknologi
Di masa modern sekarang agama adalah kebutuhan pokok yang tidak bisa di lupakan, bahkan tidak sesaat-pun manusia mampu meninggalkan agamanya, yang mana agama adalah paradigma hidup dan penuntun kehidupan, sejak lahir sampai mati, bahkan sejak mulai bangun tidur sampai kembali tidur, agama selalu akan memberikan bimbingan. Semata, demi menuju hidup sejahtera dunia dan akhirat. Kebutuhan manusia terhadap agama disini tidak sekedar sebagaimana butuhnya materi, melainkan lebih dari itu, karena sepiritual adalah ruh dari segala bentuk kehidupan dan materi.
Agama adalah pembimbing manusia sepanjang waktu, terutama dalam waktu sedih dan kejiwaan yang tidak menetu, maka hanya agama yang membimbing menuju Tuhannya, dan hanya Allah-lah yang mendengar segala doa dan permohonannya. Sebagaimana firman Allah Swt:
Artinya : Tuhanmu berkata : Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan memenuhinya” (QS Al Ghafir :60)
Di era modern ini manusia cenderung disibukkan dengan angkuhnya kehidupan, di sisi lain ia menjadi hamba Allah yang harus mengabdi dan memberikan kepatuhan diri kepada Tuhannya. Tidak sedikit orang yang lena disibukkan dengan materi, bahkan ada yang tidak tersentuh agama sama sekali, karena kerasnya kehidupan sosial yang memberikan dampak negativ atas dirinya. Atau bahkan jauh sekali dari pola kehidupan beragama, akibat kurangnya seruan agama atau tidak tersentuhnya para da’i dan ulama.
Pada dasarnya manusia mempunyai dua fungsi; yaitu sebagai individu dan bagian dari sosial. Dalam fungsinya sebagai makhluk individu, manusia mempunyai hak untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, misalnya pendidikan, kesehatan, kebahagiaan dan sebagainya. Di sisi lain, manusia juga harus memerankan fungsinya sebagai makhluk sosial yang hidup dan berinteraksi dengan masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat ini, manusia akan menjalani proses alam untuk berkembang. Dalam proses berkembang ini, tentu saja masyarakat memerlukan suatu pedoman yang mengatur lajur dinamika yang ada. Sehingga aktifitas manusia akan menjadi teratur sesuai dengan aturan yang ada.
Bisa dibayangkan kalau kehidupan bermasyarakat tidak ada aturan. Problem akan datang silih berganti. Ini sudah menjadi sunnatullah yang tidak bisa dipungkiri.
Allah Swt telah memuliakan manusia dengan akal dan nurani. Ia sebagai pengontrol utama atas semua yang berlaku dalam aktifitas manusia. Namun, dalam prakteknya, posisi dan peran akal –sebagai pengontrol perilaku positif ini- seringkali terkalahkan oleh nafsu dan kehendak syaitan. Maka tidak mengherankan ketika kemaksiatan terjadi dimana-mana. Kemaksiatan yang terjadi merupakan dampak yang ditimbulkan oleh pertentangan yang luar biasa antara akal dan nafsu. Ketika akal dominan, maka perilaku positif yang akan terjadi. Sebaliknya, jika nafsu mendominasi akal, kemaksiatan akan merajalela. Oleh karenanya, manusia perlu mendapatkan blue print aturan yang bisa mengatur dan mengendalikan kemaksiatan yang timbul. Sehingga peran akal bisa dioptimalkan.
Ketika manusia hidup di dunia, maka di sana ia akan dihadapkan kepada beragam problematika dan tuntutan hidup. Banyak keinginan dan kesenangan yang diinginkan. Juga, aktifitas menerjang syariat –seiring dengan tuntutan yang ada- bukanlah perkara yang mustahil. Ia hidup di tengah masyarakat, ia bergumul dengan beragam tuntutan hidup, dan ia juga mempunyai hak dan kewajiban. Di sinilah seringkali manusia tertuntut untuk mencapai taraf dan keadaan yang ideal. Terutama dalam kehidupan masyarakat, akan sangat mungkin terjadi benturan (clash) antara individu satu dengan lainnya. Tuntutan dan keinginan seseorang kadangkala tidak singkron dengan keadaan dan lingkungan. Apalagi, pada zaman global seperti sekarang ini, persaingan yang terjadi dalam tataran praksis sangatlah ketat. Siapa yang cepat dan tanggap membaca peluang, maka ia akan mendapatkannya. Dan implikasinya dalam kehidupan, yang kuat seringkali menindas yang lemah, kesenjangan antara si kaya dan si miskin menjadi sangat kentara dan sebagainya.
Di sinilah syariat datang menyapa umat dan memberikan pedoman hidup yang mengatur dinamika umat manusia. Keragaman yang ada, hendaknya diposisikan sebagai keragaman yang positif untuk saling berinteraksi dan mengenal. Sebagaimana firman Allah Swt:
Artinya: Wahai umat manusia, sesungguhnya telah kami ciptakan kalian (terdiri dari) laki-laki dan perempuan. Dan Kami telah jadikan kalian bersuku-suku dan berkelompok supaya kalian bisa saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah Swt adalah ketaqwaan kalian kepada Allah Swt. sesungguhnya Allah Swt adalah Dzat yang Maha Mengetahu” (QS. Al-Hujurat:13).
Oleh karenanya, dari dulu, Allah Swt selalu mengutus para Rasul kepada masyarakat untuk membawa Risalah Ilahi. Risalah tersebut berperan sebagai undang-undang yang menjadi mainstream keberagaman yang ada pada masyarakat. Sehingga kehidupan masyarakat bisa berjalan selaras, serasi dan seimbang dalam koridor yang telah ditentukan oleh Allah Swt.
Setelah Agama Islam di anggap sempurna oleh Allah, dengan nabi Akhirizzaman, mka tidak ada aturan baru dalam Islam, kecuali hanya mengembangkan dan mengkiyaskan pada ajaran yang sudah menjadi ketetapan Islam. Diantaranya dengan ijtihad dan mengkiyaskan satu kejadian atau satu tradisi pada tradisi yang serupa atau mendekati dengan kejadian masa lalu.
Kebutuhan akan hukum yang relevan
Seiring dengan berkembangnya zaman, saat ini umat Islam telah tersebar di berbagai belahan dunia. Tentu saja, hal ini akan memberikan pengaruh besar secara langsung kepada kondisi sosial kemasyarakatan. Misalnya, dinamika negara-negara di belahan Asia, berbeda dengan negara-negara Arab, akan berbeda jauh lagi dibanding dengan negara-negara Eropa.
Keadaan ini selanjutnya akan memberikan pengaruh kepada masing-masing individu (muslim) dalam mengejawantahkan nilai-nilai keislaman. Bagi mukallaf yang berdomisili di negara dengan muslim sebagai kaum mayoritas, pengaplikasian nilai-nilai keislaman tidaklah menjadi masalah. Lain halnya dengan mereka yang hidup di negara di mana muslim sebagai kaum minoritas. Lagi-lagi, Islam selalu memberikan kemudahan dan keleluasaan bagi umat Islam untuk bisa menjalankan syariat secara baik, dimanapun mereka berada. Syara’ tidak memberikan paksaan dan tuntutan kepada mukallaf untuk mengaplikasikan nilai-nilai universal keisalaman secara letterlijk karena hal itu akan memberikan dampak buruk baginya.
Keberadaan syariat Islam adalah sebagai undang-undang global yang mengatur kehidupan manusia. Syariat bersifat mengikat dan feleksibel. Dengan kata lain bahwa aturan yang telah ditetapkan syara' harus dijalankan secara baik sesuai dengan kondisi dan kemampuan yang ada. Hal ini tentu saja sangat beralasan karena syara' sangat memperhatikan kondisi masing-masing individu. Kalau diibaratkan dengan dokter, resep yang diberikan dokter, tentu saja disesuaikan dengan kondisi fisik masing-masing pasien sesuai dosisnya. Setelah didiagnosa, maka akan diketahui bagaimana kondisi pasien bagaimana dan jenis obat apa yang layak diberikan.
Bukankah di awal kali pembebanan taklif, Allah Swt telah menyerukan kepada mukallaf untuk mengenal terlebih dahulu hal-hal yang baik dan buruk sekaligus implikasi yang ditimbulkan. Seruan ini mengisyaratkan bahwa seorang mukallaf akan mempunyai opsi dan alternatif dalam menjalankan aktifitas hidupnya. Dengan demikian ia akan memahami bahwa aturan-aturan yang telah digariskan oleh Allah Swt merupakan pedoman ideal bagi umat manusia yang selalu memberikan kemashlahatan hidup. Tidak ada benturan (clash) antara pedoman yang ada dengan nilai-nilai kemanusiaan. Keduanya berjalan seiring dan selaras. Sebagimana firman Allah Swt:
Artinya: “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai aatap, dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu mengeluarkan buah-buahan sebagai rizki untukmu...” (QS. Al-Baqarah:22).
Artinya: “Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dn menurunkan adari langit air yang bisa mengeluarkan buah-buahan sebagai rizki kalian, dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu, supaya bisa berlayar dilaut atas perintahnya” (QS. Ibrahim:32).
Artinya: “Dia-lah tang menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebagian dari air tsb untuk minuman, dan sebahagian bisa menyuburkan tumbuh-tumbuhan untuk menggembala ternakmu” (QS. Annahl:10).
Dalam ayat lain, Allah Swt juga sudah menyitir bahwa anugerah yang telah diberikan-Nya, bisa dikonsumsi oleh umat manusia. Hal ini sekaligus menjadi modal dan investasi bagi kehidupan di akhirat. Keberadaan hal-hal yang bersifat duniawi ini, sekaligus menjadi ujian bagi umat manusia.
Artinya: “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan dunia itu, bagaikan hujan yang Kami turunkan dari langit, kemudian bercampur dengan tumbuh-tumbuhan yang ad dibumi, yang sebahagian dimakan manusia dan ternak, hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya dan memakai perhiyasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datang kepadanya adzab Kami diwaktu malam hari atau siang hari, lalu Kami jadikan tanama-tanaman itu seperti di sabit, seakan belum tumbuh sebelumnya. Demikianlak Kami menjelaskan kekuasaan Kami kepada orang-orang yang berfikir”. (QS. Yunus:24).
Artinya: “Tidak ada kehidupan dunia ini ahanya permainan dan kesenangan, dan sesungguhnya tempat tinggal di akhirat adalah tempat kehidupan, apabila kamu mengerti” (QS. Al-Ankabut: 64).
Intinya bahwa semua yang telah dianugerahkan oleh Allah Swt kepada mukallaf, memberikan dampak yang berbeda. Semuanya berpulang kepada mukallaf; sejauh mana ia mampu mengoptimalkan anugerah yang ada?.
Jika kita menelaah lebih dalam tentang syariat Islam, maka nilai universal yang diusung adalah keadilan. Dengan kata lain bahwa syara’ telah memberikan beragam alternatif kepada mukallaf untuk menjawab pelbagai fenomena hidup. Ketika mukallaf dihadapkan kepada sebuah dilema, maka syara ‘ pun telah menawarkan beragam alternatif untuk menjawabnya. Intinya, syariat merupakan solver ampuh yang akan selalu relevan sampai kapanpun, dimanapun dan dan dalam kondisi apapun.
Dalam konteks keindonesiaan misalnya, masyarakat Indonesia sejak dulu menganut 4 (empat) madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali) yang diperoleh dari ajaran para ulama yang alim di bidangnya. Al-Quran dan al-Hadits merupakan 2 (dua) referensi utama dalam syariat Islam. Teks yang ada memang sangat global. Namun, madzhab 4 (empat) telah melakukan elaborasi dan ijtihad yang kemudian dituangkan dalam bentuk disiplin Ilmu Tafsir, Hadits, Fikih dan sebagainya. 4 (empat) madzhab ini dianggap efektif dalam memberikan petunjuk beragama bagi masyarakat Indonesia. Negara Indonesia merupakan negara republik. Kondisi sosial-kemasyarakatannya pun sangat berbeda dengan kondisi negara-negara Arab secara umum. Begitu kompleks.
Namun demikian, kehadiran 4 (empat) madzhab yang merupakan RUJUKAN Fikih Ahlussunnah Wal Jamaah ini memberikan warna yang sangat dominan bagi masyarakat untuk tetap bisa menjalankan kewajibannya sebagai hamba.
Inilah wujud dan bukti bahwa syariat sangat peduli terhadap dinamika umat manusia. Oleh karenanya, mukallaf hendaknya pandai dalam mengakomodasi ajaran-ajaran yang ada untuk menjawab tantangan hidup. Mukallaf diberi keleluasaan untuk mengikuti hukum yang ada selama relevan dan masih dalam koridor yang telah ditentukan syara’.
Kaidah Fikih sebagai dasar dan sarana pengembangan Fikih kontemporer
Para salafussaleh mempunyai semangat dan kemampuan yang luar biasa dalam mengelaborasi berbagai topik keilmuan. Berawal dari teks (nash) global yang terkandung dalam al-Quran dan al-Hadits, mereka mengkaji dan menelaah secara mendalam kandungan hukum yang terkandung di dalamnya. Di samping global, tatanan bahasa Arab yang sarat dengan 'misteri' makna, memberikan andil besar terjadinya perbedaan ulama dalam menghasilkan konklusi ijtihad yang merambah semua aspek, diantaranya ibadah dan muamalah, misalnya sholat, zakat, puasa, nikah, talak, jual beli, persewaan (rahn), jihad, waris dan sebagainya. Kajian-kajian tersebut –saat ini-- telah terkodifikasi dengan baik. Jadi, hal ini efektif menjadi rujukan bagi siapapun yang hendak menelaah hukum-hukum syara’.
Eksistensi sebuah hukum, ditentukan oleh illat. Jadi ada dan tidaknya hukum, tergantung pada ada tidaknya illat tersebut. Dengan illat pula, persoalan yang belum mendapatkan legitimasi dari syara’, bisa dilegalisasi secara tepat. Caranya, persoalan yang ada dikompromikan illatnya dengan persoalan-persoalan lain yang telah mendapatkan legitimasi lebih dulu.
Contoh kasus dalam terapan kaidah fikhiah :
(Hajat/Kebutuhan, Baik Yang Bersifat Umum, Atau Khusus, Dalam Kondisi Tertentu, Bisa Menempati Level Darurat, Didalam Status Memperoleh Hukum Rukhsahnya)
Yang dimaksud dengan hajat dalam kaidah tersebut adalah segala kebutuhan yang tidak sampai pada derajat darurat. Karena syara' memberikan tingkatan atas kebutuhan sebagai berikut:
I. Al-Dzarûrât, adalah kondisi di mana jika seseorang tidak mendapatkan sesuatu itu, akan mati atau akan ada dalam kondisi chaos. Dalam konteks ini, seseorang boleh melakukan hal-hal yang secara tegas diharamkan syara.
II. Al-Hâjât, adalah kondisi di mana jika sesesorang tidak mendapatkan itu, tidak sampai menyebabkan kematian. Hanya dia akan mengalami kesusahan atau kepayahan. Dalam konteks ini seseorang tidak boleh melakukan apa-apa yang diharamkan. Hanya saja pada konteks tertentu boleh melakukan hal-hal yang diharamkan. Karena kaidah di atas, di mana dikatakan bahwa dalam konteks tertentu kondisi hajat bisa disejajarkan dengan status darurat dalam hukum bolehnya mengonsumsi hal-hal yang dalam kondisi normal diharamkan
III. Al-Tahsîniyyât, adalah hal-hal tersier, yang boleh dilakukan oleh seseorang sebagai pelengkap sesuatu. Ketika hal ini tidak ditemukan, hidup tetap dalam kondisi normal, cuman kurang sedikit nyaman.
Beberapa contoh pengaplikasian kaidah ini adalah sebagai berikut:
a. Syara’ membolehkan sewa-menyewa (Ijârah), sayembara (Ji'alah), Letter of Credit (Hiwalah), dan Salam. Salam dan Ijarah adalah transaksi atas barang yang belum ada. Hal itu dilarang dalam syara’. Namun, seiring dengan kebutuhan manusia dan dalam tataran praksisnya hal itu sangat dibutuhkan sejatinya, maka akhirnya diboelhkan. Begitu juga dengan Ju'âlah hukum asalnya tidak boleh karena ada unsur jahalah (tidak transparan) atau Hiwâlah karena ada unsur bai dain bi addain (juab beli piutang) namun karena kebutuhan yang bersifat massif (umum) maka akhirnya diperbolehkan.
b. Bolehnya praktik Riba Fadl karena suatu kebutuhan. Misalnya Arâyâ (jual beli kurma kering dengan kurma basah). Keduanya berasal dari satu jenis, yaitu kurma tapi timbangannya mengalami perbedaan. Meski demikian, Rasulullah Saw membolehkan praktik Arâyâ karena kebutuhan (HR. Imam Bukhori, jilid 4 hal. 390, jilid 3).
c. Bolehnya praktik Istishna' –, misalnya memesan kepada penjahit untuk membuatkan baju dengan model dan kriteria seperti yang pemesan minta
d. Seorang penguasa boleh membeli paksa tanah seseorang jika tanah tersebut menjadi alternatif satu-satunya pelebaran jalan yang sempit dan beresiko besar, misalnya rawan kecelakaan.
e. Dalam beberapa hadits disebutkan bahwa fotografi hukumnya haram. Namun dengan pertimbangan kebutuhan pada zaman kekinian, hal ini perbolehkan menurut syara.
f. Tasâluh (damai) sebetulnya tidak boleh karena bisa mencabut hak orang lain dan menyebabkan pihak lain mendapatkan harta orang tersebut tanpa melalui mekanisme yang disyariatkan. Misalnya khulu. Tapi karena demi pertimbangan yang lebih luas, di mana perdamaian akan memberikan kemaslahatan besar maka shuluh itu diperbolehkan..
Beberapa contoh permasalahan yang hanya terbatas untuk golongan tertentu:
a. Laki-laki muslim diperbolehkan memakai pakaian yang terbuat dari sutera jika untuk keperluan penyakit kulit, misalnya bintil-bintil, kudis dan sebagainya.
b. Wanita yang sedang menstruasi diperbolehkan memasuki masjid jika ada keperluan yang sangat mendesak.
Dalam beberapa kasus lain :
Imam Zarkasyi dalam al-Mantsûr fi al-Qawâid( ) mengatakan: "Bagi mereka yang melakukan perjalanan dengan niat dan tujuan kemaksiatan, baginya tidak ada rukhsoh, misalnya boleh berbuka puasa, mengqashar shalat, memakan bangkai (dalam keadaan tidak ada makanan), dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa keringanan atau rukhsoh yang diberikan syara, terbatas pada aktifitas-aktifitas yang dilegalkan syara".
Oleh karenanya, kalau seseorang gila karena kebanyakan mengkonsumsi barang-barang haram, seperti ganja, heroin, miras, baginya tidak ada rukhsoh. Begitu juga ber-istinjak dengan barang haram atau makanan. Hal itu tidak sah karena bertentangan dengan aturan syara’ dimana beristinjak harus menggunakan batu atau barang yang keras yang suci dan bukan hal yang dimulyakan seperti emas atau makanan.
Masih berkaitan dengan aktifitas yang haram. Dalam keadaan tidak ada air, dia tidak boleh melakukan tayammum meskipun satu pendapat mengatakan boleh. Namun demikian, dalam keadaan normal (ada air), dia wajib mengqadla sholatnya tadi.
Kaidah ini membawa pesan bahwa kemaksiatan bisa menggugurkan adanya rukhsoh. Jika kemaksiatan itu disebabkan adanya rukhsoh, misalnya budak yang melarikan diri, maka dia tidak mendapatkan rukhsoh seperti yang diberikan kepada musafir. Barangsiapa yang melakukan perjalanan dan –tiba-tiba- melakukan kemaksiatan, maka dia mendapatkan rukhsoh. Karena kemaksiatan itu dilakukan di dalam perjalanannya, bukan semata-mata perjalanan ini maksiat dari awal. Ketika seseorang gila dan kemudian dia murtad, maka ketika dia sadar dan kembali masuk Islam, wajib baginya mengqadla kewajiban-kewajiban yang ia tinggalkan karena murtadnya, bukan gilanya. Menurut syara’, tidak ada keringanan apapun yang diberikan kepada orang yang murtad.
Kasus tersebut para ulama’ ushul mengembalikan pada satu kaidah fikih yang kita kenal dengan :
(Fasilitas Dispensasi Dari Syara’ Tidak Boleh Dilakukan Dengan Unsur Kemaksiatan)
Redaksi singkat (kaidah-kaidah) inilah yang pada akhirnya nanti menjadi referensi manakala ada persoalan-persoalan serupa yang mempunyai kesamaan illat.
Kaidah Fikih merupakan perangkat global yang memberikan acuan hukum atas sebuah persoalan dan bersifat hierarkis. Artinya, kaidah ini terdiri dari kaidah pokok yang di bawahnya nanti akan muncul kaidah-kaidah lain dengan kesamaan visi (illat), namun cakupannya lebih spesifik.
Munculnya kaidah ini merupakan penerjemahan atas teks-teks yang termaktub dalam al-Quran atau al-Hadits. Dengan kata lain, munculnya –redaksi- kaidah ini, setelah melalui proses pengijtihadan yang mendalam atas al-Quran dan al-Hadits. Sebagai contoh, kaidah "al-Yaqînu lâ yuzâlu bisysyakki", "lâ dzororo wa lâ dzirôro", "al-Masyaqqatu tajlibu al-taysîr", merupakan hasil pengkajian atas firman Allah:
Artinya: “Dan Allah tidak akan sekali-kali membiarkanmu mengalami kesempitan dalam beragama” (QS. Al-Hajj [22]: 78)
Ayat ini dikuatkan oleh beberapa sabda Rasulullah Saw yang intinya, syara selalu menyerukan kemudahan dalam melaksanakan ajaran-ajaran Islam (taklîf).
Reinterpretasi rumusan Fikih klasik
Fikih dirumuskan oleh para Tabiin, sebagai upaya mempermudah dalam mengkelompokkan rumusan hukum yang di ambil dari dalil yang rinci yang bersumber dari Alquran dan Alhadis.
Seiring dengan perjalanan zaman dan perubahan tatanan social masyarakat yang paling tidak telah menggeser pola hidup manusia. Dari sini, Fikih sebagai dasar hukum kehidupan dan tatanan interaksi di semua lini kehidupan, paling tidak kurang representative, sehingga memerlukan perumusan ualang, atau paling tidak memerlukan reinterpretasi.
Contoh kecil :
Dalam transaksi jual beli, hendaknya dua orang penjual dan pembeli harus ada dalam satu tempat. Demikian pula di syaratkan wujudnya barang dagangan harus ada dan jelas keadaannya di depan mata pembeli.
Rumusan Fikih seperti ini, sudah banyak tidak di pakai oleh masyarakat modern, yang terbuka dan transparan.
Dalam informasi global sekarang ini, transaksi jual beli, simpan pinjam, sewa dan rental, cukup dengan telpon atau bahkan dengan cyber, internet atau parabola dan TV, yang mana mereka live interaktiv dalam ijab dan qabul, bahkan cukup via kybord, menberikan jawaban : YES atau NO.
Juga dalam promosi barang dagangan mereka cukup memberikan sifat barang yang di tawarkan menggunakan dunia maya, namun bisa diakses seluruh penjuru dunia, dengan mudah menemukan sifat (maushufat) barang tawaran dengan sangat detail.
Bahkan dalam meyerahkan uang bayar (ma’qud) cukup dengan credit card yang digesek pada mesin computer, juga kembali pada dunia maya.
Dalam rumusan fikih klasik, belum memberikan jawaban konkrit pada fenomena transaksi moderen, melainkan hanya pada isyarat “UQUD KINAYAH”. Sedangkan kinayah itu sendiri, masih belum jelas prakteknya.
Dari sini hendaknya ada perumusan ulang, atau amandemen fikih klasik, sehingga tetap mampu menjawab dan menjadi juklak setiap bentuk kehidupan modern.
Reaktualisasi istilah Fikih klasik pada istilah kekinian
Pembaharuan Istilah Fikih, Sebenarnya tidak begitu penting, selagi substansi Fikih klasik masih cukup relevan dan representative. Namun akan sangat baik, jika istilah Fikih klasik di akselerasikan dengan istilah modern (qadhaya muashirah) yang selalu akan berkembang.
Fikih sebagai juklak setiap kehidupan, hendaknya relevan dengan kasus yang selalu berkembang, sehingga selaras antara obyek dengan predekat, antara mahkum dengan mahkum alaih. Berkenaan dengan efek positif lajunya ilmu dan teknologi, tidak boleh Fikih memberikan penilaian terhadap satu praktik modern yang tidak diketemukan dalam rumusan hukum Fikih klasik, lalu di katakana “Tidak Boleh” atau di hukumi “Haram”. Dengan dalil “Bidah” atau bahkan hanya belum di ketemukan dalam rumusan para mujtahid terdahulu.
Setidaknya, Ulama’ sekarang harus mengadakan kiyas atau mencarikan hukum yang sama atau mendekati pada rumusan Fikih Klasik, selagi ada di sana. Apabila tidak ada dalam rumusan Klasik, maka tugas bagi mujaddid fikih adalah meninjau dan mengembalikan pada aal-adillah al-mujmaliah (Alquran dan Assunah), dengan mengembangkan tapak tilas melalui al-Adillah al-Tafshiliyah. Dalam praktik ini seorang ulama’ tersebut, hanya sebagai seorang mujaddid dari madzhab yang ada. Tidak sampai pada kelas mujtahid mutlak. Karena sebenarnya substansi rumusan fikih klasik telah sempurna. Hanya pengembangan dan penambahan ranting-ranting dari substansi tersebut, yang masuk dalam kategori : Qiyas, Tahsiniyat dan Masholih al-Murasalah. Bahkan Imam Malik, membangun Madzhabnya (Methodologi Istimbatnya) pada urutan Dasar sebagai berikut : Alquran, As-Sunah, Al-Ijma’, Al-Qiyas, atau Tindakan Ahlu al-Madinah, Hadist Al-Ahad selagi tidak bertentangan tindakan ahli al-Madinah, Mashalih Al-Murasalah, Al’urf, Al-Istishab, dan Saddu al-Dzarai’. Dari sinilah hukum fikih tidak jumud, dan ketinggalan zaman.
Saya pribadi lebih senang istilah reaktualisasi fikih dari pada rekonstruksi fikih atau bahkan dekonstruksi fikih yang sama sekali tidak diperbolihkan. Reaktualisasi bersifat hanya mengembangkan dan menambah yang belum sempurna atau belum begitu jelas. Jadi hanya bersifat merubah dan mengambangkan pagar atau memberikan warna yang belum jelas atau warna yang sudah usang, karena lapuknya zaman. Sehingga bangunan substansi fikih masih tetap diatas pondasi semula.
Berbeda dengan istilah rekonstruksi, yang mana fikih semacam di angkat dan dipindahkan dari atas pondasi dan berbentuk dengan kontruksi bangunan yang berbeda. Lebih jauh lagi dekonstruksi, yang mana bangunan fikih semacan diadakan refounding. Kalau sampai sempat terjadi refounding, maka fikih telah lemah dan mudah di angkat dan dipindah-pindah dari fondasi-fondasi barunya. Maka kekokohan dan keasliannya telah hilang. Hal ini adalah harapan dan upaya dari para orientalis barat yang mecoba mengaburkan ajaran islam (Fikih) dan mendangkalkan akidah yang oleh umat Islam telah meyakini baku dan permanen.
Ijtihad kontemporer
Allah, akan selalu menurunkan seorang pembaharu dalam setiap masa. Seorang mujtahid temporer (ashri) selalu akan memberikan pembaharuan syariat Allah. Demikian tersebut karena tuntutan tempat dan zaman( ).
Dalam Fikih dikenal dengan istilah qiyas, yaitu menyamakan sesuatu hal pada hal yang lain, karena sama ilat hukumnya. Dari sinilah seorang mujtahid mendapatkan tanggung jawab untuk mengkiyaskan masalah baru temporer yang sama dengan masalah klasik, serta menginterpretasikan Ayat-Ayat Ahkam dan Nash Hadis sebagai dasar hukum yang datang baru, yang belum terjadi pada zaman para imam mujtahid yang empat.
Setiap saat hendaknya ada mujtahid yang selalu mengembangkan Fikih, sebagai amandemen kekurangan dan mengantarkan Fikih pada sikap mencerahkan yang remang-remang atau belum ada induk hukumnya.
Issu pintu Ijtihad ditutup yang di akukan kepada Imam Suyuti, adalah asumsi tidak benar. Imam Suyuthi sendiri sangat antosias dalam menyerukan berijtihad. Hanya satu kesempatan beliau pernah mencoba selalu mengembalikan ijtihadnya dari dalil yang mujmal, namun selalu sudah ada rumusan hasil ijtihad dari para pendahulunya al-Imam al-Arba’ah, maka beliau termasuk yang merekomendasikan penetapan empat madzhab tersebut.
Maka yang benar adalah pintu ijtihad masih terbuka sepanjang zaman, selagi masih ada kehidupan. Butuhnya aturan dan hukum yang relevan bagi individu maupun masyarakat, yang mana setiap zaman dan lingkungan hidup selalu akan berkembang, adalah sunnatullah dan tabiat alam semesta. Islam yang universal tidak bisa dibuktikan selagi tidak ada upaya untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan. Islam yang rahmatan lil Alamin tidak akan ada buktinya, selagi pengukutnya tidak merubah dengan sendirinya. Islam tidak tiba-tiba datang dipeluk banyak orang, melainkan dengan proses seruan dan promosi dari para ulama’ dan da’I lewat ceramah dan mauidhoh hasanah.
Penutup
Demikinalah para ulma’ dan para kiyai hendaknya selalu menyerukan agama dan selalu memberikan pencerahan atas problematika yang timbul di masyarakat, karena hal ini telah menjadi suatu kewajiban bagi stiap generasi agent of change untuk selalu memperbaharui dan mengembangkan ajaran Islam yang universal.
Tatanan sosial dan kehidupan modern dikatakan bukan bersumber dari sumber hukum Islam adalah semu. Kepentingan duniawi dan tipu dayanya adalah ujian hidup, bagi yang mampu menyikapinya dengan solusi agama adalah lulus dari ujian dunia.
Ajaran agama Islam hendaknya sebagai palsafah hidup dan kembalinya dari setiap aktifitas kehidupan. Fikih sebagi juklak kehidupan, selalu menunjukkan wana terang bagi setiap langkah dari bangun tidur sampai kembali tidur. Fikih sebagai tolok ukur hukum Islam yang lima, adalah akan di mintai pertanggung jawaban sebuah kehidupan dihadapan penciptanya.
Makalah ini kami sampaikan, bukan untuk berani mencoba mereka-reka hukum Islam, melainkan untuk pengembangan positif atas kekurangan corak warna Fikih dalam menyikapi kehidupan yang modern. Beberapa ide dan saran tersebut diatas, hendaknya dimurajaah kepada karya ulama’ salaf yang shalih. Paling tidak kemabli pada karya-karya al-Madzahib al-Arbaah dan para muridnya, tidak sekedar membaca kritik dari kritikus Fikih zaman sekarang, sehingga tidak obyektif.
Akhirnya, Wallahu al-muwafiq ila aqwami at-thoriq, Wallahu a’lam bi as-shawaf.
*****
Daftar Pustaka :
1. Al-Asybah wan Nadzâ'ir, Imam Subuki Tajuddin Abdul Wahab bin Abdul Kafi Al-Syafi'I (771 H), revisitor: Adil Ahmad Abdul Maujud & Ali Muhammad Awadz, Darul Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1411 H.
2. Al-Asybah wan Nadzâ'ir, Imam Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi (911 H), revisitor: Muhammad Muhammad Tamir & Hafidz Asyur Hafidz, Darussalam, 1424 H – 2004 M.
3. Al-Asybah wan Nadzâ'ir, Ibnul Wakil Sadruddin Muhammad bin Umar bin Makky al-Syafi'I (716 H), revisitor: Ahmad bin Muhammad al-Anqary al-Hambali & Adil bin Abdullah al-Syuwaikh al-Iraqi. Tesis pada program Magister pada fakultas Syariah Universitas Imam Muhammad bin Sa'ud al-Islamiyyah, Riyad, 1404 H.
4. Al-Asybah wan Nadzâ'ir, Imam Zainuddin bin Ibrahim [Ibnu Nujaim al-Hanafi], wafat tahun 90 H, revisitor: Dr. Muhammad Muthi', Darul Fikr, Beirut, 1420 H – 1999 M.
5. Al-Inshâf fî Ma'rifati al-Râjih min al-Khilâf, Syeikh Ala'uddin Abul Hasan Ali bin Sulaiman al-Mardawi (885 H), Baitul Afkar Addauliyyah, Jordan.
6. Al-Muwâfaqât, Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Qarnati (790 H), revisitor: Muhammad Abdul Qadir al-Fadhili, Al-Maktabah al-Ashriyah, Beirut, 1423 H – 2003 M.
7. Al-Nadzariyah al-Fiqhiyyah, Dr. Wahbah Zuhayli, Darul Qalam, Darul Qalam, Damaskus, 1414 H.
8. Qawâidul Ahkâm fî Islâhil Anâm, Imam Al-Izz bin Abdussalam (660 H), Daru Ibni Hazm, Beirut, 1424 H – 2003 M.
9. Masqâshid al-Syarîah inda Ibnu Taimiyah, Dr. Yusuf Ahmad Muhammad al-Badawi, Darun Nafais, Jordan, 1421 H – 2000 M.
10. Masqâshid al-Syarîah al-Imiyah, Al-Imam Muhammad al-Thohir bin ‘Asyur, Dar el-Salam, Cairo, 1427 H – 2006 M.
11. AL-Mantsûr fil Qawâ'id li al-Zarkasyi, Imam Badruddin Muhammad bin Bahadir al-Syafi'i (794 H), Wizaratul Awqaf was Syu'un al-Islamiyyah, Kuwait, cet. 2, 1405 H – 1985 M.
12. Qadlaya Fiqhiyah Muasharah, Dr. Ramdlan el-Buthi, Dar el-Farabi, Syria, 2004 M.
*Artikel ini dipresentasikan pada “Workshop Istinbath Hukum Syariat” yang diselenggarakan Kerja sama PCI-NU Mesir, bersama PPMI, KSW, dan KKS, pada tanggal 25 Maret 2007.
Penerbit Syauqipress : http://www.syauqipress.com
Versi Online : http://www.syauqipress.com/?pilih=lihat&id=6
No comments:
Post a Comment