copyduty
Pendahuluan
Hukum Islam dan
dinamika masyarakat sering dipersepsikan sebagai dua hal yang sangat berbeda
dan bahkan dikatakan saling bertentangan.
Dalam satu sudut pandang, hukum Islam
merupakan sesuatu yang tidak akan mungkin mengalami perubahan, karena
berdasarkan wahyu Allah yang bersifat qadim. Setiap yang qadim, bersifat statis
tidak berubah. Sebaliknya, masyarakat secara substansial mengalami perubahan
yang cukup besar dan bersifat dinamis. Sesuatu yang bersifat dinamis tidak
mungkin dihubungkan kepada sesuatu yang bersifat stabil dan statis.namun hukum
Islam tidak statis tetapi mempunyai daya lentur yang dapat sejalan dengan
sesuatu yang berubah dan bergerak.1
Hukum selain
berfungsi sebagai pengatur kehidupan masyarakat atau social control, juga
berfungsi sebagai pembentuk masyarakat atau Social
Enginering.
Kedua fungsi itu juga terdapat pada hukum Islam. Diharapkan kedua fungsi ini
dapat mengatur kehidupan masyarakat sejalan dengan perkembangan zaman
kontemporer ini. Dua peran di atas tidak serta merta mudah dapat dipahami
karena akan berhadapan dengan cara pemahaman terhadap hukum Islam itu sendiri.
Oleh sebab itu, diperlukan kesungguhan dan keluwesan dalam memahami dan
menganalisis setiap ajaran hukum Islam agar tidak termakan oleh waktu serta
mampu menjawab tantangan zaman.
Pemikiran hukum Islam
yang merupakan produk pemikiran ulama-ulama terdahulu bukanlah merupakan hal
yang absolut atau tidak perlu diperbaharui. Sebaliknya, hasil pemikiran yang
tidak sesuai dengan zaman kekinian perlu ditinjau ulang dan ini menunjukkan
bahwa daya lentur dan dinamika pemikiran tersebut kurang mampu mempertahan-kan
diri dalam perkembangan zaman.
Oleh sebab itu
tidaklah mengherankan jika pergumulan hukum Islam dengan dinamika masyarakat
kontemporer selalu menimbulkan pertanyaan ulang terhadap produk-produk
pemikiran ulama terdahulu, terutama jika dikaitkan dengan spektrum masalah
dewasa ini yang semakin kompleks dan luas. Salah satu masalah yang mendasar
adalah apakah hukum Islam mampu mengantisipasi perkembangan dinamika masyarakat
kontemporer atau tidak? Dalam konteks ini tentunya dibutuhkan terobosan baru
dalam perumusan hukum Islam. Salah satu terobosan tersebut adalah
mengin-tegrasikan pemikiran hukum Islam dan dinamika masyarakat kontemporer
yang terus berkembang. Permasalahan tersebut akan dibahas dalam makalah ini
dengan terfokus pada masalah “bagaimana pemikiran hukum Islam dan dinamika
masyarakat priode kontemporer?”
a.
Hukum Islam
Secara etimologis,
kata hukum berakar pada kata atau huruf ح, ك, م , yang berarti menolak. Dari sinilah terben-tuk kata الحكم , yang berarti menolak kelaliman/penganiayaan.2
Adapun secara terminologis, ulama ushul mendefenisikan
hukum dengan titah Allah yang berkenaan dengan perbuatan orang-orang mukallaf,
baik berupa tuntutan, pilihan, maupun larangan. Sedangkan ulama fikih
mengartikannya dengan efek yang dikehendaki oleh titah Allah dari perbuatan
manusia, seperti wajib, haram dan mubagh.3
Selain defenisi yang dikemukakan diatas, kata hukum
mengandung pengertian yang begitu luas. Tetapi secara sederhana, hukum adalah
“seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui
oleh satu negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikat untuk seluruh
anggotanya.”4
Namun demikian dalam
peristilahan hukum Islam dan literatur berbahasa Arab, kata yang biasa digunakan
adalah fiqh, dan syariat atau hukum syara’. Syariat
menurut Mustafa Muhammad al-Zarqa, adalah “kumpulan perintah dan hukum-hukum
akidah, dan muamalah, yang diwajibkan oleh Islam untuk diterapkan guna
mewujudkan tujuannya, yakni kebaikan dalam masyarakat.”5
Syariat juga dapat diartikan
sebagai “ketentuan yang ditetapkan Allah dan
yang dijelaskan oleh Rasul-Nya tentang tindak tanduk manusia di dunia dalam
mencapai kehidupan yang baik di dunia dan akhirat.”6
Secara sederhana,
syariat atau hukum syara dapat diartikan dengan “seperangkat aturan dasar
tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan secara umum dan dinyatakan secara
langsung oleh Allah swt dan Rasul-Nya.”7 Jadi, ketentuan
hukum syara itu terbatas pada ketentuan yang telah dirumuskan langsung dalam
firman Allah (Al Quran) dan sabda Rasulullah saw (hadis).
Perlu dikemukakan
bahwa semua tindakan manusia di dunia dalam upayanya mencapai kehidupan yang
bahagia itu, maka ia harus tunduk kepada kehendak Allah dan Rasul. Kehendak
Allah dan Rasul itu sebagian telah terdapat secara tertulis dalam kitab-Nya
yang disebut syariat, sedangkan sebagian besar lainnya tersimpan di balik apa
yang tertulis itu.
Untuk mengetahui
keseluruhan apa yang dikehendaki Allah tentang tingkah laku manusia itu harus
ada pemahaman yang mendalam tentang syariat hingga secara amaliah, syariat itu
dapat diterapkan dalam kondisi dan situasi apa pun. Hasil pemahaman itu
dituangkan dalam bentuk ketentuan yang terperinci. Ketentuan terperinci tentang
tindak tanduk manusia mukallaf yang diramu dan
diformulasikan sebagai hasil pemahaman terhadap syariat itu, disebut fiqh.
Jadi,
fiqh secara sederhana dapat diartikan
sebagai “hasil penalaran pakar hukum (mujtahid) atas hukum syara yang
dirumuskan dalam bentuk aturan terperinci.”8
Dari uraian di atas,
jelaslah bahwa hukum-hukum fiqh merupakan refleksi dari perkembangan kehidupan
masyarakat sesuai dengan kondisi zamannya.9 Sedangkan hukum
Islam secara terminologis merupakan gabungan dari syariat dan fiqh yang secara
sederhana adalah “seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah
Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui berlaku dan mengikat
untuk semua orang yang beragama Islam.”10
Kata “seperangkat
peraturan” menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hukum Islam itu adalah
peraturan yang dirumuskan secara terperinci yang mempunyai kekuatan mengikat.
Kata ”berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul,” menjelaskan bahwa seperangkat
peraturan itu digali dari dan berdasarkan kepada wahyu Allah dan sunnah Rasul,
atau yang populer dengan sebutan syariat.
Kata-kata “tentang
tingkah laku mukallaf” berarti bahwa hukum Islam mengatur tindakan lahir dari
manusia yang dikenai hukum. Peraturan tersebut berlaku dan mempunyai kekuatan
terhadap orang-orang yang meyakini kebenaran wahyu dan sunnah Nabi tersebut;
dan yang dimaksudkan di sini adalah umat Islam.11
Dengan demikian dapat
dipahami, bahwa hukum Islam berasal dari apa yang dikatakan Allah dalam Al
Quran dan disampaikan oleh Rasul dalam sunnahnya. Bahkan para ahli Usul
Fiqh mengatakan
bahwa titah Allah dan Rasul itulah yang disebut hukum, sedangkan ulama fiqh
mengatakan
bahwa hukum syara adalah pengaruh (efek) titah Allah dan rasul terhadap
perbuatan manusia, bukan titah itu sendiri.12
Munculnya istilah
hukum Islam bisa jadi diadopsi dari literatur Barat. Dalam literatur Barat
memang terdapat term Islamic law yang secara harfiah
dapat berarti hukum Islam. Dalam penjelasan terhadap kata Islamic
law sering
ditemukan definisi “keseluruhan khitab Allah yang mengatur kehidupan setiap
muslim dalam segala aspeknya.”13 Begitu pula kata
“hukum Islam” dalam bahasa Indonesia agaknya merupakan terjemahan dari Islamic
law dari
bahasa Barat. Dalam hal ini definisi hukum Islam (Islamic
law)
tersebut mendekati arti syariat Islam.
Sedangkan T.M. Hasbi
Ash Shiddieqy mendefinisikan hukum Islam dengan “koleksi daya upaya para ahli
hukum untuk menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat.”14 Definisi hukum Islam ini lebih dekat
kepada arti fiqh, dan bukan kepada
syariat.
Bertolak dari
pendapat Amir Syarifuddin dan T.M. Hasbi Ash Shiddieqy itu, maka dapat
dikemukakan bahwa hukum Islam pada hakekatnya mempunyai muatan hukum syara dan
hukum fiqh, karena bersumber dari syariat (Al Quran dan sunnah/hadis) tetapi ia
juga merupakan hasil ijtihad (pengerahan seluruh potensi akal) manusia.
Dengan kata lain,
bahwa syariat Islam yang diterjemahkan sebagai hukum Islam (hukum in
abstracto)
adalah didasarkan pada pengertian syariat dalam arti sempit, sebab makna yang
terkandung dalam syariat (secara luas) mencakup aspek akidah, akhlak dan hukum.
Selain itu kalau hukum Islam diterjemahkan dari syariat Islam, maka nilai hukum
dalam kajian syariat bersifat qat’iy (mutlak benarnya dan
berlaku universal). Sedangkan jika hukum Islam dimaksudkan terjemahan dari fiqh
Islam, maka hukum Islam yang dimaksudkan adalah hasil ijtihad yang nilai
kebenarannya bersifat zanniy, tidak termasuk di
dalamnya nilai hukum Islam dalam pengertian yang bersifat qat’iy.15
Dari uraian di atas,
dapat dikatakan bahwa hukum Islam pada dasarnya mencakup hukum syara dan hukum
fiqh karena ia bersumber dari wahyu (Al Quran dan sunnah), serta merupakan
hasil kreativitas akal manusia terhadap wahyu itu. Sehingga hukum Islam memiliki
dimensi Ilahiyah yang transenden, dan dimensi Insaniyah
yang
profan.
b. Dinamika masyarakat periode
kontemporer
Masyarakat memang
tidak berkembang seperti yang digambarkan oleh August Comte melalui teori La
loi des trois etat
yang diciptakannya. Menurut teori ini, masyarakat berkembang secara linear dari
tahap teologis, metafisik sampai kepada tahap terakhir, positivistik. Pada dua
tahap yang disebutkan pertama, agama masih dianggap mempunyai pengaruh dominan
dalam struktur masyarakat sehingga jika terjadi peristiwa apa saja, semuanya
dikembalikan dan direkonsiliasikan kepada agama. Dalam tahapan demikian pola
pemikiran masyarakat masih sangat sederhana.
Agama kemudian
dianggap kehilangan peran sosialnya dalam masyarakat, setelah masyarakat
mengalami kemajuan di bidang pemikiran sebagai buah dari paham rasionalisme,
yang ditandai dengan kemajuan di bidang keilmuan dan tekhnologi. Dilihat dari
perspektif filsafat sejarah kontemplatif, konsep Effat
al-Shaqawi
dalam kitab Falsafah al-Hadharah al-Islamiyah (1980), proses
perkembangan masyarakat seperti yang digambarkan Comte merupakan proses gerak
maju ke depan.16
Dalam hubungannya
dengan era kontemporer, konsekwensi logis dinamika masyarakat, telah
memunculkan apa yang sering di istilahkan dengan era globalisasi. Secara
sederhana globalisasi diartikan sebagai satu titik perhatian; meskipun ia
terdiri dari beberapa negara yang terpisah dan dihuni oleh kelompok manusia
yang berbeda bangsa, bahasa dan agama. Menyatunya titik pandang itu karena
sudah begitu lancarnya komunikasi dan transportasi hingga jarak tidak lagi
berarti dan lancarnya arus informasi sehingga sekat wilayah dan budaya menjadi
kabur disebabkan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Globalisasi ini
menyebabkan terjadinya perubahan dan pergolakan yang besar dalam seluruh segi
kehidupan.
Meskipun pada saat
ini yang dirasakan paling besar adalah pengaruh dalam bidang ekonomi, tetapi
tetap berpengaruh pada bidang kehidupan yang lainnya. Pengaruh ini bisa dalam
bentuk positif (manfaat) dengan arti menguntungkan kehidupan manusia dan ada
pula dalam bentuk negatif (mudharat) dengan arti merugikan.
Kita tidak mungkin
lari dari arus globalisasi , walaupun takut akan terkena mudharat yang
ditimbulkannya. Sikap yang harus dimiliki oleh ummat Islam adalah meraih
sebanyak mungkin manfaat dari globnalisasi dan dalam jangka waktu yang
bersamaan mampu menghindari segala kemungkinan mudharat.17
Dalam diri manusia
ada dua kemungkinan untuk menghadapi arus globalisasi itu, yaitu; pertama, memiliki kemampuan
dan sisi kekuatan serta keterampilan untuk memanfaatkan sisi positif
globalisasi. Kedua, terdapat titik lemah yang menyebabkan
manusia tidak mampu menghadapi dampak negatif tersebut, sehingga globalisasi
menjadi sumber malapetaka. Tindakan ynag perlu dilakukan adalah memaksimalkan
kemampuan yang ada untuk meraih sebanyak mungkin kesempatan dan peluang yang
terbuka untuk memperoleh unsur positif yang ada pada globalisasi itu. Di
samping itu manusia harus berusaha mneghilangkan titik lemah yang ada pada
dirinya untuk memanimalisir sekecil mungkin dampak negatif globalisasi.18
c. Dinamika Masyarakat Periode
Kontemporer.
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan pemikiran hukum Islam adalah “koleksi daya upaya para ahli
hukum untuk menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat, tentunya ini
bersumber dari pemahaman atas titah Allah yang mungkin mengalami pengembangan
dan perubahan.
Dalam hubungannya dengan dinamika
masyarakat, dikatakan bahwa dalam hukum Islam terdapat wilayah yang tertutup
yang tidak menerima perubahan dan dinamika, yakni hukum-hukum yang telah pasti
(qath’i). inilah yang menyebabkan terpeliharanya kesatuan pemikiran dan
perilaku umat. Sedangkan wilayah yang terbuka meliputi hukum-hukum yang tidak
pasti (zanny), baik dari segi sumbernya (qath’I ats-subut) maupun penunjukannya
(qath’I al-dalalah), yang merupakan bagian terbesar dari hukum-hukum fikhi.
Wilayah inilah yang menjadi tempat ijtihad, yang antara lain mengarahkan fikhi
atau pemikiran hukum Islam ke dalam dinamika, perkembangan dan pembaruan.
Adapun faktor penyebab elastisitas
hukum Islam adalah :
- Allah
sebagai pembuat hukum tidak menetapkan secara taken
for Granted segenap
hal, bahkan Dia membiarkan adanya suatu wilayah yang luas tanpa terikat
dengan nash. Tujuannya adalah untuk memberikan keleluasaan, kemudahan dan
rahmat bagi makhlukNya.
- Sebagian
besar nash datang dengan prinsip-prinsip umum dan hukum-hukum yang
universal yang tidak mengemukakan berbagai rincian dan bagian-bagianya,
kecuali di dalam perkara yang tidak berubah karena perubahan tempat dan
waktu seperti di dalam perkara-perkara ibadah, pernikahan, thalak, warisan
dan lain-lainya. Pada selain perkara-perkara di atas, syariat Islam cukup
menetapkannya secara global
- Nash-nash
yang berkaitan dengan hukum-hukum yang parsial menghadirkan suatu bentuk
mukjizat yang mampu memperluas berbagai pemahaman dan penafsiran, baik
secara ketat maupun secara longgar; baik dengan menggunakan harfiah teks
maupun memanfaatkan substansi dan maknanya. Jarang sekali ditemukan
teks-teks yang tidak menyebabkan variasi pemahaman di kalangan para ulama
di dalam penentuan makna-maknanya dan menggali hukum-hukum dari teks-teks
tersebut. Semua ini berpulang dari watak bahasa dan berbagai fungsinya.
- Di
dalam pemanfaatan wilayah-wilayah terbuka dalam penetapan atau penghapusan
hukum Islam terdapat kemungkinan untuk memanfaatkan berbagai sarana ynag
beraneka ragam, yang menyebabkan para mujtahid berbeda pendapat dalam
penerimaan dan penentuan batas penggunaaanya. Disinilah kemudian muncul
peranan qiyas, istihsan, urf, istihshab dan lain-lain, sebagai dalil bagi
sesuatu yang tidak ditemukan nashnya.
- Adanya
prinsip pengantisipasian berbagai keadaan darurat, berbagai kendala, serta
berbagai kondisi yang dikecualikan dengan cara menggugurkan hukum atau
meringankannya. Hal ini dimaksudkan untuk memudah-kan atau membantu
manusia karena kelemahan mereka dihadapkan berbagai keadaan darurat yang
memaksa serta kondisi-kondisi yang yang menekan.19
Dari berbagai faktor
yang telah dijelaskan, dapat dipahami dengan mudah mengapa hukum Islam dapat
mengakomodir segala bentuk dinamika masyarakat.
Selain faktor diatas,
dalam hukum Islam Ulama mengenal adanya kaidah Mulazamah. Kaidah ini
mengatakan, menurut para ulama, bahwa setiap hukum Islam, entah wajib,
mustahab, haram dan makruh, pastilah disebabkan pertimbangan atas suatu
maslahat atau untuk menolak suatu bahaya tertentu. Karena itu, hukum-hukum
Islam punya karakteristik sangat bijaksana. Hukum Islam tidak akan mengatakan
sesuatu yang tidak ada artinya. Ada hubungan yang sangat erat antara hukum
Islam dan akal-suatu hubungan yang tidak dimiliki oleh agama-agama lain. 20
Selain itu para ulama
juga mengenal kaidah al-ahamm (yang lebih penting)
dan al-Muhimm (yang
penting).Artinya, jika seseorang menghadapi dua hukum agama dan tidak mampu
mengamalkan kedua hukum itu secara bersamaan, maka ia wajib memikirkan mana
yang lebih penting dari kedua hukum itu, serta kemudian ia mengorbankan hukum
yang lebih sedikit nilai pentingnya demi hukum yang lebih banyak nilai
pentingnya. Perhitungan kaidah al-hamm dan al-muhimm mengatakan kepada
manusia., “lakukanlah
shalat qashar dan janganlah engkau berpuasa ketika kamu dalam perjalanan”. Al-Quran mengatakan:
barang siapa di antara kamu sakit atau sedang berada dalam perjalanan, maka
hendaklah ia berpuasa pada hari-hari yang lain sebanyak bilangan hari puasa
yang ia tinggalkan (QS. 2:185). Jika ditanyakan hal ihwal mengapa demikian,
maka ayat tersebut juga berbicara tentang sebabnya itu: Allah
menginginkan kemudahan bagimu dan tidak menginginkan kesulitan bagimu (QS. 2:
185).
Demikianlah hukum
Islam menyesuaikan dirinya dengan berbagai macam keadaan. Hukum Islam karena
daya lentur yang terdapat padanya, mampu mengakomodasi perubahan zaman dan
dinamika masyarakat.
Penutup.
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa:
- Hukum
Islam memiliki beberapa karakteristik yang unik yang tidak dimiliki oleh
sistem hukum yang lain. Keluwesan dalam memahami dan menganalisis setiap
ajaran hukum Islam sangat diperlukan agar tidak termakan oleh waktu serta
mampu menjawab tantangan zaman.
2. Konsekwensi
dinamika masyarakat adalah timbulnya era globalisasi yang mempengaruhi
kehidupan. Pengaruh ini bisa dalam bentuk positif (manfaat) dengan arti
menguntungkan kehidupan manusia dan ada pula dalam bentuk negatif (mudharat)
dengan arti merugikan.
3. Faktor-faktor
keluwesan hukum Islam sehingga mampu menghadapi dinamika masyarakat adalah
:Allah sebagai pembuat hukum tidak menetapkan hukum secara taken
for Granted,
sebagian besar nash datang dengan prinsip-prinsip umum dan hukum-hukum yang
universal, nash-nash yang berkaitan dengan hukum-hukum yang parsial mampu
memperluas berbagai pemahaman dan penafsiran, adanya prinsip pengantisipasian
berbagai keadaan darurat, berbagai kendala, serta berbagai kondisi yang
dikecualikan dengan cara menggugurkan hukum atau meringankannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zaid, Faruq. Al-Syari’ah al-Islamiyah Bayna al-Muhafizin wa al-Mujahidin, Kairo: Dar al-Waqaf, [t.th.].
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Falsafah Hukum Islam, Cet. I; Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.
Khallaf, Abd. Wahab. Ilmu Ushul Fiqhi, al-Majklis al-‘Ala al-Andalusia li al-Da’wah
al-Islamiyah, Jakarta, 1972.
Muslihuddin,
Muhammad. Philosophy of Islamic Law, Lahore: Islamic
Publication Ltd., [t.th.].
Muthahhari, Murtadha. Inna ad-Din Inda Allah al-Islam, diterjemahkan
oleh Ahmad Sobandi dengan judul Islam dan Tantangan Zaman, Cet. II:
Bandung; Pustaka Hidayah, 1996.
Syarifuddin, H. Amir. “Pengertian dan Sumber Hukum Islam,” dalam H. Zaini
Dahlan, et al., Filsafat
Hukum Islam, Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
——-. Meretas
Ijtihad: Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia, Cet. I; Jakarta:
Ciputat Press, 2002.
——-. Ushul
Fiqh, Jilid
I, Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Syihab, Umar. Hukum Islam dan
Transfornasi Pemikiran, Cet. I: Dina
Utama semarang; Semarang, 1996.
Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam dan Pluralisme Budaya dan Politik, Cet. II: SIPRESS; Yogyaklarta, 1994.
Usman, H. Suparman. Hukum
Islam:
Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum
Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama,
2001.
‘Uways, Abdul
Halim. al-Fiqh al-Islami
bayn ath-Tathawwur wa ats-Tsabat, diterjemahkan
oleh A. Zarkasyi Chumaidy dengan Judul Fiqh Statis dan Dnamis, Cet. I; bandung; Pustaka al-Hidayah, 1998.
al-Zarqa, Mustafa Muhammad. Al-Fiqh al-Islamiy fi ¡aubih al-Jadidah, Jilid I, Beirut: Dar al-Fikr, 1968.
Dosen pada Jurusan Syariah STAIN Ambon;
Magister Hukum Islam Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN)
Alauddin Makassar.
H. Amir Syarifuddin, Meretas
Ijtihad: Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia (Cet. I; Jakarta:
Ciputat Press, 2002), h. 3.
Umar syihab, Hukum Islam dan Transpornasi pemikiran, (Cet. I: Dina Utama semarang; Semarang, 1996), h. 8.
3 Abd. Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqhi, (Al-Majklis al-‘Ala al-andalusia li
al-Da’wah al-Islkamiyah, jakarta, 1972).
h. 11.
4H. Amir Syarifuddin,
Ushul Fiqh, Jilid
I (Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 281. Lihat pula Muhammad
Muslihuddin, Philosophy of Islamic Law (Lahore: Islamic
Publication Ltd., [t.th.]), h. 17.
5Mustafa Muhammad
al-Zarqa, Al-Fiqh al-Islamiy fi ¡aubih
al-Jadidah, Jilid
I (Bayrut: Dar al-Fikr, 1968), h. 30.
6H. Amir Syarifuddin,
“Pengertian dan Sumber Hukum Islam,” dalam H. Zaini
Dahlan, et al., Filsafat Hukum Islam (Cet. II; Jakarta:
Bumi Aksara, 1992), h. 16.
9Faruq Abu Zaid, Al-Syari’ah
al-Islamiyah Bayna al-Muhafizin wa al-Mujadiddin (Kairo: Dar al-Waqaf,
[t.th.]), h. 12.
14Teungku Muhammad
Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam (Cet. I; Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 44.
15H. Suparman Usman, Hukum
Islam: Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Cet. I; Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001), h. 20-21.
16 Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam dan Pluralisme Budaya dan Politik, (Cet. II: SIPRESS; Yogyaklarta, 1994), h. 11.
No comments:
Post a Comment