KATA PENGANTAR
Alhamdulillah wasyukru lillah,
Sholawat dan Salam buat Rosulillah.
Terima
kasih juga kepada Dosen Pengampu yang telah memberikan bimbingan dan petunjuk
dalam menyelesaikan Makalah ini, semoga kedepan dapat lebih baik lagi.
Makalah
yang kami buat ini berkenaan dengan Bahasa dan Budaya, Bahasa merupakan suatu
pesan yang diucapkan penutur kepada pendengar untuk menyatakan maksud. Bahasa
itu sendiri merupakan produk budaya pemakai bahasa.
Budaya
selalu dilekatkan pada adat istiadat, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang
tidak mudah diubah. Oleh karena itu, Budaya memiliki andil dalam pembentukan
bahasa yang digunakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu sendiri.
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………..1
DAFTAR
ISI …………………………………………............2
BAB
I PENDAHULUAN ……………………………….……3
BAB
II PEMBAHASAN ……………………………….…….5
BAB
III PENUTUP…………………………………………..11
DAFTAR
PUSTAKA ………………………………………..12
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Bahasa dalam penggunaan (language in
use) bukanlah sekedar alat komunikasi, tetapi lebih dari itu bahasa dalam
penggunaan merupakan bagian dari pesan dalam komunikasi. Brown dan Yule (1983:
1) mengindikasikan hal di atas dengan istilah ‘transaksional’ dan ‘interpersonal’,
sementara Halliday (1994: xiii) mengetengahkan istilah ‘ideasional’ dan
‘interpersonal’ dan menambahkan satu fungsi lagi, yaitu fungsi ‘tekstual’.
Istilah transaksional atau ideasional mengacu pada fungsi bahasa untuk mengirim
‘isi pesan’ komunikasi, istilah interpesonal mengacu pada fungsi bahasa untuk
membentuk ‘hubungan sosial’ dalam komunikasi tersebut, dan istilah tekstual
mengacu pada fungsi ‘pengorganisasian’ gabungan kedua fungsi tersebut.
Sebagai bagian dari pesan, bahasa
merupakan media untuk saling berhubungan antara penutur dan petutur. Dalam
konteks tansaksional ini, manusia berinteraksi untuk membangun hubungan sosial
dan memelihara hubungan sosial itu dengan menggunakan bahasa pula. Dalam
berinteraksi, penutur di Pekanbaru misalnya akan mengunakan beragam dialek
dalam berkomunikasi karena masyarakat di Pekanbaru terdiri dari beragam etnis.
Masing-masing penutur akan berkomukasi dengan menggunakan bahasa Indonesia
secara sadar atau tidak sadar menggunakan dialek bahasa daerahnya yang
menyertai dalam berinteraksi dengan orang lain. Penggunaan dialek bahasa ini
kelihatannya terkait dengan budaya.
Makalah ini akan mengkaji hubungan
bahasa dengan budaya yang ada di Pekanbaru. Kajian ini dianggap menarik karena
masyarakatnya yang multietnis yang tersebar di Pekanbaru menggunakan bahasa
Indonsia sebagai bahasa sehari-hari. Selain itu, makalah ini juga mengkaji
hubungan bahasa dan budaya dengan bahasa lainnya, dalam hal ini, bahasa Inggris.
Berdasarkan uraian di atas, rumusan
masalah yang akan dijawab dalam kajian ini adalah: “Apakah hubungan antara
bahasa dan budaya?”
Tujuan penulisan makalah adalah untuk menjelaskan hubungan antara bahasa dan budaya.
Tujuan penulisan makalah adalah untuk menjelaskan hubungan antara bahasa dan budaya.
Secara umum, manfaat kajian makalah
ini adalah agar masyarakat pengguna bahasa memahami pentingnya hubungan antara
bahasa dan budaya yang terjadi dalam interaksi sosial. Secara khusus, sebagai
masukan bagi para pemerhati bahasa dan pengajar bahasa dalam upaya pembelajaran
bagi para mahasiswanya.
Data penelitian ini bersumber dari
observasi lapangan yang dilaksanakan di Pekanbaru dan juga telaah kepustakaan.
Data dikumpulkan kemudian diklasifikasi berdasarkan kelompok. Setelah itu, data
dianalisis untuk menjawab pertanyaan yang diajukan.
BAB II
PEMBAHASAN
Bahasa dan Budaya
Dalam interaksi sosial, kita tidak
jarang menemukan bahwa apa yang kita ucapkan atau kita sampaikan kepada lawan
bicara kita tidak bisa dipahami dengan baik. Kegagalan memahami pesan ini
disebabkan beberapa faktor antara lain: beda usia, beda pendidikan, beda
pengetahuan, dan lain-lain.
Selain itu, faktor budaya juga
berhubungan dengan bahasa. Kata Kamu dan Kau misalnya diucapkan berbeda dalam
konteks budaya berbeda. Sebutan Bapak di negara yang menggunakan bahasa
pengantarnya adalah bahasa Inggris menggantikannya dengan panggilan nama saja,
misalnya John, dianggap sebagai hal yang wajar saja. Dengan perkataan lain,
seorang anak, sah-sah saja mengatakan Bapaknya dengan sebutan nama Bapaknya itu
sendiri. Berbeda halnya dengan budaya timur, sapaan nama bapak sebagai ganti
sapaan Bapak dianggap sebagai orang yang tidak berbudaya. Begitu juga dengan
kata mati dalam bahasa Indonesia memiliki beberapa kata yang memiliki makna
yang sama, sedangkan dalam bahasa Inggris hanya memiliki dua kata saja yaitu
die dan pass away.
Problematika hubungan antara bahasa
dan budaya merupakan kajian yang sampai saat ini masih menjadi bahan
perdebatan. Pengertian bahasa itu sendiri didefenisikan oleh para ahli bahasa
dan sampai sekarang masih menjadi perdebatan yan g tidak habis-habisnya.
Loren Bagus, misalnya, memberi
beberapa pengertian bahasa (1996):
Kumpulan kata-kata, arti kata-kata yang standar, dan bentuk-bentuk ucapan yang digunakan sebagai metode komunikasi.
Cara apa saja yang menyatakan isi-isi kesadaran (rasa perasaan, emosi, keinginan, pikiran) dan pola arti yang konsisten.
Kumpulan kata-kata, arti kata-kata yang standar, dan bentuk-bentuk ucapan yang digunakan sebagai metode komunikasi.
Cara apa saja yang menyatakan isi-isi kesadaran (rasa perasaan, emosi, keinginan, pikiran) dan pola arti yang konsisten.
Kegiatan universal insan untuk
membentuk sistem tanda-tanda sesuai dengan aturan asosiasi yang diterima umum.
Bahasa berarti bentuk-bentuk ucapan manusia yang dikondisikan secara historis dan sosial.
Bahasa berarti bentuk-bentuk ucapan manusia yang dikondisikan secara historis dan sosial.
Bahasa adalah suatu sistem
simbol-sismbol yang dapat digunakan untuk menyatakan atau menerangkan hal-hal
seperti: (1) obyek material eksternal, (2) hal mental internal, (3) kualitas,
(4) relasi, (5) tanda logika matematika, (6) fungsi, (7) kesadaran, (8) proses,
dan (9) kejadian.
Hal yang sama terjadi pada pemahaman
orang tentang budaya yang berbeda-beda dan dalam literatur kita menjumpai para
ahli budaya mencoba menerangkan apa dan bagaimana budaya itu. Budaya, menurut
kamus besar bahasa Indonesia (2002), (1) pikiran, akal budi, (2) adat istiadat,
(3) sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradap, maju), (4)
sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah.
Dari kedua fenomena di atas terlihat
bahwa bahasa dan budaya memiliki hubungan yang saling mengikat untuk suatu
tujuan interksi sosial di masyarakat. Pemahaman akan bahasa dan budaya
merupakan suatu yang urgen untuk menghindari salah ucapan dan salah tindakan.
Kata ganti orang kedua tunggal kamu dan kau misalnya memiliki latarbelakang
pengalaman yang berbeda. Pronomina kata sapaan kamu digunakan untuk sapaan
kepada si pendengar dengan hubungan sosial yang tidak intim. Sebaliknya,
penggunaan pronomina kata sapaan kau lazim digunakan penutur bahasa jika lawan
bicaranya tersebut adalah orang yang dekat dengan si penutur atau sahabatnya.
Mengapa ini bisa terjadi? Budaya kita mengajarkan kepada kita adat istiadat
yang harus dipatuhi oleh masyarakat pemakai bahasa. Kita tidak bisa mengatakan
kau kepada kedua orang tua kita, atau kepada saudara-saudara kita yang lebih
tua dari kita. Begitu juga dalam pergaulan sehari-hari, kita tidak lazim
menggunakan kata sapaan kau untuk orang yang lebih tua dari kita.
Fenomena di atas menggambarkan
kepada kita bahwa ada aturan permaian bagaimana kita berkomunikasi dalam
berkehidupan masyarakat yang harus kita patuhi bersama yang lazim kita sebut
dengan budaya. Budaya secara tidak langsung mempengaruhi perilaku kita dalam
berkomunikasi. Budaya itu juga menjadi tolok ukur penggunaan bahasa dalam
interaksi sosial.
Fenomena lain dapat digambarkan
dalam sudut pandang sapaan dalam bahasa Inggris. Si anak dalam komunitas di
negara-negara yang memiliki bahasa Inggris sebagai bahasa pengartar mereka
dalam pergaulan sehari-hari menyebutkan panggilan kepada Bapaknya dengan
sebutan nama saja, misalnya John dan buka father atau Daddy. Namun, kita juga
sering menjumpai mereka lebih suka memanggil ayah atau bapak mereka dengan
sebutan father atau daddy.
Kedua contoh di atas menggambarkan
eratnya hubungan antara bahasa dan budaya. Bahwa bahasa mempengaruhi budaya,
begitu juga sebaliknya bahwa budaya berpengaruh pada bahasa. Dalam Hipotesis
Sapir-Whorf dinyatakan bahwa bahasa menentukan bukan hanya budaya tetapi juga
cara dan jalan pikiran manusia(Allen & Corder 1973: 101) . Dengan perkataan
lain, suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa lain akan mempunyai jalan
pikiran yang berbeda pula. Perbedaan-perbedaan budaya dan jalan pikiran manusia
itu berawal dari perbedaan bahasa. Tanpa ada bahasa manusia tidak mempunyai pikiran
sama sekali.
Hipotesis Sapir-Whorp ini belum
dapat dibuktikan sampai sekarang karena ilmu pengetahuan menekankan satunya
jalan pikiran manusia. Dalam ilmu pengetahuan bahasa digunakan sebagai alat
menyatakan pikiran. Suatu pikiran bila dinyatakan dalam satu bahasa tidak akan
berbeda bila dinyatakan dalam bahasa lain. Dengan demikian, bahasa tidak
mempengaruhi jalan pikiran, apalagi menentukan sebagaimana yang dinyatakan
hipotesis Sapir-Whorf.
Perbedaan budaya ada kaitannya
dengan perbedaan bahasa. Ini dapat dilihat jika kita menterjemahkan kalimat
bahasa It rains cats and dogs ke dalam bahasa Indonesia yang berarti “hujan
sangat lebat” dan bukan “hujan kucing dan anjing.” Budaya Inggris memiliki
suatu realitas yang mendasar bahwa adat kebiasaan binatang seperti kucing dan
anjing bila berjumpa akan saling bermusuhan. Dengan demikian, pemberian makna
cats and dogs adalah suatu ungkapan yang menyatakan sesuatu yang terjadi secara
terus menerus. Hal yang sama juga ada dalam bahasa Indonesia. Ungkapan Saya sudah
membanting tulang mulai pagi hari sampai malam hari tidak bermakna bahwa saya
“membanting tulang-tulang” yang ada dalam tubuh saya. Namun, makna membanting
tulang yang disepakti dan menjadi kebiasaan dalam masyarakat pemakai bahasa Indonesia
berarti “bekerja keras.”
Selain itu, kata meninggal dunia
dalam budaya Indonesia dan budaya barat memiliki perbedaan yang jelas. Untuk
menyatakan orang itu sudah tidak bernyawa lagi, masyarakat Indonesia memiliki
beberapa kata, seperti wafat, mangkat, meninggal dunia, tewas, mati, lenyap,
berpulangkerahmatullah, dan lain-lain. Dalam konteks budaya, ungkapan meninggal
dunia merupakan hal yang paling lumrah dalam sejarah perjalanan kehidupan
masyarakat Indonesia. Gambaran sejarah Indonesia yang berawal dari munculnya
kerajaan-kerajaan di Indonesia tidak terlepas dari perebutan kekuasaan yang
pada akhirnya diselesaikan dengan pertumpahan darah. Gambaran ini mencerminkan
satu budaya penggunakan kata meninggal dunia dengan istilah nama-nama lainnya
yang berhubungan dengan meninggal dunia.
Hal yang berbeda terjadi dalam
bahasa Inggris. Meskipun sejarah negara-negara barat tak luput dari pergolakan
peperangan, penggunaan kata meninggal dunia diekpresikan dengan dua kata saja
yaitu die dan pass away. Pemilihan kata-kata yang sesuai untuk kepentingan
interaksi sosial sangat tergantuk pada budaya tempat bahasa itu digunakan. Ini
sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Sumarjan & Partana (2002: 20) bahwa
bahasa sering dianggap sebagai produk sosial atau produk budaya, bahkan merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan itu. Sebagai produk sosial atau
budaya tertentu, bahasa merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku
masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh
masyarakat pemakai bahasa itu.
Bahasa bisa dianggap sebagai cermin
zamannya. Artinya, bahasa itu dalam suatu masa tertentu mewadahi apa yang
terjadi dalam masyarakat.
Bahasa sebagai hasil budaya mengandung nilai-nilai masyarakat penuturnya. Dalam bahasa Bali terdapat ungkapan berbunyi Da ngaden awak bisa (jangan menganggap diri ini mampu) mengandung nilai ajaran agar orang jangan merasa bisa; yang kira-kira senada dengan ungkapan dalam bahasa Jawa rumongso biso, nanginging ora biso rumongso (merasa mampu tetapi tidak mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain).
Bahasa sebagai hasil budaya mengandung nilai-nilai masyarakat penuturnya. Dalam bahasa Bali terdapat ungkapan berbunyi Da ngaden awak bisa (jangan menganggap diri ini mampu) mengandung nilai ajaran agar orang jangan merasa bisa; yang kira-kira senada dengan ungkapan dalam bahasa Jawa rumongso biso, nanginging ora biso rumongso (merasa mampu tetapi tidak mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain).
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Hubungan bahasa dan budaya sangat
erat. Di satu sisi bahasa merupakan alat untuk menyampaikan maksud antara apa
yang dimaksudkan oleh si penutur, di lain sisi, bahasa itu merupakan produk
budaya pemakai bahasa. Budaya selalu dilekatkan pada
adat istiadat, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah. Budaya memiliki andil dalam pembentukan bahasa yang digunakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu sendiri
adat istiadat, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah. Budaya memiliki andil dalam pembentukan bahasa yang digunakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu sendiri
DAFTAR PUSTAKA
Allen, J.P.B & S. Pit Corder.
Ed. 1973. Readings for Applied Linguistics. London: Oxford University.
Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Brown, Gillian & George Yule. 1983. Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge University Press.
Halliday, M.A.K. 1985/1994. Introduction to Functional Grammar. Second edition. London: Edward Arnold.
Pusat Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Sumarsono & Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.
Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Brown, Gillian & George Yule. 1983. Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge University Press.
Halliday, M.A.K. 1985/1994. Introduction to Functional Grammar. Second edition. London: Edward Arnold.
Pusat Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Sumarsono & Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.
No comments:
Post a Comment