1. PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah Tuhan
sekalian alam, yang telah memerintahkan manusia untuk menyeru saudaranya dengan
hikmah, mauidzah hasanah, dan al-jidal al-hasanah
Shalawat dan salam semoga tercurah
bagi Nabi Muhammad SAW, penuntun umat manusia ke jalan yang benar melalui wahyu
dan sabdanya. Sehingga melahirkan ulama-ulama dan intelektual yang berkualitas
yang mampu menjawab berbagai permasalahan yang dibutuhkan oleh umat pada zamannya.
Apabila diurut dari awal sangat
banyak intelektual Muslim yang jenius dan telah mewariskan karya dan ilmu
pengetahuannya kepada kita saat ini. Sebagai contoh Ibnu Sina (Bapak
Kedokteran), Mullah Sadra (Metafisikawan), Ibn Al-Haitam (Ahli Fisika optic),
Jabir Ibn Hayyam Al-Kufi (Perintis kimia modern) dan diantaranya pula adalah
seorang ulama abad ini yaitu Yusuf Al-Qardhawi (selanjutnya disebut Qardhawi).
Sidek Baba secara khusus juga
menyebut Qardhawi sebagai salah satu deretan nama seorang mujaddid. Tokoh-tokoh
seperti Ibn Taimiyyah, Muhammad Abduh, Muhammad bin Ab. Wahab. Hassan al Banna,
Sheikh Muhammad al Ghazali, Ismail Faruqi dan Yusof al Qardawi adalah diantara
contoh tokoh-tokoh yang membawa pembaharuan pemikiran pada tempo-tempo
terdahulu hingga saat ini. Dalam Dunia Melayu tokoh-tokoh seperti Wali Songo,
Muhammad Nasir, Sheikh Tahir Jalaluddin, Muhammad Naquib al Attas adalah
sebahagian dari tokoh-tokoh pembaharuan dalam pelbagai bidang ilmu Islam.[1
Mereka telah menorehkan tinta emas
sejarah khazanah intelektual muslim dan dunia saat ini. Buah pikiran dan
ide-ide cemerlang mereka tidak berhenti dimakan zaman tapi terus berkembang dan
menjadi referensi dan acuan intelektual bagi generasi-generasi berikutnya.
Dalam bidang dakwah Qardhawi telah
menulis beberapa buku diantaranya “Khitabuna Al-Islami fi Ashr
Al-Aulamah yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia
menjadi “Retorika Islam Era Globalisasi” dalam buku ini
Qardhawi mengklarifikasi tuduhan barat terhadap Islam, dan menjelasakan tentang
retorika dakwah menurut ajaran Islam yang benar. Yaitu tentang hakekat retorika
Islam, metode dan retorika agama menurut Al-Qur’an, Ciri-ciri metode dakwah
Islamiyah, dan karekteristik metode dakwah Islamiyah.
Qardhawi dilahirkan di Desa Shafth
Turab, Profinsi Manovia, Mesir pada tahun 1926. sejak kecil Qardhawi sudah
digembleng dalam nuansa keagamaan. Tidak heran pada umur sembilan tahun, dia
sudah hafal 30 juz Al-Qur’an.
Qardhawi menyelesaikan pendidikan
formalnya dari mulai pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi di Al-Azhar. Dia
sangat mencintai almamaternya tersebut. Sebagaimana dalam pernyataannya “Saya
cinta Al-Azhar sejak kecil, saya bercita-cita untuk menjadi salah satu
ulamanya. Al-Azhar menurut hemat saya adalah benteng pertahanan agama dan
ilmu pengetahuan. Atas bimbingan Al-Azhar orang-orang bodoh bisa belajar dan
para pelaku maksiat mau bertobat”[2]
Qardhawi menempati posisi vital
dalam hal pemikiran dan dakwah Islam kontemporer. Waktunya dihabiskan untuk
berkhidmah kepada Islam, berceramah menyampaikan masalah-masalah aktual yang
dihadapi oleh umat Islam di berbagai negara. Dia adalah ulama yang fokal dan
berani menentang kelaliman hingga pernah dipenjara oleh pemerintahan Mesir
saat itu. Dalam segi kepribadian Qardhawi juga adalah seorang yang sederhana
dan tawadu’ dalam pergerakan Islam kontemporer ia mengilhami kebangkitan Islam
modern. Hingga saat ini, sekitar 125 buku telah ia tulis, dalam berbagai
dimensi keislaman. Sedikitnya ada 13 aspek kategori dalam karya-karya Qardhawi.
Seprti maslah Fikih, Usul Fiqh, Ekonomi Islam, Ulumul Qur’an dan Sunnah. Aqidah
dan filsafat, fikih dan prilaku, dakwah dan tarbiyah, gerakan dan kebangtkitan
Islam, sastra dan lainnya. Sebagaian karya-karyanya telah diterjemahkan kedalam
berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia. Tercatat sedikitnya 55 judul buku
telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.[3]
1.
B. Konsep Pendidikan
Islam
b.1. Ma’na Pendidikan
Menurut Ngalim Purwanto pendidikan
adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk
memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. [4]
Hassan Langgulung (1987) menegaskan
pendidikan sebagai merubah dan memindahkan nilai-nilai kebudayaan kepada setiap
individu masyarakat melalui pelbagai proses. Proses pemindahan tersebut ialah
pengajaran, latihan dan indoktrinasi. Pemindahan nilai-nilai melalui pengajaran
ialah memindahkan pengetahuan dari individu kepada individu yang lain; dan
latihan ialah membiasakan diri melakukan sesuatu untuk memperoleh kemahiran,
sementara indoktrinasi juga menjadikan seseorang dapat meniru apa yang
dilakukan oleh orang lain. Ketiga proses ini berjalan serentak dalam masyarakat
primitif dan moden.[5]
Sedangkan pendidikan dalam Islam
merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju taklif
(kedewasaan), baik secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi
kemanusiaan yang diemban-sebagai seorang hamba (abd)[6] dihadapan Khaliq-nya dan sebagai ‘pemelihara’
(khalifah) pada semesta.[7] Karenanya, fungsi utama pendidikan adalah
mempersiapakn peserta didik (generasi penerus) dengan kemampuan dan keahlian
(skill) yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ke
tengah masyarakat (lingkungan). Dalam lintasan sejarah peradaban Islam, peran
pendidikan ini benar-benar bisa dilaksanakan pada masa-masa kejayaan Islam. Hal
ini dapat kita saksikan, di mana pendidikan benar-benar mampu membentuk
peradaban sehingga peradaban Islam menjadi peradaban terdepan sekaligus peradaban
yang mewarnai sepanjang Jazirah Arab, Asia Barat hingga Eropa Timur. Untuk itu,
adanya sebuah paradigma pendidikan yang memberdayakan peserta didik merupakan
sebuah keniscayaan.[8]
Kesadaran
akan urgensi ilmu pengetahuan dan pendidikan di kalangan umat Islam ini tidak
muncul secara spontan dan mendadak, namun kesadaran ini merupakan efek dari
sebuah proses panjang yang dimulai pada masa awal Islam (masa ke-Rasul-an
Muhammad). Pada masa itu Muhammad senantiasa menanamkan kesadaran pada sahabat
dan pengikutnya akan urgensi ilmu dan selalu mendorong umat untuk
senantiasa mencari ilmu.[9] Hal ini dapat kita buktikan dengan adanya banyak
hadis yang menjelaskan tentang urgensi dan keutamaan (hikmah) ilmu dan orang
yang memiliki pengetahuan. Bahkan dalam sebuah riwayat yang sangat termashur
disebutkan bahwa Nabi Muhammad menyatakan menuntut ilmu merupakan sesuatu yang
diwajibkan bagi umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan.
Setelah
wafatnya Nabi Muhammad dan para sahabat, umat Islam secara umum tetap
melanjutkan misi ini dengan menanamkan kesadaran akan urgensi ilmu pengetahuan
kepada generasi-generasi sesudahnya, sehingga kesadaran ini menjadi sesuatu
yang mendarah daging di kalangan umat Islam dan mencapai puncaknya pada abad XI
sampai awal abad XIII M.[10]
Qardhawi
(1980) pula mendefinisikan pendidikan sebagai pendidikan bagi keseluruhan hidup
termasuklah akal, hati dan rohani, jasmani, akhlak, dan tingkahlaku.[11]
Qardhawi
juga memandang bahwa semua ilmu bisa islami dan tidak islami, tergantung kepada
orang yang memandang dan mempergunakannya. Pemisahan ilmu secara dikotomis itu,
menurut Qardhawi, telah menghambat kemajuan umat Islam.[12]
Meskipun
demikian setidaknya ada tiga hal penting yang perlu mendapatkan perhatian
serius tentang dikotomis atau non-dikotomis yaitu:
1.
Dalam kerangka teori dan falsafah
yang harus ada didalam Backmaind (alam bawah sadar manusia)
bahwasannya Ilmu tidak dapat didikotomikan karena segala pengetahuan adalah
telah ada didalam konsep Islam baik yang dapat dibenarkan sekaligus diterima
maupun yang tidak diterima.
2.
Dalam tataran praktek pendidikan
tidak dapat dipungkiri bahwa ada dan bahkan harus dilakukan pendikotomian ilmu
secara fiqhul aulawiyat (mengambil yang prioritas) mengingat
kemampuan manusia yang sangat terbatas.
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh.
Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit".[13]
1.
Demikian pula para ulama juga telah
membagi ilmu kedalam fardhu ‘ain dan fardhu
kifayah yang menunjukkan bahwa pendikotomian dalam arti prioritas
adalah hal yang bahkan harus dilakukan.
Jadi
pendidikan menurut Islam ialah satu proses yang berkesinambungan untuk merubah,
melatih, dan mendidik akal, jasmani, dan rohani manusia dengan berasaskan
nilai-nilai Islam yang bersumberkan wahyu bagi melahirkan insan yang bertaqwa
dan mengabadikan diri kepada Allah s.w.t. untuk mendapatkan kejayaan di dunia
dan akhirat.
b.2.
Tujuan Pendidikan
Secara
garis besar bahwa tujuan pendidikan adalah[14]:
1.
a. Menciptakan
manusia-manusia yang siap mengarungi kehidupan dalam berbagai situasinya
2.
b. Mempersiapkan
peserta didik untuk mampu hidup bermasyarakat dalam aneka ragam gejolaknya.
Qarwadi
menyebut tujuan pendidikan adalah untuk mempersiapkan manusia dalam menghadapi
masyarakat yang sering terdapat didalamnya kebaikan dan kejahatan, kemanisan
dan kepahitan.[15]
Diantara
materi-materi pendidikan yang dapat menghantarkan manusia untuk mewujudkan
tujuan diatas adalah[16]:
1.
al-imaniyah (pendidikan iman)
2.
al-khuluqiyah (pendidikan akhlak)
3.
al-jismiyah (pendidikan jasmani)
4.
al-aqiliyah (pendidikan mental)
5.
al-nafsiyah (pendidikan jiwa)
6.
al-ijlimaiyah (pendidikan sosial)
7.
al-jinisiyah (pendidikan seks)
Dari
sini dapat pula dilihat pendapat beliau yang secara lebih sepesifik
mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan tidak hanya semata-mata membentuk manusia
agar membangun hubungan yang baik secara vertikal kepada Allah Swt. Saja,
tetapi harus pula berujung pada terbentuknya hubnungan horisontal yang harmonis
terhadap sesama manusia dan alam disekitarnya.
Hal
ini karena adalah sesuai dengan isyarat Allah swt. Yang disebutkan dalam Qs.
Ali Imran ayat 112 berikut ini.
"Mereka
diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang
kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia[218][17], dan
mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan.
yang demikian itu[219][18] karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan
membunuh Para Nabi tanpa alasan yang benar. yang demikian itu[220][19] disebabkan
mereka durhaka dan melampaui batas".
b.3.
Sistem Pendidikan
Untuk
mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan diatas maka haruslah dibuat sebuah system
yang dapat menghantarkannya. Diantara sisitem-sistem dimaksud maka dapat
diterapkan dalam institusi pendidikan berikut ini[20]:
b.3.1. Masa Permulaan Islam
Tahap
ini adalah mencakup pendidikan pada zaman Rasulullah (609-632M) dan para
khulafah al-Rasyidih (632-661M).
b.3.1.1. Dar al-Arqam
Rumah merupakan tempat pendidikan
pertama yang diperkenalkan ketika Islam mulai berkembang di Mekah.
Rasulullah menggunakan rumah Arqam bin Abi al-Arqam di al-Safa
sebagai tempat pertemuan dan pengajaran dengan para sahabat. Jumlah kaum
Muslimin yang hadir pada awalnya hanyalah sedikit, tetapi semakin lama menjadi bertambah
sehingga menjadi 38 orang yang terdiri daripada golongan bangsawan Quraisy,
pedagang dan hamba sahaya.
Di Dar al-Arqam, Rasulullah mengajar
wahyu yang telah diterimanya kepada kaum Muslim. Beliau juga membimbing mereka
menghafal, menghayati dan mengamalkan ayat-ayat suci yang diturunkan kepadanya.
b.3.1.2. Masjid
Fungsi masjid selain sebagai tempat
ibadat ialah juga sebagai tempat penyebaran dakwah dan ilmu Islam; tempat
menyelesaikan masalah individu dan masyarakat; tempat menerima duta-duta asing;
tempat pertemuan pemimpin-pemimpin Islam; tempat bersidang; dan madrasah bagi
anak-anak mempelajari ilmu agama & fardu ain.
Setelah berhijrah ke Madinah,
pendidikan Islam pertama kali berpusat di masjid-masjid dan Masjid
Quba’ merupakan masjid pertama yang dijadikan Rasulullah sebagai institusi
pendidikan. Di dalam masjid, beliau mengajar dan memberi khutbah dalam bentuk
halaqah di mana para sahabat duduk mengelilingi beliau untuk mendengar dan
melakukan tanya-jawab tentang urusan agama dan kehidupan sehari-hari.
Semakin luas wilayah-wilayah yang
ditaklukan oleh kaum muslimin maka semakin meningkat pula jumlah masjid yang
didirikan. Di antara masjid yang dijadikan pusat penyebaran ilmu dan
pengetahuan ialah Masjid Nabawi, Masjidil Haram, Masjid Kufah serta Masjid
Basrah.
b.3.1.3. Suffah
Al-Suffah merupakan ruang atau
bangunan surau yang bersambung dengan masjid. Suffah dapat disebut sebagai
sebuah sekolah kerana kegiatan pengajaran dan pembelajaran dilakukan
secara teratur dan sistematik. Contohnya Masjid Nabawi yang mempunyai suffah
yang digunakan untuk majlis ilmu.
b.3.1.4. Kuttab
Ia ditumbuhkan oleh
orang Arab sebelum kedatangan Islam dan bertujuan untuk memberi
pendidikan kepada anak-anak dikalangan rakyat jelata. Sungguhpun begitu,
institusi tersebut tidak mendapat perhatian dari masyarakat Arab kerana sebelum
kedatangan Islam, hanya 17 orang Quraisy yang tahu membaca dan menulis.
Kemahiran-kemahiran asas seperti membaca dan munlis dilakukan oleh kebanyakan
guru-guru yang mengajar secara sukarela. Selain itu, Rasulullah juga pernah
memerintkah tawanan perang Badar yang mampu membaca dan menulis supaya mengajar
10 orang anak-anak Islam sehingga mereka tahu membaca dan menulis dengan baik.
b.3.2. Masa Tabi’in dan Seterusnya
Masa ini meliputi zaman kerajaan
Umaiyyah (662-750M) dan Abbaisiyah (751-1258M). Pada zaman ini, institusi
pendidikan yang awal seperti masjid dan kuttab terus dikembangkan hasil
dorongan dan motivasi dari para khalifah yang memerintah. Selain itu, institusi
pendidikan tinggi dan lanjutan mulai diperkenalkan sehingga melahirkan banyak
sarjana dan cerdikpandai Islam dalam pelbagai ilmu.
b.3.2.1. Manazil ulama & istana
Terdapat beberapa rumah ulama yang
digunakan sebagai tempat pertemuan untuk majlis-majlis ilmu seperti
rumah Ibnu Sina, Muhammad Ibnu Tahir Bahrom dan Abu Sulayman. Di samping
itu istana khalifah turut dijadikan tempat perkembangan ilmu. Sebagai contoh
Khalifah Muawiyah Ibnu Abi Sufyan yang mengundang ulama dan cerdik pandai untuk
mendiskusikan sejarah peperangan, sejarah raja-raja Parsi, sejarah bangsa Arab
dan sistem pemerintahan negara.
b.3.2.2. Perpustakaan
Perpustakaan secara umum dapat
dibagi menjadi tiga bagian:
·
Perpustakaan Umum
Perpustakaan umum
ialah perpustakaan yang didirikan untuk kegunaan orang banyak.
Perpustakaan umum pertama didirikan oleh Khalifah Harun al-Rasyidin
di Kota Baghdad dan dikenal sebagai Baitul Hikmah. Ia berfungsi
sebagai gedung buku yang terdiri dari buku-buku dan penulisan pelbagai bahasa
seperti bahasa Yunani, Parsi, Hindu, Latin dan sebagainya.
·
Perpustakaan Semi Umum
Ia kebiasaannya kepunyaan khalifah
atau raja-raja yang didirikan di dalam istana. Perpustakaan ini tidak dibuka
untuk orang ramai tetapi hanya terbuka untuk orang-orang tertentu saja yang
mempunyai kedudukan tinggi dalam masyarakat. Umpamanya kerajaan Fatimiyah telah
mendirikan perpustakaan terbesar di istana Kaherah untuk menyaingi perpustakaan
khalifah-khalifah Baghdad
·
Perpustakaan Khusus
Ia merupakan perpustakaan khusus
yang tidak membenarkan siapa pun menggunakan perpustakaan ini melainkan empunya
perpustakaan. Ia biasanya dibina oleh ulama dan sasterawan di rumah
masing-masing Contohnya, Perpustakaan Hunain Ibnu Ishaq.
b.3.2.3. Madrasah
Sekolah-sekolah atau madrasah
awalnya didirikan untuk menggantikan masjid-masjid yang sudah tidak dapat
menampung keperluan pendidikan dari segi ruang dan kelengkapan pembelajaran.
Madrasah Baihaqiyah merupakan madrasah pertama yang didirikan oleh penduduk
Naisabur.
1.
C. Konsep
Dakwah Islamiyah
Secara bahasa dakwah berasal dari
bahasa arab “da’a – yad’u” yang berarti menyeru, memanggil dan
mengajak. Sedangkan arti dakwah secara istilah menurut para pakar adalah
sebagai berikut :
1.
a. Pendapat
Bakhial Khauli, dakwah adalah satu proses menghidupkan peraturan-peraturan
Islam dengan maksud memindahkan umat Islam dari satu keadaan kepada keadaan
lain.[21]
2.
b. Menurut
Syekh Ali Mahfudz, dakwah adalah mengajak manusia untuk mengerjakan kebaikan
dan mengikuti petunjuk, menyuruh mereka berbuat baik dan melarang mereka dari
perbuatan jelek agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat.[22] Pendapat ini selaras dengan Imam Al-Ghazali
yang mengatakan amar ma’ruf nahyi munkar adalah inti gerakan dakwan dan
penggerak dalam dinamika masyarakat.
Dari pengertian di atas dapat
diambil pemahaman bahwa, ajakan dari seseorang (Da’i) kepada umat (Mad’u)
berbuat kebaikan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulnya,
dan melarang mereka untuk melakukan perbuatan keji dan mungkar. Seorang da’I
dalam hal ini ditantang untuk berani menggerakkan masyarakat dari statis
menjadi dinamis. Melalui pendekatan-pendekatan yang humanis seperti yang telah
diajarkan oleh Rasulullah.
1.
D. Dakwah
dalam Perspektif Qardhawi
1. Prinsip-Prinsip Dakwah
Dakwah menurut Qardhawi harus
bersifat seruan kepada kebaikan. Dakwah tidak boleh dipahami sebagai seruan
untuk tampil beda (Istimewa) dengan segala tujuannya. Menurutnya karena Islam
sejak awal dakwahnya merupakan sebuah risalah universal, dakwah kepada manusia
secara keseluruhan dan sebagai rahmat bagi setiap hamba Allah, hal ini selaras
dengan firman Allah SWT :
“Dan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan
untuk menjadi rahmat bagi semesta alam” (Q.S. Al-Anbiya : 107)
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman
:
“Maha suci Allah yang telah menurunkan
Al-Furqan (al-Qur’an) kepada manusia agar menjadi peringatan bagi seluruh
alam". (Qs. Al-Furqan: 1)
Qardhawi juga menunjukkan ayat-ayat
lain sebagai penguat argumentasinya yaitu Q.S. Al-An’am :30, Q.S. Al-A’raf 158
Q.S. Saba 28 dan Q.S. Ali Imran :110.
Umat Islam ditugaskan untuk
mengemban risalah universal kepada seluruh dunia. Maka tidak boleh baginya
memonopoli kebaikan dan bahaya untuk dirinya sendiri. Melainkan setelah
mendapatkan petunjuk dengan cahaya Allah, maka ia berkewajiban untuk mengajak
orang lain kejalan Allah setelah ia melakukannya terlebih dahulu. [23]
Risalah Islam yang universal
merupakan rahmat bagi alam semesta sebagaimana yang digambarkan oleh Allah
merupakan seruan kepada kebaikan umat manusia. Rahmat atau kebaikan ini menurut
Qardhawi tampak jelas dalam beberapa prinsip atau nilai luhur yang diserukan
oleh Islam. Dia menunjukkan beberapa prinsip yang menonjol dalam pendidikan
dakwah Islamiyah sebagai berikut :
1.
a. Dakwah
untuk membebaskan manusia dari penyembahan kepada manusia.[24]
Prinsif ini menurut
Qardhawi sebagai prinsif tauhid murni yang melawan segala macam
bentuk perbuatan syirik. Pendidikan dakwah dalam hal ini harus membebaskan
manusia dari penghambaan terhadap sesamanya, termasuk juga penghambaan terhadap
benda-benda yang bersifat ilusi atau dzat benda-benda.
1.
b. Dakwah
untuk persaudaraan dan persamaan manusia
Menurut Qardhawi persaudaraan adalah
buah dari tauhid yang diserukan oleh Islam dan konsekwensinya adalah persamaan
manusia. Persaudaraan itu dibangun dalam beberapa hal : Pertama kedudukan
manusia sebagai hamba Allah yang telah menciptakan mereka adalah sama
dihadapan-Nya. Kedua; sebagai anak Adam, meskipun berbeda
kulit, warna, adat istiadat dan budaya pada hakekatnya tidak ada perbedaan
diantara mereka yaitu sama-sama dari Adam. Ini sesuai dengan apa yang
disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW pada saat haji wada bahwa tidak ada
perbedaan antara arab dan bukan arab. Taqwa `lah yang membedakan
mereka.[25]
1.
c. Dakwah
Untuk Keadilan Seluruh Umat Manusia
Qardhawi berpandangan diantara
seruan Islam untuk kebaikan umat manusia adalah: menegakkan keadilan
antara sesama manusia. Keadialan bukanlah bagi orang arab saja, keadilan Isalam
bersifat syumul (menyeluruh) ayat Al-Qur’an yang memerintahkan mansusia untuk
berbuat adil diantaranya adalah Q.S. Al-Hadid ;25, dan Q.S An-Nisa : 58.
Menurutnya terdapat sembilan ayat dalam surat An-Nisa sebagai teguran kepada
Rasulullah ketika ingin membela sekelompok umat Islam yang lemah atau kaum
munafik yang menuduh seorng yahudi berbuat suatu kedzaliman dengan mencuri.
Teguran tersebut terdapat dalam ayat 105 – 114.
1.
d. Dakwah
untuk Perdamaian Dunia
Sebagai agama yang cinta damai
perdamaian dunia merupakan bagian dari dakwah Islamiyah. Prihal jihad dengan
pedang yang sering dijadikan prisai untuk menghantam umat Islam sebagai agama
yang menyukai kekerasan oleh orang luar. Menurut Qardhawi jihad yang
sesungguhnya didalam Islam adalah hanyalah untuk membela dakwah, jika dimusuhi
atau pemeluk dakwah disiksa dan difitnah. Jihad dilakukan untuk orang yang memerangi
Islam, jidad dilakukan untuk membela orang-orang yang lemah. Dan memberikan
pelajaran kepada orang-orang yang menghianati. Jihad menurut Qardhawi tidak
disyariatkan untuk permusuhan atau pelanggaran terhadap orang-orang yang
berdamai yang tidak berdosa. Dalam hal ini Al-Qur’an telah jelas hanya
mengizinkan berjihad untuk membela diri dari orang-orang dzalim (Q.S. Al-Hajj
39-40)
1.
2. Retorika
Dakwah di Era Globalisasi
Dalam menghadapi tantangan global
yang menjadikan dunia seolah menjadi dekat seperti menjadi satu kampung saja,
kejadian disatu negara dapat diterima secepat kilat beritanya oleh negara
lain, kecanggihan komunikasi dan informasi semakin hari semakin
manakjubkan. Dengan kecanggihan alat komunikasi pada saat ini para kepala
negara dapat melakukan rapat dengan kepala negara lain tanpa harus beranjak
dari tempat duduk di negaranya.
Dengan kecanggihan seperti di atas
menurut Qardhawi maka dakwah Islamiyah harus memiliki retorika dan
karakteristik yang mendasar, yang mampu mengantarkan substansi dakwah kepada
semua umat manusia. Dapat memuaskan nalar mereka dengan hujjah yang nyata,
melunakan hatinya dengan mauidzah yang baik, tidak menyimpang dari hikmah dan
tidak melenceng dari dialog dengan yang terbaik.
Menurutnya diantara karakteristik
retorika dakwah yang harus dimiliki oleh setiap da’i adalah sebagai berikut:
1.Mengajak manusia untuk beriman
kepada Allah dan tidak mengingkari keberadaannya
2.Meyakini wahyu dan tidak menafikan
akal
3.Menyeru spiritual dan tidak
menyepelekan material
4.Memperhatikan ibadah-ibadah
syariyah dan tidak melupakan nilai-nilai moral
5.Berdakwah guna mengagungkan
aqidah, menyebar toleransi dan kasih sayang
6.Memikat dengan hal-hal ideal dan
peduli terhadap realita
7.Mengajak kepada keseriusan dan
konsistensi, dan tidak melupakan berhibur dan istirahat
8.Berorientasi global dan tidak
melupakan aksi lokal
9.Mencermati modernitas dan
berpegang teguh kepada orsinalitas
1.
Bersikap futuristik dan tidak
memungkiri masa lalu
2.
Memudahkan berfatwa dan
menggembirakan dalam berdakwah
3.
Mengumandangkan ijtihad dan tidak
melampaui batasan permanen
4.
Menolak gerakan terorisme yang
terlarang dan mendukung jihad yang disyariatkan
5.
Mengukuhkan eksistensi wanita dan
tidak mengikis martabat laki-laki
6.
Melindungi hak-hak kaum minoritas
dan menolak arogansi.[26]
Dari penjelasan di atas
Qardhawi mencoba meneropong esensi rertorika berdakwah dalam Islam yaitu untuk
menegakkan keadilan dalam seluruh sendi kehidupan, dan menepis tudingan Amerika
yang menganggap umat Islam telah keliru didalam memahami esensi dakwah.
III. PENUTUP
Dari uraian tadi, Penulis mencoba
menyimpulkan bahwa pendidikan dan dakwah Islamiyah sudah tertata secara ideal
ketentuan dan batasan-batasannya dari segala dimensinya.
Pendidikan dan dakwah Islamiyah
terlahir dari kandungan Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan dari keislaman era
tertentu yang memaksakan dirinya untuk berlaku pada era kita.
Dalam menyampaikan misinya, dakwah
Islamiah menyeru kepada umatnya untuk membebaskan manusia dari
penyembahan kepada manusia, menjalin persaudaraan dan persamaan manusia, dakwah
untuk keadilan seluruh umat manusia serta duntuk kemaslahatan dunia.
REFERENSI
1.
Abd. Rauf , Abdul Qadir Sayid,
Dirosah fid d da’wah Islamiyah, Kairo; Dar El-Tiba’ah al-Mahmadiyah,
1987, cet 1
2.
Asrohah, Hanun, sejarah
Pendidikan Islam, (Ciputat : Logos Wacana Ilmu 1999)
3.
Azra, Azyumardi dan Maarif,
Syafi’I, Ensiklopedi Tokoh Islam, Dari Abu Bakr Sampai Nashir dan
Qardawi, (Jakarta : Hikmah :2003)
4.
Darussalam, Ghazali, Dinamika
Dakwah Islamiyah, Malaysia, Nur Niaga SDN.BHD, 1996, cet.1
5.
Hadi ,Saiful, Menuju
Pemahaman Islam Yang Kaffah (Terj). Qardhawi “Madkhal li
Marifatil Islam” (Jakarta : Insan Cemerlang : 2003)
6.
Noor Ridlo, Abddillah,
HM, Retorika Islam (Terj) Qardhawi, Khitabuna Al-Islami
fi Ashr Al-Aulamah (Jakarta : Khalifa 2004)
7.
Purwanto, Ngalim, Ilmu
Pendidikan Teori dan Praktek (Bandung : PT. Remaja Rosyda Karya :
1984)
8.
Qardhawi,
Yusuf, Sistem Pendidikan Ikhwanul
Muslimin, Jakarta: Media Da’wah, cet. 1, th. 1983
9.
Suparta, Munzier, Harjani,
Hefni, (ed), Metode Dakwah, (Jakarta : Prenada Media :
2003)
No comments:
Post a Comment