Total Pageviews

MASAILUL FIQHIYYAH


AKAD NIKAH KETIKA HAID
 “Akad nikah wanita yang sedang haid adalah sah. Karena hukum asal dalam akad adalah halal dan sah kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Sementara tidak ada dalil yang menyatakan haramnya akad nikah saat si wanita haid. Perlu diketahui adanya perbedaan antara akad nikah dengan talak. Talak tidak boleh dijatuhkan ketika istri sedang haid, bahkan haram hukumnya. Karena itulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam marah ketika sampai berita kepada beliau bahwa Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mentalak istrinya yang sedang haid, dan beliau perintahkan Abdullah untuk rujuk kepada istrinya dan membiarkannya tetap berstatus sebagai istri sampai suci dari haid, kemudian haid kembali, kemudian suci dari haid. Setelah itu terserah Abdullah, apakah ingin tetap mempertahankan istrinya atau ingin mentalaknya.
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
 “Wahai Nabi, apabila kalian mentalak istri-istri kalian maka hendaklah kalian mentalak mereka pada waktu mereka dapat menghadapi ‘iddahnya yang wajar dan hitunglah waktu ‘iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Rabb kalian….” (At-Thalaq: 1)
Dengan demikian tidak halal bagi seorang suami mentalak istrinya dalam keadaan haid dan tidak boleh pula mentalaknya di waktu suci namun ia telah menggauli istrinya dalam masa suci tersebut, kecuali bila istrinya jelas hamil. Bila jelas hamilnya, ia boleh mentalak istrinya kapan saja dalam masa kehamilan tersebut.”
Syaikh mengakhiri fatwa beliau dengan menyatakan, “Bila telah jelas bahwa akad nikah yang dilangsungkan dalam keadaan si wanita haid adalah akad yang boleh dan sah, namun aku memandang hendaknya si mempelai lelaki tidak masuk kepada mempelai wanita (seperti tidur bersamanya, pent.) hingga si mempelai wanita suci dari haidnya. Karena kalau masuk sebelum istrinya suci dikhawatirkan ia akan jatuh ke dalam perkara terlarang saat seorang wanita sedang haid (yaitu jima’), sementara terkadang ia tidak dapat menahan dan menguasai dirinya, terlebih lagi bila masih muda. Hendaklah ia menunggu hingga istrinya suci. Setelah itu baru masuk ke istrinya dalam keadaan tidak ada penghalangnya untuk istimta’ (bersenang-senang) dengan istrinya pada kemaluannya. 

BISNIS FRANCHISE MENURUT ISLAM
Islam sebagai ajaran yang bersifat rahmatan lil’alamin, semangatnya bertumpu pada kemaslahatan yang hakiki termasuk syariatnya dalam bidang mua’alamat (bisnis), di mana kaedah fiqih mengatakan bahwa pada prinsipnya hukum mu’amalat adalah boleh selama tidak ada dalil yang mengharamkannya (al-ashlu fil mu’amalat al-ibahah illa an yadulla dalilun a’a tahrimihi). Dalil yang dapat mengubah hokum mu’amalat dari boleh (halal) kepada tidak boleh (haram) tersebut mengacu kepada disiplin ushul fiqih yaitu dapat berupa dilil eksplisit (sharih) al-Qur’an dan Hadits Nabi saw atau dalil lain melalui uji verifikasi tertentu seperti Ijma’ (konsensus para ulama), Qiyas (analogi), Mashalih Mursalah (konsep mashlahat) dan sebagainya.
Semua kaedah tersebut sebenarnya terfokus pada prinsip mashlahat yaitu konsep pertimbangan baik-buruk, positif-negatif, dan mudharat-mashlahat berdasarkan kaedah umum dan dalil sharih serta shahih syariat Islam.
Prinsip sentral syariah Islam menurut Ibnul Qayyim dalam I’lam al-Muwaqqi’in adalah hikmah dan kemaslahatan umat manusia di dunia dan di akherat. Kemaslahatan ini terletak pada keadilan yang merata, rahmat (kasih sayang dan kepedulian), kesejahteraan dan kebijaksanaan. Apa saja yang merubah keadilan menjadi kezaliman, rahmat menjadi kekerasan, kemudahan menjadi kesulitan, dan hikmah menjadi kebodohan, maka hal itu tidak ada kaitannya dengan syari’ah.
Tujuan utama ketentuan syariat (maqashid as-syari’ah) adalah tercermin dalam pemeliharaan pilar-pilar kesejahteraan umat manusia yang mencakup ‘panca maslahat’ dengan memberikan perlindungan terhadap aspek keimanan (hifz din), kehidupan (hifzd nafs), akal (hifz ‘aql), keturunan (hifz nasl) dan harta benda mereka (hifz mal). Apa saja yang menjamin terlindunginya lima perkara ini adalah maslahat bagi manusia dan dikehendaki syari’ah sebagaimana kesimpulan Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustashfa.
Sistem nilai syari’ah sebagai filter moral bisnis bertujuan untuk menghindari berbagai penyimpangan moral bisnis (moral hazard) dengan komitmen menjauhi pantangan ‘MAGHRIB’ termasuk dalam kegiatan usaha franchise yang menjadi parameter berlakunya kaedah al-ashlu fil mu’amalat al-ibahah tersebut di atas yaitu meliputi 7 pantangan:
Pertama, Maysir, yaitu segala bentuk spekulasi judi (gambling) yang mematikan sector riil dan tidak produktif. Kedua, Asusila yaitu praktik usaha yang melanggar kesusilaan dan norma social. Ketiga, Gharor yaitu segala transaksi yang tidak transparan dan tidak jelas sehingga berpotensi merugikan salah satu pihak. Keempat, Haram yaitu objek transaksi dan proyek usaha yang diharamkan syari’ah. Kelima, Riba yaitu segala bentuk distorsi mata uang menjadi komoditas dengan mengenakan tambahan (bunga) pada transaksi kredit atau pinjaman dan pertukaran/barter lebih antar barang ribawi sejenis. Pelarangan riba ini mendorong usaha yang berbasis kemitraan yang saling menguntungkan dan kenormalan (sunnatullah) bisnis, disamping menghindari praktik pemerasan, eksploitasi dan pendzaliman oleh pihak yang memiliki posisi tawar tinggi terhadap pihak yang berposisi tawar rendah. Keenam, Ihtikar yaitu penimbunan dan monopoli barang dan jasa untuk tujuan permainan harga. Ketujuh, Berbahaya yaitu segala bentuk transaksi dan usaha yang membayakan individu maupun masyarakat serta bertentangan dengan mashlahat dalam Maqashid Syari’ah.
Ketujuh pantangan dalam bisnis tersebut dapat disimpukan dari dalil-dalil berikut yaitu:
Firman Allah SWT.: “Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekikyang dipukul, yang jatuh yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya.” (QS.Al-Maidah:3)
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa riba, jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (perintah itu), maka ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak merugikan dan tidak (pula) dirugikan” (QS.Al Baqarah : 278-279)
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr (minuman keras), perjudian (maysir), berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Al-Maidah:90).
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta (hak milik) sebahagian yang lain diantara kamu dengan cara yang batil” (QS. Al-Baqoroh:188)
Sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya yang halal telah jelas dan yang haram telah jelas serta diantara keduanya terdapat yang samar (musytabihat). Sebagian besar manusia tidak dapat mengenalinya, maka siapa saja yang menjaga diri dari yang musytabihat itu berarti dia telah menjaga agama dan dirinya. Dan siapa saja yang terjatuh ke dalam musytabihat itu maka ia telah terjerumus kepada yang haram, sebagaimana seseorang yang menggembalakan ternaknya di sekeliling batas untuk menjaga diri dari melintasi batas itu. Ketahuilah bahwa sesungguhnya setiap raja memiliki batasan-batasan, dan ketahuilah bahwa batasan Allah ialah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa pada tubuh terdapat segumpal daging yang jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh itu, dan jika dia rusak maka rusaklah tubuh itu. Ketahuilah bahwa dia adalah kalbu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang lemak hewan, keju, dan jubah kulit. Beliau SAW menjawab: "Yang halal ialah apa yang Allah halalkan dalam Kitab-Nya dan yang haram ialah apa yang Allah haramkan dalam Kitab-Nya, sedangkan apa yang Dia diamkan maka itu termasuk hal yang dimaafkan". (Riwayat al-Tirmidzi dan Ibn Majah).
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah melalui suatu (tumpukan) bahan makanan yang oleh penjualnya dipujinya, kemudian Nabi meletakkan tangannya pada makanan tersebut, tetapi ternyata makanan tersebut sangat jelek, lantas Nabi bersabda: "Juallah makanan ini menurut harga yang pantas, sebab siapa saja yang menipu kami bukanlah termasuk golongan kami". (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibn Majah).
Wasiat rasulullah untuk menghindari segala unsur yang dapat membahayakan termasuk dalam bssnis adalah sabdanya: “Tidak dibolehkan adanya suatu bahaya (dharar) dan sesuatu yang dapat membahayakan (dhirar).” (HR.Ibnu Majah dan Ahmad.) sebagaimana kaedah fiqih yang menegaskan “Adh-dhararu yuzal” (bahaya/ ancaman itu harus dihilangkan).
Dalam memberlakukan dalil dan kaedah syariah bisnis tersebu, tidak boleh ada keraguan ataupun was-was di dalamnya. (Ibn Rajab al-Hanbali, Al-Jami' fi al-'Ulum wa al-Hikam, Dar al-Fikr, Beirut, h. 58-66). Rasulullah SAW bersabda: "Tinggalkanlah apa-apa yang meragukan kepada apa-apa yang tidak meragukanmu". (HR. al-Nasai, al-Tirmidzi, al-Hakim, Ahmad; lihat al-Albani, Irwa' al-Ghalil, I/44) Hal itu dalam raangka kehati-hatian syariah (ihtiyath) sebagaimana diri kita tidak ingin kemasukan barang haram yang dapat berakibat fatal. Rasulullah saw bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang dagingnya tumbuh dari (makanan) yang haram, neraka lebih pantas baginya.” (HR. Ahmad.).
Sikap berhati-hati dari mengambil hak orang lain tanpa sah dalam bentuk apapun merupakan wasiat al-Qur’an: Sebagaimana sabda Nabi SAW.: “Tidak halal harta milik seorang muslim kecuali dengan kerelaan hatinya.” (HR. Ad-Daru Quthni)
Pada dasarnya dalam sistem franchise terdapat tiga komponen pokok yaitu: Pertama, Franchisor, yaitu pihak yang memiliki system atau cara-cara dalam berbisnis tersebut. Kedua, Franchisee, yaitu pihak yang ‘membeli’ franchise atau sistem tersebut dari franchisor sehinga memiliki hak untuk menjalankan bisnis dengan cara-cara yang dikembangkan oleh Franchisor. Ketiga adalah Franchise, yaitu sistem dan cara-cara bisnis itu sendiri. Ini merupakan pengetahuan atau ‘dapurnya’ franchisor yang dijual kepada franchisee.
Berdasarkan statistik menunjukkan bahwa kegagalan sistim franchise jauh lebih rendah dibanding sistem lainnya. Hal ini sangat logis karena bisnis dengan franchise mengandalkan sistem/cara atau operating manual yang sudah teruji melalui penemuan franchisor, serta sudah terbukti sukses dijalankan Franchisee sebelumnya. Franchisee baru paling tidak memiliki gambaran serta support dari Fanchisor.
Kendala utama yang sering dihadapi dalam bisnis adalah masalah pemasaran. Masalah ini lebih mudah diatasi melalui sistim franchise. Keuntungan dalam sistim Franchise ini adalah karena adanya brand name yang merupakan salah satu asset utama Franchisor. Dengan banyaknya Franchisee dalam satu sistim, bisnis dengan cara ini memiliki jaringan luas yang memperkuat brand name tersebut. Tanpanya, tidak ada daya tarik bagi calon Franchisee untuk membeli Franchise ini. Oleh karena itu, Franchisor akan selalu berusaha keras melakukan promosi demi mempertahankan serta meningkatkan brand name yang dampaknya juga baik untuk kepentingan Franchisee. Sekalipun demikian, agar hasilnya memadai, maka setiap Franchisee biasanya juga perlu memiliki strategi pemasaran sendiri.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku dalam bisnis franchise, yang dapat diminta dari Franchisor oleh franchisee adalah:
Pertama, brand name yang meliputi logo, stationary dan lain-lain. Franchisor yang baik juga memiliki aturan mengenai tampilan shopfront secara detail.
Kedua, adalah sistim dan manual operasional bisnis. Setiap Franchisor memiliki operation manual yang sistematis, praktis serta applicable, dan mestinya juga tertulis.
Ketiga, adalah operation support. Karena Franchisor memiliki pengalaman yang jauh lebih luas serta sudah membina banyak Franchisees, dia seharusnya memiliki kemampuan untuk memberi support bagi Franchisee yang baru.
Keempat adalah monitor, Franchisor yang baik melakukan monitor terhadap Franchisee untuk memastikan bahwa sistim yang disediakan dijalankan secara konsisten. Ini untuk menjaga konsistensi kualitas. Monitor juga berfungsi untuk melakukan support yang diperlukan jika Franchisee mengalami kesulitan.
Kelima adalah joint promotion. Ini berkaitan dengan unsur pertama yaitu masalah sosialisasi brand name.
Keenam adalah supply. Ini berlaku bagi Franchise tertentu, misalnya bagi franchise food & beverages dimana Franchisor juga merupakan supplier bahan makanan/minuman. Kadang-kadang Franchisor men-supply mesin-mesin atau peralatan yang diperlukan. Franchisor yang baik biasanya ikut membantu franchisee untuk mendapatkan sumber dana modal dari investor (fund supply) seperti bank misalnya, meskipun itu jarang sekali.
Pada umumnya, Franchisee perlu membayar initial fee yang sifatnya sekali bayar, atau kadang-kadang sekali untuk suatu periode tertentu, misalnya 5 tahun. Diatas itu, biasanya Franchisee membayar royalty atau membayar sebagian dari hasil penjualan. Variasi lainnya adalah bahwa Franchisee perlu membeli bahan pokok atau peralatan (capital goods) dari Franchisor.
Disamping keuntungannya, calon franchisee perlu juga berhati-hati. Sekarang ini, apa saja di-franchise-kan sehingga banyak juga franchise yang tidak semestinya dipasaran, baik dari pertimbangan prinsip syariah maupun marketable-nya. Dalam hal ini, beberapa hal yang perlu diperhatikan calon Franchisee.
Pertama, bagaimana kekuatan brand name-nya. Kedua, berapa franchisee yang dimiliki. Franchise yang hanya terdiri dari 3-4 Franchisee tentunya tidak memiliki jaringan yang memadai untuk membentuk kekuatan tersendiri.
Ketiga, berapa harga yang dibayarkan kepada Franchisor, khususnya bila ada ketergantungan bahan baku/supply dari Franchisor. Apakah harga yang ditawarkan wajar.
Keempat, apakah Franchisor tersebut benar-benar memiliki hak resmi untuk menjual franchise kepada calon Franchisee. Dalam sistim master-franchise, hal ini layak mendapat perhatian besar karena kadang-kadang yang menamakan dirinya Franchissor ternyata tidak memiliki hak untuk menjual franchise.
Kelima, kesesuaiannya dengan prinsip syariah sehingga perlu selektivitas dan filter mashalahat serta diutamakan yang memiliki dampak kepada pengembangan sosial ekonomi umat Islam baik dalam maupun luar negeri.
Contoh bisnis franchise banyak sekali seperti yang sangat familiar adalah bisnis franchise makanan yang merupakan generasi pertama yang membesarkan bisnis dengan sistim franchise ini dan sekarng telah banyak alternatif franchise makanan dalam negeri sebagai subtitusi franchise luar negeri yang banyak didominasi Eropa dan Amerika. Contoh yang masih anyar adalah Iran yang tengah mengembangakan jaringan bisnis minuman Zam-zam Cola sebagai pesaing Coca Cola milik Amerika yang tengah diboikot banyak negara Islam, karena sentimen anti teradap negara yang mendukung penindasan rakyat Palestina. Yang lainnya seperti Dymocks Book Store, Fantastic Furniture, Harvey Norman, Captain Snooze.
Pada saat ini hampir semua cabang usaha menengah kecil masuk ke franchise, mulai dari usaha pemotong rumput, jasa kurir, cleaning service, membuat signage, usaha printing, edukasi, IT Training, Bookkeeping, Financial Service, Retail.
Berdasarkan penelitian University of Southern Queensland, rata-rata start-up cost untuk franchise business adalah A$68,600. Franchise business tumbuh sejalan dengan trend zaman dengan cukup pesat. Saat ini, omzet seluruh usaha dengan sistim ini sekitar A$37 bilion dengan total pekerja sekitar 553.000
Pada dasarnya, sistim franchise merupakan sistim yang baik untuk belajar, jika suatu saat berhasil dapat melepaskan diri dari franchisor karena biaya yang dibayar cukup mahal dan selanjutnya dapat mendirikan usaha sendiri atau bahkan membangun bisnis franchise baru yang islami.
Dengan demikian berdasarkan prinsip dan kaedah syariah yang telah disebutkan di atas, maka menurut hemat kami hukum bisnis franchise sangat tergantung kepada kesesuaian bidang usaha bisnis franchise dan sistem serta mekanisme kerjasamanya dengan prinsip syariah dan ketiadaan padanya dari segala pantangan syariah dalam bisnis. Hal itu berdasarkan kaedah kerjasama dalam Islam termasuk kerjasama bisnis hendaklah selalu dalam kerangka kebaikan dan ketakwaan, bukan dalam kerangka dosa dan kejahatan. (QS. Al-Maidah:2).
Selain itu, adalah sangat penting diperhatikan sentimen pasar umat Islam yang terkait dengan pertimbangan franchise untuk bisnis yang memiliki ikatan dan kontribusi terhadap negara-negara yang menindat umat Islam sebagaimana fatwa ulama dunia seperti Prof Dr. Yusuf Al-Qardhawi dan Syeikh Ahmad Yasin yang menyerukan boikot masal secara sistemik, strategis dan realistis terhadap produk negara-negara yang menyokong penindasan umat Islam dunia selama masih ada alternatif lainnya.

APAKAH MEMAKAI CADAR ITU BID'AH
Dr. Yusuf Qardhawi

PERTANYAAN

Telah terjadi polemik dalam  beberapa  surat  kabar  di Kairo  seputar  masalah  "cadar"  yang dipakai sebagian remaja muslimah,  khususnya  para  mahasiswi.  Hal  itu berawal  dari keputusan Pengadilan Mesir yang menangani tuntutan  mahasiswi  beberapa  perguruan  tinggi,  yang mengajukan   tuntutan ke   pengadilan  karena  merasa teraniaya dengan keputusan sebagian dekan yang  memaksa mereka melepas cadar apabila masuk kampus.

Para mahasiswi itu mengatakan bahwa mereka siap membuka tutup wajah mereka  manakala diperlukan,  apabila  ada tuntutan  dari pihak yang bertanggung jawab, pada waktu ujian atau lainnya.

Seorang  wartawan  terkenal,  Ustadz  Ahmad  Bahauddin, menulis  artikel  -  dalam  surat kabar al-Ahram – yang isinya  bertentangan   dengan   keputusan   pengadilan. Menurutnya,  cadar  dan  penutup  wajah  itu  merupakan bid'ah yang masuk ke kalangan Islam dan umat Islam. Hal ini  diperkuat  oleh salah seorang dosen al-Azhar, yang mengaku bahwa dirinya adalah Dekan Fakultas Ushuluddin, dan sedikit banyak tahu tentang peradilan.

Kami  mohon Ustadz berkenan menjelaskan tentang masalah yang masih campur aduk antara yang hak dan  yang  batil ini.  Semoga  Allah  berkenan memberikan balasan kepada Ustadz dengan balasan yang sebaik-baiknya.

JAWABAN

Alhamdulillah,  segala  puji  kepunyaan   Allah,   Rabb semesta  alam.  Semoga  shalawat  dan  salam senantiasa tercurahkan kepada Rasul paling mulia,  junjungan  kita Nabi   Muhammad  saw.,  kepada  keluarganya,  dan  para sahabatnya.

Pada  kenyataannya,  mengidentifikasi   cadar   sebagai bid'ah  yang  datang  dari luar serta sama sekali bukan berasal  dari  agama  dan  bukan  dari  Islam,   bahkan menyimpulkan  bahwa  cadar masuk ke kalangan umat Islam pada zaman kemunduran yang parah, tidaklah  ilmiah  dan tidak  tepat sasaran. Identifikasi seperti ini hanyalah bentuk perluasan yang merusak inti persoalan dan  hanya menyesatkan  usaha untuk mencari kejelasan masalah yang sebenarnya.

Satu hal yang tidak akan disangkal oleh siapa pun  yang mengetahui sumber-sumber ilmu dan pendapat ulama, bahwa masalah tersebut merupakan masalah khilafiyah. Artinya, persoalan   apakah   boleh  membuka  wajah  atau  wajib menutupnya - demikian pula dengan hukum  kedua  telapak tangan - adalah masalah yang masih diperselisihkan.

Masalah ini masih diperselisihkan oleh para ulama, baik dari kalangan ahli  fiqih,  ahli  tafsir,  maupun  ahli hadits, sejak zaman dahulu hingga sekarang.

Sebab  perbedaan  pendapat itu kembali kepada pandangan mereka terhadap nash-nash yang berkenaan dengan masalah ini  dan  sejauh  mana  pemahaman  mereka  terhadapnya, karena tidak didapatinya nash yang qath'i tsubut (jalan periwayatannya)  dan  dilalahnya (petunjuknya) mengenai masalah ini. Seandainya  ada  nash  yang  tegas  (tidak samar), sudah tentu masalah ini sudah terselesaikan.

Mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah:

"...  Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa tampak daripadanya ..." (an-Nur: 31)

Mereka meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, dia berkata bahwa yang  dimaksud  dengan  "kecuali  apa yang biasa tampak daripadanya" ialah pakaian dan  jilbab,  yakni  pakaian luar yang tidak mungkin disembunyikan.

Mereka  juga  meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau menafsirkan "apa yang biasa tampak"  itu  dengan  celak dan cincin. Penafsiran yang sama juga diriwayatkan dari Anas bin Malik. Dan penafsiran yang  hampir  sama  lagi diriwayatkan  dari  Aisyah.  Selain  itu, kadang-kadang lbnu Abbas menyamakan dengan celak dan cincin, terhadap pemerah kuku, gelang, anting-anting, atau kalung.

Ada  pula  yang  menganggap  bahwa yang dimaksud dengan "perhiasan" disini ialah tempatnya. Ibnu Abbas berkata, "(Yang   dimaksud   ialah)  bagian  wajah  dan  telapak tangan." Dan penafsiran serupa juga  diriwayatkan  dari Sa'id bin Jubair, Atha', dan lain-lain.

Sebagian  ulama  lagi  menganggap  bahwa  sebagian dari lengan termasuk "apa yang biasa tampak" itu.

Ibnu Athiyah  menafsirkannya  dengan  apa  yang  tampak secara  darurat,  misalnya  karena  dihembus angin atau lainnya.1

Mereka juga berbeda pendapat dalam  menafsirkan  firman Allah:

"Hai  Nabi,  katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan  istri-isti  orang  mukmin,  'Hendaklah mereka, mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' Yang demikian  itu  supaya  mereka  lebih  mudah  untuk dikenal,  karena  itu  mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."  (al-Ahzab: 59)

Maka  apakah  yang dimaksud dengan "mengulurkan jilbab" dalam ayat tersebut?

Mereka meriwayatkan  dari  Ibnu  Abbas  yang  merupakan kebalikan  dari  penafsirannya  terhadap  ayat pertama. Mereka meriwayatkan dari  sebagian  tabi'in  -  Ubaidah as-Salmani  -  bahwa  beliau  menafsirkan  "mengulurkan jilbab" itu dengan  penafsiran  praktis  (dalam  bentuk peragaan), yaitu beliau menutup muka dan kepala beliau, dan membuka mata beliau  yang  sebelah  kiri.  Demikian
pula yang diriwayatkan dari Muhammad Ka'ab al-Qurazhi.

Tetapi  penafsiran  kedua  beliau  ini  ditentang  oleh Ikrimah, maula (mantan budak) Ibnu Abbas. Dia  berkata, "Hendaklah   ia   (wanita)   menutup  lubang  (pangkal) tenggorokannya  dengan  jilbabnya,  dengan  mengulurkan jilbab tersebut atasnya."

Sa'id  bin  Jubair  berkata,  "Tidak  halal bagi wanita muslimah  dilihat  oleh   lelaki   asing   kecuali   ia mengenakan   kain   di   atas   kerudungnya,   dan   ia mengikatkannya pada kepalanya dan lehernya."2

Dalam hal  ini  saya  termasuk  orang  yang  menguatkan pendapat  yang mengatakan bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukan aurat dan tidak wajib bagi wanita muslimah menutupnya.  Karena  menurut saya, dalil-dalil pendapat ini lebih kuat daripada pendapat yang lain.

Disamping itu, banyak sekali ulama zaman sekarang  yang sependapat   dengan   saya,   misalnya Syekh  Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya  Hijabul  Mar'atil Muslimah   fil-Kitab  was-Sunnah  dan  mayoritas  ulama al-Azhar  di  Mesir,   ulama   Zaitunah   di   Tunisia, Qarawiyyin  di Maghrib (Maroko), dan tidak sedikit dari ulama Pakistan, India, Turki, dan lain-lain.

Meskipun demikian, dakwaan (klaim) adanya  ijma'  ulama sekarang  terhadap  pendapat  ini  juga tidaklah benar, karena  di  kalangan  ulama  Mesir  sendiri  ada   yang menentangnya.

Ulama-ulama  Saudi  dan  sejumlah  ulama  negara-negara Teluk menentang  pendapat  ini,  dan  sebagai  tokohnya adalah ulama besar Syekh Abdul Aziz bin Baz.

Banyak  pula  ulama  Pakistan  dan India yang menentang pendapat ini,  mereka  berpendapat  kaum  wanita  wajib menutup  mukanya.  Dan  diantara  ulama  terkenal  yang berpendapat  demikian  ialah  ulama  besar   dan   da'I terkenal,  mujaddid Islam yang masyhur, yaitu al-Ustadz Abul A'la al-Maududi dalam kitabnya al-Hijab.

Adapun diantara ulama masa kini yang masih  hidup  yang mengumandangkan wajibnya menutup muka bagi wanita ialah penulis  kenamaan  dari  Suriah,  Dr.  Muhammad   Sa'id Ramadhan al-Buthi, yang mengemukakan pendapat ini dalam risalahnya Ilaa Kulli Fataatin Tu'minu billaahi (Kepada
setiap Remaja Putri yang Beriman kepada Allah) .

Disamping    itu,    masih   terus   saja   bermunculan risalah-risalah dan fatwa-fatwa  dari  waktu  ke  waktu yang  menganggap  aib jika wanita membuka wajah. Mereka menyeru kaum wanita dengan  mengatasnamakan  agama  dan iman  agar  mereka  mengenakan  cadar, dan menganjurkan agar jangan  patuh  kepada  ulama-ulama  "modern"  yang ingin   menyesuaikan  agama  dengan  peradaban  modern. Barangkali  mereka  memasukkan  saya  kedalam  kelompok ulama seperti ini.

Jika  dijumpai  diantara  wanita-wanita  muslimah  yang merasa  mantap  dengan  pendapat  ini,  dan  menganggap membuka wajah itu haram, dan menutupnya itu wajib, maka bagaimana  kita  akan  mewajibkan  kepadanya  mengikuti pendapat  lain, yang dia anggap keliru dan bertentangan
dengan nash?

Kami hanya mengingkari mereka  jika  mereka  memasukkan pendapatnya  kepada orang lain, dan menganggap dosa dan fasik terhadap orang yang menerapkan pendapat lain itu, serta   menganggapnya  sebagai  kemunkaran  yang  wajib diperangi, padahal para  ulama  muhaqiq  telah  sepakat mengenai  tidak  bolehnya  menganggap  munkar  terhadap masalah-masalah ijtihadiyah khilafiyah.

Kalau kami mengingkari (menganggap munkar)  pelaksanaan pendapat  yang  berbeda  dengan  pendapat  kami – yaitu pendapat yang muttabar dalam bingkai fiqih  Islam  yang lapang  -  kemudian  mencampakkan pendapat tersebut dan tidak memberinya hak hidup,  hanya  semata-mata  karena
berbeda  dengan  pendapat  kami,  berarti kami terjatuh kedalam hal yang terlarang, yang  justru  kami  perangi dan   kami   seru   manusia   untuk   membebaskan  diri daripadanya.

Bahkan  seandainya  wanita  muslimah   tersebut   tidak menganggap   wajib   menutup   muka,  tetapi  ia  hanya menganggapnya  lebih  wara'  dan   lebih   takwa   demi membebaskan  diri  dari  perselisihan pendapat, dan dia mengamalkan yang lebih hati-hati,  maka  siapakah  yang akan  melarang  dia mengamalkan  pendapat  yang  lebih hati-hati untuk dirinya dan agamanya? Dan apakah pantas
dia  dicela  selama  tidak  mengganggu  orang lain, dan tidak membahayakan kemaslahatan (kepentingan) umum  dan khusus?

Saya  mencela  penulis  terkenal Ustadz Ahmad Bahauddin yang menulis masalah ini dengan  tidak  merujuk  kepada sumber-sumber  tepercaya,  lebih-lebih  tulisannya  ini dimaksudkan   sebagai   sanggahan   terhadap    putusan pengadilan  khusus  yang bergengsi. Sementara kalau dia menulis masalah politik, dia menulisnya dengan  cermat, penuh   pertimbangan,   dan   dengan   pandangan   yang menyeluruh.

Boleh  jadi  karena   dia   bersandar   pada   sebagian tulisan-tulisan  ringan yang tergesa-gesa dan sembarang yang membuatnya terjatuh ke  dalam  kesalahan  sehingga dia menganggap "cadar" sebagai sesuatu yang munkar, dan dikiaskannya dengan  "pakaian  renang"  yang  sama-sama tidak memberi kebebasan pribadi.

Tidak  seorang  pun  ulama  dahulu  dan  sekarang  yang mengharamkan memakai cadar  bagi  wanita  secara  umum, kecuali  hanya  pada  waktu ihram. Dalam hal ini mereka hanya berbeda pendapat antara yang mengatakannya wajib, mustahab, dan jaiz.

Sedangkan  tentang keharamannya, tidak seorang pun ahli fiqih   yang   berpendapat   demikian,   bahkan    yang memakruhkannya  pun  tidak  ada. Maka saya sangat heran kepada Ustadz Bahauddin yang  mengecam  sebagian  ulama al-Azhar  yang  mewajibkan menutup muka (cadar) sebagai telah mengharamkan  apa  yang  dihalalkan  Allah,  atau sebagai pendapat orang yang tidak memiliki kemajuan dan pengetahuan   yang   mendalam    mengenai    Al-Qur'an, as-Sunnah, fiqih, dan ushul Fiqih.

Kalau   hal  itu  hanya  sekadar  mubah  -  sebagaimana pendapat yang saya pilih, bukan wajib  dan  bukan  pula mustahab  -  maka  merupakan  hak  bagi  muslimah untuk membiasakannya, dan tidak boleh  bagi  seseorang  untuk melarangnya,    karena   ia   cuma   melaksanakan   hak pribadinya.    Apalagi,    dalam    membiasakan    atau mengenakannya  itu tidak merusak sesuatu yang wajib dan
tidak membahayakan seseorang. Ada  pepatah  Mesir  yang menyindir orang yang bersikap demikian:

"Seseorang   bertopang   dagu,   mengapa   Anda   kesal terhadapnya?"

Hukum   buatan   manusia   sendiri   mengakui   hak-hak perseorangan ini dan melindunginya.

Bagaimana mungkin kita akan mengingkari wanita muslimah yang komitmen pada agamanya dan hendak  memakai  cadar, sementara  diantara  mahasiswi-mahasiswi  di  perguruan tinggi itu ada yang  mengenakan  pakaian  mini,  tipis, membentuk  potongan  tubuhnya  yang  dapat  menimbulkan
fitnah   (rangsangan),   dan   memakai   bermacam-macam make-up,  tanpa seorang pun yang mengingkarinya, karena dianggapnya sebagai kebebasan pribadi. Padahal  pakaian yang  tipis, yang menampakkan kulit, atau tidak menutup bagian  tubuh  selain  wajah  dan  kedua   tangan   itu
diharamkan  oleh  syara'  demikian  menurut kesepakatan kaum muslim.

Kalau pihak yang bertanggung jawab di  kampus  melarang pakaian  yang  seronok  itu,  sudah tentu akan didukung oleh syara' dan  undang-undang  yang  telah  menetapkan bahwa  agama  resmi  negara  adalah  Islam,  dan  bahwa hukum-hukum  syariat  Islam  merupakan   sumber   pokok perundang-undangan.

Namun kenyataannya, tidak seorang pun yang melarangnya!

Sungguh   mengherankan!   Mengapa   wanita-wanita  yang berpakaian tetapi  telanjang,  yang  berlenggak-lenggok dan bergaya untuk memikat orang lain kepada kemaksiatan dibebaskan saja tanpa ada seorang pun yang  menegurnya? Kemudian  mereka tumpahkan seluruh kebencian dan celaan
serta caci maki terhadap wanita-wanita  bercadar,  yang berkeyakinan  bahwa  hal itu termasuk ajaran agama yang tidak boleh disia-siakan atau dibuat sembarang?

Kepada Allah-lah kembalinya segala urusan  sebelum  dan sesudahnya.  Tidak  ada daya untuk menjauhi kemaksiatan dan tidak ada kekuatan untuk melakukan ketaatan kecuali dengan pertolongan

Catatan kaki:
1 Lihat penafsiran ayat ini oleh Ibnu Jarir, Ibnu Katsir, al-Qurthubi, dan pada ad-Durrul Mantsur (5: 41-42), dan lain-lain.
2 Lihat: ad-Durrul Mantsur, 5: 221-222, dan sumber-sumber terdahulu mengenai penafsiran ayat tersebut.

HUKUM SUNTIK MATI DALAM ISLAM
Suntik mati atau Euthanasia (qatl ar-rahma atau taisir al-maut) ialah tindakan memudahkan kematian atau mengakhiri hidup seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasihan untuk meringankan penderitaan si sakit.
Tindakan ini dilakukan terhadap penderita penyakit yang tidak mempunyai harapan sembuh (hopeless). Eutanasia dapat dilakukan dengan memberikan obat-obatan tertentu atau dengan menghentikan pengobatan maupun alat bantu hidup yang sedang dilakukan. Kata euthanasia berasal dari bahasa Yunani eu yang artinya baik dan thanatos yang berarti kematian.
Pengertian “MEMPERCEPAT KEMATIAN” dalam terminologi Islam tidak dikenal. Dalam ajaran Islam, yang menentukan kematian adalah Allah (QS.Yunus:49).
Dengan demikian Euthanasia sebenarnya merupakan pembunuhan, yang diminta atau mendapat persetujuan dari pihak pasien dan keluarganya.
Dalam praktek kedokteran dikenal dua macam Euthanasia yaitu, Euthanasia pasif dan Euthanasia aktif. Yang dimaksud dengan Euthanasia aktif ialah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut.
Yang dimaksud dengan Euthanasia pasif adalah tindakan dokter berupa penghentian pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pemberian obat ini berakibat mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan ialah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk biaya pengobatan cukup tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi.
Alat pernafasan itulah yang memompa udara ke dalam paru-parunya dan menjadikannya dapat bernapas secara otomatis. Jika alat pernapasan tersebut dihentikan (dilepas), maka penderita sakit tidak mungkin dapat melanjutkan pernafasannya sebagai cara aktif memudahkan proses kematiannya.
Dalam Islam prinsipnya segala upaya atau perbuatan yang berakibat matinya seseorang, baik disengaja atau tidak sengaja, tidak dapat dibenarkan, kecuali dengan tiga alasan; sebagaimana disebutkan dalam hadits: “Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga alasan, yaitu: pezina mukhshan (sudah berkeluarga), maka ia harus dirajam (sampai mati); seseorang yang membunuh seorang muslim lainnya dengan sengaja, maka ia harus dibunuh juga. Dan seorang yang keluar dari Islam (murtad), kemudian memerangi Allah dan Rasulnya, maka ia harus dibunuh, disalib dan diasingkan dari tempat kediamannya” (HR Abu Dawud dan An-Nasa’i)
Selain alasan-alasan diatas, segala perbuatan yang berakibat kematian orang lain dimasukkan dalam kategori perbuatan ‘jarimah/tindak pidana’ (jinayat), yang mendapat sanksi hukum. Dengan demikian euthanasia karena termasuk salah satu dari jarimah dilarang oleh agama dan merupakan tindakan yang diancam dengan hukuman pidana. Dalil syari’ah yang menyatakan pelarangan terhadap pembunuhan antara lain Al-Qur’an surat Al-Isra’:33, An-Nisa’:92, Al-An’am:151. Sedangkan dari hadits Nabi saw, selain hadits diatas, juga hadits tentang keharaman membunuh orang kafir yang sudah minta suaka (mu’ahad).(HR.Bukhari).
Pada prinispnya pembunuhan secara sengaja terhadap orang yang sedang sakit berarti mendahului takdir. Allah telah menentukan batas akhir usia manusia. Dengan mempercepat kematiannya, pasien tidak mendapatkan manfaat dari ujian yang diberikan Allah Swt kepadanya, yakni berupa ketawakalan kepada-Nya Raulullah saw bersabda: “Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang dicobakannya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Hal itu karena yang berhak mematikan dan menghidupkan manusia hanyalah Allah dan oleh karenanya manusia dalam hal ini tidak mempunyai hak atau kewenangan untuk memberi hidup dan atau mematikannya. (QS.Yunus:56, Al-Mulk:1-2).
Berkaitan dengan permasalahan tersebut muncul persoalan fikih yaitu apakah memudahkan proses kematian secara aktif ditolerir oleh Islam? Apakah memudahkan proses kematian secara pasif juga diperbolehkan?
Dengan demikian melalui euthanasia aktif berarti manusia mengambil hak Allah Swt yang sudah menjadi ketetapanNya. Memudahkan proses kematian secara aktif seperti pada contoh pertama tidak diperkenankan oleh syari’ah. Sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis atau cara lainnya.
Eutanasia demikian juga menandakan bahwa manusia terlalu cepat menyerah pada keadaan (fatalis), padahal Allah swt menyuruh manusia untuk selalu berusaha atau berikhtiar sampai akhir hayatnya. Bagi manusia tidak ada alasan untuk berputus asa atas suatu penyakit selama masih ada harapan, sebab kepadanya masih ada kewajiban untuk berikhtiar. Dalam hadits Nabi sw disebutkan betapapun beratnya penyakit itu, tetap ada obat penyembuhnya.(HR Ahmad dan Muslim)
Adapun memudahkan proses kematian dengan cara euthanasia pasif sebagaimana dikemukakan dalam pertanyaan, maka semua itu termasuk dalam kategori praktik penghentian pengobatan. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat. Masalah ini terkait dengan hukum melakukan pengobatan yang diperselisihkan oleh para ulama fikih apakah wajib atau sekedar sunnah.
Menurut jumhur ulama mengobati atau berobat dari penyakit hukumnya sunnah dan tidak wajib. Meskipun segolongan kecil ulama ada yang mewajibkannya, seperti kalangan ulama syafi’iyah dan hanbali sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah.
Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama: berobat ataukah bersabar? Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadist Abbas yang diriwayatkan dalam kitab shahih dari seorang wanita yang menderita epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi agar mendoakannya, lalu beliau menjawab: “Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga, dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Wanita itu menjawab akan bersabar dan memohon kepada Nabi untuk medoakan kepada Allah agar ia tidak minta dihilangkan penyakitnya namun tetap terjaga auratnya sehingga tidak tersingkap ketika kambuh.
Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya sunnah ataupun wajib apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika secara perhitungan akurat medis yang dapat dipertanggungjhawabkan sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnatullah dalam hukum kausalitas yang dikuasai para ahli seperti dokter ahli maka tidak ada seorang pun yang mengatakan sunnah berobat apalagi wajib.
Apabila penderita sakit kelangsungan hidupnya tergantung pada pemberian berbagai macam media pengobatan dengan cara meminum obat, suntikan, infus dan sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan peralatan medis modern lainnya dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak juga sunnah sebagaimana difatwakan oleh Syeikh Yusuf Al-Qardhawi dalam Fatawa Mu’ashirahnya, bahkan mungkin kebalikannya yakni tidak mengobatinya itulah yang wajib atau sunnah.
Dengan demikian memudahkan proses kematian (taisir al-maut) semacam ini dalam kondisi sudah tidak ada harapan yang sering diistilahkan dengan qatl ar-rahma (membiarkan perjalanan menuju kematian karena belas kasihan), karena dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter maupun orang lain. Tetapi dokter ataupun orang terkait lainnya dengan pasien hanya bersikap meninggalkan sesuatu yang hukumnya tidak wajib ataupun tidak sunnah, sehingga tidak dapat dikenai sanksi hukuman menurut syari’ah maupun hukum positif. Tindakan euthanasia pasif oleh dokter dalam kondisi seperti ini adalah jaiz (boleh) dan dibenarkan syari’ah apabila keluarga pasien mengizinkannya demi meringankan penderitaan dan beban pasien dan keluarganya.
Hal ini terkait dengan contoh kedua dari eutanasia aktif terdahulu yaitu menghentikan alat pernapasan buatan dari pasien, yang menurut pandangan dokter ahli ia sudah “mati” atau “dikategorikan telah mati” karena jaringan otak ataupun fungsi syaraf sebagai media hidup dan merasakan telah rusak. Kalau yang dilakukan dokter tersebut semata-mata menghentikan alat pengobatan, hal ini sama dengan tidak memberikan pengobatan.
Dengan demikian masalahnya sama seperti cara-cara eutanasia pasif lainnya. Karena itu, eutanasia untuk seperti ini adalah bukan termasuk kategori eutanasia aktif yang diharamkan. Dengan demikian, tindakan tersebut dibenarkan syari’ah dan tidak terlarang terutama bila peralatan bantu medis tersebut hanya dipergunakan pasien sekadar untuk kehidupan lahiriah yang tampak dalam pernapasan dan denyut nadi saja, padahal bila dilihat secara medis dari segi aktivitas maka pasien tersebut sudah seperti orang mati, tidak responsif, tidak dapat mengerti sesuatu dan tidak merasakan apa-apa, karena jaringan otak dan sarafnya sebagai sumber semua aktivitas hidup itu telah rusak.
Membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan biaya dan tenaga yang banyak serta memperpanjang tanggungan beban. Selain itu juga dapat menghalangi pemanfaatan peralatan tersebut oleh pasien lain yang membutuhkannya. Di sisi lain, penderita yang sudah tidak dapat merasakan apa-apa itu hanya menjadikan sanak keluarganya selalu dalam keadaan sedih dan menderita, yang mungkin sampai puluhan tahun lamanya.
Pendapat ini telah dikemukakan sejak lama oleh Syeikh Al-Qardhawi kepada sejumlah pakar fikih dan dokter dalam suatu seminar yang diselenggarakan oleh sebuah yayasan Islam untuk ilmu-ilmu kedokteran di Kuwait. Para peserta seminar dari kalangan ahli fikih dan dokter sepakat menerima pendapat tersebut.
Adapun hukum wajib shalat bagi orang yang tidak sadar dan tidak dapat merasakan apa-apa adalah tidak berlaku lagi sampai ia sadar kembali. Namun jika tidak kembali sadar maka ia tidak terkenai kewajiban tersebut.



 MENJUAL DAN TRANSFUSI DARAH MENURUT ISLAM
Usaha dan pelayanan sosial kemanusiaan sangat mulia dalam pandangan umat manusia secara universal dan terpuji dalam pandangan agama, termasuk dalam hal ini adalah kegiatan dan misi kemanusiaan Palang Merah Indonesia. Rasulullah saw menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaat (jasanya) bagi umat manusia. Hal itu tentunya terlepas dari makna filosofis dan religius simbolis dari pemakaian nama organisasi. Memang pemakaian lambang palang merah atau salib merah (red cross) untuk organisasi ini adalah meniru Barat yang pada mulanya sangat erat hubungannya dengan semangat religiusitas Nasrani/Kristiani dan menggunakannya sebagai simbol misi kemanusiaan sekaligus misi Salib yaitu penyebaran agama Nasrani.
Memang sangat disayangkan umat Islam Indonesia yang merupakan mayoritas bangsa Indonesia kehilangan identitas keislamannya sampai dalam masalah simbol dan lambang sosial, dan cenderung meniru dan mengambil simbol Barat yang notabene sarat dengan semangat misi kristiani. Padahal Islam memiliki simbol religi sosial tersendiri yakni bulan sabit yang menandakan siklus bulan hijriyah sebagai perjalanan syiar Islam dan oleh karenanya Dunia Arab dan Negara-Negara Islam lebih cenderung menggunakan lambang Bulan Sabit Merah (Hilal Ahmar/ Red Crescent) untuk organisasi sosial kemanusiaan semacam Palang Merah. Nabi saw selalu menganjurkan kepada umatnya untuk memiliki identitas independen dan menghindari mental imitator yang suka meniru dan taklid buta kepada simbol umat lain apalagi yang berbau ritual dan syiar keagamaan. Sabda Nabi saw.: “Berbedalah kalian dari umat Yahudi dan Nasrani” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Al-Nasa’I dan Ibnu Majah) dan sabdanya: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum (umat lain) maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud dan At-Tabrani)
Dengan demikian kewajiban umat Islam baik pemerintah maupun masyakat pada umumnya adalah menyadari hal ini dan berusaha untuk mendekatkan lembaga dan simbol sosial sesuai dengan aspirasi akidah dan syiar Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Adapun hukum bekerja padanya selama membawa misi kemanusiaan adalah merupakan amal yang terpuji sebagai ibadah sosial apalagi dibarengi dengan nilai-nilai dakwah Islam yang menjadi kewajiban setiap muslim.
Masalah transfusi darah yaitu memindahkan darah dari seseorang kepada orang lain untuk menyelamatkan jiwanya. Islam tidak melarang seorang muslim atau muslimah menyumbangkan darahnya untuk tujuan kemanusiaan, bukan komersialisasi, baik darahnya disumbangkan secara langsung kepada orang yang memerlukannya, misalnya untuk anggota keluarga sendiri, maupun diserahkan pada palang merah atau bank darah untuk disimpan sewaktu-waktu untuk menolong orang yang memerlukan.
Penerima sumbangan darah tidak disyariatkan harus sama dengan donornya mengenai agama/kepercayaan, suku bangsa, dsb. Karena menyumbangkan darah dengan ikhlas adalah termasuk amal kemanusiaan yang sangat dihargai dan dianjurkan (mandub) oleh Islam, sebab dapat menyelamatkan jiwa manusia, sesuai dengan firman Allah: “dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al-Maidah:32).
Jadi boleh saja mentransfusikan darah seorang muslim untuk orang non muslim dan sebaliknya, demi menolong dan saling menghargai harkat sesama umat manusia. Sebab Allah sebagai Khalik alam semesta termasuk manusia berkenan memuliakan manusia, sebagaimana firman-Nya: “dan sesungguhnya Kami memuliakan anak cucu Adam (manusia).” (QS. Al-Isra:70). Maka sudah seharusnya manusia bisa saling menolong dan menghormati sesamanya.
Adapun dalil syar’i yang menjadi dasar untuk membolehkan transfusi darah tanpa mengenal batas agama dan sebagainya, berdasarkan kaidah hukum fiqih Islam yang berbunyi: “Al-Ashlu Fil Asyya’ al-Ibahah Hatta Yadullad Dalil ‘Ala Tahrimihi” (bahwasanya pada prinsipnya segala sesuatu itu boleh hukumnya, kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Padahal tidak ada satu ayat dan hadits pun yang secara eksplisit atau dengan nash yang sahih, melarang transfusi darah, maka berarti transfusi darah diperbolehkan, bahkan donor darah itu ibadah, jika dilakukan dengan niat mencari keridhaan Allah dengan jalan menolong jiwa sesama manusia.
Namun untuk memperoleh maslahah (efektifitas positif) dan menghindari mafsadah (bahaya/risiko), baik bagi donor darah maupun bagi penerima sumbangan darah, sudah tentu transfusi darah itu harus dilakukan setelah melalui pemeriksaan yang teliti terhadap kesehatan keduanya, terutama kesehatan pendonor darah; harus benar-benar bebas dari penyakit menular, seperti AIDS dan HIV. Penyakit ini bisa menular melalui transfusi darah, suntikan narkoba, dll.
Jelas bahwa persyaratan dibolehkannya transfusi darah itu berkaitan dengan masalah medis, bukan masalah agama. Persyaratan medis ini harus dipenuhi, karena adanya kaidah-kaidah fiqih seperti: “Adh-Dhararu Yuzal” (Bahaya itu harus dihilangkan/ dicegah). Misalnya bahaya penularan penyakit harus dihindari dengan sterilisasi, dsb., “Ad-Dhararu La Yuzalu Bidharari Mitslihi” (Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lain). Misalnya seorang yang memerlukan transfusi darah karena kecelakaan lalu lintas atau operasi, tidak boleh menerima darah orang yang menderita AIDS, sebab bisa mendatangkan bahaya lainnya yang lebih fatal. Dan Kaedah “La Dharara wa La Dhirar” (Tidak boleh membuat mudarat kepada dirinya sendiri dan tidak pula membuat mudarat kepada orang lain). Misalnya seorang pria yang terkena AIDS tidak boleh kawin sebelum sembuh. Demikian pula seorang yang masih hidup tidak boleh menyumbangkan ginjalnya kepada orang lain karena dapat membahayakan hidupnya sendiri. Kaidah terakhir ini berasal dari hadits riwayat Malik, Hakim, Baihaqi, Daruquthni dan Abu Said al-Khudri. Dan riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Abbas dan Ubadah bin Shamit.
Adapun hubungan antara donor dan resipien, adalah bahwa transfusi darah itu tidak membawa akibat hukum adanya hubungan kemahraman antara donor dan resipien. Sebab faktor-faktor yang dapat menyebabkan kemahraman sudah ditentukan oleh Islam sebagaimana tersebut dalam An-Nisa:23, yaitu: Mahram karena adanya hubungan nasab. Misalnya hubungan antara anak dengan ibunya atau saudaranya sekandung, dsb, karena adanya hubungan perkawinan misalnya hubungan antara seorang dengan mertuanya atau anak tiri dan istrinya yang telah disetubuhi dan sebagainya, dan mahram karena adanya hubungan persusuan, misalnya hubungan antara seorang dengan wanita yang pernah menyusuinya atau dengan orang yang sesusuan dan sebagainya.
Kemudian pada ayat berikutnya, (an-Nisa:24) ditegaskan bahwa selain wanita-wanita yang tersebut pada An-Nisa:23 di atas adalah halal dinikahi. Sebab tidak ada hubungan kemahraman. Maka jelaslah bahwa transfusi darah tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara pendonor dengan resipien. Karena itu perkawinan antara pendonor dengan resipien itu diizinkan oleh hukum Islam.
Masalah transfusi darah tidak dapat dipisahkan dari hukum menjualbelikan darah sebagaimana sering terjadi dalam parkteknya di lapangan. Mengingat semua jenis darah termasuk darah manusia itu najis berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Jabir, kecuali barang najis yang ada manfaatnya bagi manusia, seperti kotoran hewan untuk keperluan rabuk. Menurut madzhab Hanafi dan Dzahiri, Islam membolehkan jual beli barang najis yang ada manfaatnya seperti kotoran hewan. Maka secara analogi (qiyas) madzhab ini membolehkan jual beli darah manusia karena besar sekali manfaatnya untuk menolong jiwa sesama manusia, yang memerlukan transfusi darah. (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, I/109, Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, III/130)
Namun pendapat kami adalah bahwa jual beli darah manusia itu tidak etis disamping bukan termasuk barang yang diboelehkan untuk diperjual belikan karena termasuk bagian manusia yang Allah muliakan dan tidak pantas untuk diperjual belikan, karena bertentangan dengan tujuan dan misi semula yang luhur, yaitu amal kemanusiaan semata, guna menyelamatkan jiwa sesama manusia. Karena itu, seharusnya jual beli darah manusia itu dilarang, karena bertentangan dengan moral agama dan norma kemanusiaan.
Apabila praktik transfusi darah itu memberikan imbalan sukarela kepada donor atau penghargaan apapun baik materi maupun non materi tanpa ikatan dan transaksi, maka hal itu diperbolehkan sebagai hadiah dan sekedar pengganti makanan ataupun minuman untuk membantu memulihkan tenaga. Ada baiknya bila pemerintah memikirkan dan merumuskan kebijakan dalam hal ini seperti memberikan sertifikat setiap donor yang dapat dipergunakannya sebagai kartu diskon atau servis ekstra dalam pelayanan kesehatan di Rumah Sakit bilamana orang yang berdonor darah memerlukan pelayanan kesehatan, atau bahkan mendapatkan pelayanan gratis bilamana ia memerlukan bantuan darah sehingga masyarakat akan rajin menyumbangkan darahnya sebagai bentuk tolong-menolong dan benar-benar menjadi tabungan darah baik untuk dirinya maupun orang lain sehingga terjalin hubungan yang simbiosis mutualis.
Dengan demikian praktik
Menjual belikan darah baik secara langsung maupun melalui rumah sakit dapat dihindarkan karena sebenarnya transfusi darah terlaksana berkat kerjasama sosial yang murni subsidi silang melalui koordinasi pemerintah dan bukan menjadi objek komersial sebagaiman dilarang Syariat Islam dan bertentangan dengan perikemanusiaan, sehingga setiap individu tanpa dibatasi status ekonomi dan sosialnya berkesempatan untuk mendapatkan bantuan darah setiap saat bilamana membutuhkannya sebab di sini harus berlaku hukum barang siapa menamam kebaikan maka ia berhak mengetam pahala dan ganjaran kebaikannya.

HUKUM KOPI LUWAK
Kopi Luwak adalah kopi yang diproduksi dari biji kopi yang telah dimakan dan melewati saluran pencernaan binatang bernama luwak. Dan luwak adalah sejenis musang, karenanya biasa dikatakan musang luwak. Dia senang sekali mencari buah-buahan yang cukup baik dan masak termasuk buah kopi sebagai makanannya. Luwak akan memilih buah kopi yang betul-betul masak sebagai makanannya, dan setelahnya, biji kopi yang dilindungi kulit keras dan tidak tercerna akan keluar bersama kotoran luwak.
Berdasarkan keterangan di atas maka kopi luwak hukumnya dikembalikan kepada apakah musang itu halal dimakan ataukah tidak? Dan apakah kotorannya suci ataukah najis?
Adapun dalam hal halal atau haramnya, maka musang adalah halal dan boleh dikonsumsi.
Adapun hukum kotorannya, maka pendapat yang paling kuat di kalangan ulama adalah sucinya kotoran musang. Karena musang termasuk hewan yang halal dimakan, sementara semua hewan yang halal dimakan maka kotoran dan kencingnya adalah suci dan tidak najis. Ini adalah mazhab Al-Malikiah dan Al-Hanabilah, bahkan merupakan pendapat para sahabat seluruhnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata dalam Al-Fatawa Al-Kubra (5/313), “Kencing dan tinja hewan yang boleh dimakan dagingnya adalah suci, tidak ada seorangpun dari para sahabat yang berpendapat najisnya. Bahkan pendapat yang menyatakan najisnya adalah pendapat yang muhdats (baru muncul), tidak ada salafnya dari kalangan para sahabat.”
Di antara dalilnya adalah hadits riwayat Muslim no. 1529 dimana Nabi -alaihishshalatu wassalam- mengizinkan shalat di kandang kambing. Maka ini menunjukkan tinja dan kencing kambing (dan dia adalah hewan yang halal dimakan) adalah suci dan bukan najis, karena tidak boleh shalat pada tempat yang ada najisnya. Dan juga hadits al-uraniyin dimana Nabi -alaihishshalatu wassalam- memerintahkan rombongan orang dari luar Madinah yang terkena penyakit untuk meminum kencing dan susu onta, dan itu menunjukkan kencingnya adalah suci, karena tidak diperbolehkan berobat dengan sesuatu yang najis. Haditsnya diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 233 dan Muslim no. 1671. Dan masih banyak dalil-dalil lainnya.
Kalau begitu hukum kopi luwak adalah halal karena dia halal dimakan dan kotorannya juga suci.
Kalaupun anggaplah kotoran musang adalah najis maka tetap saja kopi luwak itu halal karena dari penjelasan di atas diperoleh keterangan bahwa biji kopi yang akan dibuat kopi tidak ikut tercerna, yakni tetap utuh. Jika dia tetap utuh keluar bersama kotoran musang, maka kita tinggal membersihkan najis yang melekat padanya sampai bersih, kemudian setelah itu baru diolah menjadi kopi . Jadi ketika diproses menjadi kopi, tidak ada lagi kotoran musang -kalau dia dianggap najis- yang melekat padanya.
Wallahu a’lam bishshawab, waiyyakum.

HUKUM MEMAKAI PARFUM ALKOHOL
Segala puji bagi Allah, satu-satunya sesembahan yang berhak untuk disembah. Sholawat dan salam tidak lupa kita tujukan kepada Nabi Muhammad, keluarga, para sahabatnya serta para pengikutnya dengan baik hingga hari kiamat. Sebelumnya kami memohon maaf atas keterlambatan jawaban kami.
Sesungguhnya masalah boleh tidaknya menggunakan parfum yang beralkohol merupakan permasalahan yang diperselisihkan oleh para ulama. Hal ini bersumber dari perselisihan ulama mengenai najis tidaknya alkohol. Insya Allah pendapat yang lebih kuat (sebagaimana pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah) adalah alkohol adalah tidak najis. Dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, firman Allah subhanahu wa ta’ala:
 “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah rijs (perbuatan keji).” (QS. Al Maidah: 90)
Pada ayat ini, Allah menjelaskan bahwa khamr, judi, berhala, mengundi nasib dengan panah adalah rijs. Kata rijs bisa berarti najis. Namun najis pada ayat ini adalah najis secara maknawi, bukan bendanya bersifat najis. Hal ini ditunjukkan dengan penyatuan keempat perkara di atas, di mana keempat perkara ini memiliki satu sifat yang sama yaitu rijs. Kita telah ketahui bersama bahwasanya judi, berhala dan panah itu bukanlah benda najis, namun ketiganya najis secara maknawi, maka begitu pula dengan khamr (alkohol), maka ia pun najis namun secara maknawi (perbuatannya yang keji) bukan benda atau zatnya.
Kedua, di dalam riwayat yang shahih, ketika diturunkan ayat tentang haramnya khamr, kaum muslimin menumpahkan khamr-khamr mereka di pasar-pasar. Seandainya khamr itu najis secara zatnya, maka tentu tidak boleh menumpahkannya di pasar-pasar. Selain itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak memerintahkan untuk mencuci bejana-bejana bekas khamr sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mencuci bejana bekas daging keledai piaraan (karena daging tersebut najis).
Ketiga, dalil lainnya adalah sebagaimana yang terdapat dalam Sahih Muslim, di mana ada seorang laki-laki yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa khamr di dalam suatu wadah untuk dia berikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, setelah ia diberitahu bahwa khamr sudah diharamkan, ia langsung menumpahkan khamr itu di hadapan Nabi. Dan Nabi tidak memerintahkan orang tersebut untuk mencuci wadah bekas khamr dan tidak melarang ditumpahkannya khamr di tempat itu. Seandainya khamr najis, tentu Nabi sudah memerintahkan wadah tersebut untuk dicuci dan beliau melarang menumpahkan khamr tersebut di tempat itu. Dari penjelasan di atas, maka jelaslah yang lebih kuat bahwa alkohol tidaklah najis, maka tidak wajib mencuci pakaian apabila terkena alkohol.
Adapun hukum memakai parfum yang beralkohol, maka Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan bahwa yang lebih baik adalah kita bersikap berhati-hati yaitu dengan tidak memakainya. Karena sesungguhnya Allah berfirman tentang khamr:
 “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan keji di antara perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maaidah: 90)
Allah memerintahkan untuk menjauhi hal tersebut. Di mana perintah ini mutlak, bukan hanya sekedar meminum atau memakainya (bukan untuk diminum). Oleh karena itulah yang lebih hati-hati adalah seseorang menghindari penggunaan minyak wangi yang mengandung alkohol. Akan tetapi, Beliau juga menegaskan bahwa beliau tidak menggunakan minyak wangi yang mengandung alkohol namun beliau juga tidak melarang orang lain untuk menggunakannya. (disarikan dari majalah As Sunnah edisi 02 tahun IX/1426/2005 hal 49-51).
Dan Alhamdulillah sudah banyak parfum-parfum yang beredar di negeri kita dan tidak mengandung alkohol. Oleh karena itu, kami berpendapat lebih baik menggunakan parfum yang tidak beralkohol, karena parfum-parfum jenis ini mudah didapatkan di negeri kita. Wallahu a’lam.

HUKUM MEMBONGKAR DAN MEMINDAHKAN KUBURAN
Membongkar kuburan di dalam bahasa Arab sering disebut dengan istilah “Nabsyu al Qubur“. Nabsy berarti menampakkan sesuatu yang dulunya tersembunyi, atau mengeluarkan sesuatu dari dalam tanah. Maka an-Nabbasy adalah orang yang profesinya membongkar kuburan untuk  mengambil (mencuri) kain kafan atau barang berharga lainnya yang dikubur bersama mayit. (al Fayumi, al Misbah al Munir : 350)
Para ulama telah sepakat bahwa membongkar kuburan untuk  mengambil (mencuri) kain kafan darinya atau hanya karena iseng dan tidak ada kepentingan darinya adalah perbuatan yang dilarang dalam Islam, karena perbuatan tersebut bertentangan dengan prinsip penghormatan terhadap manusia. Karena manusia ini terhormat ketika hidup dan ketika mati, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak Adam" (QS. Al Isra’: 70)
Perbuatan tersebut juga bertentangan dengan hadist 'Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Bahwa memecahkan tulang mayit seperti memecahkannya pada waktu dia hidup." (Hadist Shahih Riwayat Abu Daud, no. 2792, Ibnu Majah, no. 1605, dan  Ibnu Hibban, no. 3167)
Sedangkan membongkar kuburan karena suatu mashlahat yang mendesak, mayoritas ulama, termasuk di dalamnya empat madzhab, yaitu  Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah menyatakan kebolehannya, baik mashlahatnya bersifat pribadi maupun umum.
Dalilnya adalah hadist Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata:
"Bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendatangi kuburan Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul, dan memintanya untuk dikeluarkan lagi, sehingga diletakkan di lututnya dan ditiupnya dengan ludahnya dan diselimuti dengan pakaiannya." (HR Bukhari dan Muslim)
Berkata Ibnu Hajar, "Hadits ini menunjukkan kebolehan membongkar kuburan karena maslahat mayit, seperti menambahkan barakah kepadanya (dalam hal ini karena tiupan dan dikenakan baju Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam)" (Fathu al Bari : 3/164)
Hal ini dikuatkan dengan atsar Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu  juga yang menyebutkan:
"Seorang laki-laki dikuburkan bersama dengan bapakku, namun  perasaanku tidak enak, hingga akhirnya aku keluarkan beliau dari kuburan dan aku kuburkan beliau dalam satu liang kubur sendiri.” (HR Bukhari)
Dalam riwayat lain dijelaskan bahwasanya Abdullah adalah orang tua dari Jabir bin Abdullah yang terbunuh dalam perang Uhud, dia dikuburkan dalam satu liang dengan seseorang yang tidak berkenan di hati Jabir. Setelah enam bulan berlalu, maka jasad bapaknya tersebut dikeluarkan dari kuburan, kemudian dikuburkannya sendiri di tempat lain.
Sebab-Sebab Dibolehkannya Membongkar Kuburan
Adapun sebab-sebab dibolehkan membongkar kuburan menurut mayoritas ulama adalah jika diperkirakan mayit sudah punah (lebur), tidak tersisa dari anggota badannya, serta telah menjadi tanah. (Al Nawawi, Al Majmu’: 5/233, Ibnu Qudamah, Al Mughni: 2/511, Ibnu Hazm, Al Muhalla: 2/32 ).
Tempat bekas kuburan yang telah punah seperti ini bisa difungsikan sebagai tempat kuburan baru, atau dibangun jalan umum atau hal-hal lain yang mengandung maslahat umum. Tetapi tidak dibenarkan jika dijadikan tempat bercocok tanam atau dibangun di atasnya pabrik atau pusat pusat perbelanjaan (mall) yang dimiliki oleh seseorang, karena tanah kuburan adalah milik masyarakat umum, maka harus dikembalikan lagi fungsinya kepada mereka.
Begitu  juga, jika seorang mayit muslim yang dikubur tidak menghadap kiblat, atau belum dimandikan, atau belum dikafani, maka dibolehkan untuk dibongkar lagi, agar posisinya menghadap kiblat, dan dimandikan serta dikafani terlebih dahulu. Bahkan para ulama dari kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah mewajibkan hal tersebut. Tentunya hal ini dilakukan selama mayit masih dalam keadaan bagus dan tidak rusak.
Begitu juga, jika seorang perempuan yang sedang hamil meninggal dunia dan langsung dikuburkan, padahal menurut perkiraan para ahli, bahwa anak yang ada dalam perutnya masih bisa diselamatkan, maka dalam hal ini dibolehkan, bahkan diwajibkan untuk membongkar kuburannya serta membedah perut sang mayit untuk mengeluarkan bayi yang diperkirakan masih hidup tersebut.
Begitu juga, jika seseorang yang tidak diketahui identitasnya ditemukan tewas di jalan atau terseret banjir atau terdampar di pantai, setelah dikubur, tiba-tiba datang seseorang yang mengaku bahwa orang tersebut adalah bapak atau suami atau istrinya, dan dia meminta hak atas warisan yang ditinggalnya, maka dalam keadaan ini boleh atau wajib dibongkar kuburannya untuk membuktikan pengakuaannya tersebut. (As Syarbini, Mughni Al Muhtaj : 1/367)
Membongkar kuburan juga dibolehkan untuk keperluan penyelidikan suatu kasus kejahatan yang hendak diungkap.
Membongkat Kuburan Umat Masa Lalu
Para ulama membolehkan untuk membongkar kuburan umat-umat yang telah berlalu, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya pernah membongkar kuburan kaum musyrikin yang telah rusak di kota Madinah, sebagaimana dalam hadist panjang yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. (HR Bukhari, no. 418 dan Muslim, no. 523)
Selain itu, jika kuburan-kuburan yang telah punah dan rusak tersebut dibiarkan, maka akan menghambat pembangunan dan membiarkan tanah kosong dan mubadzir, maka dianjurkan untuk memanfaatkan tanah tersebut, tentunya setelah kuburan tersebut dibongkar dan dipindahkan ke tempat lain jika masih ada sisa–sisa anggota tubuh mereka.

Hukum Oral Seks
Ada beberapa pertanyaan yang masuk ke rubrik kita ini tentang permasalahan yang sama yaitu Hukum Oral Seks Menurut Islam dan untuk mewakilinya saya mencoba mengambil dua contoh pertanyaan diatas. Semoga Allah swt memberikan kemudahan kepada saya untuk membahasnya dan senantiasa mencurahkan ilmu-Nya kepada kita semua.
Hubungan seksual antara pasangan suami istri bukanlah hal yang terlarang untuk dibicarakan didalam islam namun bukan pula hal yang dibebaskan sedemikian rupa bak layaknya seekor hewan yang berhubungan dengan sesamanya.
Islam adalah agama fitrah yang sangat memperhatikan masalah seksualitas karena ini adalah kebutuhan setiap manusia, sebagaimana firman Allah swt,”Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” (QS. Al Baqoroh : 223)
Ayat diatas menunjukkan betapa islam memandang seks sebagai sesuatu yang moderat sebagaimana karakteristik dari islam itu sendiri. Ia tidaklah dilepas begitu saja sehingga manusia bisa berbuat sebebas-bebasnya dan juga tidak diperketat sedemikian rupa sehingga menjadi suatu pekerjaan yang membosankan.
Hubungan seks yang baik dan benar, yang tidak melanggar syariat selain merupakan puncak keharmonisan suami istri serta penguat perasaan cinta dan kasih sayang diantara mereka berdua maka ia juga termasuk suatu ibadah disisi Allah swt, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”..dan bersetubuh dengan istri juga sedekah. Mereka bertanya,’Wahai Rasulullah, apakah jika diantara kami menyalurkan hasrat biologisnya (bersetubuh) juga mendapat pahala?’ Beliau menjawab,’Bukankah jika ia menyalurkan pada yang haram itu berdosa?, maka demikian pula apabila ia menyalurkan pada yang halal, maka ia juga akan mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)
Diantara variasi seksual yang sering dibicarakan para seksolog adalah oral seks, yaitu adanya kontak seksual antara kemaluan dan mulut (lidah) pasangannya. Tentunya ada bermacam-macam oral seks ini, dari mulai menyentuh, mencium hingga menelan kemaluan pasangannya kedalam mulutnya.
Hal yang tidak bisa dihindari ketika seorang ingin melakukan oral seks terhadap pasangannya adalah melihat dan menyentuh kemaluan pasangannya. Dalam hal ini para ulama dari madzhab yang empat bersepakat diperbolehkan bagi suami untuk melihat seluruh tubuh istrinya hingga kemaluannya karena kemaluan adalah pusat kenikmatan. Akan tetapi setiap dari mereka berdua dimakruhkan melihat kemaluan pasangannya terlebih lagi bagian dalamnya tanpa suatu keperluan, sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah yang mengatakan,”Aku tidak pernah melihat kemaluannya saw dan beliau saw tidak pernah memperlihatkannya kepadaku.” (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz IV hal 2650)
Seorang suami berhak menikmati istrinya, khususnya bagaimana dia menikmati berjima’ dengannya dan seluruh bagian tubuh istrinya dengan suatu kenikmatan atau menguasai tubuh dan jiwanya yang menjadi haknya untuk dinikmati maka telah terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama kami, karena tujuan dari berjima’ tidaklah sampai kecuali dengan hal yang demikian. (Bada’iush Shona’i juz VI hal 157 - 159, Maktabah Syamilah)
Setiap pasangan suami istri yang diikat dengan pernikahan yang sah didalam berjima’ diperbolehkan untuk saling melihat setiap bagian dari tubuh pasangannya hingga kemaluannya. Adapun hadits yang menyebutkan bahwa siapa yang melihat kemaluan (istrinya) akan menjadi buta adalah hadits munkar tidak ada landasannya. (asy Syarhul Kabir Lisy Syeikh ad Durdir juz II hal 215, Maktabah Syamilah)
Dibolehkan bagi setiap pasangan suami istri untuk saling melihat seluruh tubuh dari pasangannya serta menyentuhnya hingga kemaluannya sebagaimana diriwayatkan dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya berkata,” Aku bertanya,’Wahai Rasulullah aurat-aurat kami mana yang tutup dan mana yang kami biarkan? Beliau bersabda,’Jagalah aurat kamu kecuali terhadap istrimu dan budak perempuanmu.” (HR. tirmidzi, dia berkata,”Ini hadits Hasan Shohih.”) Karena kemaluan boleh untuk dinikmati maka ia boleh pula dilihat dan disentuhnya seperti bagian tubuh yang lainnya.
Dan dimakruhkan untuk melihat kemaluannya sebagaimana hadits yang diriwayatkan Aisyah yang berkata,”Aku tidak pernah melihat kemaluan Rasulullah saw.” (HR. Ibnu Majah) dalam lafazh yang lain, Aisyah menyebutkan : Aku tidak melihat kemaluan Rasulullah saw dan beliau saw tidak memperlihatkannya kepadaku.”
Didalam riwayat Ja’far bin Muhammad tentang perempuan yang duduk dihadapan suaminya, di dalam rumahnya dengan menampakkan auratnya yang hanya mengenakan pakaian tipis, Imam Ahmad mengatakan,”Tidak mengapa.” (al Mughni juz XV hal 79, maktabah Syamilah)
Oral seks yang merupakan bagian dari suatu aktivitas seksual ini, menurut Prof DR Ali Al Jumu’ah dan Dr Sabri Abdur Rauf (Ahli Fiqih Univ Al Azhar) boleh dilakukan oleh pasangan suami istri selama hal itu memang dibutuhkan untuk menghadirkan kepuasan mereka berdua dalam berhubungan. Terlebih lagi jika hanya dengan itu ia merasakan kepuasan ketimbang ia terjatuh didalam perzinahan.

Meskipun banyak seksolog yang menempatkan oral seks ini kedalam kategori permainan seks yang aman berbeda dengan anal seks selama betul-betul dijamin kebersihan dan kesehatannya, baik mulut ataupun kemaluannya. Akan tetapi kemungkinan untuk terjangkitnya berbagai penyakit manakala tidak ekstra hati-hati didalam menjaga kebersihannya sangatlah besar.
Hal itu dikarenakan yang keluar dari kemaluan adalah madzi dan mani. Madzi adalah cairan berwarna putih dan halus yang keluar dari kemaluan ketika adanya ketegangan syahwat, hukumnya najis. Sedangkan mani adalah cairan kental memancar yang keluar dari kemaluan ketika syahwatnya memuncak, hukumnya menurut para ulama madzhab Hanafi dan Maliki adalah najis sedangkan menurut para ulama Syafi’i dan Hambali adalah suci.
Mufti Saudi Arabia bagian Selatan, Asy-Syaikh Al`Allamah Ahmad bin Yahya An-Najmi berpenapat bahwa isapan istri terhadap kemaluan suaminya (oral seks) adalah haram dikarenakan kemaluannya itu bisa memancarkan cairan (madzi). Para ulama telah bersepakat bahwa madzi adalah najis. Jika ia masuk kedalam mulutnya dan tertelan sampai ke perut maka akan dapat menyebabkan penyakit.
Adapun Syeikh Yusuf al Qaradhawi memberikan fatwa bahwa oral seks selama tidak menelan madzi yang keluar dari kemaluan pasangannya maka ia adalah makruh dikarenakan hal yang demikian adalah salah satu bentuk kezhaliman (diluar kewajaran dalam berhubungan).
Berhubungan disaat Haidh

Allah swt berfirman,”Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al BAqoroh : 222)
Ayat diatas telah menyebutkan bahwa haidh adalah kotoran yang keluar dari kemaluan perempuan dan diminta kepada para suami yang mendapati istrinya sedang dalam keadaan haidh untuk tidak menyetubuhinya hingga ia suci dari haidhnya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa diharamkan bagi suami menyetubuhi (memasukkan penis kedalam vagina) istrinya yang sedang dalam keadaan haidh dan bersenang-senang dengan bagian tubuh yang ada diantara pusar dan lutut, sebagaimana firman Allah swt,” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haidh.”
Dibolehkan bagi suami yang mendapati istrinya sedang dalam keadaan haidh untuk menikmati bagian tubuh yang ada diatas pusar. Dikarenakan jika ia bersenang-senang dengan bagian yang dibawah pusar maka hal itu sangat mungkin mendorong kepada terjadinya wath’u (masuknya penis kedalam vagina) dan ini diharamkan sebagaiman sabda Rasulullah saw,”Maka barangsiapa yang mengitari daerah larangan maka dikhawatirkan ia akan jatuh kedalamnya.” (HR. Bukhori Muslim)
Adapun tentang kafarat jika terjadi wath’u yang dilakukan suami terhadap istrinya maka terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama :
1. Para ulama madzhab Maliki, Hanafi dan Syafi’i dalam pendapatnya yang baru adalah tidak ada kafarat namun diwajibkan baginya untuk istighfar dan bertaubat.
2. Para ulama Hambali, riwayat yang paling benar dari mereka, berpendapat wajib baginya membayar kafarat dia boleh memilih dengan membayar 1 dinar (seharga 3,25 gr emas, pen) atau ½ dinar. Kafarat ini tidak diwajibkan bagi yang memang tidak mempunyai sesuatu untuk membayarnya.
3. Para ulama madzhab Syafi’i berpendapat barangsiapa menggaulinya diawal keluarnya darah maka ia harus bersedekah dengan 1 dinar sedangkan baangsiapa yang menggaulinya diakhir keluarnya darah maka ia bersedekah dengan ½ dinar.
(al Fiqhul islami wa Adillatuhu juz I hal 627 – 630)
Bertaubat dari Zina
Perzinahan merupakan perbuatan yang sangat buruk dan pelakunya diancam dosa besar oleh Allah swt, firman-Nya,”Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Israa : 32) Hal itu dikarenakan terlalu banyaknya efek yang ditimbulkan dari perzinahan, baik efek psikologi, sosial maupun moral.
Untuk itu Islam menetapkan suatu hukuman yang berat bagi seorang pezina dengan cambukan seratus kali dan diasingkan bagi mereka yang belum menikah serta dirajam bagi mereka yang telah menikah, sebagaimana beberapa dalil berikut ini :
1. “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS. An Nuur : 2)
2. Dari Abu Hurairoh ra bahwasanya Rasulullah saw pernah memberikan hukuman kepada orang yang berzina (belum menikah) dengan hukuman dibuang (diasingkan) satu tahun dan pukulan seratus kali.” (HR. Bukhori)
3. Rasulullah saw menanyakan kepada seorang laki-laki yang mengaku berzina,”Apakah engkau seorang muhshon (sudah menikah)? Orang itu menjawab,’Ya’. Kemudian Nabi bersabda lagi,’Bawalah orang ini dan rajamlah.” (HR Bukhori Muslim)
Namun Allah swt adalah Maha Penerima taubat dari setiap hamba-Nya yang mau bertaubat dari segala perbuatan maksiatnya. Untuk itu yang harus dilakukan oleh mereka yang telah jatuh kedalam perbuatan zina ini dan menginginkan kembali ke jalan Allah swt, adalah :
1. Taubat Nashuha
Tidak ada hal terbaik yang harus dilakukan bagi seorang yang melakukan dosa kepada Allah swt kecuali taubat yang sebenar-benarnya. Taubat yang dibarengi dengan penyesalan dan tekad kuat untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut.
Firman Allah swt,”Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai." (QS. At Tahrim : 8)
Disebutkan didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa ada seorang wanita hamil dari Juhainah mengaku telah berzina dihadapan Rasulullah saw maka ia dirajam setelah melahirkan bayinya itu. Pada saat itu Umar ra mengatakan,”Apakah engkau menshalati jenazahnya ya Rasulullah saw padahal ia telah berzina?’ beliau saw menjawab,’Dia telah bertaubat dengan suatu taubat yang andaikan taubatnya dibagi-bagikan kepada tujuh puluh penduduk Madinah, tentu akan mencukupi mereka semua. Apakah engkau mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari kerelaannya untuk menyerahkan dirinya kepada Allah.”
Jadi tidak ada kata terlambat dan putus asa bagi seorang yang masih mengimani Allah swt sebagai Tuhannya untuk kembali kejalan-Nya, memperbaiki segala kesalahannya dan menggantinya dengan berbagai perbuatan yang baik.
2. Tidak membuka aibnya kepada orang lain
Dengan tidak memungkin bagi setiap pelaku zina untuk dicambuk atau dirajam pada saat ini dikarenakan tidak diterapkannya hukum islam maka sudah seharusnya semua menutupi aibnya itu dan tidak menceritakannya kepada siapa pun. Dengan ini mudah-mudahan Allah swt juga menutupi aib dan kesalahannya ini.
Bahwasanya Nabi saw bersabda,”Setiap umatku mendapat pemaafan kecuali orang yang menceritakan (aibnya sendiri). Sesungguhnya diantara perbuatan menceritakan aib sendiri adalah seorang yang melakukan suatu perbuatan (dosa) di malam hari dan sudah ditutupi oleh Allah swt kemudian dipagi harinya dia sendiri membuka apa yang ditutupi Allah itu.” (HR. Bukhori dan Muslim)
3. Beribadah dan beramal dengan sungguh-sungguh
Firman Allah swt,”Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya Dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan Dia akan kekal dalam azab itu, dalam Keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Furqon : 68 – 70)
Amal sholeh yang dilakukan haruslah sungguh-sunguh dan tidak asal-asalan agar bisa menutupi dosa besar yang telah dilakukannya. Amal sholeh tersebut juga sebagai bukti masih adanya iman didalam dirinya. Keimanan yang menggerakkannya untuk beramal sholeh ini yang kemudian menjadikan Allah swt menutupi dosa dan keburukannya. Bahkan tidak hanya itu, Allah swt menutup ayat itu dengan menyebutkan ‘dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’
Tips Mendapatkan Keturunan
Permasalahan seseorang mempunyai keturunan atau tidak maka itu semua adalah hak Allah swt dengan segala hikmah dan keadilan-Nya serta jauh dari berbuat zhalim terhadap hamba-hamba-Nya kecuali manusia lah yang menzhalimi diri mereka sendiri Firman Allah swt,”Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Asy Syuro : 50)
Allah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu yang terjadi di alam ini, jika Dia berkehendak atas segala sesuatu maka itu akan terjadi dan jika Dia tidak berkehendak atas segala sesuatu maka itu tidak akan terjadi. Dia memberikan kepada siapa yang Dia kehendaki dan menahan pemberian kepada siapa yang Dia kehendaki. Ketika Dia memberikan sesuatu maka tidak ada yang bisa menahannya dan jika Dia menahan sesuatu maka tidak ada yang bisa memberikannya.
Tidak disangsikan lagi adanya anak-anak adalah sebuah rezeki dan karunia Allah swt yang menjadi dambaan setiap pasangan suami istri untuk meneruskan nasab dan keturunannya. Tapi sayang, tidak jarang dari para orang tua yang menyia-nyiakan rezeki yang berharga ini sehingga justru membawa petakan bagi mereka, tidak cuma di dunia namun juga diakherat. Firman Allah swt,”Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?" (QS. An Nahl : 72)
Namun demikian bagi mereka yang belum mendapatkan keturunan tidak boleh berputus asa dan berprasangka buruk terhadap Allah swt. Mereka tetap dianjurkan untuk selalu berikhtiyar, baik melalui upaya-upaya medis atau dengan semakin mendekatkan dirinya kepada Allah swt melalui banyak berdoa dan beristighfar serta menyedikitkan kemaksiatan terhadap-Nya, sebagaimana firman-Nya,”Maka aku katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, Nniscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan Mengadakan untukmu kebun-kebun dan Mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh : 12)
Ayat ini memberikan petunjuk kepada setiap orang yang ingin mendapatkan banyak rezeki—termasuk anak-anak—dari Allah swt adalah dengan memperbanyak istighfar dan bertaubat dari segala kemaksiatan dan dosa. Dikarenakan dosa dan maksiat yang dilakukan akan bisa menghambat rezeki yang akan diturunkan Allah kepadanya, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Sesungguhnya seorang hamba ditahan dari mendapatkan rezeki dikarenakan dosa yang dibuatnya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Wallahu A’lam

INVESTASI SEDEKAH
Apakah boleh kita memberikan sesuatu namun berharap agar mendapatkan balasan lebih banyak? Bolehkah kita bersedekah Rp 10.000 dan berharap agar mendapatkan 10  milyar? Bukankah ini seperti gambling?
“Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” (Qs. Al-Muddatstsir: 6)
Ibnu ‘Abbas radhiallaahu ‘anhu berkata:
“Janganlah engkau memberikan suatu pemberian dan ingin mencari (balasan) yang lebih baik dari pemberiannya itu.”
‘Ikrimah rahimahullah berkata:
“Jangan engkau memberi sesuatu (dengan tujuan) ingin diberi yang lebih banyak.”
Apakah dalil-dalil yang ada tentang keutamaan sedekah yang banyak sekali itu membolehkan kita untuk bersedekah namun berharap agar mendapatkan balasan yang banyak di dunia ini? Seperti bersedekah agar sehat, agar selamat, agar kaya, dan lain-lain.
Saya masih berpikir kok ya ada ya orang yang pengen cepat kaya tapi tanpa mengeluarkan energi yang banyak?
Setiap aktifitas dan amal anda sebagai seorang muslim, seyogyanya ditujukan hanya untuk mencapai keridhaan Allah Ta’ala. Dengan cara inilah anda benar-benar dapat mengaplikasikan ubudiyah (penghambaan) diri kepada Allah.
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Qs. Adz Zariyaat: 56)
 “Atau siapakah yang menciptakan (manusia dari permulaannya), kemudian mengulanginya (lagi), dan siapa (pula) yang memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi Apakah di samping Allah ada ilah (yang lain)?” (Qs. An-Naml: 65)
“Katakanlah: ‘Dia-lah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati.’ (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.” (Qs. Al-Mulk: 23)
Saudaraku! perkenankan saya bertanya:
Anda pernah bekerja di suatu perusahaan atau istansi pemerintah? Seberapa besarkah penghargaan istansi atau perusahaan terhadap jasa yang anda berikan untuk mereka?
Setiap hari mereka membeli 1/3 dari waktu, tenaga, pikiran dan berbagai potensi anda. Menurut anda, apakah gaji dan imbalan yang anda terima telah setimpal dengan jasa yang anda berikan kepada mereka?
Saya yakin, anda merasa puas dan setimpal, karenanya anda mempertahankan pekerjaan anda. Dan bahkan mungkin anda telah membuat planing untuk mengabdikan jasa dan potensi anda kepada jabatan anda hingga umur pensiun. Bukankah demikian saudarku?
Nah, coba bandingkan pengorbanan pengabdian anda kepada profesi dan jabatan anda dengan pengorbanan anda kepada Allah
Ta’ala. Bagaimanakah hasilnya saudaraku?
Sekali lagi perkenankan saya bertanya:
Mungkinkah anda dapat menikmati berbagai fasilitas yang anda dapatkan bila Allah mencabut satu kenikmatan-Nya dari anda? Mungkinkah anda kuasa merasakan kebahagiaan mendapatkan gaji yang besar, fasilitas mewah bila Allah mencabut nikmat udara, atau bahkan nikmat buang air besar dari anda?
Padahal Allah Ta’ala telah menyiapkan kenikmatan lain yang tiada banding buat anda bila anda benar-benar mengabdi kepada-Nya selama hidup di dunia. Allah Ta’ala berfirman pada hadits qudsi:
“Aku telah siapkan untuk hamba-hambaku yang shaleh kenimmatan yang tiada mata yang pernah menyaksikannya, juga tiada telinga yang pernah mendengarnya, dan tiada pernah terbetik dalam hati manusia. ” Bila kalian mau, silahkan baca firman Allah: “Tiada seorangpun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Setelah anda membandingkan dua hal di atas, masih tersisakah anggapan bahwa pengabdian diri kepada Allah secara utuh adalah suatu hal yang memberatkan?
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu.” (Qs. Al Baqarah: 208)
Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini dengan berkata:
“Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman kepada-Nya dan percaya dengan para utusan-Nya, agar dengan sekuat daya dan upaya mereka mengamalkan seluruh simbol-simbul Islam, dan syari’atnya. Hendaknya mereka mengamalkan seluruh perintah dan meninggalkan seluruh larangan.” (Tafsir Ibnu Katsir 1/565)
Pendek kata: bukti keimanan anda kepada Allah Ta’ala ialah anda menjadikan kehidupan anda sebagai ladang untuk menyemai benih-benih kehidupan akhirat, bukan sebaliknya. Dengan cara inilah anda menjadi umat Islam sejati dan berhasil menggapai kejayaan dalam hidup.
“Berilah umatku kabar gembira berupa kebahagiaan, kemuliaan dan kejayaan di dunia. Ini akan terwujud selama mereka tidak mengais kehidupan dunai dengan sara amalan akhirat. Barang siapa mengais kehidupan dunia dengan sarana amalan akhirat, niscaya kelak di akhirat ia tidak memiliki bagian (dari keberuntungan).” (Riwayat Ahmad, Al Hakim dan Al Baihaqi)
Tidak perlu kawatir, bila anda mengabdikan diri anda; pikiran, tenaga, waktu dan lainnya untuk Allah, niscaya Allah-pun membalas dengan setimpal. Jaminan hidup bahagian di dunia dan akhirat benar-benar terwujud untuk anda:
“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagianpun di akhirat.” (Qs. As Syura’: 20)
“Barang siapa yang beramal sholeh, baik lelaki maupun perempuan sedangkan ia beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs. An-Nahl: 97)
“Barang siapa yang pikirannya terpusat pada urusan akhirat, niscaya Allah akan menyatukan urusannya, menjadikan kekayaannya ada pada hatinya, dan kekayaan dunia akan menghampirinya dengan tunduk lagi mudah. Sedangkan barang siapa yang pikirannya terpusat pada urusan dunia, niscaya Allah akan mencerai-beraikan urusannya, kemiskinan selalu berada di depan matanya, dan tidak ada dari kekayaan dunia yang menghampirinya selain yang telah Allah tuliskan untuknya.” (Riwayat Al hannad dalam kitab Az Zuhud dan oleh Al Albani dinyatakan sebagai hadits shahih)
Nuruddin bin Abdul Hadi As-Sindy mengomentari hadits ini dengan berkata:
“Kesimpulannya, setiap rizqi yang telah dituliskan untuk seorang hamba pasti akan datang menghampirinya. Hanya saja barang siapa yang berjuang membangun kehidupan akhirat, niscaya rizkinya akan menghampirinya dengan begitu mudah. Sedangkan orang yang hanya berpikir mengejar keuntungan dunia, rizkinya hanya akan ia peroleh dengan penuh susah payah. Dengan demikian orang yang berjuang membina kehidupan akhirat berhasil menggabung keuntungan dunia dan akhirat. Sedangkan tujuan utama dari mencari rizki adalah untuk dapat hidup dengan nyaman, dan itu benar-benar berhasil digapai oleh pejuang akhirat. Sedangkan pejuang dunia ditimpa kerugian di dunia dan akhirat, karena selama di dunia ia senantiasa menanggung kesusahan dalam upaya mencari harta. Bila demikian adanya, maka apalah gunanya harta benda bila pemiliknya tidak pernah merasakan kenyamanan?”
Terlebih dari itu, ternyata Allah Ta’ala tidak pernah memisahkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Bahkan sebaliknya, kedua kehidupan ini saling berkaitan, dengan prioritas yang berbeda. Kehidupan akhirat adalah primer dan menjadi akhir dari perjuangan hidup di dunia. Sedangkan kehidupan dunia ialah ladang penyemaian benih-benih kehidupan akhirat.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Qs. Al Qashash: 77)
Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berpetuah:
“Jadilah engkau bagian dari pejuang akhirat, dan janganlah engkau menjadi bagian dari pejuang dunia, karena sesungguhnya sekarang adalah hari untuk beramal dan tidak ada hisab (perhitungan), sedangkan esok adalah hari hisab (perhitungan) dan tidak ada amalan.”
Karenanya, sangat tidak etis bila anda motifasi anda dalam menebar benih akhirat ialah untuk mendapatkan keuntungan dunia. Relah anda menebar beni padi guna mendapatkan jerami? Mungkinkah suatu saat anda membangun perusahaan hanya untuk mendapatkan limbah?
Adapun berbagai janji Allah Ta’ala dan Rasul-Nya berupa kehidupan dunia yang layak dan keuntungan duniawi lainnya hanyalah sebatas motivasi tambahan. Misalnya hadits berikut:

“Tidaklah shodakoh itu akan mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba dengan memaafkan melainkan kemuliaan, dan tidaklah seseorang bertawadhu’/merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah akan meninggikannya.”
(HR. Muslim)
Demikian juga halnya dengan hadits berikut:
“Barang siapa yang senang untuk dilapangkan (atau diberkahi) rizkinya, atau ditunda (dipanjangkan) umurnya, maka hendaknya ia bersilaturrahim.” (Muttafaqun ‘alaih)
Berbagai keuntungan itu hanyalah keuntungan sekunder dan bukan primer, karenanya tidak sepantasnya anda menjadikannya sebagai satu-satunya tujuan dan motivasi atau menjadikannya sebagai motifasi utama dalam beramal.
Terlebih-lebih rizki dan berbagai kejadian dunia telah Allah tentukan dan takdirkan,. Betapa ruginya diri anda bila amal ibadah anda hanya dimaksudkan untuk mendapatkan sesuatu yang pasti anda dapatkan:
“Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rizqi, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rizqinya, walaupun telat datangnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rizqi. Tempuhlah jalan-jalan mencari rizki yang halal dan tinggalkan yang haram.” (Riwayat Ibnu Majah, Abdurrazzaq, Ibnu Hibban, dan Al Hakim, serta dishahihkan oleh Al Albani)
Saudaraku! Coba anda renungkan perihal orang-orang kafir yang berlaku jujur, dermawan, penyantun, dan lainnya. Mereka melakukan itu semua hanyalah untuk mendapatkan keuntungan dunia belaka. Karenanya, kelak di hari qiyamat, mereka hanya bisa menggigit jari, menyesali jasa baik mereka yang sirna bak debu yang berterbangan.
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs. Huud 15-16)
Pada ayat lain Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (Qs. Al-Furqan: 23)
Karenanya kelak di hari qiyamat, akan ada orang-orang yang semasa hidup di dunia banyak bersedekah dan berinfak, akan tetapi karena motivasinya hanya ingin mendapatkan keuntungan dunia berupa kedudukan sosial belaka, maka ia termasuk orang-orang yang pertama kali dimasukkan ke dalam neraka. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dan lainnya.
Saya yakin anda tidak mendambakan keadaan yang demikian itu.
Saudaraku! semua itu menimpa mereka, karena mereka mengamalkan amalan tersebut hanya untuk mencari keuntungan dunia semata.
Saudaraku! singkat kata, tidak salah bila anda mengharapkan balasan dan keuntungan dunia atas amal ibadah anda, akan tetapi tidak benar bila anda menjadikannya sebagai motofasi utama atau satu-satunya harapan.
Semoga jawaban ringkas dan sederhana ini bermanfaat, dan semoga Allah melimpahkan istiqomah kepada kita semua.
Wallahu a’alam bisshawab

TA'ADUD AZ ZAUJAT ( POLIGAMI )

Prolog
Tidak diragukan lagi, Allah menurunkan syari'at bagi umat manusia, tidak lain hanya untuk kemaslahatan dan kebaikan umatnya. Begitu pula dengan Rasulullah Saw. beliau tidak akan berkata melainkan setelah diwahyukan oleh Allah kepadanya, sehingga hawa nafsu tidak ikut campur dalam setiap kebijakan beliau1.
Apatah daya, terkadang manusia membelot dan membangkang syari'at yang telah ditetapkan oleh agama Islam. Mereka mencoba merasionalisasikan pembelotannya, agar banyak yang merasa kagum dan setuju kepada hasil analisa yang dipaksakannya. Sikap ini telah lama muncul di negeri kita sendiri, salah satunya adalah mereka yang mengatasnamakan Islam liberal.
Berlepas dari apa tujuan mereka melakukan pengkaburan dalam memahami syari'at, yang pasti pemahaman ini sudah banyak meracuni kaum muslimin sempalan. Bahkan sampai-sampai para pembelot ini mereka anggap sebagai para alim, yang harus diikuti dan diperjuangkan setiap fatwanya. Padahal, "Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat". Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)"2.
Diantara banyaknya cara yang digunakan oleh para pembelot syari'at ini, saya hanya akan membahas dua permasalahan yang sering mereka munculkan di setiap diskusi ataupun buku mereka. Dalam makalah ini saya akan membahas seputar Ta'addud Az Zaujât (Poligini) dilengkapi syubhat-syubhat yang sering mereka lontarkan dalam masalah ini, juga saya akan membahas tentang Nikah beda Agama yang mereka anggap sikap ini adalah aplikasi dari persamaan agama-agama.
Ta'addud Az Zaujât
Ta'addud Az Zaujât telah lama dikenal oleh umat manusia, baik oleh pihak yang membolehkan ataupun dari pihak yang tidak membolehkannya. Pertentangan ini muncul karena manusia tidak paham akan hikmah (Maqâshid) yang terkandung dalam pensyari'atannya, juga karena mereka mendahulukan hawa nafsu dari pada akalnya. Sehingga tidak sedikit ketika kata Ta'addud Az Zaujât dimunculkan ke permukaan, mereka malah mendahulukan prasangka buruk. Seakan-akan Ta'addud Az Zaujât lebih kejam dari pada isu teroris yang sedang hangat pada masa ini, padahal Ta'addud Az Zaujât telah ada dan dipraktikan sebelum adanya risalah kenabian.

I. Ta'addud Az Zaujât pra-Risalah Saw
Ta'addud Az Zaujât sudah dilakukan ratusan tahun sebelum datangnya risalah kenabian Muhammad Saw:
1. Yahudi. Dalam ajaran Yahudi dengan kitab Tauratnya (Perjanjian Lama), terdapat banyak disebutkan para pemimpin dahulu bahkan para Nabi melakukan Ta'addud Az Zaujât. Dalam kitab Tauret disebutkan secara terang-terangan akan pembolehan Ta'addud Az Zaujât, sebut saja Nabi Sulaiman dan Nabi Daud diterangkan memiliki banyak istri3.
2. Nasrani. Begitu pula dengan ajaran Nasrani menyetujui Ta'addud Az Zaujât, karena Nabi Isa As berkata "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya"4.
3. Jaman Jahiliyyah. Pada masa inipun Ta'addud Az Zaujât malah semakin banyak orang melakukannya, karena mereka lebih mendahulukan hawa nafsu dari pada syari'at ataupun akalnya. Sebab itu ketika risalah kenabian Muhammad Saw mulai diangkat, maka Islam membatasi hawa nafsu umat manusia dengan cara membatasi Ta'addud Az Zaujât hanya sampai empat istri.
Dari rangkaian sejarah ini, kita bisa memiliki kesimpulan bahwa Ta'addud Az Zaujât sesuai dengan fitrah manusia dan merupakan kebutuhan yang dlaruri. Tapi, para pembelot (Munharif) tetap saja akan mencari alasan agar bisa membenarkan perbuatannya.

II. Syubuhât terhadap Ta'addud Az Zaujât
Sebagaimana telah disebutkan di atas, wacana Ta'addud Az Zaujât ini telah membuat hati-hati orang yang lemah imannya menjadi gamang dan malah berbalik menolak. Penolakan ini baik itu muncul dari kaum laki-laki ataupun dari wanita, bahkan kaum wanita sering mengatakan bahwa mereka menolak Ta'addud Az Zaujât karena mereka lebih mengenal sifat kewanitaanya dari pada laki-laki yang hanya ingin mengumbar hawa nafsu saja. Padahal, Allahlah yang menciptakan wanita, Dia lebih mengetahui kepribadian mereka sehingga syari'at Ta'addud Az Zaujât tidak akan sampai memadlaratkan mereka5 "... Katakanlah:"Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah..."6.
Disini saya akan menyebutkan sebagian syubuhât yang ditujukan para pembelot terhadap Ta'addud Az Zaujât:
1. Ta'addud Az Zauât adalah proses dehumanisasi perempuan:
Dalam menjustifikasi pembelotannya, mereka suka berkata "Dari cara pandang budaya memang menjadi jelas bahwa poligami merupakan proses dehumanisasi perempuan". Dari perkataan ini mereka telah jelas mengatakan bahwa Ta'addud Az Zaujât tidak memanusiakan wanita.
Alasan ini bermula karena mereka tidak paham maqâsid dari Ta'addud Az Zaujât, dan meskipun mereka paham mereka sengaja menutupinya dengan memakai cara pandang budaya dan kepatutan umum (public decency). Padahal public decency di setiap tempat berbeda-beda pandangannya, dan ini satu sama lain akan mengalami pertentangan karena yang membuat adalah manusia. Contohnya, di Amerika menurut public decencynya mengakui bahwa arak hukumnya halal, karena rakyat Amerika menyukainya, apakah umat Islam mesti mengikuti pengakuan seperti ini?!. Mereka seakan-akan memaksakan syari'at mesti mengikuti public decency. Juga mereka tidak menyadari bahwa Islam memiliki public decency tersendiri, yang memiliki sandaran Al Qur'an dan Sunnah yang tidak akan tersentuh dengan subjektivitas.
2. Siapapun tidak akan bisa berbuat adil:
Alasan ke-dua ini mereka ambil dari surat An Nisa ayat 3 dan ayat 129. Meskipun mereka mengambil alasan dari ayat Al Qur'an, mereka tetap lemah alasannya. Karena mereka tidak memahami makna ayat yang disebutkan tadi.
Memang, dalam surat An Nisa ayat ke-3 Allah berfirman "...Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja...". Dan dalam ayat ke 129 Allahpun berfirman "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian...". Namun maksud dari kedua ayat ini bahwa Islam mewajibkan suami agar bersikap adil kepada istri-istrinya dalam hal memberikan nafkah lahir, akan tetapi berbuat adil diantara para istri dalam hal cinta dan kasih sayang, suami tidak bisa melakukannya7.
Meskipun Allah berfirman bahwa manusia tidak akan bisa berbuat adil dalam masalah hati, tapi Allah menggantikannya agar manusia bisa berbuat adil kepada istri-istrinya dalam perkara dzahir. Dan ini pasti akan bisa dilaksanakan, karena Allah tidak akan memerintahkan suatu syari'at jika manusia tidak mampu mengembannya8. Bahkan dalam ayat-ayatnya yang lain, Allah memerintahkan agar manusia senantiasa berbuat adil9.
3. Nabi Muhammad Saw Melarang Ta'addud Az Zaujât:
Tuduhan mereka ini sekarang diambil dari Sunnah Rasul, mereka berkata "Teks-teks hadis poligami sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan, dan pengembalian pada prinsip keadilan. Dari sudut ini, pernyataan "poligami itu sunah" sangat bertentangan dengan apa yang disampaikan Nabi. Apalagi dengan melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat tegas menolak poligami Ali bin Abi Thalib ra. Anehnya, teks hadis ini jarang dimunculkan kalangan propoligami. Padahal, teks ini diriwayatkan para ulama hadis terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.
Nabi Saw marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad Saw, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib ra. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga. (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026)".
Hadits yang mereka sebutkan ini tidak menunjukkan bahwa Ta'addud Az Zaujât itu dilarang, karena pelarangan Nabi ini ditujukan kepada Bani Hasyim yang hendak menikahkan putrinya kepada Ali Ibn Abi thalib. Sedangkan wanita yang minta dinikahi Ali tersebut adalah putri dari musuh Allah, inilah yang menyebabkan Nabi tidak rela jika putrinya disatukan dengan anak dari musuh Allah. Juga, hadits ini menegaskan bahwa mertua berhak melarang menantunya yang akan Ta'addud Az Zaujât, meskipun tetap keputusan ini tergantung pilihan menantunya.
4. Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami:
Berikutnya, alasan yang sering mereka suarakan baik di berbagai web site yang mereka buat, ataupun di media elektronik lainnya, mereka berpendapat "Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi Saw bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid ra, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari kalkulasi ini, sebenarnya tidak beralasan pernyataan "poligami itu sunah".
Saya katakan, yang mesti kita lihat dari sirah nabi ini bukanlah kalkulasi masa nabi bermonogami, tetapi yang dilihat adalah nabi telah melaksanakan anjuran Allah untuk melaksanakan Ta'addud Az Zaujât. Disamping itu Ta'addud Az Zaujât hukumnya mubah (boleh), sehingga Nabi tidak serta merta melaksanakannya, sampai Allah menentukan Nabi agar menikahi perempuan yang lain.

III. Beberapa kemungkinan yang bisa di hadapi para suami

Setelah bersama mempelajari beberapa alasan yang dilontarkan mereka di dalam menolak syari'at Allah, kita bisa mengambil ibrah dari banyak fenomena yang terjadi, dimana fenomena ini mendorong adanya Ta'addud Az Zaujât. Fenomena itu diantaranya:
1. Istri terserang penyakit. Jika sampai istri terserang penyakit yang kronis, sehingga dia tidak bisa melaksanakan tugas sebagai ibu rumah tangganya, mendidik anak-anak dan memberikan hak-hak kepada suami. Apakah layak membiarkan suami terkatung-katung haknya?.
2. Istri mandul. Begitu juga bagaimana jika memiliki istri yang tidak bisa memberikan penerus (mandul), meskipun pengobatan sudah dijalani dengan berbagai cara. Pada suatu masa, perjuangan ini akan berakhir dengan kebosanan, sedangkan keinginan memiliki anak tidak akan hilang. Apakah dengan mengangkat anak angkat lebih baik dari pada memiliki anak dari darah daging sendiri, meskipun itu bukan dari rahim istri pertama?.
3. Wanita akan mengalami masa menopause. Dari salah satu fitrah wanita mereka akan mengalami masa menopause, dan masa ini sangat cepat datangnya yaitu di akhir umur 45 tahun. Setelah masa ini suami akan merasakan kehilangan sebagian haknya sebagai suami, padahal "nafkah batin itu yang menjadi jalan pemuasan nafkah zahir"10. Apakah sang istri akan rela jika suaminya menjadi "Om-Om Senang", ataukah membiarkan suami dan keluarga selamat dari api neraka dengan membiarkannya memiliki istri lain?.
4. Jumlah wanita lebih banyak. Nabi Muhammad Saw pernah bersabda tentang ciri-ciri dekatnya kiamat salah satunya adalah: "...dan berkurangnya laki-laki serta wanita bertambah, sampai 50 wanita berbanding satu orang (laki-laki)..."11. Juga sebagaimana ucapan Ibn Abbas kepada Sa'id Ibn Jabir "Menikahlah, karena kebaikan umat ini adalah banyaknya jumlah wanita"12. Sabda Nabi dan ucapan Salafunâ Ash Shâlih ini memang terjadi pada masa ini, dimana jumlah penduduk wanita lebih banyak dibandingkan jumlah laki-laki. Apakah lebih baik menelantarkan kaum wanita yang belum menikah tanpa perlindungan dan pendidikan suami, sehingga pada jaman ini sudah banyak para wanita tuna susila?.

A.IV. Membela Syari'at
Dari pelajaran yang telah kita renungkan mengenai masalah Ta'addud Az Zaujât ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Ta'addud Az Zaujât sesuai dengan fitrah manusia. Serta itu merupakan hak seorang suami yang telah Allah tetapkan dalam Al qur'an, dan kaum wanita tidak bisa beralasan bahwa dengan adanya Ta'addud Az Zaujât hak-hak mereka telah diperkosa. Padahal sebaliknya, kaum laki-lakilah yang diperkosa haknya jika hal ini dilarang. Disamping itu, memang merupakan syari'at Allah bagi umatnya. Sebagaimana firman-Nya "... maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja..."13.
Maka selayaknya kita (wanita dan laki-laki) membela syari'at yang telah ditetapkan agama Islam, karena para ulama Islam telah menetapkan murtad bagi orang yang menolak atau membenci sesuatu yang datang dari Kitabullah. Dan mereka yang menolak Ta'addud Az Zaujât, atau yang berpendapat bahwa Ta'addud Az Zaujât merupakan tindakan mendzalimi dan menganiyaya wanita, atau mereka yang membencinya. Maka tidak diragukan lagi kekafiran dan kemurtadan mereka dari agama, sebagaimana firman Allah Swt "Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (al-Qur'an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka"14.

A.V. Mengikat Ta'adud Az Zaujât

Syari'at yang ditetapkan oleh Allah Swt dan Rasulullah Saw bisa berdampak negatif, jika dalam menjalankannya lebih mengedepankan hawa nafsu. Karenanya di dalam pensyari'atan pasti ada syarat yang mesti dijalankan juga. Begitupula dalam pensyari'atan Ta'addud Az Zaujât terdapat berbagai syarat agar para kaum lelaki tidak salah dalam bertindak, misalkan mereka bertujuan hanya untuk memenuhi syahwatnya. Syarat-syarat melaksanakan Ta'addud Az Zaujât:15
1. Suami mampu berbuat adil diantara istri-istrinya: sebagaimana firman-Nya "Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja..."
2. Mampu menghadapi segala fitnah dari istri-istri dan tidak menghilangkan hak-hak Allah: sebab Allah telah berfirman "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka..."16
3. Mampu memberi pelayanan yang baik kepada istri-istri: agar tidak berdampak keburukan dan kerusakan terhadap istri-istri, sedangkan Allah tidak menyukai kerusakan. Nabipun pernah bersabda "Wahai para pemuda, barangsiapa yang sudah mampu untuk bâ'ah (jima'), maka menikahlah"17.
4. Mampu memberikan nafkah kepada istri-istri

Epilog

Para Munharif di setiap masa pasti akan ada, bagaimanapun mereka melancarkan misinya, tetap kebenaran akan selamanya terdepan. Maka, tugas kita kali ini adalah menghidupkan kebenaran agar kebathilan tenggelam. "Dan katakanlah:"Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap"18.


HUKUM MEROKOK
Sejak awal abad XI Hijriyah atau sekitar empat ratus tahun yang lalu, rokok dikenal dan membudaya di berbagai belahan dunia Islam. Sejak itulah sampai sekarang hukum rokok gencar dibahas oleh para ulama di berbagai negeri, baik secara kolektif maupun pribadi. Perbedaan pendapat di antara mereka mengenai hukum rokok tidak dapat dihindari dan berakhir kontroversi. Itulah keragaman pendapat yang merupakan fatwa-fatwa yang selama ini telah banyak terbukukan. Sebagian di antara mereka menfatwakan mubah alias boleh, sebagian berfatwa makruh, sedangkan sebagian lainnya lebih cenderung menfatwakan haram.
Pada dasarnya terdapat nash bersifat umum yang menjadi patokan hukum, yakni larangan melakukan segala sesuatu yang dapat membawa kerusakan, kemudaratan atau kemafsadatan sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai berikut:
Al-Qur’an :
Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah: 195)
As-Sunnah :
Dari Ibnu ‘Abbas ra, ia berkata ; Rasulullah SAW. bersabda: Tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri sendiri), dan tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri orang lain). (HR. Ibnu Majah, No.2331)
Bertolak dari dua nash di atas, ulama’ sepakat mengenai segala sesuatu yang membawa mudarat adalah haram. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah merokok itu membawa mudarat ataukah tidak, dan terdapat pula manfaat ataukah tidak. Dalam hal ini tercetus persepsi yang berbeda dalam meneliti dan mencermati substansi rokok dari aspek kemaslahatan dan kemafsadatan. Perbedaan persepsi ini merupakan babak baru munculnya beberapa pendapat mengenai hukum merokok dengan berbagai argumennya.
Seandainya semua sepakat, bahwa merokok tidak membawa mudarat atau membawa mudarat tetapi relatif kecil, maka semua akan sepakat dengan hukum mubah atau makruh. Demikian pula seandainya semuanya sepakat, bahwa merokok membawa mudarat besar, maka akan sepakat pula dengan hukum haram.
Beberapa pendapat itu serta argumennya dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam hukum.
Pertama ; hukum merokok adalah mubah atau boleh karena rokok dipandang tidak membawa mudarat. Secara tegas dapat dinyatakan, bahwa hakikat rokok bukanlah benda yang memabukkan.
Kedua ; hukum merokok adalah makruh karena rokok membawa mudarat relatif kecil yang tidak signifikan untuk dijadikan dasar hukum haram.
Ketiga; hukum merokok adalah haram karena rokok secara mutlak dipandang membawa banyak mudarat. Berdasarkan informasi mengenai hasil penelitian medis, bahwa rokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dalam, seperti kanker, paru-paru, jantung dan lainnya setelah sekian lama membiasakannya.
Tiga pendapat di atas dapat berlaku secara general, dalam arti mubah, makruh dan haram itu bagi siapa pun orangnya. Namun bisa jadi tiga macam hukum tersebut berlaku secara personal, dengan pengertian setiap person akan terkena hukum yang berbeda sesuai dengan apa yang diakibatkannya, baik terkait kondisi personnya atau kwantitas yang dikonsumsinya. Tiga tingkatan hukum merokok tersebut, baik bersifat general maupun personal terangkum dalam paparan panjang ‘Abdur Rahman ibn Muhammad ibn Husain ibn ‘Umar Ba’alawiy di dalam Bughyatul Mustarsyidin (hal.260) yang sepotong teksnya sebagai berikut:
Tidak ada hadits mengenai tembakau dan tidak ada atsar (ucapan dan tindakan) dari seorang pun di antara para shahabat Nabi SAW. … Jelasnya, jika terdapat unsur-unsur yang membawa mudarat bagi seseorang pada akal atau badannya, maka hukumnya adalah haram sebagaimana madu itu haram bagi orang yang sedang sakit demam, dan lumpur itu haram bila membawa mudarat bagi seseorang. Namun kadangkala terdapat unsur-unsur yang mubah tetapi berubah menjadi sunnah sebagaimana bila sesuatu yang mubah itu dimaksudkan untuk pengobatan berdasarkan keterangan terpercaya atau pengalaman dirinya bahwa sesuatu itu dapat menjadi obat untuk penyakit yang diderita sebagaimana berobat dengan benda najis selain khamr. Sekiranya terbebas dari unsur-unsur haram dan mubah, maka hukumnya makruh karena bila terdapat unsur-unsur yang bertolak belakang dengan unsur-unsur haram itu dapat difahami makruh hukumnya.

Senada dengan sepotong paparan di atas, apa yang telah diuraikan oleh Mahmud Syaltut di dalam Al-Fatawa (hal.383-384) dengan sepenggal teks sebagai berikut:
Tentang tembakau sebagian ulama menghukumi halal karena memandang bahwasanya tembakau tidaklah memabukkan, dan hakikatnya bukanlah benda yang memabukkan, disamping itu juga tidak membawa mudarat bagi setiap orang yang mengkonsumsi. …Pada dasarnya semisal tembakau adalah halal, tetapi bisa jadi haram bagi orang yang memungkinkan terkena mudarat dan dampak negatifnya. Sedangkan sebagian ulama’ lainnya menghukumi haram atau makruh karena memandang tembakau dapat mengurangi kesehatan, nafsu makan, dan menyebabkan organ-organ penting terjadi infeksi serta kurang stabil.
Demikian pula apa yang telah dijelaskan oleh Prof Dr Wahbah Az-Zuhailiy di dalam Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh (Cet. III, Jilid 6, hal. 166-167) dengan sepotong teks, sebagai berikut:

Masalah kopi dan rokok; penyusun kitab Al-’Ubab dari madzhab Asy-Syafi’i ditanya mengenai kopi, lalu ia menjawab: (Kopi itu sarana) hukum, setiap sarana itu sesuai dengan tujuannnya. Jika sarana itu dimaksudkan untuk ibadah maka menjadi ibadah, untuk yang mubah maka menjadi mubah, untuk yang makruh maka menjadi makruh, atau haram maka menjadi haram. Hal ini dikuatkan oleh sebagian ulama’ dari madzhab Hanbaliy terkait penetapan tingkatan hukum ini. Syaikh Mar’i ibn Yusuf dari madzhab Hanbaliy, penyusun kitab Ghayah al-Muntaha mengatakan : Jawaban tersebut mengarah pada rokok dan kopi itu hukumnya mubah, tetapi bagi orang yang santun lebih utama meninggalkan keduanya.
Sangat menarik bila tiga tingkatan hukum merokok sebagaimana di atas ditelusuri lebih cermat. Kiranya ada benang ruwet dan rumit yang dapat diurai dalam perbedaan pendapat yang terasa semakin sengit mengenai hukum merokok. Benang ruwet dan rumit itu adalah beberapa pandangan kontradiktif dalam menetapkan ‘illah atau alasan hukum yang di antaranya akan diulas dalam beberapa bagian.
Pertama; sebagian besar ulama’ terdahulu berpandangan, bahwa merokok itu mubah atau makruh. Mereka pada masa itu lebih bertendensi pada bukti, bahwa merokok tidak membawa mudarat, atau membawa mudarat tetapi relatif kecil. Barangkali dalam gambaran kita sekarang, bahwa kemudaratan merokok dapat pula dinyaakan tidak lebih besar dari kemudaratan durian yang jelas berkadar kolesterol tinggi. Betapa tidak, sepuluh tahun lebih seseorang merokok dalam setiap hari merokok belum tentu menderita penyakit akibat merokok. Sedangkan selama tiga bulan saja seseorang dalam setiap hari makan durian, kemungkinan besar dia akan terjangkit penyakit berat.
Kedua; berbeda dengan pandangan sebagian besar ulama’ terdahulu, pandangan sebagian ulama sekarang yang cenderung mengharamkan merokok karena lebih bertendensi pada informasi (bukan bukti) mengenai hasil penelitian medis yang sangat detail dalam menemukan sekecil apa pun kemudaratan yang kemudian terkesan menjadi lebih besar. Apabila karakter penelitian medis semacam ini kurang dicermati, kemudaratan merokok akan cenderung dipahami jauh lebih besar dari apa yang sebenarnya. Selanjutnya, kemudaratan yang sebenarnya kecil dan terkesan jauh lebih besar itu (hanya dalam bayangan) dijadikan dasar untuk menetapkan hukum haram. Padahal, kemudaratan yang relatif kecil itu seharusnya dijadikan dasar untuk menetapkan hukum makruh. Hal seperti ini kemungkinan dapat terjadi khususnya dalam membahas dan menetapkan hukum merokok. Tidakkah banyak pula makanan dan minuman yang dinyatakan halal, ternyata secara medis dipandang tidak steril untuk dikonsumsi. Mungkinkah setiap makanan dan minuman yang dinyatakan tidak steril itu kemudian dihukumi haram, ataukah harus dicermati seberapa besar kemudaratannya, kemudian ditentukan mubah, makruh ataukah haram hukumnya.
Ketiga; hukum merokok itu bisa jadi bersifat relatif dan seimbang dengan apa yang diakibatkannya mengingat hukum itu berporos pada ‘illah yang mendasarinya. Dengan demikian, pada satu sisi dapat dipahami bahwa merokok itu haram bagi orang tertentu yang dimungkinkan dapat terkena mudaratnya. Akan tetapi merokok itu mubah atau makruh bagi orang tertentu yang tidak terkena mudaratnya atau terkena mudaratnya tetapi kadarnya kecil.
Namun kami cenderung dengan yang keempat; karena merokok itu membawa mudarat relatif kecil dengan hukum makruh, kemudian di balik kemudaratan itu terdapat kemaslahatan yang lebih besar, maka hukum makruh itu dapat berubah menjadi mubah. Adapun bentuk kemaslahatan itu seperti membangkitkan semangat berpikir dan bekerja sebagaimana biasa dirasakan oleh para perokok. Kami kira Hal ini selama tidak berlebihan yang dapat membawa mudarat cukup besar. Apa pun yang dikonsumsi secara berlebihan dan jika membawa mudarat cukup besar, maka haram hukumnya. Berbeda dengan benda yang secara jelas memabukkan, hukumnya tetap haram meskipun terdapat manfaat apa pun bentuknya karena kemudaratannya tentu lebih besar dari manfaatnya.

Onani (Masturbasi)
Kadang-kadang darah pemuda bergelora, kemudian dia menggunakan tangannya untuk mengeluarkan mani supaya alat kelaminnya itu menjadi tenang dan darahnya yang bergelora itu menurun. Cara semacam ini sekarang dikenal dengan nama onani (bahasa Arabnya: istimta' atau adatus sirriyah).
Kebanyakan para ulama mengharamkan perbuatan tersebut, di antaranya Imam Malik. Beliau memakai dalil ayat yang berbunyi:
"Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali terhadap isterinya atau hamba sahayanya, mereka yang demikian itu tidak tercela. Tetapi barangsiapa mau selain yang demikian itu, maka mereka itu adalah orang-orang yang melewati batas." (Al-Mu'minun: 5-7)
Sedang orang yang onani adalah melepaskan syahwatnya itu bukan pada tempatnya.
Sedang Ahmad bin Hanbal berpendapat, bahwa mani adalah barang kelebihan. Oleh karena itu boleh dikeluarkan, seperti memotong daging lebih.
Pendapat ini diperkuat oleh Ibnu Hazm. Tetapi ulama-ulama Hanafiah memberikan Batas kebolehannya itu dalam dua perkara:
1.      Karena takut berbuat zina.
2.      Karena tidak mampu kawin.
Pendapat Imam Ahmad ini memungkinkan untuk kita ambil dalam keadaan gharizah itu memuncak dan dikawatirkan akan jatuh ke dalam haram. Misalnya seorang pemuda yang sedang belajar atau bekerja di tempat lain yang jauh dari negerinya, sedang pengaruh-pengaruh di hadapannya terlalu kuat dan dia kawatir akan berbuat zina. Karena itu dia tidak berdosa menggunakan cara ini (onani) untuk meredakan bergeloranya gharizah tersebut dan supaya dia tidak berlaku congkak dan gharizahnya itu tidak menjadi ulat.
Tetapi yang lebih baik dari itu semua, ialah seperti apa yang diterangkan oleh Rasulullah s.a.w. terhadap pemuda yang tidak mampu kawin, yaitu kiranya dia mau memperbanyak puasa, dimana puasa itu dapat mendidik beribadah, mengajar bersabar dan menguatkan kedekatan untuk bertaqwa dan keyakinan terhadap penyelidikan (muraqabah) Allah kepada setiap jiwa seorang mu'min. Untuk itu Rasuluilah s.a.w. bersabda sebagai berikut:
"Hai para pemuda! Barangsiapa di antara kamu sudah ada kemampuan, maka kawinlah sebab dia itu dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan; tetapi barangsiapa tidak mampu, maka hendaknya ia berpuasa, sebab puasa itu baginya merupakan pelindung." (Riwayat Bukhari)


Hayooo... ngapain lama-lama di kamar mandi? Onani, ya? Ya memang bukan rahasia umum lagi bahwa onani (masturbasi) sering dilakukan oleh generasi muda kita saat ini. Menurut penelitian, para pemuda yang berumur antara 13 dan 20 tahun merupakan usia yang paling banyak melakukan onani. Biasanya yang melakukan onani adalah anak-anak muda yang belum kawin, duda atau janda, orang-orang dalam pengasingan, dan bermacam-macam lagi.
Onani, atau dalam bahasa gaulnya coli adalah kegiatan melepaskan keingiinan nafsu seksual dengan jalan tidak bersenggama, dengan cara merangsang alat vital melalui tangan atau alat bantu lainnya. Dalam Islam, onani di kenal dengan beberapa nama, yaitu, al-istimna, nikah al-yad, jildu umairah, al-i’timar atau ‘adatus sirriyah. Nah, sekarang pertanyaannya bagaimana hukum Islam memandang permasalahan ini ?
Sebenarnya, ada perbedaan pendapatdi kalangan ulama mengenai hukum onani. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Malik, onani adalah kegiatan dilarang dalam Islam. Mereka merujuk, pada beberapa ayat Al-Qur’an sebagai berikut “Sungguh beruntung orang-orang beriman." (QS. Al-Mukminun 23:1)

“(yaitu) orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali untuk pasangannya (suami atau isterinya).” (QS. Al-Mukminun 23: 5-6)

“Barangsiapa yang mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melewati batas”. (QS. Al-Mukminun 23: 7)

Dalam surat Al-Mukminun ayat tujuh tersebut, terdapat kata “Barangsiapa yang mencari di balik itu.” Maksudnya adalah yang mencari kepuasan seksual bukan dengan isteri atau suaminya, tapi dengan cara yang lain seperti homo seksual, lesbi dan onani, maka tindakan tersebut merupakan perbuatan yang melampaui batas atau haram. Nah, dari ayat tersebutlah Iman Syafi’i dan Imam Malik membuat kesimpulan bahwa onani adalah perbuatan yang haram .
Namun ada juga sebagian ulama yang memperbolehkan, terutama ulama dari mahzab Hanafi dan Hanbali. Mereka mengatakan  masturbasi secara prinsip hukumnya terlarang atau haram, namun apabila dorongan seksual seseorang sangat tinggi padahal belum mampu menikah, demi mencegah perbuatan zina, maka dalam kondisi ini onani hukumnya menjadi mu bah, tetapi dengan catatan tidak menjadi kebiasaan atau adat
Hal ini juga terdapat dalam kasus, orang yang sudah menikah namun tinggal berjauhan (long distance), demi mencegah perbuatan yang tidak diinginkan, maka sebagian ulama memperbolehkan onani.
Sementara, ada juga beberapa ulama seperti Imam Ibnu Hazm berpendapat bahwa hukum masturbasi adalah makruh, artinya bila ditinggalkan mendapat pahala dan bila dikerjakan tidak berdosa. Ia mendasarkan pendapatnya pada firman Allah swt “Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” (QS. Al Baqarah 2:29).

Oleh karena itu Ibnu Hazm memandang makruh mencari kesenangan dengan cara masturbasi karena untuk melakukannya tidak melibatkan orang lain. Secara umum Allah swt. telah menciptakan segala sesuatu dengan fitrahnya. Salah satu fitrah manusia adalah memenuhi kebutuhan seksual.
Memang, sampai saat ini terjadi khilafiyah (perbedaan pendapat dikalangan ulama) mengenai hukum onani. Nah, sekarang terkagantung bagaimana Anda melihat onani baik dari segi untung ataupun ruginya. Namun apa yang terbaik ialah apa yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW terhadap pemuda yang tidak mampu untuk kawin, beliau mengatakan”Wahai sekalian pemuda! Barangsiapa di antara kamu mempunyai kemampuan, maka kawinlah, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan, tetapi barangsiapa yang tidak berkemampuan, maka hendaklah dia berpuasa karena puasa itu baginya merupakan pelindung.”


Operasi Ganti Kelamin
Muqadimah
Dalam sebuah forum kajian muda-mudi di sebuah desa, penulis pernah ditanya oleh seorang pemuda tentang hukum mengubah alat kelamin. Pertanyaan tersebut diungkapkan oleh pemuda tersebut, karena didorong keinginannya untuk menjadi seorang wanita, karena menurutnya menjadi seorang pria sangat berat dan banyak bebannya, dan menjadi seorang wanita sangat enak dan bahagia.
Alhamdulillah, penulis diberi kemudahan oleh Allah untuk menjelaskan dengan bahasa yang lugas dan mudah dipahami oleh pemuda tersebut. Pemuda tersebut pun masih menjalani kodratnya sebagai seorang pria sejati hingga kini.
Kejadian seperti itu sudah sering terjadi, bahkan beberapa waktu yang lalu, Pengadilan Negeri Batang telah mengesahkan status Agus Wardoyo (Doyo) yang sebelumnya pria menjadi seorang wanita yang bernama Nadia (Dea). Bahkan Doyo telah melakukan operasi kelamin di RSUD Sutomo Surabaya untuk mewujudkan impiannya tersebut. Lantas bagaimana pandangan Islam terhadap masalah ini? Bolehkan seseorang melakukan operasi ganti kelamin? Kalau boleh bagaimana syarat-syaratnya?
Hukum Syar’i Tentang Operasi Ganti Kelamin (Transeksual)
  1. Hukum operasi kelamin
Pertama: Masalah seseorang yang lahir dalam kondisi normal dan sempurna organ kelaminnya yaitu penis (zakar) bagi laki-laki dan vagina (farj) bagi perempuan yang dilengkapi dengan rahim dan ovarium tidak dibolehkan dan diharamkan oleh syariat Islam untuk melakukan operasi kelamin.
Adapun hujjah yang digunakan oleh para ulama dalam masalah ini adalah sebagai berikut:
  1. Firman Allah Subhana Wa Ta’ala dalam surat Al-Hujurât: 13 yang menurut kitab Tafsir Ath-Thabari mengajarkan prinsip equality (keadilan) bagi segenap manusia di hadapan Allah dan hukum yang masing-masing telah ditentukan jenis kelaminnya dan ketentuan Allah ini tidak boleh diubah dan seseorang harus menjalani hidupnya sesuai kodratnya.
  2. Firman Allah Subhana Wa Ta’ala dalam surat An-Nisâ’: 119. Menurut kitab-kitab tafsir seperti Tafsir Ath-Thabari, Ash-Shawi, Al-Khazin (I/405), Al-Baidhawi (II/117), Zubadu At-Tafsir (hal.123) dan Al-Qurthubi (III/1963) disebutkan beberapa perbuatan manusia yang diharamkan karena termasuk “mengubah ciptaan Allah” sebagaimana yang dimaksud ayat di atas yaitu seperti mengebiri manusia, homoseksual, lesbian, menyambung rambut dengan sopak, pangur dan sanggul, membuat tato, mengerok bulu alis dan takhannuts (seorang pria berpakaian dan bertingkah laku seperti wanita layaknya waria dan sebaliknya).
  3. Hadits Nabi n: “Allah mengutuk para tukang tato, yang meminta ditato, yang menghilangkan alis mata, dan orang-orang yang memotong (pangur) giginya, yang semuanya itu untuk kecantikan dengan mengubah ciptaan Allah.” (HR. Al-Bukhari).
  4. Hadits Nabi n, “Allah mengutuk laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Ahmad).
Oleh karena itu kasus ini sebenarnya berakar dari kondisi kesehatan mental yang penanganannya bukan dengan mengubah ciptaan Allah, melainkan melalui pendekatan spiritual dan kejiwaan (spiritual and psychological therapy).
Kedua: Operasi kelamin yang bersifat perbaikan (tashhih) atau penyempurnaan (takmil) dan bukan penggantian jenis kelamin, menurut para ulama diperbolehkan secara hukum syar’i. Jika kelamin seseorang tidak memiliki lubang yang berfungsi untuk mengeluarkan air seni dan mani baik penis maupun vagina, maka operasi untuk memperbaiki atau menyempurnakannya dibolehkan bahkan dianjurkan sehingga menjadi kelamin yang normal karena kelainan seperti ini merupakan suatu penyakit (aib) yang harus diobati.
Guna menghindari hal ini, operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin boleh dilakukan berdasarkan prinsip “Mashalih Mursalah”, karena kaidah fiqih menyatakan “Adh-Dhararu Yuzal” (Bahaya harus dihilangkan) yang menurut Imam Asy-Syathibi menghindari dan menghilangkan bahaya termasuk suatu kemaslahatan yang dianjurkan syariat Islam.
Ketiga: Operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki dua organ/jenis kelamin (penis dan vagina). Menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu bahwa jika selama ini penentuan hukum waris bagi orang yang berkelamin ganda (khuntsa) didasarkan atas indikasi atau kecenderungan sifat dan tingkah lakunya, maka setelah perbaikan kelamin menjadi pria atau wanita, hak waris dan status hukumnya menjadi lebih tegas. Dan menurutnya perbaikan dan penyempurnaan alat kelamin bagi khuntsa musykil (pemilik kelamin ganda yang sulit diidentifikasi) sangat dianjurkan demi kejelasan status hukumnya.
Beberapa Fatwa Ulama Tentang Transeksual
1. Adapun operasi kelamin maka hukumnya haram secara syar’i apabila hanya disandarkan pada keinginan pribadi tanpa adanya suatu cacat pada sisi jasmani atau alat kelaminnya yang membolehkan dilakukannya operasi tersebut. Dan operasi kelamin yang telah banyak dilakukan dan tidak mengandung unsur cacat secara medis, tetapi hanya dimaksudkan untuk mempercantik diri dengan menampakkan suatu bentuk tertentu dari kecantikannya, ataupun mengubah bentuk yang telah ditetapkan oleh Allah atasnya maka hal ini tidak ada keraguan lagi tentang keharamannya. Karena di dalamnya ada bentuk perusakan hukum syar’i dan unsur penipuan serta membahayakan. (Dr. Yasir Shalih M. Jamal, Kepala fakultas kedokteran bidang operasi anak RS. Universitas Al-Malik ‘Abdul ‘Aziz).

2. Dibolehkannya operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin, sesuai dengan keadaan anatomi bagian dalam kelamin orang yang mempunyai kelainan kelamin atau kelamin ganda, juga merupakan keputusan Nahdhatul Ulama Jawa Timur pada seminar “Tinjauan Syariat Islam tentang Operasi Ganti Kelamin” pada tanggal 26-28 Desember 1989 di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo, Jawa Timur.
Sehingga jelaslah, jika operasi kelamin dilakukan hanya karena kurang ‘sreg’ dengan kepribadiannya, padahal Allah Subhana Wa Ta’ala telah mengaruniakannya kelamin yang jelas, maka perbuatan ini diharamkan secara syar’i, dan hendaknya pelakunya bertobat kepada Allah. wallâhu a’lâmu bish shawâb.




 OPERASI PLASTIK
A. Pendahuluan
Operasi plastik atau dikenal dengan “Plastic Surgery” (ing) atau dalam bahasa arab “Jirahah Tajmil” adalah bedah/operasi yang dilakukan untuk mempercantik atau memperbaiki satu bagian didalam anggota badan, baik yang nampak atau tidak, dengan cara ditambah, dikurangi atau dibuang, bertujuan untuk memperbaiki fungsi dan estetika (seni) tubuh[i]
dan sebagian Ulama hadits[ii] yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud dengan operasi plastik itu hanya ada dua:
1. Untuk mengobati aib yang ada dibadan, atau dikarenakan kejadian yang menimpanya seperti kecelakaan, kebakaran atau yang lainya. Maka operasi ini dimaksudkan untuk pengobatan
2. Atau untuk mempercantik diri, dengan mencari bagian badan yang dianggap mengganggu atau tidak nyaman untuk dilihat orang, istilah yang kedua ini adalah untuk kecantikan dan keindahan.
B.Jenis-jenis operasi plastik
Seperti yang telah kita ketahui bahwa operasi yang dilakukan itu bisa sebelum meninggal atau sesudahnya, akan tetapi untuk pembagian yang kedua ini tidak ada hubungannya dengan operasi plastik.
Oleh karena itu dalam makalah yang singkat ini, kita tidak membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan mayat.
Operasi plastik ada dua :
1. Operasi tanpa ada unsur kesengajaan
2. Operasi yang disengaja
1.Operasi tanpa ada unsur kesengajaan
Maksudnya adalah operasi yang dilakukan hanya untuk pengobatan dari aib (cacat) yang ada dibadan, baik karena cacat dari lahir (bawaan) seperti bibir sumbing, jari tangan atau kaki yang berlebih, dan yang kedua bisa disebabkan oleh penyakit yang akhirnya merubah sebagian anggota badan, seperti akibat dari penyakit lepra/kusta, TBC, atau karena luka bakar pada wajah akibat siraman air panas.
Kesemua unsur ini adalah opersi yang bukan karena keinginannya, akan tetapi yang dimaksudkan adalah untuk pengobatan saja, walaupun hasilnya nanti menjadi lebih indah dari sebelumnya, dalam hukum fiqih disebutkan bahwa, operasi semacam ini dibolehkan saja, adapun dalil diantaranya sebagai berikut:
1. Dalil Sunnah
A.Diriwayatkan dari Abu Hurairah R.a, dari Nabi Saw. berliau pernah bersabda, “Tidak lah Allah Swt. menurunkan wabah/penyakit kecuali Allah Swt. juga menurunkan obat penwarnya”(H.R. Bukhari) [iii]
B. Riwayat dari Usamah ibn Syuraik R.a, berkata, “Ada beberapa orang Arab bertanya kepada Rasulullah Saw.:”Wahai Rasulullah, apakah kami harus mengobati (penyakit kami), Rasulullah menjawab, “Obatilah. Wahai hamba-hamba Allah lekaslah kalian berobat, karena sesungguhnya Allah tidak menurunkan satu penyakit, diriwayat lain disebutkan, beberapa penyakit. Kecuali diturunkan pula obat penawarnya Kecuali satu yang tidak bisa diobati lagi”, mereka pun bertanya,”Apakah itu wahai Rasul?”, Rasulullah pun menjawab, “Penyakit Tua”(H.R At-Turmudzi) [iv]
Maksud dari hadits diatas adalah, bahwa setiap penyakit itu pasti ada obatnya, maka dianjurkan kepada orang yang sakit agar mengobati sakitnya, jangan hanya dibiarkan saja, bahkan hadits itu menekankan agar berobat kepada seorang dokter yang profesional dibidangnya.
Imam Abu hanifah dalam kitabnya[v] berpendapat, “Bahwa tidak mengapa jika kita berobat menggunakan jarum suntik (yang berhubungan dengan operasi), dengan alasan untuk berobat, karena berobat itu dibolehkan hukumnya, Sesuai dengan ijma’ ulama, dan tidak ada pembeda antara laki-laki dan perempuan”.Akan tetapi disebutkan (pendapat lemah) bahwa tidak diperbolehkan berobat menggunakan bahan yang diharamkan, seperti khamar,bir dan sejenis. tapi jika ia tidak mengetahui kandungan obat itu, maka tidak mengapa menggunakannya, namun jika tidak memungkinkan lagi (yakin bahwa tidak ada obat) untuk mencari obat selain yang diharamkan itu, maka bolehlah menggunakan sekedarnya
Ibn Mas’ud Ra, mengatakan bahwa sesungguhnya Allah Swt. tidak menciptakan sembuhnya kalian dengan barang yang diharamkan-Nya”.makna dari pendapat beliau adalah walau bagaimanapun Allah Swt. menurunkan penawar yang halal, karena secara akal pikir, tidak mungkin Allah mengharamkan yang telah diharamkan kemudian diciptakan untuk dijadikan obat, pasti masih ada jalan lain yang lebih halal.
Operasi semacam ini terkadang bisa menjadi wajib hukumnya, jika menyebabkan kematian, maka wajib baginya untuk berobat.
Allah Swt. berfirman yang artinya (wallahu a’lam), “dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”[vi]
dan di ayat lain disebutkan, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” [vii]
Larangan membunuh diri sendiri ini menunjukkan bahwa Allah Swt melarang hamba-Nya merusak jiwanya
2. Operasi ini tidak bisa dikatakan mengubah ciptaan Allah dengan sengaja, karena operasi ini untuk pengobatan, walaupun pada akhirnya bertambah cantik atau indah pada dirinya.
3.Syeikh Dr Yusuf Al-Qaradawi berpendapat : “Adapun kalau ternyata orang tersebut mempunyai cacat yang mungkin menjijikkan pandangan, misalnya karena ada daging tambah yang boleh menimbulkan sakit jiwa dan perasaan, maka tidak berdosa bagi orang itu untuk berobat selagi dengan tujuan menghilangkan kecacatan atau kesakitan yang boleh mengancam hidupnya. Kerana Allah tidak menjadikan agama buat kita ini dengan penuh kesukaran[viii]“
2. Operasi yang dilakukan dengan sengaja
Maksudnya adalah operasi yang tidak dikarenakan penyakit bawaan (turunan) atau karena kecelakaan, akan tetapi atas keinginannya sendiri untuk menambah keindahan dan mempercantik diri.
Operasi ini ada bermacam-macam, akan tetapi saya hanya menuliskan garis besarnya saja, yaitu terbagi dua, dan setiap bagian mempunyai hukum masing-masing:
a. Operasi anggota badan
b. Operasi mempermuda
a. Operasi anggota badan
Diantaranya adalah operasi telinga, dagu, hidung, perut, payudara, pantat (maaf) dengan ditambah, dikurang atau dibuang, dengan keinginan agar terlihat cantik.
b. Adapun operasi bagian kedua ini diperuntukkan bagi mereka yang sudah berumur tua, dengan menarik kerutan diwajah, lengan, pantat, tangan, atau alis.
mungkin ini menurut penulis bagian-bagian yang sering kita temui dan yang paling umum; para ulama berbeda pendapat mengenai hukum operasi plastik ini :
1. Kebanyakan ulama hadits[ix] berpendapat bahwa tidak boleh melakukan operasi ini dengan dalil diantaranya sebagai berikut:
a. Allah berfirman (“Allah telah melaknatnya. setan berkata, “sungguh akan kutarik bagian yang ditentukan dari hamba-hamabaMu. dan sungguh akan kusesatkan mereka, dan akan kubangkitlan angan-angan kosong mereka, dan aku suruh mereka memotong telinga binatang ternak lalu mereka benar-benar memotongnya, dan aku akan suruh mereka (merobah ciptaan Allah), lalu mereka benar-benar merobahnya. dan barangsiapa yang menjadikan setan sebagai pelindung maka sungguh dia telah merugi dengan kerugian yang nyata” [x]
Ayat ini menjelaskan kepada kita dengan konteks celaan dan haramnya melakukan pengubahan pada diri yang telah diciptakan Allah dengan sebaik-baik penciptaan, karena mengikuti akan hawa nafsu dan keinginan syaitan yang dilaknat Allah.
2. Diriwayatkan dari Imam Bukhari dan Muslim Ra. dari Abdullah ibn Mas’ud Ra.beliau pernah berkata “”Allah melaknat wanita-wanita yang mentato dan yang meminta untuk ditatokan, yang mencukur (menipiskan) alis dan yang meminta dicukur, yang mengikir gigi supaya kelihatan cantik dan merubah ciptaan Allah.” (H.R Bukhari)[xi] dari hadits ini, dapat diambil sebuah dalil bahwa Allah Swt. melaknat mereka yang melakukan perkara ini dan mengubah ciptaan-Nya
3. Riwayat dari Ashabis Sunan[xii]
Dari Asmaa, bahwa ada seorang perempuan yang mendatangi Rasulullah Saw. dan berkata, ” Wahai Rasululllah, dua orang anak perempuan ku akan menjadi pengantin, akan tetapi ia mengadu kepadaku bahwa rambutnya rontok, apakah berdosa jika aku sambung rambutnya?”, maka Rasulullah pun menjawab, “Sesungguhnya Allah melaknat perempuan yang menyambung atau minta disambungkan (rambutnya)”
Hadits ini dengan jelas mengatakan bahwa haram hukumnya bagi orang yang menyambung rambutnya atau istilah sekrang dikenal dengan konde atau wig dan jauh dari rahmat Allah Swt.
4. Qias
Untuk melengkapi pendapat ini,maka akan saya coba menggunakan qias dan akal. Operasi plastik semacam ini tidak dibolehkan dengan meng-qias larangan Nabi Saw. terhadap orang yang menyambung rambutnya, tattoo, mengikir (menjarangkan) gigi atau apa saja yang berhubungan dengan perubahan terhadap apa yang telah diciptakan Allah Swt.
5. Segi Akal
Secara akal kita akan menyangka bahwa orang itu kelihatannya indah dan cantik akan tetapi, ia telah melakukan operasi plastik pada dirinya, perbuatan ini sama dengan pemalsuan atau penipuan terhadap dirinya sendiri bahkan orang lain, adapun hukumnya orang yang menipu adalah haram menurut syara’.
Begitu juga dengan bahaya yang akan terjadi jika operasi itu gagal, bisa menambah kerusakan didalam tubuhnya dan sedikit sekali berhasilnya, apapun caranya tetap membahayakan dirinya dan ini tidak sesuai dengan hukum syara’, sesuai dengan firman Allah yang berbunyi (wallahu ‘alam)”Jangan bawa diri kalian dalam kerusakan”
Setelah kita perhatikan dalil-dalil diatas dengan seksama, maka jelaslah bahwa operasi plastik itu diharamkan menurut syara’ dengan keinginan untuk mempercantik dan memperindah diri, dengan kesimpulan sebagai berikut:
1. Operasi plastik merubah ciptaan Allah Swt
2. Adanya unsur pemalsuan dan penipuan
3. Dari sisi lain, bahwa negatifnya lebih banyak dari manfaatnya, karena bahaya yang akan terjadi sangat besar apabila operasi itu gagal, bisa menyebabkan kerusakan anggota badan bahkan kematian.
4. Syarat pembedahan  yang dibenarkan Islam; memiliki keperluan untuk tujuan kesehatan semata-mata dan tiada niat lain, diakui doktor profesional yang ahli dalam bidang itu bahwa pembedahan akan berhasil dilakukan tanpa risiko, bahaya dan mudarat.
5. Untuk pemakaian kosmetik, disyaratkan kandungannya halal, tidak dari najis (kolagen / plasenta) dan tidak berlebihan (tabarruj) akan tetapi behias ini sangat di tekankan bagi mereka yang ingin menyenangkan suaminya.
Sebelum menutup makalah ini, saya ingin menekankan bahwa Allah Swt. Tidak lah menciptakan makhluknya dengan sia-sia, “Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang. Dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.” [xiii]
Sesungguhnya Allah Swt. Menciptakan kalian dalam keadaan sempurna dan seimbang satu sama lainnya dengan sebaik-baik penciptaan. “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .” [xiv]
Sudah sepantasnya kita sebagai makhluk Allah mensyukuri apa-apa yang telah diberikan kepada kita.
Wallahu Subhaanahu Wa Ta’ala ‘Alam
——————————————————————————-
[i] Al Mausu’ah at-Thibbiyah al-Haditsah Li Majmu’ah minal at-Thibba, juz 3, hal. 454, cet. Lajnah an-Nasyr al-’Ilmi
[ii] Al Fiqh Islami wal Qhadaya at-Thibbiyah al-Mu’ashirah oleh Dr. Syauqi Abduh As-Sahi halaman 129, cetakan pertama (1411H-1990M) Cetakan Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyah
[iii] Juz 2, Hal. 204,205 hadits ke 5327
[iv] juz 4, hal. 383
[v] lih. kitab Fathul Qadir, Juz 8, hal 500, cet. Darul Kutub Ilmiah Beirut
[vi] Q.S Al-Baqarah ayat 195
[vii] Q.S An-Nisaa’ ayat 29
[viii] Al Halal Wal Haram Fil Islam
[ix] Diantaranya Dr. Muhammad Mukhtar as-Syaiqity. “Ahkamul Jirahah at-Thibbiyah wal Atsar al-Mutarattabu ‘alaiha” hal. 193 dan sesudahnya, cetakan pertama (1411 H- 1990 M) cetakan Maktabah an-Nahdah al-Mishriyah,
Dr. Muhammad Farag ‘Azb “Masuliyyah Tabib fi Jirahah Tajmil fil Fiqhil Islami wal Qanun al-Wad’i”, Tulisan Doktor di Kuliah Syari’ah wal Qanun Al Azhar di Mesir (1419 H- 1998 M) hal. 73 dan sesudahnya,
Dr Muhammad Ustman Syabiir, “Ahkam Jirahah Tajmil Fil Fiqhil Islami” hal. 466 dan sesudahnya, bahas ini pernah diajukan dalam acara Nadwah Ru’yah Islamiyah liba’dil Mumaarasah at-Thibbiyah di Kuwait pada tanggal 18 April 1987 M
[x] Q.S An-Nisaa’ ayat118-119
[xi] juz 6, hal. 58 dan seterusnya juz 7, hal. 61. dan H.R Muslim juz 3, hal.1687
[xii] Subulus Salam Syarah Bulugul Maram min Jam’il adillatil ahkam karangan Syaikh Muhammad ibn Ismail al-Amir as-Shin’ani, wafat tahun 1182 H, juz 3, Hal. 1034 dengan Ta’liq oleh Muhammad Abdul Aziz al-Khuli, Maktabah ‘Aatif, Tafsir al-Qurthubi al Jami’ li ahkamil Qur’an, karangan Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Abu Bakr ibn Farh al Anshari al Qurthubi, wafat tahun 671 H, juz 2, hal. 2054, Maktabah Darul Ghad al Arabi, dan dalam kitab Mughnil muhtaz juz 1 hal.191
[xiii] Q.S Al-Infithaar ayar 7-8
[xiv] Q.S At-Tiin ayat 4

ORTHODONSI DALAM PANDANGAN ISLAM (FIKIH KONTEMPORER)



Keahlian medis dalam masalah merapikan gigi yang dikenal dengan istilah orthodonti (orthodontics) merupakan nikmat Allah SWT kepada umat manusia untuk mengembalikan kepada fitrah penciptaannya yang paling indah (fi ahsani taqwim) yang patut disyukuri dengan menggunakannya pada tempatnya dan tidak disalahgunakan untuk memenuhi nafsu insani yang kurang bersyukur. Oleh karena itu Islam sangat memuliakan ilmu kesehatan dan kedokteran sebagai alat merawat kehidupan dengan izin Allah swt. Ia bahkan memerintahkan kita semua sebagai fardhu ‘ain (kewajiban personal) untuk mempelajarinya secara global dan mengenali diri secara fisik biologis sebagai media peningkatan iman dan memenuhi kebutuhan setiap individu dalam menyelamatkan, memperbaiki dan menjaga hidupnya. Firman Allah swt. yang artinya:
“Dan di bumi terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang yakin. Dan juga pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan.?” QS. Ad-Dzariyat ( 51) : 20, 21)
Sabda Nabi SAW:
“Berobatlah wahai hamba Allah! karena sesungguhnya Allah tidak menciptakan penyakit melainkan Ia telah menciptakan pula obatnya, kecuali satu penyakit, yaitu tua.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi).
Islam juga menetapkan fardhu kifayah (kewajiban kolektif) dan menggalakkan adanya ahli-ahli di bidang kedokteran dan memandang kedokteran sebagai ilmu yang sangat mulia. Imam Syafi’i berkata: “Aku tidak tahu suatu ilmu setelah masalah halal dan haram (Fiqih) yang lebih mulia dari ilmu kedokteran.” (Al-Baghdadi dalam Atthib Minal Kitab was Sunnah:187).
Pemasangan gigi pada hakikatnya termasuk bagian dari praktek transplantasi (pencangkokan) organ. Tatkala Islam muncul pada abad ke-7 Masehi, ilmu bedah sudah dikenal di berbagai negara dunia, khususnya negara-negara maju saat itu, seperti dua negara adi daya Romawi dan Persi. Namun pencangkokan jaringan belum mengalami perkembangan yang berarti, meskipun sudah ditempuh berbagai upaya untuk mengembangkannya. Selama ribuan tahun setelah melewati berbagai eksperimen barulah berhasil pada akhir abad ke-19 M, untuk pencangkokan jaringan, dan pada pertengahan abad ke-20 M untuk pencangkokan organ manusia. Di masa Nabi saw. peradaban Islam telah menunjukkan perhatian terhadap masalah kesehatan sehingga muncul beberapa dokter ahli bedah di masa Nabi yang cukup terkenal seperti al Harth bin Kildah dan Abu Ramtah Rafa’ah, juga Rafidah al Aslamiyah dari kaum wanita.
Pembuatan dan pemasangan gigi sepanjang untuk alasan syar’i yakni karena pertimbangan kebutuhan (haajah) medis untuk menormalkan atau memperbaiki kelainan serta penggantian yang lepas untuk dapat mengunyah dan menggigit kembali merupakan perbuatan dan profesi yang terpuji karena membawa kepada kemaslahatan, bahkan sekalipun menggunakan bahan logam emas bagi pria maupun wanita bila hal itu lebih maslahat, kuat, sehat dan bukan untuk tujuan pamer kemewahan, sekadar asesoris perhiasan dan gaya berlebihan. Hal ini dapat dianalogikan dengan bolehnya bedah plastik dengan alasan syar’i tersebut baik dengan organ asli maupun buatan. Operasi plastik yang menggunakan organ buatan atau palsu sudah dikenal di masa Nabi saw., sebagaimana diriwayatkan Imam Abu Daud dan Tirmidzi dari Abdurrahman bin Tharfah yang mengisahkan bahwa kakeknya ‘Arfajah bin As’ad pernah terpotong hidungnya pada perang Kulab, lalu ia memasang hidung (palsu) dari logam perak, namun hidung tersebut justru mulai membusuk, maka Nabi saw. menyuruhnya untuk memasang hidung palsu dari bahan logam emas.
Dalam hal pemasangan gigi emas, secara spesifik Imam Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya (III/58) telah meriwayatkan dari Waqid bin Abi Yaser bahwa sahabat dan menantu Nabi saw ‘Utsman bin ‘Affan ra. pernah memasang mahkota gigi dari emas, supaya giginya lebih kuat dan tahan lama. Pemakaian gigi emas tidak dilarang sebagaimana dilarangnya laki-laki oleh Nabi saw untuk memakai perhiasan emas atau pemakaian bejana emas sebagai asesoris (HR. Muslim dan Abu Dawud), sebab disini yang harus menjadi penekanan adalah fungsi kekuatan dan kesehatan gigi palsu dengan bahan emas dan bukan untuk fungsi perhiasan dan pamer kemewahan sebagaimana alasan yang dipakai oleh ‘Utsman dalam menggunakan gigi palsu emas. Di samping itu penggunaan bahan emas pada gigi palsu adalah untuk pemakaian yang tergolong dalam bukan pemakaian luar sebagaimana lazimnya perhiasan.
Gigi palsu yang terbuat dari emas tersebut bila pemakainya meninggal apakah dikubur bersamanya ataukah dicabut dahulu sebelum dikebumikan mayatnya, maka terdapat silang pendapat di kalangan ulama. Namun pada dasarnya pendapat yang lebih kuat adalah yang lebih dekat kepada prinsip syariah dan kaidah fiqih. Prinsip syariah menekankan kemaslahatan secara luas. Dengan demikian, penguburan gigi emas bersama mayat merupakan perbuatan tabzir (menyia-nyiakan nikmat Allah) yang tidak disukai dalam Islam padahal barang tersebut dapat berguna bagi orang yang masih hidup. (QS. Al-Isra’: 26-27). Di samping itu membiarkan mayat dengan emas bersamanya dapat mengundang kriminalitas dengan pencurian dan pembongkaran mayat yang justru akan menodai kesucian dan kehormatan mayat. Dengan demikian sebaiknya gigi emas tersebut dicabut oleh dokter gigi yang berpengalaman dari mayat sebelum dikebumikan dengan cara yang lembut, hati-hati dan diupayakan agar secepat dan semudah mungkin.
Adapun masalah pemasangan kawat gigi atau behel memang sebenarnya diperuntukkan bagi orang-orang yang bermasalah dengan penampilan giginya, atau dalam bahasa medis disebut sebagai memiliki persoalan ortodontik seperti posisi gigi yang tonggos, tidak rata, jarang-jarang dan sebagainya yang diakibatkan oleh berbagai faktor penyebab. Di antaranya karena faktor keturunan dari orangtua, seperti cameh atau cakil, tonggos gigi berjejal, gigi jarang dan sebagainya. Kelainan bawaan seperti sumbing juga bisa menyebabkan kelainan ortodontik apalagi jika pada daerah sumbing itu tak ditumbuhi gigi. Faktor penyebab lainnya adalah penyakit kronis, misalnya amandel, pilek-pilek (rhinitis alergika), bernafas melalui mulut dan sebagainya. Beberapa kebiasaan buruk seperti menopang dagu dan menjulurkan, kebiasaan menghisap jari terutama dalam jangka waktu lama sampai lebih dari lima tahun atau kebiasaan ngempeng anak balita terutama jika dotnya tak ortodontik (tak sesuai dengan anatomi rongga mulut dan geligi) bisa pula menyebabkan penampilan gigi buruk.
Tujuan pemasangan alat cekat atau kawat gigi, menurut pakar ortodontik drg Tri Hardani, SpOrt, Kepala Departemen Klinik Lembaga Kedokteran Gigi TNI-AL RE Martadinata Jakarta, dan sebagaimana dikemukakan para dokter gigi yang menangani masalah ortodonsi bahwa perawatan ortodonti tidak terlepas dari nuansa keharmonisan wajah yang melibatkan gigi geligi, tulang muka serta jaringan lunak wajah. Tapi, Estetika itu hanya salah satu tujuan ortodontik ini. Adapun tujuan lainnya adalah mengembalikan fungsi pengunyahan menjadi normal kembali. Upaya yang dilakukan antara lain dengan merapikan susunan gigi serta mengembalikan gigi geligi pada fungsinya secara optimal. Hal ini sebenarnya merupakan pekerjaan dokter gigi spesialis yang menggabungkan antara art dan science, seni dan pengetahuan medis.
Tujuan kosmetik itu terkait erat dengan oklusi, yaitu tutup menutupnya gigi geligi atas dan bawah secara sempurna. Dan agar terbentuk oklusi yang normal diperlukan susunan gigi yang baik, jumlah gigi dan hubungan antara gigi atas dan bawah serta kanan kiri yang sempurna. Jadi, yang utama dari perawatan ortodontik ini adalah mengembalikan susunan gigi pada fungsinya sebagai alat pengunyah, pendukung pengucapan dan estetika.
Secara umum alat untuk merapikan gigi ada dua macam, yaitu alat yang lepasan (removeable appliances) dan alat cekat (fixed appliances). Dibanding alat cekat, alat yang lepasan lebih mudah dibersihkan sehingga gigi tetap terjaga kebersihannya. Tapi alat yang terbuat dari akrilik ringan ini memiliki keterbatasan kemampuan untuk menangani kasus-kasus sulit. Alat ini terbatas untuk menggerakkan gigi dengan jarak jauh. Akibatnya untuk pasien dewasa akan kurang efektif jika menggunakan alat lepasan ini.
Berbeda dengan alat lepasan, alat cekat memiliki jangkauan perawatan lebih tinggi sehingga mampu digunakan untuk kasus-kasus sulit. Alat ini terdiri dari kawat, baracket (penopang kawat yang ditempelkan pada gigi terbuat dari logam, keramik, atau plastik) dan cincin karet yang berwarna warni. Kawat ini sendiri terbuat dari logam titanium ringan, tak berkarat dan memiliki kelentingan, ukuran serta bentuk yang bermacam-macam sesuai kebutuhan. Karena menempel pada gigi maka cara membersihkan alat cekat ini menjadi tak bebas. Karena itulah biasanya disediakan sikat gigi khusus bagi para pemakai alat cekat ini. Selain itu sebelum memakai alat cekat, pasien juga dilatih bagaimana cara menyikat dan mengontrol gigi agar tetap bersih. Alat ini tak dianjurkan bagi anak-anak yang belum bisa merawat giginya sendiri, seperti cara menggosok gigi. Hanya saja pada orang dewasa, pemasangan alat ini sangat tergantung pada kondisi jaringan pendukung gigi, seperti gusi, tulang yang mengikat, serta ada tidaknya penyakit yang melemahkan tubuh seperti diabetes, TBC, dan lain-lain.
Melihat berbagai faktor penyebab kelainan dan penanganan orthodontik karena alasan medis tersebut di atas diperbolehkan dalam Islam baik sebagai pasien maupun dokter gigi yang menanganinya, bahkan dianjurkan dan dapat bernilai ibadah. Sebab Islam menganjurkan untuk berobat bila terjadi kelainan dan ketidaknormalan pada fisik dan psikis. Bukankah Islam sangat memperhatikan kesehatan sebagaimana pesan dalil-dalil yang telah di kemukakan di atas.
Belakangan ini ada kecenderungan dan fenomena penggunaan kawat gigi menjadi semacam tren aksesoris yang merata khususnya yang lebih banyak kaum perempuan, mulai dari siswa SD, anak ABG, para remaja, gadis belia dan dewasa sampai kalangan ibu-ibu yang suka menggunakan kawat gigi dengan hiasan mata cincin berwarna warni dan bahkan tidak jarang berlian serta permata yang tidak jarang hanya sekadar ingin ikut-ikutan, sekadar ingin bergaya dan tampil trendi atau biar kelihatan berkelas dan keren meskipun sebenarnya tidak perlu memakainya dengan kondisi gigi yang normal. Pemasangan kawat pada pasien yang sebenarnya secara medis dan kesehatan gigi dan gusi tidak memerlukan perawatan itu sebenarnya merupakan perbuatan yang berlebih-lebihan, tidak perlu, termasuk mubazir dan praktik tolong menolong dalam kemaksiatan serta perbuatan dosa. Sebab, biasanya, rata-rata lama perawatan ortodontik berkisar dua tahun atau tergantung tingkat keparahan ketidaknormalan struktur giginya dengan biaya yang tak sedikit. Untuk memiliki alat cekat seseorang membutuhkan biaya minimal Rp 5 juta hingga Rp 12 juta di luar tarif kontrol yang wajib dilakukan setiap tiga minggu sekali untuk mengecek keadaan alat. Tentunya biaya tersebut di luar tingkat kualitas behel dan asesorisnya seperti berlian dan batu permata (QS. Al-Maidah:2).
Semua itu jika di luar kebutuhan mendesak medis dikategorikan sebagai perbuatan tabzir (kemubaziran) dan isrof (berlebihan) demi gengsi, gaya hidup (life style) dan sekadar pamer yang tidak terpuji dalam Islam karena kawat tersebut tidak akan membawa pengaruh apa-apa pada pertumbuhan gigi selanjutnya tetapi justru membuang-buang uang untuk sesuatu yang tidak perlu dan cenderung berlebih-lebihan (israf) dan bermewah-mewahan yang dibenci dan dikutuk Allah Swt (QS. Al-Mukminun:64-65, QS. Al-Isra’:26-27). Akan lebih baik bila kelebihan rezki tersebut digunakan untuk beramal shalih berupa sedekah terutama kepada korban kondisi krisis ekonomi dan bencana yang justru secara spiritual akan mempercantik kepribadian diri secara hakiki di samping akan membawa kebahagiaan dan keberkahan dunia dan akhirat. 


REBONDING 
 
Memang sebelum menentukan hukumnya, perlu diketahui terlebih dahulu faktanya. Baru kemudian kita bisa menentukan hukumnya.
Proses mengeriting dan meluruskan rambut secara kimiawi berarti mengubah struktur ikatan protein rambut. Suatu protein yang disebut dengan keratin, merupakan protein yang membentuk rambut manusia, terdiri dari unsur cystine, yaitu senyawa asam amino yang memiliki unsur sulfida, dalam jumlah persentase yang cukup tinggi. Jembatan disulfida -S-S- dari cystine merupakan salah satu faktor utama yang bertanggung jawab atas berbagai bentuk dari rambut kita. Rambut lurus atau keriting dikarenakan keratin mengandung jembatan disulfida yang memampukan molekul untuk mempertahankan bentuk-bentuk tertentu. Di dalam proses keriting atau ‘perm’ (permanent waves) , rambut diberikan senyawa pereduksi yang membuka beberapa ikatan -S-S- .

Bagaimana dengan hukum rebonding atau keriting ini?
Perlakuan Rebonding adalah mengubah struktur protein rambut secara permanen dan terkategori tindakan mengubah ciptaan Allah, sehingga hukumnya haram. Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: Allah Azza Wa Jalla melaknat orang yang mentato dan yang minta ditato, yang mencukur alisnya dan mengikir giginya untuk kecantikan, yang mengubah ciptaan Allah.(HR. Bukhori-Muslim)

Bagaimana kalau tujuan rebonding ini dalam rangka kebaikan, misalnya mempercantik agar menyenangkan di depan suami?

Berhias atau tazayyun dianjurkan bagi istri untuk menyenangkan pandangan suaminya. Namun memang perlu difahami agar berhias ini tidak termasuk pada bentuk-bentuk keharaman sebagaimana yang disebutkan dalam nash-nash syar’i. Rebonding sendiri adalah meluruskan rambut agar rambut jatuh lebih lurus dan lebih indah. Namun kenyataannya rebonding sering menyebabkan rambut kita rusak, merah, kasar dan bercabang, sehingga perlu perawatan lanjutan dengan shampoo khusus. Misalnya untuk produk yang cukup trend adalah merk makarizo (vitamin sesudah keramas) atau Johny Andrean (ion rebonding). Kemudian seminggu sekali untuk melembutkan rambut, digunakan hair mask dan hair tonic. Akhirnya perawatan ini akan mengeluarkan biaya yang lumayan mahal.

Rebonding sendiri menggunakan proses kimiawi pada rambut, dengan tujuan mengubah struktur protein rambut. Wajar bila selanjutnya harus ada perawatan intensif pada rambut yang direbonding, karena perubahan struktur secara paksa bisa menyebabkan rambut rapuh.

Ustadzah, masih tentang rebonding. Saat ini kan katanya banyak temuan-temuan terbaru tentang proses rebonding sehingga memungkinkan terjadinya pembaruan dalam proses. Apakah mungkin kemudian hukumnya menjadi boleh?

Asalkan tidak menyebabkan permanent, dalam arti mengubah struktur protein tentu tidak masalah. Sementara kenyataannya rebonding yang trend saat ini menyebabkan helai rambut berubah bentuk secara permanent. Pemulihan rambut yang terlihat, bukan dari bagian helai rambut yang terkena perlakuan rebonding, karena bagian tersebut memang telah rusak dan tidak bisa pulih, tetapi dari bagian helai rambut yang baru muncul menggantikan rambut yang telah rusak.

Dalam proses mengubah tatanan rambut, bisa saja menggunakan bahan-bahan dan peralatan yang tidak menyebabkan perubahan permanent. Seperti misalnya, roll (menggulung rambut) tanpa proses kimiawi atau menjalin rambut kecil-kecil agar lebih lurus ketika dibuka jalinannya. Semua hal ini bila tidak mengubah struktur ikatan protein rambut, tidak akan bersifat permanen. Paling lama bertahan hanya satu hingga dua hari. Tetapi tentu yang terpenting adalah tidak melanggar hukum syara’

Memang ada perbedaan pendapat tentang hukum kebolehan rebonding. Namun bagi setiap muslimah adalah berusaha mencari hukum yang diyakininya paling tepat tentang masalah tersebut berdasarkan pemahaman terhadap fakta hukum tersebut dan dalil-dalil syariy yang terkait.

HUKUM KREDIT DALAM ISLAM
Jual Beli Kredit (sell or buy on credit/installment) dalam bahasa Arabnya disebut Bai’ bit Taqsith yang pengertiannya menurut istilah syari’ah, ialah menjual sesuatu dengan pembayaran yang diangsur dengan cicilan tertentu, pada waktu tertentu, dan lebih mahal daripada pembayaran kontan/tunai. (Syarah Majalah al-Ahkam, no 157, vol III/110, Majallah asy-Syari’ah wad Dirasah Al-Islamiyah, Fak Syari’ah, Kuwait University, edisi VII, Sya’ban 1407, hal. 140, Al-Maurid, hal. 354, Lisanul ‘Arab, vol VII/377-378)
Jumhur ulama membolehkan praktik jual beli kredit (bai’ bit Taqsith) tanpa bunga, diantaranya adalah Imam Al-Khathabi dalam Syarh Mukhtashar Khalil (IV/375), Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ah Fatawa (XXIX/498-500), Imam Syaukani dalam Nailul Authar (V/249-250), Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni dengan menukil pendapat Thawus, Hakam dan Hammad yang membolehkannya (IV/259).
Demikian pula ulama mutakhirin seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah dalam majalah al-Iqtishad al-Islami, I/42 no. 11 th. 1402H dimana beliau mengatakan: “Saya pernah ditanya tentang hukum jual-beli sekarung gula pasir dan sebagainya, yang dicicil sampai pada waktu yang telah ditentukan dengan ketentuan harga yang lebih tinggi daripada kontan. Maka saya jawab, mu’amalah ini sah. Sebab jual-beli kontan berbeda dengan jual-beli kredit, sementara seluruh umat Islam mengamalkan mu’amalah ini.
Jadi, mereka telah sepakat atas bolehnya jual-beli ini.” Syekh Abdul Wahhab Khallaf seperti dimuat dalam majalah Liwa’ul Islam, no. 11 hlm. 122 juga memandangnya halal.
Fatwa Muktamar pertama al-Mashraf al-Islami di Dubai yang dihadiri oleh 59 ulama internasional, fatwa Direktorat Jenderal Riset, Dakwah dan Ifta’ serta Komisi Fatwa Kementrian Waqaf dan Urusan Agama Islam Kuwait semua sepakat bahwa tidak ada larangan bagi penjual menentukan harga secara kredit lebih tinggi daipada ketentuan harga kontan. Penjual boleh saja mengambil keuntungan dari penjualan secara kredit dengan ketentuan dan perhitungan yang jelas. (Majalah asy-Syari’ah Kuwait, Rajab 1414, hlm.264, Majalah al-Iqtishad al-Islami, I/3 th 1402, hlm. 35, Majalah al-Buhuts al-Islamiyah, no. 6 Rabi’ Tsani, 1403H, hlm.270)
Dalil syari’ah dalam membolehkan akad jual-beli kredit (bai’ bit taqsith) diambil dari dalil-dalil al-Qur’an yang menghalalkan praktik bai’ (jual-beli) secara umum, diantaranya firman Allah: “Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba” (al-Baqarah:275) “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (al-Baqarah:282)
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” (QS. An-Nisa’:29)
Namun para ulama ketika membolehkan jual-beli secara kredit dengan ketentuan selama pihak penjual dan pembeli mengikuti kaidah dan syarat-syarat keabsahannya sebagai berikut:
1. Harga barang ditentukan jelas dan pasti diketahui pihak penjual dan pembeli.
2. Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran dibatasi sehingga terhindar dari parktik bai’ gharar, ‘bisnis penipuan’.
3. Harga semula yang sudah disepakati bersama tidak boleh dinaikkan lantaran pelunasannya melebihi waktu yang ditentukan, karena dapat jatuh pada praktik riba.
4. Seorang penjual tidak boleh mengeksploitasi kebutuhan pembeli dengan cara menaikkan harga terlalu tinggi melebihi harga pasar yang berlaku, agar tidak termasuk kategori bai’ muththarr, ‘jual-beli dengan terpaksa’ yang dikecam Nabi saw.
Menganai pertanyaan tentang jual-beli mobil secara kredit yang banyak dilakukan orang dengan bunga tertentu, fatwa direktorat jenderal riset, dakwah dan ifta’ menjelaskan bahwa jika dalam jual-beli kredit terdapat kenaikan harga (bunga) lantaran terlambatnya pelunasan dari pihak pembeli, maka menurut ijma’ ulama tidak sah, karena di dalamnya terkandung unsur riba jahiliyah yang diharamkan Islam. (Majalah al-Buhuts al-islamiyah, no. 6 Th. 1403, hlm 270)
Kalaupun terpaksa harus membeli secara kredit dari penjual barang yang memberlakukan sistem bunga ini, maka pembeli realitasnya harus yakin mampu mencicil dan melunasinya tepat waktu tanpa harus terjerat pembayaran bunga tunggakan, agar terhindar dari laknat rasulullah karena membayar uang riba.
Kartu kredit pada hakekatnya sebagai sarana mempermudah proses jual-beli yang tidak tergantung kepada pembayaran kontan dengan membawa uang tunai yang sangat riskan. Status hukumnya menurut fiqih kontemporer adalah sebagai objek atau media jasa kafalah (jaminan). Perusahaan perbankan dalam hal ini yang mengeluarkan kartu kredit (bukti kafalah) sebagai penjamin (kafil) bagi pengguna kartu kredit tersebut dalam transaksi jual beli. Oleh karena itu berlaku di sini hukum masalah ‘kafalah’.
Para ulama membolehkan sistem dan praktik kafalah dalam mu’amalah berdasarkan dalil al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Allah berfirman: “dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.” (QS. Yusuf:72)
Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “za’im” dalam ayat tersebut adalah “kafil”. Sabda Nabi saw.: “az-Za’im Gharim” artinya; orang yang menjamin berarti berutang (sebab jaminan tersebut). (HR. Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Hibban). Ulama sepakat (ijma’) tentang bolehnya praktik kafalah karena lazim dibutuhkan dalam mu’amalah. (Lihat, Subulus Salam, III/62, Al-Mabsuth, XIX/160, Al-Mughni, IV/534, Mughnil Muhtaj, II/98).
Kafalah pada dasarnya adalah akad tabarru’ (suka rela) yang bernilai ibadah bagi penjamin karena termasuk kerjasama dalam kebajikan (ta’awun ‘alal birri), dan penjamin berhak meminta gantinya kembali kepada terutang, sepantasnyalah ia tidak meminta upah atas jasanya tersebut, agar aman/jauh dari syubhat. Tetpi kalau terutang sendiri yang memberinya sebagai hadiah atau hibah untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya, maka sah sah saja.
Tetapi jika penjamin sendiri yang mensyaratkan imbalan jasa (semacam uang iuran administrasi kartu kredit dan sebagainya) tersebut dan tidak mau menjamin dengan sukarela, maka dibolehkan bagi pengguna jasa jaminan memenuhi tuntutan tersebut bila diperlukan seperti kebutuhan yang lazim dalam perjalanan studi, bisnis, kegiatan sosial, urusan pribadi dan sebagainya.
Hal itu berdasarkan kaedah fiqih: “al-Hajah Tunazzal Manzilah Adz-Dzarurah” (kebutuhan dikategorikan sebagai suatu darurat). Bilamana keharusan uang jasa kafalah merupakan suatu kelaziman transaksi bisnis yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah, maka hal itu dibolehkan sesuai dengan kaedah; “Al-Ma’ruf Bainat Tujjar kal Masyruthi bainahum”; sesuatu yang lazim dikalangan bisnis merupakan suatu persyaratan yang harus ditepati. (al-Burnu, al-Wajiz, hlm. 306,242)
Tetapi bisnis jasa kartu kredit tersebut boleh selama dalam prakteknya tidak bertransaksi dengan sistem riba yaitu memberlakukan ketentuan bunga bila pelunasan hutang kepada penjamin lewat jatuh tempo pembayaran atau menunggak. Disamping itu ketentuan uang jasa kafalah tadi tidak boleh terlalu mahal sehingga memberatkan pihak terutang atau terlalu besar melebihi batas rasional, agar terjaga tujuan asal dari kafalah, yaitu jasa pertolongan berupa jaminan utang kepada merchant, penjual barang atau jasa yang menerima pembayaran dengan kartu kerdit tertentu. (Lihat, DR. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, vol. V/130-161)
Dengan demikian kami berpendapat bahwa dibolehkan bagi umat Islam untuk menggunakan jasa kartu kredit (credit card) yang tidak memakai sistem bunga. Namun bila terpaksa atau tuntutan kebutuhan mengharuskannya menggunakan kartu kredit biasa yang memakai ketentuan bunga, maka demi kemudahan transaksi dibolehkan memakai semua kartu kredit dengan keyakinan penuh menurut kondisi finansial dan ekonominya mampu membayar utang dan komitmen untuk melunasinya tepat waktu sebelum jatuh tempo agar tidak membayar hutang.
Hal itu berdasarkan prinsip fiqih ‘Saddudz Dzari’ah’, artinya sikap dan tindakan prefentif untuk mencegah dari perbuatan dosa. Sebab, hukum pemakan dan pemberi uang riba adalah sama-sama haram berdasarkan riwayat Ibnu Mas’ud bahwa: “Rasulullah saw melaknat pemakan harta riba, pembayar riba, saksi transaksi ribawi dan penulisnya.” (HR.Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).

TOKO SERBA ENAM SAMPAI SEPULUH RIBU
Terkadang, kita jumpai sebuah toko yang semua barang di toko tersebut seharga sepuluh ribu rupiah atau lima ribu rupiah. Apakah kreasi sebagian penjual semacam ini adalah suatu hal yang bisa dibenarkan dalam norma agama?

Penjelasan seorang ulama ahli fikih berikut ini mungkin bisa kita jadikan sebagai acuan untuk menilai hal di atas.

Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin mengatakan, “Transaksi jual beli barang yang tidak diketahui adalah transaksi yang tidak sah, mengingat adanya hadits dari Abu Hurairah. Beliau mengatakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang jual beli gharar (untung-untungan) (HR. Abu Daud).

Contohnya, ada seseorang yang berkata kepada kawannya, 'Di rumah, aku punya kambing perah dan susunya banyak.' Kawannya mengatakan, 'Kau jual dengan harga berapa kambingmu?' Pemilik kambing mengatakan, 'Lima ratus real.' 'Aku setuju,' respon kawannya.

Transaksi di atas adalah transaksi yang tidak sah, sehingga transaksi yang telah terjadi tidak ada gunanya. Kambing tersebut tetap merupakan milik penjual. Hak kepemilikan kambing tersebut tidaklah berpindah kepada pembeli, sedangkan uang juga tetap milik pembeli, tidak berpindah kepada penjual. Hal ini dikarenakan objek transaksinya tidak diketahui.

Jika ada yang menyanggah, 'Bukankan penjual telah mengatakan bahwa kambing tersebut memiliki banyak susu?'

Jawabannya, 'Penjelasan tersebut belum mencukupi, karena boleh jadi kambing tersebut muda atau tua, gemuk atau kurus, ataupun warna kulitnya bermasalah, karena harga kambing itu bisa berbeda-beda disebabkan perbedaan warna kulit dan kemungkinan-kemungkinan yang lain.'

Terkait dengah hal di atas, ada pertanyaan, 'Apa hukum fenomena yang muncul akhir-akhir ini, (yaitu) adanya pemilik toko yang yang menempelkan pengumuman di tokonya ‘semua barang, harganya sepuluh real'? Aku sendiri juga pernah menjumpai sebuah toko yang pada toko tersebut tertulis ‘semua barang, harganya satu real'. Ada juga penjual yang menulis ‘semua barang, harganya lima real atau lima belas real'. Apakah fenomena di atas termasuk menjual barang yang sudah diketahui ataukah barang yang tidak diketahui?'

Jawabannya: Sebenarnya, barang yang dijual di toko tersebut adalah barang yang diketahui sekaligus tidak diketahui. Pada saat Anda katakan, ‘Semua barang, harganya sepuluh real,' padahal realitanya, di toko tersebut terdapat barang yang harganya dua puluh real, ada juga yang cuma seharga dua real. Ditinjau dari sisi ini, kita katakan bahwa barang yang dijual saat ini berstatus sebagai barang yang tidak diketahui secara pasti.

Namun, pada akhirnya, barang yang dibeli tersebut diketahui, karena pada akhirnya pembeli akan mengatakan kepada pelayan toko, 'Ambilkan barang itu untukku dengan harga sepuluh real.' Jadi, barang yang dibeli dalam kondis ini adalah barang yang diketahui secara pasti.

Dengan demikian, saat ini, transaksi jual beli belum dilakukan sehingga barang yang dijual belum pasti.

Kendati begitu, jika pembeli mengatakan, 'Kuambil barang apa saja seharga sepuluh real,' maka ini termasuk jual beli barang yang belum jelas manakah barang yang dibeli.

Akan tetapi, cara memasarkan barang sebagaimana di atas adalah cara pemasaran yang bermasalah, bukan karena nilai barang yang tidak jelas namun karena cara pemasaran semacam ini menipu sebagian orang.

Ada sebagian orang polos yang patut dikasihani. Orang polos ini, ketika masuk ke sebuah toko yang tertulis di sana 'semua barang, harganya sepuluh real' mengira bahwa di toko tersebut terdapat barang yang harga normalnya 30 atau 40 atau 50 real, padahal boleh jadi sebenarnya harga sepuluh real adalah harga maksimal barang yang dijual di sana.

Kesimpulannya, saya katakan bahwa cara pemasaran di atas mengandung unsur penipuan, dari sudut pandang penjelasan di atas. Sedangkan, tentang masalah ketidakjelasan, ini adalah tinjauan yang tidak tepat karena transaksi jual beli dalam kasus ini tidaklah dilakukan kecuali pada barang tertentu yang sudah diketahui.” (Ibnu 'Utsaimin, Syarah Al-Ushul min *eIlmi Al-Ushul, hlm. 79--80, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, 1431 H)

Walhasil, toko model di atas adalah terlarang karena adanya unsur penipuan terhadap orang-orang polos dan awam.













No comments: