AKAD NIKAH KETIKA HAID
“Akad nikah wanita yang sedang haid adalah
sah. Karena hukum asal dalam akad adalah halal dan sah kecuali ada dalil yang
mengharamkannya. Sementara tidak ada dalil yang menyatakan haramnya akad nikah
saat si wanita haid. Perlu diketahui adanya perbedaan antara akad nikah
dengan talak. Talak tidak boleh dijatuhkan ketika istri sedang haid, bahkan
haram hukumnya. Karena itulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
marah ketika sampai berita kepada beliau bahwa Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma mentalak istrinya yang sedang haid, dan beliau perintahkan Abdullah
untuk rujuk kepada istrinya dan membiarkannya tetap berstatus sebagai istri
sampai suci dari haid, kemudian haid kembali, kemudian suci dari haid. Setelah
itu terserah Abdullah, apakah ingin tetap mempertahankan istrinya atau ingin
mentalaknya.
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Wahai Nabi, apabila
kalian mentalak istri-istri kalian maka hendaklah kalian mentalak mereka pada
waktu mereka dapat menghadapi ‘iddahnya yang wajar dan hitunglah waktu ‘iddah
itu serta bertakwalah kepada Allah Rabb kalian….” (At-Thalaq: 1)
Dengan
demikian tidak halal bagi seorang suami mentalak istrinya dalam keadaan haid
dan tidak boleh pula mentalaknya di waktu suci namun ia telah menggauli
istrinya dalam masa suci tersebut, kecuali bila istrinya jelas hamil. Bila
jelas hamilnya, ia boleh mentalak istrinya kapan saja dalam masa kehamilan
tersebut.”
Syaikh
mengakhiri fatwa beliau dengan menyatakan, “Bila telah jelas bahwa akad nikah
yang dilangsungkan dalam keadaan si wanita haid adalah akad yang boleh dan sah,
namun aku memandang hendaknya si mempelai lelaki tidak masuk kepada mempelai
wanita (seperti tidur bersamanya, pent.) hingga si mempelai wanita suci
dari haidnya. Karena kalau masuk sebelum istrinya suci dikhawatirkan ia akan
jatuh ke dalam perkara terlarang saat seorang wanita sedang haid (yaitu jima’),
sementara terkadang ia tidak dapat menahan dan menguasai dirinya, terlebih lagi
bila masih muda. Hendaklah ia menunggu hingga istrinya suci. Setelah itu baru
masuk ke istrinya dalam keadaan tidak ada penghalangnya untuk istimta’
(bersenang-senang) dengan istrinya pada kemaluannya.
BISNIS FRANCHISE MENURUT ISLAM
Islam sebagai ajaran yang bersifat rahmatan
lil’alamin, semangatnya bertumpu pada kemaslahatan yang hakiki termasuk
syariatnya dalam bidang mua’alamat (bisnis), di mana kaedah fiqih mengatakan
bahwa pada prinsipnya hukum mu’amalat adalah boleh selama tidak ada dalil yang
mengharamkannya (al-ashlu
fil mu’amalat al-ibahah illa an yadulla dalilun a’a tahrimihi).
Dalil yang dapat mengubah hokum mu’amalat dari boleh (halal) kepada tidak boleh
(haram) tersebut mengacu kepada disiplin ushul fiqih yaitu dapat berupa dilil
eksplisit (sharih) al-Qur’an dan Hadits Nabi saw atau dalil lain melalui uji
verifikasi tertentu seperti Ijma’ (konsensus para ulama), Qiyas (analogi),
Mashalih Mursalah (konsep mashlahat) dan sebagainya.
Semua kaedah tersebut sebenarnya terfokus pada
prinsip mashlahat yaitu konsep pertimbangan baik-buruk, positif-negatif, dan
mudharat-mashlahat berdasarkan kaedah umum dan dalil sharih serta shahih
syariat Islam.
Prinsip sentral syariah Islam menurut Ibnul
Qayyim dalam I’lam al-Muwaqqi’in adalah hikmah dan kemaslahatan umat manusia di
dunia dan di akherat. Kemaslahatan ini terletak pada keadilan yang merata,
rahmat (kasih sayang dan kepedulian), kesejahteraan dan kebijaksanaan. Apa saja
yang merubah keadilan menjadi kezaliman, rahmat menjadi kekerasan, kemudahan
menjadi kesulitan, dan hikmah menjadi kebodohan, maka hal itu tidak ada
kaitannya dengan syari’ah.
Tujuan utama ketentuan syariat (maqashid
as-syari’ah) adalah tercermin dalam pemeliharaan pilar-pilar kesejahteraan umat
manusia yang mencakup ‘panca maslahat’ dengan memberikan perlindungan terhadap
aspek keimanan (hifz din), kehidupan (hifzd nafs), akal (hifz ‘aql), keturunan
(hifz nasl) dan harta benda mereka (hifz mal). Apa saja yang menjamin
terlindunginya lima perkara ini adalah maslahat bagi manusia dan dikehendaki
syari’ah sebagaimana kesimpulan Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustashfa.
Sistem nilai syari’ah sebagai filter moral bisnis
bertujuan untuk menghindari berbagai penyimpangan moral bisnis (moral hazard)
dengan komitmen menjauhi pantangan ‘MAGHRIB’ termasuk dalam kegiatan usaha
franchise yang menjadi parameter berlakunya kaedah al-ashlu fil mu’amalat al-ibahah
tersebut di atas yaitu meliputi 7 pantangan:
Pertama, Maysir, yaitu segala bentuk spekulasi judi (gambling)
yang mematikan sector riil dan tidak produktif. Kedua, Asusila yaitu praktik usaha
yang melanggar kesusilaan dan norma social. Ketiga, Gharor
yaitu segala transaksi yang tidak transparan dan tidak jelas sehingga
berpotensi merugikan salah satu pihak. Keempat, Haram yaitu objek transaksi dan proyek usaha yang
diharamkan syari’ah. Kelima, Riba
yaitu segala bentuk distorsi mata uang menjadi komoditas dengan mengenakan
tambahan (bunga) pada transaksi kredit atau pinjaman dan pertukaran/barter
lebih antar barang ribawi sejenis. Pelarangan riba ini mendorong usaha yang
berbasis kemitraan yang saling menguntungkan dan kenormalan (sunnatullah)
bisnis, disamping menghindari praktik pemerasan, eksploitasi dan pendzaliman
oleh pihak yang memiliki posisi tawar tinggi terhadap pihak yang berposisi
tawar rendah. Keenam, Ihtikar yaitu penimbunan dan monopoli barang dan jasa
untuk tujuan permainan harga. Ketujuh, Berbahaya yaitu segala bentuk transaksi dan usaha yang
membayakan individu maupun masyarakat serta bertentangan dengan mashlahat dalam
Maqashid Syari’ah.
Ketujuh pantangan dalam bisnis tersebut dapat
disimpukan dari dalil-dalil berikut yaitu:
Firman Allah SWT.: “Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekikyang dipukul, yang jatuh yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya.” (QS.Al-Maidah:3)
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah
sisa-sisa riba, jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (perintah itu), maka ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak
merugikan dan tidak (pula) dirugikan” (QS.Al Baqarah : 278-279)Firman Allah SWT.: “Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekikyang dipukul, yang jatuh yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya.” (QS.Al-Maidah:3)
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr (minuman keras), perjudian (maysir), berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Al-Maidah:90).
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta (hak milik) sebahagian yang lain diantara kamu dengan cara yang batil” (QS. Al-Baqoroh:188)
Sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya yang halal telah
jelas dan yang haram telah jelas serta diantara keduanya terdapat yang samar
(musytabihat). Sebagian besar manusia tidak dapat mengenalinya, maka siapa saja
yang menjaga diri dari yang musytabihat itu berarti dia telah menjaga agama dan
dirinya. Dan siapa saja yang terjatuh ke dalam musytabihat itu maka ia telah
terjerumus kepada yang haram, sebagaimana seseorang yang menggembalakan
ternaknya di sekeliling batas untuk menjaga diri dari melintasi batas itu.
Ketahuilah bahwa sesungguhnya setiap raja memiliki batasan-batasan, dan
ketahuilah bahwa batasan Allah ialah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah
bahwa pada tubuh terdapat segumpal daging yang jika dia baik maka baiklah
seluruh tubuh itu, dan jika dia rusak maka rusaklah tubuh itu. Ketahuilah bahwa
dia adalah kalbu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah
SAW ditanya tentang lemak hewan, keju, dan jubah kulit. Beliau SAW menjawab:
"Yang halal ialah apa yang Allah halalkan dalam Kitab-Nya dan yang haram
ialah apa yang Allah haramkan dalam Kitab-Nya, sedangkan apa yang Dia diamkan
maka itu termasuk hal yang dimaafkan". (Riwayat al-Tirmidzi dan Ibn
Majah).
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah
SAW pernah melalui suatu (tumpukan) bahan makanan yang oleh penjualnya
dipujinya, kemudian Nabi meletakkan tangannya pada makanan tersebut, tetapi
ternyata makanan tersebut sangat jelek, lantas Nabi bersabda: "Juallah
makanan ini menurut harga yang pantas, sebab siapa saja yang menipu kami
bukanlah termasuk golongan kami". (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibn
Majah).
Wasiat rasulullah untuk menghindari segala unsur yang dapat membahayakan
termasuk dalam bssnis adalah sabdanya: “Tidak dibolehkan adanya suatu bahaya
(dharar) dan sesuatu yang dapat membahayakan (dhirar).” (HR.Ibnu Majah dan
Ahmad.) sebagaimana kaedah fiqih yang menegaskan “Adh-dhararu yuzal” (bahaya/
ancaman itu harus dihilangkan).
Dalam memberlakukan dalil dan kaedah syariah
bisnis tersebu, tidak boleh ada keraguan ataupun was-was di dalamnya. (Ibn
Rajab al-Hanbali, Al-Jami' fi al-'Ulum wa al-Hikam, Dar al-Fikr, Beirut, h.
58-66). Rasulullah SAW bersabda: "Tinggalkanlah apa-apa yang meragukan
kepada apa-apa yang tidak meragukanmu". (HR. al-Nasai, al-Tirmidzi,
al-Hakim, Ahmad; lihat al-Albani, Irwa' al-Ghalil, I/44) Hal itu dalam raangka
kehati-hatian syariah (ihtiyath) sebagaimana diri kita tidak ingin kemasukan
barang haram yang dapat berakibat fatal. Rasulullah saw bersabda, “Tidak akan
masuk surga orang yang dagingnya tumbuh dari (makanan) yang haram, neraka lebih
pantas baginya.” (HR. Ahmad.).
Sikap berhati-hati dari mengambil hak orang lain tanpa sah dalam bentuk
apapun merupakan wasiat al-Qur’an: Sebagaimana sabda Nabi SAW.: “Tidak halal
harta milik seorang muslim kecuali dengan kerelaan hatinya.” (HR. Ad-Daru
Quthni)
Pada dasarnya dalam sistem franchise terdapat
tiga komponen pokok yaitu: Pertama, Franchisor, yaitu pihak yang memiliki
system atau cara-cara dalam berbisnis tersebut. Kedua, Franchisee,
yaitu pihak yang ‘membeli’ franchise atau sistem tersebut dari franchisor
sehinga memiliki hak untuk menjalankan bisnis dengan cara-cara yang
dikembangkan oleh Franchisor. Ketiga adalah Franchise, yaitu sistem dan cara-cara
bisnis itu sendiri. Ini merupakan pengetahuan atau ‘dapurnya’ franchisor yang
dijual kepada franchisee.
Berdasarkan statistik menunjukkan bahwa kegagalan
sistim franchise jauh lebih rendah dibanding sistem lainnya. Hal ini sangat
logis karena bisnis dengan franchise mengandalkan sistem/cara atau operating
manual yang sudah teruji melalui penemuan franchisor, serta sudah terbukti
sukses dijalankan Franchisee sebelumnya. Franchisee baru paling tidak memiliki
gambaran serta support dari Fanchisor.
Kendala utama yang sering dihadapi dalam bisnis
adalah masalah pemasaran. Masalah ini lebih mudah diatasi melalui sistim
franchise. Keuntungan dalam sistim Franchise ini adalah karena adanya brand name
yang merupakan salah satu asset utama Franchisor. Dengan banyaknya Franchisee
dalam satu sistim, bisnis dengan cara ini memiliki jaringan luas yang
memperkuat brand name tersebut. Tanpanya, tidak ada daya tarik bagi calon
Franchisee untuk membeli Franchise ini. Oleh karena itu, Franchisor akan selalu
berusaha keras melakukan promosi demi mempertahankan serta meningkatkan brand
name yang dampaknya juga baik untuk kepentingan Franchisee. Sekalipun demikian,
agar hasilnya memadai, maka setiap Franchisee biasanya juga perlu memiliki
strategi pemasaran sendiri.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku dalam bisnis franchise, yang dapat
diminta dari Franchisor oleh franchisee adalah: Pertama, brand name yang meliputi logo, stationary dan lain-lain. Franchisor yang baik juga memiliki aturan mengenai tampilan shopfront secara detail.
Kedua, adalah sistim dan manual operasional bisnis. Setiap Franchisor memiliki operation manual yang sistematis, praktis serta applicable, dan mestinya juga tertulis.
Ketiga, adalah operation support. Karena Franchisor memiliki pengalaman yang jauh lebih luas serta sudah membina banyak Franchisees, dia seharusnya memiliki kemampuan untuk memberi support bagi Franchisee yang baru.
Keempat adalah monitor, Franchisor yang baik melakukan monitor terhadap Franchisee untuk memastikan bahwa sistim yang disediakan dijalankan secara konsisten. Ini untuk menjaga konsistensi kualitas. Monitor juga berfungsi untuk melakukan support yang diperlukan jika Franchisee mengalami kesulitan.
Kelima adalah joint promotion. Ini berkaitan dengan unsur pertama yaitu masalah sosialisasi brand name.
Keenam adalah supply. Ini berlaku bagi Franchise tertentu, misalnya bagi franchise food & beverages dimana Franchisor juga merupakan supplier bahan makanan/minuman. Kadang-kadang Franchisor men-supply mesin-mesin atau peralatan yang diperlukan. Franchisor yang baik biasanya ikut membantu franchisee untuk mendapatkan sumber dana modal dari investor (fund supply) seperti bank misalnya, meskipun itu jarang sekali.
Pada umumnya, Franchisee perlu membayar initial
fee yang sifatnya sekali bayar, atau kadang-kadang sekali untuk suatu periode
tertentu, misalnya 5 tahun. Diatas itu, biasanya Franchisee membayar royalty
atau membayar sebagian dari hasil penjualan. Variasi lainnya adalah bahwa
Franchisee perlu membeli bahan pokok atau peralatan (capital goods) dari
Franchisor.
Disamping keuntungannya, calon franchisee perlu
juga berhati-hati. Sekarang ini, apa saja di-franchise-kan sehingga banyak juga
franchise yang tidak semestinya dipasaran, baik dari pertimbangan prinsip
syariah maupun marketable-nya. Dalam hal ini, beberapa hal yang perlu
diperhatikan calon Franchisee.
Pertama, bagaimana kekuatan brand name-nya. Kedua, berapa franchisee yang
dimiliki. Franchise yang hanya terdiri dari 3-4 Franchisee tentunya tidak
memiliki jaringan yang memadai untuk membentuk kekuatan tersendiri.Ketiga, berapa harga yang dibayarkan kepada Franchisor, khususnya bila ada ketergantungan bahan baku/supply dari Franchisor. Apakah harga yang ditawarkan wajar.
Keempat, apakah Franchisor tersebut benar-benar memiliki hak resmi untuk menjual franchise kepada calon Franchisee. Dalam sistim master-franchise, hal ini layak mendapat perhatian besar karena kadang-kadang yang menamakan dirinya Franchissor ternyata tidak memiliki hak untuk menjual franchise.
Kelima, kesesuaiannya dengan prinsip syariah sehingga perlu selektivitas dan filter mashalahat serta diutamakan yang memiliki dampak kepada pengembangan sosial ekonomi umat Islam baik dalam maupun luar negeri.
Contoh bisnis franchise banyak sekali seperti
yang sangat familiar adalah bisnis franchise makanan yang merupakan generasi
pertama yang membesarkan bisnis dengan sistim franchise ini dan sekarng telah
banyak alternatif franchise makanan dalam negeri sebagai subtitusi franchise
luar negeri yang banyak didominasi Eropa dan Amerika. Contoh yang masih anyar
adalah Iran yang tengah mengembangakan jaringan bisnis minuman Zam-zam Cola
sebagai pesaing Coca Cola milik Amerika yang tengah diboikot banyak negara
Islam, karena sentimen anti teradap negara yang mendukung penindasan rakyat
Palestina. Yang lainnya seperti Dymocks Book Store, Fantastic Furniture, Harvey
Norman, Captain Snooze.
Pada saat ini hampir semua cabang usaha menengah
kecil masuk ke franchise, mulai dari usaha pemotong rumput, jasa kurir,
cleaning service, membuat signage, usaha printing, edukasi, IT Training,
Bookkeeping, Financial Service, Retail.
Berdasarkan penelitian University of Southern
Queensland, rata-rata start-up cost untuk franchise business adalah A$68,600.
Franchise business tumbuh sejalan dengan trend zaman dengan cukup pesat. Saat
ini, omzet seluruh usaha dengan sistim ini sekitar A$37 bilion dengan total
pekerja sekitar 553.000
Pada dasarnya, sistim franchise merupakan sistim
yang baik untuk belajar, jika suatu saat berhasil dapat melepaskan diri dari
franchisor karena biaya yang dibayar cukup mahal dan selanjutnya dapat
mendirikan usaha sendiri atau bahkan membangun bisnis franchise baru yang
islami.
Dengan demikian berdasarkan prinsip dan kaedah
syariah yang telah disebutkan di atas, maka menurut hemat kami hukum bisnis
franchise sangat tergantung kepada kesesuaian bidang usaha bisnis franchise dan
sistem serta mekanisme kerjasamanya dengan prinsip syariah dan ketiadaan
padanya dari segala pantangan syariah dalam bisnis. Hal itu berdasarkan kaedah
kerjasama dalam Islam termasuk kerjasama bisnis hendaklah selalu dalam kerangka
kebaikan dan ketakwaan, bukan dalam kerangka dosa dan kejahatan. (QS.
Al-Maidah:2).
Selain itu, adalah sangat penting diperhatikan
sentimen pasar umat Islam yang terkait dengan pertimbangan franchise untuk
bisnis yang memiliki ikatan dan kontribusi terhadap negara-negara yang menindat
umat Islam sebagaimana fatwa ulama dunia seperti Prof Dr. Yusuf Al-Qardhawi dan
Syeikh Ahmad Yasin yang menyerukan boikot masal secara sistemik, strategis dan
realistis terhadap produk negara-negara yang menyokong penindasan umat Islam
dunia selama masih ada alternatif lainnya.
APAKAH
MEMAKAI CADAR ITU BID'AH
Dr.
Yusuf Qardhawi
PERTANYAAN
Telah
terjadi polemik dalam beberapa surat
kabar di Kairo seputar masalah
"cadar" yang dipakai sebagian
remaja muslimah, khususnya para
mahasiswi. Hal itu berawal
dari keputusan Pengadilan Mesir yang menangani tuntutan mahasiswi
beberapa perguruan tinggi,
yang mengajukan tuntutan ke pengadilan
karena merasa teraniaya dengan
keputusan sebagian dekan yang memaksa mereka
melepas cadar apabila masuk kampus.
Para
mahasiswi itu mengatakan bahwa mereka siap membuka tutup wajah mereka manakala diperlukan, apabila
ada tuntutan dari pihak yang
bertanggung jawab, pada waktu ujian atau lainnya.
Seorang wartawan
terkenal, Ustadz Ahmad
Bahauddin, menulis artikel -
dalam surat kabar al-Ahram – yang
isinya bertentangan dengan
keputusan pengadilan. Menurutnya, cadar
dan penutup wajah
itu merupakan bid'ah yang masuk
ke kalangan Islam dan umat Islam. Hal ini
diperkuat oleh salah seorang
dosen al-Azhar, yang mengaku bahwa dirinya adalah Dekan Fakultas Ushuluddin, dan
sedikit banyak tahu tentang peradilan.
Kami mohon Ustadz berkenan menjelaskan tentang
masalah yang masih campur aduk antara yang hak dan yang
batil ini. Semoga Allah
berkenan memberikan balasan kepada Ustadz dengan balasan yang
sebaik-baiknya.
JAWABAN
Alhamdulillah, segala
puji kepunyaan Allah,
Rabb semesta alam. Semoga
shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Rasul
paling mulia, junjungan kita Nabi
Muhammad saw., kepada
keluarganya, dan para sahabatnya.
Pada kenyataannya,
mengidentifikasi cadar sebagai bid'ah yang
datang dari luar serta sama
sekali bukan berasal dari agama
dan bukan dari
Islam, bahkan menyimpulkan bahwa
cadar masuk ke kalangan umat Islam pada zaman kemunduran yang parah,
tidaklah ilmiah dan tidak
tepat sasaran. Identifikasi seperti ini hanyalah bentuk perluasan yang
merusak inti persoalan dan hanya menyesatkan usaha untuk mencari kejelasan masalah yang sebenarnya.
Satu
hal yang tidak akan disangkal oleh siapa pun
yang mengetahui sumber-sumber ilmu dan pendapat ulama, bahwa masalah
tersebut merupakan masalah khilafiyah. Artinya, persoalan apakah
boleh membuka wajah
atau wajib menutupnya - demikian
pula dengan hukum kedua telapak tangan - adalah masalah yang masih
diperselisihkan.
Masalah
ini masih diperselisihkan oleh para ulama, baik dari kalangan ahli fiqih,
ahli tafsir, maupun
ahli hadits, sejak zaman dahulu hingga sekarang.
Sebab perbedaan
pendapat itu kembali kepada pandangan mereka terhadap nash-nash yang
berkenaan dengan masalah ini dan sejauh
mana pemahaman mereka
terhadapnya, karena tidak didapatinya nash yang qath'i tsubut (jalan periwayatannya) dan
dilalahnya (petunjuknya) mengenai masalah ini. Seandainya ada
nash yang tegas
(tidak samar), sudah tentu masalah ini sudah terselesaikan.
Mereka
berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah:
"... Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan
mereka kecuali yang biasa tampak daripadanya ..." (an-Nur: 31)
Mereka
meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, dia berkata bahwa yang dimaksud
dengan "kecuali apa yang biasa tampak daripadanya" ialah
pakaian dan jilbab, yakni
pakaian luar yang tidak mungkin disembunyikan.
Mereka juga
meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau menafsirkan "apa yang
biasa tampak" itu dengan
celak dan cincin. Penafsiran yang sama juga diriwayatkan dari Anas bin
Malik. Dan penafsiran yang hampir sama
lagi diriwayatkan dari Aisyah.
Selain itu, kadang-kadang lbnu
Abbas menyamakan dengan celak dan cincin, terhadap pemerah kuku, gelang,
anting-anting, atau kalung.
Ada pula
yang menganggap bahwa yang dimaksud dengan "perhiasan"
disini ialah tempatnya. Ibnu Abbas berkata, "(Yang dimaksud
ialah) bagian wajah
dan telapak tangan." Dan
penafsiran serupa juga diriwayatkan dari Sa'id bin Jubair, Atha', dan lain-lain.
Sebagian ulama
lagi menganggap bahwa
sebagian dari lengan termasuk "apa yang biasa tampak" itu.
Ibnu
Athiyah menafsirkannya dengan
apa yang tampak secara
darurat, misalnya karena
dihembus angin atau lainnya.1
Mereka
juga berbeda pendapat dalam
menafsirkan firman Allah:
"Hai Nabi,
katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-isti
orang mukmin, 'Hendaklah mereka, mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka.' Yang demikian
itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal, karena
itu mereka tidak diganggu. Dan
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (al-Ahzab: 59)
Maka apakah
yang dimaksud dengan "mengulurkan jilbab" dalam ayat tersebut?
Mereka
meriwayatkan dari Ibnu
Abbas yang merupakan kebalikan dari
penafsirannya terhadap ayat pertama. Mereka meriwayatkan dari sebagian
tabi'in - Ubaidah as-Salmani -
bahwa beliau menafsirkan
"mengulurkan jilbab" itu dengan penafsiran
praktis (dalam bentuk peragaan), yaitu beliau menutup muka
dan kepala beliau, dan membuka mata beliau
yang sebelah kiri.
Demikian
pula
yang diriwayatkan dari Muhammad Ka'ab al-Qurazhi.
Tetapi penafsiran
kedua beliau ini
ditentang oleh Ikrimah, maula
(mantan budak) Ibnu Abbas. Dia berkata, "Hendaklah ia
(wanita) menutup lubang
(pangkal) tenggorokannya
dengan jilbabnya, dengan
mengulurkan jilbab tersebut atasnya."
Sa'id bin
Jubair berkata, "Tidak
halal bagi wanita muslimah
dilihat oleh lelaki
asing kecuali ia mengenakan kain
di atas kerudungnya, dan
ia mengikatkannya pada kepalanya dan lehernya."2
Dalam
hal ini
saya termasuk orang
yang menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa wajah dan kedua telapak
tangan bukan aurat dan tidak wajib bagi wanita muslimah menutupnya. Karena
menurut saya, dalil-dalil pendapat ini lebih kuat daripada pendapat yang
lain.
Disamping
itu, banyak sekali ulama zaman sekarang
yang sependapat dengan saya,
misalnya Syekh Muhammad Nashiruddin
al-Albani dalam kitabnya Hijabul Mar'atil Muslimah fil-Kitab
was-Sunnah dan mayoritas
ulama al-Azhar di Mesir,
ulama Zaitunah di
Tunisia, Qarawiyyin di Maghrib
(Maroko), dan tidak sedikit dari ulama Pakistan, India, Turki, dan lain-lain.
Meskipun
demikian, dakwaan (klaim) adanya
ijma' ulama sekarang terhadap
pendapat ini juga tidaklah benar, karena di
kalangan ulama Mesir
sendiri ada yang menentangnya.
Ulama-ulama Saudi
dan sejumlah ulama
negara-negara Teluk menentang
pendapat ini, dan
sebagai tokohnya adalah ulama
besar Syekh Abdul Aziz bin Baz.
Banyak pula
ulama Pakistan dan India yang menentang pendapat ini, mereka
berpendapat kaum wanita
wajib menutup mukanya. Dan
diantara ulama terkenal
yang berpendapat demikian ialah
ulama besar dan
da'I terkenal, mujaddid Islam
yang masyhur, yaitu al-Ustadz Abul A'la al-Maududi dalam kitabnya al-Hijab.
Adapun
diantara ulama masa kini yang masih
hidup yang mengumandangkan
wajibnya menutup muka bagi wanita ialah penulis
kenamaan dari Suriah,
Dr. Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buthi, yang mengemukakan
pendapat ini dalam risalahnya Ilaa Kulli Fataatin Tu'minu billaahi (Kepada
setiap
Remaja Putri yang Beriman kepada Allah) .
Disamping itu,
masih terus saja
bermunculan risalah-risalah dan fatwa-fatwa dari
waktu ke waktu yang
menganggap aib jika wanita
membuka wajah. Mereka menyeru kaum wanita dengan mengatasnamakan agama
dan iman agar mereka
mengenakan cadar, dan
menganjurkan agar jangan patuh kepada
ulama-ulama
"modern" yang ingin menyesuaikan
agama dengan peradaban
modern. Barangkali mereka memasukkan
saya kedalam kelompok ulama seperti ini.
Jika dijumpai
diantara wanita-wanita muslimah
yang merasa mantap dengan
pendapat ini, dan
menganggap membuka wajah itu haram, dan menutupnya itu wajib, maka bagaimana kita
akan mewajibkan kepadanya
mengikuti pendapat lain, yang dia
anggap keliru dan bertentangan
dengan
nash?
Kami
hanya mengingkari mereka jika mereka
memasukkan pendapatnya kepada
orang lain, dan menganggap dosa dan fasik terhadap orang yang menerapkan
pendapat lain itu, serta
menganggapnya sebagai kemunkaran
yang wajib diperangi, padahal
para ulama muhaqiq
telah sepakat mengenai tidak
bolehnya menganggap munkar
terhadap masalah-masalah ijtihadiyah khilafiyah.
Kalau
kami mengingkari (menganggap munkar) pelaksanaan pendapat yang
berbeda dengan pendapat
kami – yaitu pendapat yang muttabar dalam bingkai fiqih Islam
yang lapang - kemudian
mencampakkan pendapat tersebut dan tidak memberinya hak hidup, hanya
semata-mata karena
berbeda dengan
pendapat kami, berarti kami terjatuh kedalam hal yang
terlarang, yang justru kami
perangi dan kami seru
manusia untuk membebaskan
diri daripadanya.
Bahkan seandainya
wanita muslimah tersebut
tidak menganggap wajib menutup
muka, tetapi ia
hanya menganggapnya lebih wara'
dan lebih takwa
demi membebaskan diri dari
perselisihan pendapat, dan dia mengamalkan yang lebih hati-hati, maka
siapakah yang akan melarang
dia mengamalkan pendapat yang
lebih hati-hati untuk dirinya dan agamanya? Dan apakah pantas
dia dicela
selama tidak mengganggu
orang lain, dan tidak membahayakan kemaslahatan (kepentingan) umum dan khusus?
Saya mencela
penulis terkenal Ustadz Ahmad
Bahauddin yang menulis masalah ini dengan
tidak merujuk kepada sumber-sumber tepercaya,
lebih-lebih tulisannya ini dimaksudkan sebagai
sanggahan terhadap putusan pengadilan khusus
yang bergengsi. Sementara kalau dia menulis masalah politik, dia
menulisnya dengan cermat, penuh pertimbangan, dan
dengan pandangan yang menyeluruh.
Boleh jadi
karena dia bersandar
pada sebagian tulisan-tulisan ringan yang tergesa-gesa dan sembarang yang
membuatnya terjatuh ke dalam kesalahan
sehingga dia menganggap "cadar" sebagai sesuatu yang munkar,
dan dikiaskannya dengan
"pakaian renang" yang
sama-sama tidak memberi kebebasan pribadi.
Tidak seorang
pun ulama dahulu
dan sekarang yang mengharamkan memakai cadar bagi
wanita secara umum, kecuali
hanya pada waktu ihram. Dalam hal ini mereka hanya
berbeda pendapat antara yang mengatakannya wajib, mustahab, dan jaiz.
Sedangkan tentang keharamannya, tidak seorang pun ahli fiqih yang
berpendapat demikian, bahkan
yang memakruhkannya pun tidak
ada. Maka saya sangat heran kepada Ustadz Bahauddin yang mengecam
sebagian ulama al-Azhar yang
mewajibkan menutup muka (cadar) sebagai telah mengharamkan apa
yang dihalalkan Allah,
atau sebagai pendapat orang yang tidak memiliki kemajuan dan pengetahuan yang
mendalam mengenai Al-Qur'an, as-Sunnah, fiqih, dan ushul
Fiqih.
Kalau hal
itu hanya sekadar
mubah - sebagaimana pendapat yang saya pilih, bukan
wajib dan bukan
pula mustahab - maka
merupakan hak bagi
muslimah untuk membiasakannya, dan tidak boleh bagi
seseorang untuk melarangnya, karena
ia cuma melaksanakan hak pribadinya. Apalagi,
dalam membiasakan atau mengenakannya itu tidak merusak sesuatu yang wajib dan
tidak
membahayakan seseorang. Ada pepatah Mesir
yang menyindir orang yang bersikap demikian:
"Seseorang bertopang
dagu, mengapa Anda
kesal terhadapnya?"
Hukum buatan
manusia sendiri mengakui
hak-hak perseorangan ini dan melindunginya.
Bagaimana
mungkin kita akan mengingkari wanita muslimah yang komitmen pada agamanya dan
hendak memakai cadar, sementara diantara
mahasiswi-mahasiswi di perguruan tinggi itu ada yang mengenakan
pakaian mini, tipis, membentuk potongan
tubuhnya yang dapat
menimbulkan
fitnah (rangsangan), dan
memakai bermacam-macam make-up, tanpa seorang pun yang mengingkarinya, karena
dianggapnya sebagai kebebasan pribadi. Padahal
pakaian yang tipis, yang
menampakkan kulit, atau tidak menutup bagian
tubuh selain wajah
dan kedua tangan
itu
diharamkan oleh
syara' demikian menurut kesepakatan kaum muslim.
Kalau
pihak yang bertanggung jawab di
kampus melarang pakaian yang
seronok itu, sudah tentu akan didukung oleh syara'
dan undang-undang yang
telah menetapkan bahwa agama
resmi negara adalah
Islam, dan bahwa hukum-hukum syariat
Islam merupakan sumber
pokok perundang-undangan.
Namun
kenyataannya, tidak seorang pun yang melarangnya!
Sungguh mengherankan! Mengapa
wanita-wanita yang berpakaian
tetapi telanjang, yang
berlenggak-lenggok dan bergaya untuk memikat orang lain kepada
kemaksiatan dibebaskan saja tanpa ada seorang pun yang menegurnya? Kemudian mereka tumpahkan seluruh kebencian dan celaan
serta
caci maki terhadap wanita-wanita
bercadar, yang berkeyakinan bahwa
hal itu termasuk ajaran agama yang tidak boleh disia-siakan atau dibuat
sembarang?
Kepada
Allah-lah kembalinya segala urusan
sebelum dan sesudahnya. Tidak
ada daya untuk menjauhi kemaksiatan dan tidak ada kekuatan untuk
melakukan ketaatan kecuali dengan pertolongan
Catatan
kaki:
1
Lihat penafsiran ayat ini oleh Ibnu Jarir, Ibnu Katsir, al-Qurthubi, dan pada
ad-Durrul Mantsur (5: 41-42), dan lain-lain.
2
Lihat: ad-Durrul Mantsur, 5: 221-222, dan sumber-sumber terdahulu mengenai
penafsiran ayat tersebut.
HUKUM SUNTIK MATI DALAM ISLAM
Suntik
mati atau Euthanasia (qatl ar-rahma atau taisir al-maut) ialah tindakan
memudahkan kematian atau mengakhiri hidup seseorang dengan sengaja tanpa
merasakan sakit, karena kasihan untuk meringankan penderitaan si sakit.
Tindakan
ini dilakukan terhadap penderita penyakit yang tidak mempunyai harapan sembuh
(hopeless). Eutanasia dapat dilakukan dengan memberikan obat-obatan tertentu
atau dengan menghentikan pengobatan maupun alat bantu hidup yang sedang
dilakukan. Kata euthanasia berasal dari bahasa Yunani eu yang artinya baik dan
thanatos yang berarti kematian.
Pengertian
“MEMPERCEPAT KEMATIAN” dalam
terminologi Islam tidak dikenal. Dalam ajaran Islam, yang menentukan kematian
adalah Allah (QS.Yunus:49).
Dengan
demikian Euthanasia sebenarnya merupakan pembunuhan, yang diminta atau mendapat
persetujuan dari pihak pasien dan keluarganya.
Dalam
praktek kedokteran dikenal dua macam Euthanasia yaitu, Euthanasia pasif dan Euthanasia
aktif. Yang dimaksud dengan Euthanasia aktif ialah tindakan dokter mempercepat
kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut.
Yang
dimaksud dengan Euthanasia pasif adalah tindakan dokter berupa penghentian
pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak
mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pemberian obat ini berakibat
mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan ialah karena keadaan
ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk biaya
pengobatan cukup tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter
sudah tidak efektif lagi.
Alat
pernafasan itulah yang memompa udara ke dalam paru-parunya dan menjadikannya
dapat bernapas secara otomatis. Jika alat pernapasan tersebut dihentikan
(dilepas), maka penderita sakit tidak mungkin dapat melanjutkan pernafasannya
sebagai cara aktif memudahkan proses kematiannya.
Dalam
Islam prinsipnya segala upaya atau perbuatan yang berakibat matinya seseorang,
baik disengaja atau tidak sengaja, tidak dapat dibenarkan, kecuali dengan tiga
alasan; sebagaimana disebutkan dalam hadits: “Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali karena salah satu dari
tiga alasan, yaitu: pezina mukhshan (sudah berkeluarga), maka ia harus dirajam
(sampai mati); seseorang yang membunuh seorang muslim lainnya dengan sengaja,
maka ia harus dibunuh juga. Dan seorang yang keluar dari Islam (murtad),
kemudian memerangi Allah dan Rasulnya, maka ia harus dibunuh, disalib dan
diasingkan dari tempat kediamannya”
(HR Abu Dawud dan An-Nasa’i)
Selain
alasan-alasan diatas, segala perbuatan yang berakibat kematian orang lain
dimasukkan dalam kategori perbuatan ‘jarimah/tindak pidana’ (jinayat), yang
mendapat sanksi hukum. Dengan demikian euthanasia karena termasuk salah satu
dari jarimah dilarang oleh agama dan merupakan tindakan yang diancam dengan
hukuman pidana. Dalil syari’ah yang menyatakan pelarangan terhadap pembunuhan
antara lain Al-Qur’an surat Al-Isra’:33, An-Nisa’:92, Al-An’am:151. Sedangkan
dari hadits Nabi saw, selain hadits diatas, juga hadits tentang keharaman
membunuh orang kafir yang sudah minta suaka (mu’ahad).(HR.Bukhari).
Pada
prinispnya pembunuhan secara sengaja terhadap orang yang sedang sakit berarti
mendahului takdir. Allah telah menentukan batas akhir usia manusia. Dengan
mempercepat kematiannya, pasien tidak mendapatkan manfaat dari ujian yang
diberikan Allah Swt kepadanya, yakni berupa ketawakalan kepada-Nya Raulullah
saw bersabda: “Tidaklah menimpa
kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan,
kesusahan maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah
menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang dicobakannya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Hal
itu karena yang berhak mematikan dan menghidupkan manusia hanyalah Allah dan
oleh karenanya manusia dalam hal ini tidak mempunyai hak atau kewenangan untuk
memberi hidup dan atau mematikannya. (QS.Yunus:56, Al-Mulk:1-2).
Berkaitan
dengan permasalahan tersebut muncul persoalan fikih yaitu apakah memudahkan
proses kematian secara aktif ditolerir oleh Islam? Apakah memudahkan proses
kematian secara pasif juga diperbolehkan?
Dengan
demikian melalui euthanasia aktif berarti manusia mengambil hak Allah Swt yang
sudah menjadi ketetapanNya. Memudahkan proses kematian secara aktif seperti
pada contoh pertama tidak diperkenankan oleh syari’ah. Sebab yang demikian itu
berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan
mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis atau cara
lainnya.
Eutanasia
demikian juga menandakan bahwa manusia terlalu cepat menyerah pada keadaan
(fatalis), padahal Allah swt menyuruh manusia untuk selalu berusaha atau
berikhtiar sampai akhir hayatnya. Bagi manusia tidak ada alasan untuk berputus
asa atas suatu penyakit selama masih ada harapan, sebab kepadanya masih ada
kewajiban untuk berikhtiar. Dalam hadits Nabi sw disebutkan betapapun beratnya
penyakit itu, tetap ada obat penyembuhnya.(HR Ahmad dan Muslim)
Adapun
memudahkan proses kematian dengan cara euthanasia pasif sebagaimana dikemukakan
dalam pertanyaan, maka semua itu termasuk dalam kategori praktik penghentian
pengobatan. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang
dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit,
sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum
sebab-akibat. Masalah ini terkait dengan hukum melakukan pengobatan yang
diperselisihkan oleh para ulama fikih apakah wajib atau sekedar sunnah.
Menurut
jumhur ulama mengobati atau berobat dari penyakit hukumnya sunnah dan tidak
wajib. Meskipun segolongan kecil ulama ada yang mewajibkannya, seperti kalangan
ulama syafi’iyah dan hanbali sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu
Taimiyah.
Para
ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama: berobat ataukah
bersabar? Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat)
itu lebih utama, berdasarkan hadist Abbas yang diriwayatkan dalam kitab shahih
dari seorang wanita yang menderita epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi
agar mendoakannya, lalu beliau menjawab: “Jika engkau mau bersabar (maka
bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga, dan jika engkau mau, akan saya
doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Wanita itu menjawab akan bersabar
dan memohon kepada Nabi untuk medoakan kepada Allah agar ia tidak minta
dihilangkan penyakitnya namun tetap terjaga auratnya sehingga tidak tersingkap
ketika kambuh.
Oleh
karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya sunnah ataupun wajib apabila
penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika secara perhitungan
akurat medis yang dapat dipertanggungjhawabkan sudah tidak ada harapan sembuh,
sesuai dengan sunnatullah dalam hukum kausalitas yang dikuasai para ahli
seperti dokter ahli maka tidak ada seorang pun yang mengatakan sunnah berobat
apalagi wajib.
Apabila
penderita sakit kelangsungan hidupnya tergantung pada pemberian berbagai macam
media pengobatan dengan cara meminum obat, suntikan, infus dan sebagainya, atau
menggunakan alat pernapasan buatan dan peralatan medis modern lainnya dalam waktu
yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka
melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak juga sunnah sebagaimana
difatwakan oleh Syeikh Yusuf Al-Qardhawi dalam Fatawa Mu’ashirahnya, bahkan
mungkin kebalikannya yakni tidak mengobatinya itulah yang wajib atau sunnah.
Dengan
demikian memudahkan proses kematian (taisir al-maut) semacam ini dalam kondisi
sudah tidak ada harapan yang sering diistilahkan dengan qatl ar-rahma
(membiarkan perjalanan menuju kematian karena belas kasihan), karena dalam
kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter maupun orang lain. Tetapi
dokter ataupun orang terkait lainnya dengan pasien hanya bersikap meninggalkan
sesuatu yang hukumnya tidak wajib ataupun tidak sunnah, sehingga tidak dapat
dikenai sanksi hukuman menurut syari’ah maupun hukum positif. Tindakan
euthanasia pasif oleh dokter dalam kondisi seperti ini adalah jaiz (boleh) dan
dibenarkan syari’ah apabila keluarga pasien mengizinkannya demi meringankan
penderitaan dan beban pasien dan keluarganya.
Hal
ini terkait dengan contoh kedua dari eutanasia aktif terdahulu yaitu
menghentikan alat pernapasan buatan dari pasien, yang menurut pandangan dokter
ahli ia sudah “mati” atau “dikategorikan telah mati” karena jaringan otak
ataupun fungsi syaraf sebagai media hidup dan merasakan telah rusak. Kalau yang
dilakukan dokter tersebut semata-mata menghentikan alat pengobatan, hal ini
sama dengan tidak memberikan pengobatan.
Dengan
demikian masalahnya sama seperti cara-cara eutanasia pasif lainnya. Karena itu,
eutanasia untuk seperti ini adalah bukan termasuk kategori eutanasia aktif yang
diharamkan. Dengan demikian, tindakan tersebut dibenarkan syari’ah dan tidak
terlarang terutama bila peralatan bantu medis tersebut hanya dipergunakan
pasien sekadar untuk kehidupan lahiriah yang tampak dalam pernapasan dan denyut
nadi saja, padahal bila dilihat secara medis dari segi aktivitas maka pasien
tersebut sudah seperti orang mati, tidak responsif, tidak dapat mengerti
sesuatu dan tidak merasakan apa-apa, karena jaringan otak dan sarafnya sebagai
sumber semua aktivitas hidup itu telah rusak.
Membiarkan
si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan biaya dan tenaga
yang banyak serta memperpanjang tanggungan beban. Selain itu juga dapat
menghalangi pemanfaatan peralatan tersebut oleh pasien lain yang
membutuhkannya. Di sisi lain, penderita yang sudah tidak dapat merasakan
apa-apa itu hanya menjadikan sanak keluarganya selalu dalam keadaan sedih dan
menderita, yang mungkin sampai puluhan tahun lamanya.
Pendapat
ini telah dikemukakan sejak lama oleh Syeikh Al-Qardhawi kepada sejumlah pakar
fikih dan dokter dalam suatu seminar yang diselenggarakan oleh sebuah yayasan
Islam untuk ilmu-ilmu kedokteran di Kuwait. Para peserta seminar dari kalangan
ahli fikih dan dokter sepakat menerima pendapat tersebut.
Adapun
hukum wajib shalat bagi orang yang tidak sadar dan tidak dapat merasakan
apa-apa adalah tidak berlaku lagi sampai ia sadar kembali. Namun jika tidak
kembali sadar maka ia tidak terkenai kewajiban tersebut.
Usaha dan pelayanan sosial kemanusiaan sangat
mulia dalam pandangan umat manusia secara universal dan terpuji dalam pandangan
agama, termasuk dalam hal ini adalah kegiatan dan misi kemanusiaan Palang Merah
Indonesia. Rasulullah saw menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang
paling banyak manfaat (jasanya) bagi umat manusia. Hal itu tentunya terlepas
dari makna filosofis dan religius simbolis dari pemakaian nama organisasi.
Memang pemakaian lambang palang merah atau salib merah (red cross) untuk
organisasi ini adalah meniru Barat yang pada mulanya sangat erat hubungannya
dengan semangat religiusitas Nasrani/Kristiani dan menggunakannya sebagai
simbol misi kemanusiaan sekaligus misi Salib yaitu penyebaran agama Nasrani.
Memang sangat disayangkan umat Islam Indonesia
yang merupakan mayoritas bangsa Indonesia kehilangan identitas keislamannya
sampai dalam masalah simbol dan lambang sosial, dan cenderung meniru dan
mengambil simbol Barat yang notabene sarat dengan semangat misi kristiani.
Padahal Islam memiliki simbol religi sosial tersendiri yakni bulan sabit yang
menandakan siklus bulan hijriyah sebagai perjalanan syiar Islam dan oleh
karenanya Dunia Arab dan Negara-Negara Islam lebih cenderung menggunakan lambang
Bulan Sabit Merah (Hilal Ahmar/ Red Crescent) untuk organisasi sosial
kemanusiaan semacam Palang Merah. Nabi saw selalu menganjurkan kepada umatnya
untuk memiliki identitas independen dan menghindari mental imitator yang suka
meniru dan taklid buta kepada simbol umat lain apalagi yang berbau ritual dan
syiar keagamaan. Sabda Nabi saw.: “Berbedalah kalian dari umat Yahudi dan
Nasrani” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Al-Nasa’I dan Ibnu Majah) dan
sabdanya: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum (umat lain) maka ia termasuk
golongan mereka.” (HR. Abu Dawud dan At-Tabrani)
Dengan demikian kewajiban umat Islam baik
pemerintah maupun masyakat pada umumnya adalah menyadari hal ini dan berusaha
untuk mendekatkan lembaga dan simbol sosial sesuai dengan aspirasi akidah dan
syiar Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Adapun hukum bekerja padanya
selama membawa misi kemanusiaan adalah merupakan amal yang terpuji sebagai
ibadah sosial apalagi dibarengi dengan nilai-nilai dakwah Islam yang menjadi
kewajiban setiap muslim.
Masalah transfusi darah yaitu memindahkan darah
dari seseorang kepada orang lain untuk menyelamatkan jiwanya. Islam tidak
melarang seorang muslim atau muslimah menyumbangkan darahnya untuk tujuan
kemanusiaan, bukan komersialisasi, baik darahnya disumbangkan secara langsung
kepada orang yang memerlukannya, misalnya untuk anggota keluarga sendiri,
maupun diserahkan pada palang merah atau bank darah untuk disimpan
sewaktu-waktu untuk menolong orang yang memerlukan.
Penerima sumbangan darah tidak disyariatkan harus
sama dengan donornya mengenai agama/kepercayaan, suku bangsa, dsb. Karena
menyumbangkan darah dengan ikhlas adalah termasuk amal kemanusiaan yang sangat
dihargai dan dianjurkan (mandub) oleh Islam, sebab dapat menyelamatkan jiwa manusia,
sesuai dengan firman Allah: “dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS.
Al-Maidah:32).
Jadi boleh saja mentransfusikan darah seorang
muslim untuk orang non muslim dan sebaliknya, demi menolong dan saling
menghargai harkat sesama umat manusia. Sebab Allah sebagai Khalik alam semesta
termasuk manusia berkenan memuliakan manusia, sebagaimana firman-Nya: “dan
sesungguhnya Kami memuliakan anak cucu Adam (manusia).” (QS. Al-Isra:70). Maka
sudah seharusnya manusia bisa saling menolong dan menghormati sesamanya.
Adapun dalil syar’i yang menjadi dasar untuk
membolehkan transfusi darah tanpa mengenal batas agama dan sebagainya,
berdasarkan kaidah hukum fiqih Islam yang berbunyi: “Al-Ashlu Fil Asyya’
al-Ibahah Hatta Yadullad Dalil ‘Ala Tahrimihi” (bahwasanya pada prinsipnya
segala sesuatu itu boleh hukumnya, kecuali ada dalil yang mengharamkannya).
Padahal tidak ada satu ayat dan hadits pun yang secara eksplisit atau dengan
nash yang sahih, melarang transfusi darah, maka berarti transfusi darah
diperbolehkan, bahkan donor darah itu ibadah, jika dilakukan dengan niat
mencari keridhaan Allah dengan jalan menolong jiwa sesama manusia.
Namun untuk memperoleh maslahah (efektifitas
positif) dan menghindari mafsadah (bahaya/risiko), baik bagi donor darah maupun
bagi penerima sumbangan darah, sudah tentu transfusi darah itu harus dilakukan
setelah melalui pemeriksaan yang teliti terhadap kesehatan keduanya, terutama
kesehatan pendonor darah; harus benar-benar bebas dari penyakit menular,
seperti AIDS dan HIV. Penyakit ini bisa menular melalui transfusi darah,
suntikan narkoba, dll.
Jelas bahwa persyaratan dibolehkannya transfusi
darah itu berkaitan dengan masalah medis, bukan masalah agama. Persyaratan
medis ini harus dipenuhi, karena adanya kaidah-kaidah fiqih seperti:
“Adh-Dhararu Yuzal” (Bahaya itu harus dihilangkan/ dicegah). Misalnya bahaya
penularan penyakit harus dihindari dengan sterilisasi, dsb., “Ad-Dhararu La
Yuzalu Bidharari Mitslihi” (Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan bahaya
lain). Misalnya seorang yang memerlukan transfusi darah karena kecelakaan lalu
lintas atau operasi, tidak boleh menerima darah orang yang menderita AIDS,
sebab bisa mendatangkan bahaya lainnya yang lebih fatal. Dan Kaedah “La Dharara
wa La Dhirar” (Tidak boleh membuat mudarat kepada dirinya sendiri dan tidak
pula membuat mudarat kepada orang lain). Misalnya seorang pria yang terkena
AIDS tidak boleh kawin sebelum sembuh. Demikian pula seorang yang masih hidup
tidak boleh menyumbangkan ginjalnya kepada orang lain karena dapat membahayakan
hidupnya sendiri. Kaidah terakhir ini berasal dari hadits riwayat Malik, Hakim,
Baihaqi, Daruquthni dan Abu Said al-Khudri. Dan riwayat Ibnu Majah dari Ibnu
Abbas dan Ubadah bin Shamit.
Adapun hubungan antara donor dan resipien, adalah
bahwa transfusi darah itu tidak membawa akibat hukum adanya hubungan kemahraman
antara donor dan resipien. Sebab faktor-faktor yang dapat menyebabkan
kemahraman sudah ditentukan oleh Islam sebagaimana tersebut dalam An-Nisa:23,
yaitu: Mahram karena adanya hubungan nasab. Misalnya hubungan antara anak
dengan ibunya atau saudaranya sekandung, dsb, karena adanya hubungan perkawinan
misalnya hubungan antara seorang dengan mertuanya atau anak tiri dan istrinya
yang telah disetubuhi dan sebagainya, dan mahram karena adanya hubungan
persusuan, misalnya hubungan antara seorang dengan wanita yang pernah
menyusuinya atau dengan orang yang sesusuan dan sebagainya.
Kemudian pada ayat berikutnya, (an-Nisa:24)
ditegaskan bahwa selain wanita-wanita yang tersebut pada An-Nisa:23 di atas
adalah halal dinikahi. Sebab tidak ada hubungan kemahraman. Maka jelaslah bahwa
transfusi darah tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara pendonor dengan
resipien. Karena itu perkawinan antara pendonor dengan resipien itu diizinkan
oleh hukum Islam.
Masalah transfusi darah tidak dapat dipisahkan
dari hukum menjualbelikan darah sebagaimana sering terjadi dalam parkteknya di
lapangan. Mengingat semua jenis darah termasuk darah manusia itu najis
berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Jabir, kecuali barang najis
yang ada manfaatnya bagi manusia, seperti kotoran hewan untuk keperluan rabuk.
Menurut madzhab Hanafi dan Dzahiri, Islam membolehkan jual beli barang najis yang
ada manfaatnya seperti kotoran hewan. Maka secara analogi (qiyas) madzhab ini
membolehkan jual beli darah manusia karena besar sekali manfaatnya untuk
menolong jiwa sesama manusia, yang memerlukan transfusi darah. (Ibnu Rusyd,
Bidayatul Mujtahid, I/109, Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, III/130)
Namun pendapat kami adalah bahwa jual beli darah
manusia itu tidak etis disamping bukan termasuk barang yang diboelehkan untuk
diperjual belikan karena termasuk bagian manusia yang Allah muliakan dan tidak
pantas untuk diperjual belikan, karena bertentangan dengan tujuan dan misi
semula yang luhur, yaitu amal kemanusiaan semata, guna menyelamatkan jiwa
sesama manusia. Karena itu, seharusnya jual beli darah manusia itu dilarang,
karena bertentangan dengan moral agama dan norma kemanusiaan.
Apabila praktik transfusi darah itu memberikan
imbalan sukarela kepada donor atau penghargaan apapun baik materi maupun non
materi tanpa ikatan dan transaksi, maka hal itu diperbolehkan sebagai hadiah
dan sekedar pengganti makanan ataupun minuman untuk membantu memulihkan tenaga.
Ada baiknya bila pemerintah memikirkan dan merumuskan kebijakan dalam hal ini
seperti memberikan sertifikat setiap donor yang dapat dipergunakannya sebagai
kartu diskon atau servis ekstra dalam pelayanan kesehatan di Rumah Sakit
bilamana orang yang berdonor darah memerlukan pelayanan kesehatan, atau bahkan
mendapatkan pelayanan gratis bilamana ia memerlukan bantuan darah sehingga
masyarakat akan rajin menyumbangkan darahnya sebagai bentuk tolong-menolong dan
benar-benar menjadi tabungan darah baik untuk dirinya maupun orang lain
sehingga terjalin hubungan yang simbiosis mutualis.
Dengan demikian praktik
Dengan demikian praktik
Menjual belikan darah baik secara langsung maupun
melalui rumah sakit dapat dihindarkan karena sebenarnya transfusi darah
terlaksana berkat kerjasama sosial yang murni subsidi silang melalui koordinasi
pemerintah dan bukan menjadi objek komersial sebagaiman dilarang Syariat Islam
dan bertentangan dengan perikemanusiaan, sehingga setiap individu tanpa
dibatasi status ekonomi dan sosialnya berkesempatan untuk mendapatkan bantuan
darah setiap saat bilamana membutuhkannya sebab di sini harus berlaku hukum
barang siapa menamam kebaikan maka ia berhak mengetam pahala dan ganjaran
kebaikannya.
HUKUM KOPI LUWAK
Kopi Luwak adalah kopi yang diproduksi dari biji
kopi yang telah dimakan dan melewati saluran pencernaan binatang bernama luwak.
Dan luwak adalah sejenis musang, karenanya biasa dikatakan musang luwak. Dia
senang sekali mencari buah-buahan yang cukup baik dan masak termasuk buah kopi
sebagai makanannya. Luwak akan memilih buah kopi yang betul-betul masak sebagai
makanannya, dan setelahnya, biji kopi yang dilindungi kulit keras dan tidak
tercerna akan keluar bersama kotoran luwak.
Berdasarkan keterangan di atas maka kopi luwak
hukumnya dikembalikan kepada apakah musang itu halal dimakan ataukah tidak? Dan
apakah kotorannya suci ataukah najis?
Adapun dalam hal halal atau haramnya, maka musang adalah halal dan boleh dikonsumsi.
Adapun dalam hal halal atau haramnya, maka musang adalah halal dan boleh dikonsumsi.
Adapun hukum kotorannya, maka pendapat yang
paling kuat di kalangan ulama adalah sucinya kotoran musang. Karena musang
termasuk hewan yang halal dimakan, sementara semua hewan yang halal dimakan
maka kotoran dan kencingnya adalah suci dan tidak najis. Ini adalah mazhab
Al-Malikiah dan Al-Hanabilah, bahkan merupakan pendapat para sahabat
seluruhnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata dalam Al-Fatawa Al-Kubra
(5/313), “Kencing dan tinja hewan yang boleh dimakan dagingnya adalah suci,
tidak ada seorangpun dari para sahabat yang berpendapat najisnya. Bahkan
pendapat yang menyatakan najisnya adalah pendapat yang muhdats (baru muncul),
tidak ada salafnya dari kalangan para sahabat.”
Di antara dalilnya adalah hadits riwayat Muslim
no. 1529 dimana Nabi -alaihishshalatu wassalam- mengizinkan shalat di kandang
kambing. Maka ini menunjukkan tinja dan kencing kambing (dan dia adalah hewan
yang halal dimakan) adalah suci dan bukan najis, karena tidak boleh shalat pada
tempat yang ada najisnya. Dan juga hadits al-uraniyin dimana Nabi
-alaihishshalatu wassalam- memerintahkan rombongan orang dari luar Madinah yang
terkena penyakit untuk meminum kencing dan susu onta, dan itu menunjukkan
kencingnya adalah suci, karena tidak diperbolehkan berobat dengan sesuatu yang
najis. Haditsnya diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 233 dan Muslim no. 1671. Dan
masih banyak dalil-dalil lainnya.
Kalau begitu hukum kopi luwak adalah halal karena
dia halal dimakan dan kotorannya juga suci.
Kalaupun anggaplah kotoran musang adalah najis maka tetap saja kopi luwak itu halal karena dari penjelasan di atas diperoleh keterangan bahwa biji kopi yang akan dibuat kopi tidak ikut tercerna, yakni tetap utuh. Jika dia tetap utuh keluar bersama kotoran musang, maka kita tinggal membersihkan najis yang melekat padanya sampai bersih, kemudian setelah itu baru diolah menjadi kopi . Jadi ketika diproses menjadi kopi, tidak ada lagi kotoran musang -kalau dia dianggap najis- yang melekat padanya.
Wallahu a’lam bishshawab, waiyyakum.
Kalaupun anggaplah kotoran musang adalah najis maka tetap saja kopi luwak itu halal karena dari penjelasan di atas diperoleh keterangan bahwa biji kopi yang akan dibuat kopi tidak ikut tercerna, yakni tetap utuh. Jika dia tetap utuh keluar bersama kotoran musang, maka kita tinggal membersihkan najis yang melekat padanya sampai bersih, kemudian setelah itu baru diolah menjadi kopi . Jadi ketika diproses menjadi kopi, tidak ada lagi kotoran musang -kalau dia dianggap najis- yang melekat padanya.
Wallahu a’lam bishshawab, waiyyakum.
HUKUM MEMAKAI PARFUM ALKOHOL
Segala
puji bagi Allah, satu-satunya sesembahan yang berhak untuk disembah. Sholawat
dan salam tidak lupa kita tujukan kepada Nabi Muhammad, keluarga, para
sahabatnya serta para pengikutnya dengan baik hingga hari kiamat. Sebelumnya
kami memohon maaf atas keterlambatan jawaban kami.
Sesungguhnya
masalah boleh tidaknya menggunakan parfum yang beralkohol merupakan
permasalahan yang diperselisihkan oleh para ulama. Hal ini bersumber dari
perselisihan ulama mengenai najis tidaknya alkohol. Insya Allah pendapat yang
lebih kuat (sebagaimana pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah)
adalah alkohol adalah tidak najis. Dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut
adalah sebagai berikut:
Pertama, firman Allah subhanahu wa
ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya
(meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah adalah rijs (perbuatan keji).”
(QS. Al Maidah: 90)
Pada
ayat ini, Allah menjelaskan bahwa khamr, judi, berhala, mengundi nasib dengan
panah adalah rijs. Kata rijs bisa berarti najis. Namun najis pada ayat ini
adalah najis secara maknawi, bukan bendanya bersifat najis. Hal ini ditunjukkan
dengan penyatuan keempat perkara di atas, di mana keempat perkara ini memiliki
satu sifat yang sama yaitu rijs. Kita telah ketahui bersama bahwasanya judi,
berhala dan panah itu bukanlah benda najis, namun ketiganya najis secara
maknawi, maka begitu pula dengan khamr (alkohol), maka ia pun najis namun
secara maknawi (perbuatannya yang keji) bukan benda atau zatnya.
Kedua,
di dalam riwayat yang shahih, ketika diturunkan ayat tentang haramnya khamr,
kaum muslimin menumpahkan khamr-khamr mereka di pasar-pasar. Seandainya khamr
itu najis secara zatnya, maka tentu tidak boleh menumpahkannya di pasar-pasar.
Selain itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak
memerintahkan untuk mencuci bejana-bejana bekas khamr sebagaimana Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mencuci bejana bekas daging keledai
piaraan (karena daging tersebut najis).
Ketiga, dalil lainnya adalah
sebagaimana yang terdapat dalam Sahih Muslim, di mana ada seorang
laki-laki yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
membawa khamr di dalam suatu wadah untuk dia berikan kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Namun, setelah ia diberitahu bahwa khamr sudah
diharamkan, ia langsung menumpahkan khamr itu di hadapan Nabi. Dan Nabi tidak
memerintahkan orang tersebut untuk mencuci wadah bekas khamr dan tidak melarang
ditumpahkannya khamr di tempat itu. Seandainya khamr najis, tentu Nabi sudah
memerintahkan wadah tersebut untuk dicuci dan beliau melarang menumpahkan khamr
tersebut di tempat itu. Dari penjelasan di atas, maka jelaslah yang lebih kuat
bahwa alkohol tidaklah najis, maka tidak wajib mencuci pakaian apabila terkena
alkohol.
Adapun
hukum memakai parfum yang beralkohol, maka Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan
bahwa yang lebih baik adalah kita bersikap berhati-hati yaitu dengan tidak
memakainya. Karena sesungguhnya Allah berfirman tentang khamr:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah termasuk perbuatan keji di antara perbuatan syaitan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maaidah: 90)
Allah
memerintahkan untuk menjauhi hal tersebut. Di mana perintah ini mutlak, bukan
hanya sekedar meminum atau memakainya (bukan untuk diminum). Oleh karena itulah
yang lebih hati-hati adalah seseorang menghindari penggunaan minyak wangi yang
mengandung alkohol. Akan tetapi, Beliau juga menegaskan bahwa beliau tidak
menggunakan minyak wangi yang mengandung alkohol namun beliau juga tidak
melarang orang lain untuk menggunakannya. (disarikan dari majalah As Sunnah
edisi 02 tahun IX/1426/2005 hal 49-51).
Dan
Alhamdulillah sudah banyak parfum-parfum yang beredar di negeri kita dan tidak
mengandung alkohol. Oleh karena itu, kami berpendapat lebih baik menggunakan
parfum yang tidak beralkohol, karena parfum-parfum jenis ini mudah didapatkan
di negeri kita. Wallahu a’lam.
HUKUM MEMBONGKAR DAN MEMINDAHKAN KUBURAN
Membongkar kuburan di dalam bahasa Arab sering disebut
dengan istilah “Nabsyu al Qubur“. Nabsy berarti menampakkan sesuatu yang
dulunya tersembunyi, atau mengeluarkan sesuatu dari dalam tanah. Maka
an-Nabbasy adalah orang yang profesinya membongkar kuburan untuk
mengambil (mencuri) kain kafan atau barang berharga lainnya yang dikubur
bersama mayit. (al Fayumi, al Misbah al Munir : 350)
Para ulama telah sepakat bahwa membongkar kuburan
untuk mengambil (mencuri) kain kafan darinya atau hanya karena iseng dan
tidak ada kepentingan darinya adalah perbuatan yang dilarang dalam Islam,
karena perbuatan tersebut bertentangan dengan prinsip penghormatan terhadap
manusia. Karena manusia ini terhormat ketika hidup dan ketika mati, sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Dan
sesungguhnya Kami telah memuliakan anak Adam" (QS. Al Isra’: 70)
Perbuatan
tersebut juga bertentangan dengan hadist 'Aisyah radhiyallahu ‘anha,
bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Bahwa
memecahkan tulang mayit seperti memecahkannya pada waktu dia hidup."
(Hadist Shahih Riwayat Abu Daud, no. 2792, Ibnu Majah, no. 1605, dan Ibnu
Hibban, no. 3167)
Sedangkan
membongkar kuburan karena suatu mashlahat yang mendesak, mayoritas ulama,
termasuk di dalamnya empat madzhab, yaitu Hanafiyah, Malikiyah,
Syafi’iyah, dan Hanabilah menyatakan kebolehannya, baik mashlahatnya bersifat
pribadi maupun umum.
Dalilnya
adalah hadist Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata:
"Bahwasanya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendatangi kuburan Abdullah bin
Abdullah bin Ubay bin Salul, dan memintanya untuk dikeluarkan lagi, sehingga
diletakkan di lututnya dan ditiupnya dengan ludahnya dan diselimuti dengan
pakaiannya." (HR Bukhari dan Muslim)
Berkata
Ibnu Hajar, "Hadits ini menunjukkan kebolehan membongkar kuburan karena
maslahat mayit, seperti menambahkan barakah kepadanya (dalam hal ini karena
tiupan dan dikenakan baju Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam)"
(Fathu al Bari : 3/164)
Hal
ini dikuatkan dengan atsar Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu
juga yang menyebutkan:
"Seorang
laki-laki dikuburkan bersama dengan bapakku, namun perasaanku tidak enak,
hingga akhirnya aku keluarkan beliau dari kuburan dan aku kuburkan beliau dalam
satu liang kubur sendiri.” (HR Bukhari)
Dalam riwayat lain dijelaskan bahwasanya Abdullah adalah
orang tua dari Jabir bin Abdullah yang terbunuh dalam perang Uhud, dia
dikuburkan dalam satu liang dengan seseorang yang tidak berkenan di hati Jabir.
Setelah enam bulan berlalu, maka jasad bapaknya tersebut dikeluarkan dari
kuburan, kemudian dikuburkannya sendiri di tempat lain.
Sebab-Sebab Dibolehkannya Membongkar Kuburan
Adapun sebab-sebab dibolehkan membongkar kuburan menurut
mayoritas ulama adalah jika diperkirakan mayit sudah punah (lebur), tidak
tersisa dari anggota badannya, serta telah menjadi tanah. (Al Nawawi, Al
Majmu’: 5/233, Ibnu Qudamah, Al Mughni: 2/511, Ibnu Hazm, Al Muhalla: 2/32 ).
Tempat bekas kuburan yang telah punah seperti ini bisa
difungsikan sebagai tempat kuburan baru, atau dibangun jalan umum atau hal-hal
lain yang mengandung maslahat umum. Tetapi tidak dibenarkan jika dijadikan
tempat bercocok tanam atau dibangun di atasnya pabrik atau pusat pusat
perbelanjaan (mall) yang dimiliki oleh seseorang, karena tanah kuburan adalah
milik masyarakat umum, maka harus dikembalikan lagi fungsinya kepada mereka.
Begitu juga, jika seorang mayit muslim yang dikubur
tidak menghadap kiblat, atau belum dimandikan, atau belum dikafani, maka
dibolehkan untuk dibongkar lagi, agar posisinya menghadap kiblat, dan
dimandikan serta dikafani terlebih dahulu. Bahkan para ulama dari kalangan
Syafi’iyah dan Hanabilah mewajibkan hal tersebut. Tentunya hal ini dilakukan
selama mayit masih dalam keadaan bagus dan tidak rusak.
Begitu juga, jika seorang perempuan yang sedang hamil
meninggal dunia dan langsung dikuburkan, padahal menurut perkiraan para ahli,
bahwa anak yang ada dalam perutnya masih bisa diselamatkan, maka dalam hal ini
dibolehkan, bahkan diwajibkan untuk membongkar kuburannya serta membedah perut
sang mayit untuk mengeluarkan bayi yang diperkirakan masih hidup tersebut.
Begitu juga, jika seseorang yang tidak diketahui
identitasnya ditemukan tewas di jalan atau terseret banjir atau terdampar di
pantai, setelah dikubur, tiba-tiba datang seseorang yang mengaku bahwa orang
tersebut adalah bapak atau suami atau istrinya, dan dia meminta hak atas
warisan yang ditinggalnya, maka dalam keadaan ini boleh atau wajib dibongkar
kuburannya untuk membuktikan pengakuaannya tersebut. (As Syarbini, Mughni Al
Muhtaj : 1/367)
Membongkar
kuburan juga dibolehkan untuk keperluan penyelidikan suatu kasus kejahatan yang
hendak diungkap.
Membongkat Kuburan Umat Masa Lalu
Para ulama membolehkan untuk membongkar kuburan umat-umat
yang telah berlalu, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan
para sahabatnya pernah membongkar kuburan kaum musyrikin yang telah rusak di
kota Madinah, sebagaimana dalam hadist panjang yang diriwayatkan oleh Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu. (HR Bukhari, no. 418 dan Muslim, no. 523)
Selain itu, jika kuburan-kuburan yang telah punah dan rusak
tersebut dibiarkan, maka akan menghambat pembangunan dan membiarkan tanah
kosong dan mubadzir, maka dianjurkan untuk memanfaatkan tanah tersebut,
tentunya setelah kuburan tersebut dibongkar dan dipindahkan ke tempat lain jika
masih ada sisa–sisa anggota tubuh mereka.
Ada beberapa pertanyaan yang masuk ke rubrik kita ini tentang permasalahan yang sama yaitu Hukum Oral Seks Menurut Islam dan untuk mewakilinya saya mencoba mengambil dua contoh pertanyaan diatas. Semoga Allah swt memberikan kemudahan kepada saya untuk membahasnya dan senantiasa mencurahkan ilmu-Nya kepada kita semua.
Hubungan seksual antara pasangan suami istri bukanlah hal yang terlarang untuk dibicarakan didalam islam namun bukan pula hal yang dibebaskan sedemikian rupa bak layaknya seekor hewan yang berhubungan dengan sesamanya.
Islam adalah agama fitrah yang sangat memperhatikan masalah seksualitas karena ini adalah kebutuhan setiap manusia, sebagaimana firman Allah swt,”Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” (QS. Al Baqoroh : 223)
Ayat diatas menunjukkan betapa islam memandang seks sebagai sesuatu yang moderat sebagaimana karakteristik dari islam itu sendiri. Ia tidaklah dilepas begitu saja sehingga manusia bisa berbuat sebebas-bebasnya dan juga tidak diperketat sedemikian rupa sehingga menjadi suatu pekerjaan yang membosankan.
Hubungan seks yang baik dan benar, yang tidak melanggar syariat selain merupakan puncak keharmonisan suami istri serta penguat perasaan cinta dan kasih sayang diantara mereka berdua maka ia juga termasuk suatu ibadah disisi Allah swt, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”..dan bersetubuh dengan istri juga sedekah. Mereka bertanya,’Wahai Rasulullah, apakah jika diantara kami menyalurkan hasrat biologisnya (bersetubuh) juga mendapat pahala?’ Beliau menjawab,’Bukankah jika ia menyalurkan pada yang haram itu berdosa?, maka demikian pula apabila ia menyalurkan pada yang halal, maka ia juga akan mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)
Diantara variasi seksual yang sering dibicarakan para seksolog adalah oral seks, yaitu adanya kontak seksual antara kemaluan dan mulut (lidah) pasangannya. Tentunya ada bermacam-macam oral seks ini, dari mulai menyentuh, mencium hingga menelan kemaluan pasangannya kedalam mulutnya.
Hal yang tidak bisa dihindari ketika seorang ingin melakukan oral seks terhadap pasangannya adalah melihat dan menyentuh kemaluan pasangannya. Dalam hal ini para ulama dari madzhab yang empat bersepakat diperbolehkan bagi suami untuk melihat seluruh tubuh istrinya hingga kemaluannya karena kemaluan adalah pusat kenikmatan. Akan tetapi setiap dari mereka berdua dimakruhkan melihat kemaluan pasangannya terlebih lagi bagian dalamnya tanpa suatu keperluan, sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah yang mengatakan,”Aku tidak pernah melihat kemaluannya saw dan beliau saw tidak pernah memperlihatkannya kepadaku.” (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz IV hal 2650)
Seorang suami berhak menikmati istrinya, khususnya bagaimana dia menikmati berjima’ dengannya dan seluruh bagian tubuh istrinya dengan suatu kenikmatan atau menguasai tubuh dan jiwanya yang menjadi haknya untuk dinikmati maka telah terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama kami, karena tujuan dari berjima’ tidaklah sampai kecuali dengan hal yang demikian. (Bada’iush Shona’i juz VI hal 157 - 159, Maktabah Syamilah)
Setiap pasangan suami istri yang diikat dengan pernikahan yang sah didalam berjima’ diperbolehkan untuk saling melihat setiap bagian dari tubuh pasangannya hingga kemaluannya. Adapun hadits yang menyebutkan bahwa siapa yang melihat kemaluan (istrinya) akan menjadi buta adalah hadits munkar tidak ada landasannya. (asy Syarhul Kabir Lisy Syeikh ad Durdir juz II hal 215, Maktabah Syamilah)
Dibolehkan bagi setiap pasangan suami istri untuk saling melihat seluruh tubuh dari pasangannya serta menyentuhnya hingga kemaluannya sebagaimana diriwayatkan dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya berkata,” Aku bertanya,’Wahai Rasulullah aurat-aurat kami mana yang tutup dan mana yang kami biarkan? Beliau bersabda,’Jagalah aurat kamu kecuali terhadap istrimu dan budak perempuanmu.” (HR. tirmidzi, dia berkata,”Ini hadits Hasan Shohih.”) Karena kemaluan boleh untuk dinikmati maka ia boleh pula dilihat dan disentuhnya seperti bagian tubuh yang lainnya.
Dan dimakruhkan untuk melihat kemaluannya sebagaimana hadits yang diriwayatkan Aisyah yang berkata,”Aku tidak pernah melihat kemaluan Rasulullah saw.” (HR. Ibnu Majah) dalam lafazh yang lain, Aisyah menyebutkan : Aku tidak melihat kemaluan Rasulullah saw dan beliau saw tidak memperlihatkannya kepadaku.”
Didalam riwayat Ja’far bin Muhammad tentang perempuan yang duduk dihadapan suaminya, di dalam rumahnya dengan menampakkan auratnya yang hanya mengenakan pakaian tipis, Imam Ahmad mengatakan,”Tidak mengapa.” (al Mughni juz XV hal 79, maktabah Syamilah)
Oral seks yang merupakan bagian dari suatu aktivitas seksual ini, menurut Prof DR Ali Al Jumu’ah dan Dr Sabri Abdur Rauf (Ahli Fiqih Univ Al Azhar) boleh dilakukan oleh pasangan suami istri selama hal itu memang dibutuhkan untuk menghadirkan kepuasan mereka berdua dalam berhubungan. Terlebih lagi jika hanya dengan itu ia merasakan kepuasan ketimbang ia terjatuh didalam perzinahan.
Meskipun banyak seksolog yang menempatkan oral seks ini kedalam kategori permainan seks yang aman berbeda dengan anal seks selama betul-betul dijamin kebersihan dan kesehatannya, baik mulut ataupun kemaluannya. Akan tetapi kemungkinan untuk terjangkitnya berbagai penyakit manakala tidak ekstra hati-hati didalam menjaga kebersihannya sangatlah besar.
Hal itu dikarenakan yang keluar dari kemaluan adalah madzi dan mani. Madzi adalah cairan berwarna putih dan halus yang keluar dari kemaluan ketika adanya ketegangan syahwat, hukumnya najis. Sedangkan mani adalah cairan kental memancar yang keluar dari kemaluan ketika syahwatnya memuncak, hukumnya menurut para ulama madzhab Hanafi dan Maliki adalah najis sedangkan menurut para ulama Syafi’i dan Hambali adalah suci.
Mufti Saudi Arabia bagian Selatan, Asy-Syaikh Al`Allamah Ahmad bin Yahya An-Najmi berpenapat bahwa isapan istri terhadap kemaluan suaminya (oral seks) adalah haram dikarenakan kemaluannya itu bisa memancarkan cairan (madzi). Para ulama telah bersepakat bahwa madzi adalah najis. Jika ia masuk kedalam mulutnya dan tertelan sampai ke perut maka akan dapat menyebabkan penyakit.
Adapun Syeikh Yusuf al Qaradhawi memberikan fatwa bahwa oral seks selama tidak menelan madzi yang keluar dari kemaluan pasangannya maka ia adalah makruh dikarenakan hal yang demikian adalah salah satu bentuk kezhaliman (diluar kewajaran dalam berhubungan).
Berhubungan disaat Haidh
Allah swt berfirman,”Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al BAqoroh : 222)
Ayat diatas telah menyebutkan bahwa haidh adalah kotoran yang keluar dari kemaluan perempuan dan diminta kepada para suami yang mendapati istrinya sedang dalam keadaan haidh untuk tidak menyetubuhinya hingga ia suci dari haidhnya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa diharamkan bagi suami menyetubuhi (memasukkan penis kedalam vagina) istrinya yang sedang dalam keadaan haidh dan bersenang-senang dengan bagian tubuh yang ada diantara pusar dan lutut, sebagaimana firman Allah swt,” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haidh.”
Dibolehkan bagi suami yang mendapati istrinya sedang dalam keadaan haidh untuk menikmati bagian tubuh yang ada diatas pusar. Dikarenakan jika ia bersenang-senang dengan bagian yang dibawah pusar maka hal itu sangat mungkin mendorong kepada terjadinya wath’u (masuknya penis kedalam vagina) dan ini diharamkan sebagaiman sabda Rasulullah saw,”Maka barangsiapa yang mengitari daerah larangan maka dikhawatirkan ia akan jatuh kedalamnya.” (HR. Bukhori Muslim)
Adapun tentang kafarat jika terjadi wath’u yang dilakukan suami terhadap istrinya maka terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama :
1. Para ulama madzhab Maliki, Hanafi dan Syafi’i dalam pendapatnya yang baru adalah tidak ada kafarat namun diwajibkan baginya untuk istighfar dan bertaubat.
2. Para ulama Hambali, riwayat yang paling benar dari mereka, berpendapat wajib baginya membayar kafarat dia boleh memilih dengan membayar 1 dinar (seharga 3,25 gr emas, pen) atau ½ dinar. Kafarat ini tidak diwajibkan bagi yang memang tidak mempunyai sesuatu untuk membayarnya.
3. Para ulama madzhab Syafi’i berpendapat barangsiapa menggaulinya diawal keluarnya darah maka ia harus bersedekah dengan 1 dinar sedangkan baangsiapa yang menggaulinya diakhir keluarnya darah maka ia bersedekah dengan ½ dinar.
(al Fiqhul islami wa Adillatuhu juz I hal 627 – 630)
Bertaubat dari Zina
Perzinahan merupakan perbuatan yang sangat buruk dan pelakunya diancam dosa besar oleh Allah swt, firman-Nya,”Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Israa : 32) Hal itu dikarenakan terlalu banyaknya efek yang ditimbulkan dari perzinahan, baik efek psikologi, sosial maupun moral.
Untuk itu Islam menetapkan suatu hukuman yang berat bagi seorang pezina dengan cambukan seratus kali dan diasingkan bagi mereka yang belum menikah serta dirajam bagi mereka yang telah menikah, sebagaimana beberapa dalil berikut ini :
1. “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS. An Nuur : 2)
2. Dari Abu Hurairoh ra bahwasanya Rasulullah saw pernah memberikan hukuman kepada orang yang berzina (belum menikah) dengan hukuman dibuang (diasingkan) satu tahun dan pukulan seratus kali.” (HR. Bukhori)
3. Rasulullah saw menanyakan kepada seorang laki-laki yang mengaku berzina,”Apakah engkau seorang muhshon (sudah menikah)? Orang itu menjawab,’Ya’. Kemudian Nabi bersabda lagi,’Bawalah orang ini dan rajamlah.” (HR Bukhori Muslim)
Namun Allah swt adalah Maha Penerima taubat dari setiap hamba-Nya yang mau bertaubat dari segala perbuatan maksiatnya. Untuk itu yang harus dilakukan oleh mereka yang telah jatuh kedalam perbuatan zina ini dan menginginkan kembali ke jalan Allah swt, adalah :
1. Taubat Nashuha
Tidak ada hal terbaik yang harus dilakukan bagi seorang yang melakukan dosa kepada Allah swt kecuali taubat yang sebenar-benarnya. Taubat yang dibarengi dengan penyesalan dan tekad kuat untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut.
Firman Allah swt,”Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai." (QS. At Tahrim : 8)
Disebutkan didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa ada seorang wanita hamil dari Juhainah mengaku telah berzina dihadapan Rasulullah saw maka ia dirajam setelah melahirkan bayinya itu. Pada saat itu Umar ra mengatakan,”Apakah engkau menshalati jenazahnya ya Rasulullah saw padahal ia telah berzina?’ beliau saw menjawab,’Dia telah bertaubat dengan suatu taubat yang andaikan taubatnya dibagi-bagikan kepada tujuh puluh penduduk Madinah, tentu akan mencukupi mereka semua. Apakah engkau mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari kerelaannya untuk menyerahkan dirinya kepada Allah.”
Jadi tidak ada kata terlambat dan putus asa bagi seorang yang masih mengimani Allah swt sebagai Tuhannya untuk kembali kejalan-Nya, memperbaiki segala kesalahannya dan menggantinya dengan berbagai perbuatan yang baik.
2. Tidak membuka aibnya kepada orang lain
Dengan tidak memungkin bagi setiap pelaku zina untuk dicambuk atau dirajam pada saat ini dikarenakan tidak diterapkannya hukum islam maka sudah seharusnya semua menutupi aibnya itu dan tidak menceritakannya kepada siapa pun. Dengan ini mudah-mudahan Allah swt juga menutupi aib dan kesalahannya ini.
Bahwasanya Nabi saw bersabda,”Setiap umatku mendapat pemaafan kecuali orang yang menceritakan (aibnya sendiri). Sesungguhnya diantara perbuatan menceritakan aib sendiri adalah seorang yang melakukan suatu perbuatan (dosa) di malam hari dan sudah ditutupi oleh Allah swt kemudian dipagi harinya dia sendiri membuka apa yang ditutupi Allah itu.” (HR. Bukhori dan Muslim)
3. Beribadah dan beramal dengan sungguh-sungguh
Firman Allah swt,”Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya Dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan Dia akan kekal dalam azab itu, dalam Keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Furqon : 68 – 70)
Amal sholeh yang dilakukan haruslah sungguh-sunguh dan tidak asal-asalan agar bisa menutupi dosa besar yang telah dilakukannya. Amal sholeh tersebut juga sebagai bukti masih adanya iman didalam dirinya. Keimanan yang menggerakkannya untuk beramal sholeh ini yang kemudian menjadikan Allah swt menutupi dosa dan keburukannya. Bahkan tidak hanya itu, Allah swt menutup ayat itu dengan menyebutkan ‘dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’
Tips Mendapatkan Keturunan
Permasalahan seseorang mempunyai keturunan atau tidak maka itu semua adalah hak Allah swt dengan segala hikmah dan keadilan-Nya serta jauh dari berbuat zhalim terhadap hamba-hamba-Nya kecuali manusia lah yang menzhalimi diri mereka sendiri Firman Allah swt,”Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Asy Syuro : 50)
Allah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu yang terjadi di alam ini, jika Dia berkehendak atas segala sesuatu maka itu akan terjadi dan jika Dia tidak berkehendak atas segala sesuatu maka itu tidak akan terjadi. Dia memberikan kepada siapa yang Dia kehendaki dan menahan pemberian kepada siapa yang Dia kehendaki. Ketika Dia memberikan sesuatu maka tidak ada yang bisa menahannya dan jika Dia menahan sesuatu maka tidak ada yang bisa memberikannya.
Tidak disangsikan lagi adanya anak-anak adalah sebuah rezeki dan karunia Allah swt yang menjadi dambaan setiap pasangan suami istri untuk meneruskan nasab dan keturunannya. Tapi sayang, tidak jarang dari para orang tua yang menyia-nyiakan rezeki yang berharga ini sehingga justru membawa petakan bagi mereka, tidak cuma di dunia namun juga diakherat. Firman Allah swt,”Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?" (QS. An Nahl : 72)
Namun demikian bagi mereka yang belum mendapatkan keturunan tidak boleh berputus asa dan berprasangka buruk terhadap Allah swt. Mereka tetap dianjurkan untuk selalu berikhtiyar, baik melalui upaya-upaya medis atau dengan semakin mendekatkan dirinya kepada Allah swt melalui banyak berdoa dan beristighfar serta menyedikitkan kemaksiatan terhadap-Nya, sebagaimana firman-Nya,”Maka aku katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, Nniscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan Mengadakan untukmu kebun-kebun dan Mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh : 12)
Ayat ini memberikan petunjuk kepada setiap orang yang ingin mendapatkan banyak rezeki—termasuk anak-anak—dari Allah swt adalah dengan memperbanyak istighfar dan bertaubat dari segala kemaksiatan dan dosa. Dikarenakan dosa dan maksiat yang dilakukan akan bisa menghambat rezeki yang akan diturunkan Allah kepadanya, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Sesungguhnya seorang hamba ditahan dari mendapatkan rezeki dikarenakan dosa yang dibuatnya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Wallahu A’lam
INVESTASI
SEDEKAH
Apakah boleh kita memberikan sesuatu
namun berharap agar mendapatkan balasan lebih banyak? Bolehkah kita bersedekah
Rp 10.000 dan berharap agar mendapatkan 10 milyar? Bukankah ini seperti gambling?
“Dan
janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” (Qs. Al-Muddatstsir: 6)
Ibnu ‘Abbas radhiallaahu ‘anhu berkata:
“Janganlah engkau memberikan suatu pemberian dan ingin mencari (balasan) yang lebih baik dari pemberiannya itu.”
“Janganlah engkau memberikan suatu pemberian dan ingin mencari (balasan) yang lebih baik dari pemberiannya itu.”
‘Ikrimah rahimahullah berkata:
“Jangan engkau memberi sesuatu (dengan tujuan) ingin diberi yang lebih banyak.”
“Jangan engkau memberi sesuatu (dengan tujuan) ingin diberi yang lebih banyak.”
Apakah dalil-dalil yang ada tentang
keutamaan sedekah yang banyak sekali itu membolehkan kita untuk bersedekah
namun berharap agar mendapatkan balasan yang banyak di dunia ini? Seperti
bersedekah agar sehat, agar selamat, agar kaya, dan lain-lain.
Saya masih berpikir kok ya ada ya
orang yang pengen cepat kaya tapi tanpa mengeluarkan energi yang banyak?
Setiap
aktifitas dan amal anda sebagai seorang muslim, seyogyanya ditujukan hanya
untuk mencapai keridhaan Allah Ta’ala. Dengan cara inilah anda benar-benar
dapat mengaplikasikan ubudiyah (penghambaan) diri kepada Allah.
“Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Qs. Adz Zariyaat: 56)
“Atau siapakah yang menciptakan (manusia dari
permulaannya), kemudian mengulanginya (lagi), dan siapa (pula) yang memberikan
rezeki kepadamu dari langit dan bumi Apakah di samping Allah ada ilah (yang
lain)?” (Qs. An-Naml: 65)
“Katakanlah:
‘Dia-lah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati.’ (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.” (Qs. Al-Mulk: 23)
Saudaraku! perkenankan saya bertanya:
Anda pernah bekerja di suatu
perusahaan atau istansi pemerintah? Seberapa besarkah penghargaan istansi atau
perusahaan terhadap jasa yang anda berikan untuk mereka?
Setiap hari mereka membeli 1/3 dari
waktu, tenaga, pikiran dan berbagai potensi anda. Menurut anda, apakah gaji dan
imbalan yang anda terima telah setimpal dengan jasa yang anda berikan kepada
mereka?
Saya yakin, anda merasa puas dan
setimpal, karenanya anda mempertahankan pekerjaan anda. Dan bahkan mungkin anda
telah membuat planing untuk mengabdikan jasa dan potensi anda kepada jabatan
anda hingga umur pensiun. Bukankah demikian saudarku?
Nah, coba bandingkan pengorbanan
pengabdian anda kepada profesi dan jabatan anda dengan pengorbanan anda kepada
Allah
Ta’ala. Bagaimanakah hasilnya saudaraku?
Ta’ala. Bagaimanakah hasilnya saudaraku?
Sekali lagi perkenankan saya
bertanya:
Mungkinkah anda dapat menikmati
berbagai fasilitas yang anda dapatkan bila Allah mencabut satu kenikmatan-Nya
dari anda? Mungkinkah anda kuasa merasakan kebahagiaan mendapatkan gaji yang
besar, fasilitas mewah bila Allah mencabut nikmat udara, atau bahkan nikmat
buang air besar dari anda?
Padahal Allah Ta’ala telah
menyiapkan kenikmatan lain yang tiada banding buat anda bila anda benar-benar
mengabdi kepada-Nya selama hidup di dunia. Allah Ta’ala berfirman pada hadits
qudsi:
“Aku
telah siapkan untuk hamba-hambaku yang shaleh kenimmatan yang tiada mata yang
pernah menyaksikannya, juga tiada telinga yang pernah mendengarnya, dan tiada
pernah terbetik dalam hati manusia. ” Bila kalian mau, silahkan baca firman
Allah: “Tiada seorangpun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu
(bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan
terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”
(Muttafaqun ‘alaih)
Setelah anda membandingkan dua hal
di atas, masih tersisakah anggapan bahwa pengabdian diri kepada Allah secara
utuh adalah suatu hal yang memberatkan?
“Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan
janganlah kamu turuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh
yang nyata bagimu.” (Qs. Al Baqarah: 208)
Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini
dengan berkata:
“Allah Ta’ala memerintahkan
hamba-hamba-Nya yang beriman kepada-Nya dan percaya dengan para utusan-Nya,
agar dengan sekuat daya dan upaya mereka mengamalkan seluruh simbol-simbul
Islam, dan syari’atnya. Hendaknya mereka mengamalkan seluruh perintah dan
meninggalkan seluruh larangan.” (Tafsir
Ibnu Katsir 1/565)
Pendek kata: bukti keimanan anda
kepada Allah Ta’ala ialah anda menjadikan kehidupan anda sebagai ladang untuk
menyemai benih-benih kehidupan akhirat, bukan sebaliknya. Dengan cara inilah
anda menjadi umat Islam sejati dan berhasil menggapai kejayaan dalam hidup.
“Berilah
umatku kabar gembira berupa kebahagiaan, kemuliaan dan kejayaan di dunia. Ini
akan terwujud selama mereka tidak mengais kehidupan dunai dengan sara amalan
akhirat. Barang siapa mengais kehidupan dunia dengan sarana amalan akhirat,
niscaya kelak di akhirat ia tidak memiliki bagian (dari keberuntungan).” (Riwayat Ahmad, Al Hakim dan Al Baihaqi)
Tidak perlu kawatir, bila anda
mengabdikan diri anda; pikiran, tenaga, waktu dan lainnya untuk Allah, niscaya
Allah-pun membalas dengan setimpal. Jaminan hidup bahagian di dunia dan akhirat
benar-benar terwujud untuk anda:
“Barangsiapa
yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya
dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya
sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagianpun di
akhirat.” (Qs. As Syura’: 20)
“Barang
siapa yang beramal sholeh, baik lelaki maupun perempuan sedangkan ia beriman,
maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan.”
(Qs. An-Nahl: 97)
“Barang
siapa yang pikirannya terpusat pada urusan akhirat, niscaya Allah akan
menyatukan urusannya, menjadikan kekayaannya ada pada hatinya, dan kekayaan
dunia akan menghampirinya dengan tunduk lagi mudah. Sedangkan barang siapa yang
pikirannya terpusat pada urusan dunia, niscaya Allah akan mencerai-beraikan
urusannya, kemiskinan selalu berada di depan matanya, dan tidak ada dari
kekayaan dunia yang menghampirinya selain yang telah Allah tuliskan untuknya.” (Riwayat Al hannad dalam kitab Az Zuhud dan oleh Al Albani dinyatakan sebagai hadits
shahih)
Nuruddin bin Abdul Hadi As-Sindy
mengomentari hadits ini dengan berkata:
“Kesimpulannya, setiap rizqi yang
telah dituliskan untuk seorang hamba pasti akan datang menghampirinya. Hanya
saja barang siapa yang berjuang membangun kehidupan akhirat, niscaya rizkinya
akan menghampirinya dengan begitu mudah. Sedangkan orang yang hanya berpikir
mengejar keuntungan dunia, rizkinya hanya akan ia peroleh dengan penuh susah
payah. Dengan demikian orang yang berjuang membina kehidupan akhirat berhasil
menggabung keuntungan dunia dan akhirat. Sedangkan tujuan utama dari mencari
rizki adalah untuk dapat hidup dengan nyaman, dan itu benar-benar berhasil
digapai oleh pejuang akhirat. Sedangkan pejuang dunia ditimpa kerugian di dunia
dan akhirat, karena selama di dunia ia senantiasa menanggung kesusahan dalam
upaya mencari harta. Bila demikian adanya, maka apalah gunanya harta benda bila
pemiliknya tidak pernah merasakan kenyamanan?”
Terlebih dari itu, ternyata Allah
Ta’ala tidak pernah memisahkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Bahkan
sebaliknya, kedua kehidupan ini saling berkaitan, dengan prioritas yang
berbeda. Kehidupan akhirat adalah primer dan menjadi akhir dari perjuangan
hidup di dunia. Sedangkan kehidupan dunia ialah ladang penyemaian benih-benih
kehidupan akhirat.
“Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Qs. Al Qashash: 77)
Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berpetuah:
“Jadilah engkau bagian dari pejuang
akhirat, dan janganlah engkau menjadi bagian dari pejuang dunia, karena
sesungguhnya sekarang adalah hari untuk beramal dan tidak ada hisab
(perhitungan), sedangkan esok adalah hari hisab (perhitungan) dan tidak ada amalan.”
Karenanya, sangat tidak etis bila
anda motifasi anda dalam menebar benih akhirat ialah untuk mendapatkan
keuntungan dunia. Relah anda menebar beni padi guna mendapatkan jerami?
Mungkinkah suatu saat anda membangun perusahaan hanya untuk mendapatkan limbah?
Adapun berbagai janji Allah Ta’ala
dan Rasul-Nya berupa kehidupan dunia yang layak dan keuntungan duniawi lainnya
hanyalah sebatas motivasi tambahan. Misalnya hadits berikut:
“Tidaklah shodakoh itu akan mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba dengan memaafkan melainkan kemuliaan, dan tidaklah seseorang bertawadhu’/merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim)
Demikian juga halnya dengan hadits
berikut:
“Barang
siapa yang senang untuk dilapangkan (atau diberkahi) rizkinya, atau ditunda
(dipanjangkan) umurnya, maka hendaknya ia bersilaturrahim.” (Muttafaqun ‘alaih)
Berbagai keuntungan itu hanyalah
keuntungan sekunder dan bukan primer, karenanya tidak sepantasnya anda
menjadikannya sebagai satu-satunya tujuan dan motivasi atau menjadikannya
sebagai motifasi utama dalam beramal.
Terlebih-lebih rizki dan berbagai
kejadian dunia telah Allah tentukan dan takdirkan,. Betapa ruginya diri anda
bila amal ibadah anda hanya dimaksudkan untuk mendapatkan sesuatu yang pasti
anda dapatkan:
“Wahai
umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik
dalam mencari rizqi, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati,
hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rizqinya, walaupun telat
datangnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam
mencari rizqi. Tempuhlah jalan-jalan mencari rizki yang halal dan tinggalkan
yang haram.” (Riwayat Ibnu Majah, Abdurrazzaq,
Ibnu Hibban, dan Al Hakim, serta dishahihkan oleh Al Albani)
Saudaraku! Coba anda renungkan
perihal orang-orang kafir yang berlaku jujur, dermawan, penyantun, dan lainnya.
Mereka melakukan itu semua hanyalah untuk mendapatkan keuntungan dunia belaka.
Karenanya, kelak di hari qiyamat, mereka hanya bisa menggigit jari, menyesali
jasa baik mereka yang sirna bak debu yang berterbangan.
“Barangsiapa
menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada
mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu
tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat,
kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di
dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs. Huud 15-16)
Pada ayat lain Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Kami
hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan)
debu yang berterbangan.” (Qs. Al-Furqan: 23)
Karenanya kelak di hari qiyamat,
akan ada orang-orang yang semasa hidup di dunia banyak bersedekah dan berinfak,
akan tetapi karena motivasinya hanya ingin mendapatkan keuntungan dunia berupa
kedudukan sosial belaka, maka ia termasuk orang-orang yang pertama kali
dimasukkan ke dalam neraka. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dan
lainnya.
Saya yakin anda tidak mendambakan
keadaan yang demikian itu.
Saudaraku! semua itu menimpa mereka, karena mereka mengamalkan amalan tersebut hanya untuk mencari keuntungan dunia semata.
Saudaraku! semua itu menimpa mereka, karena mereka mengamalkan amalan tersebut hanya untuk mencari keuntungan dunia semata.
Saudaraku! singkat kata, tidak salah
bila anda mengharapkan balasan dan keuntungan dunia atas amal ibadah anda, akan
tetapi tidak benar bila anda menjadikannya sebagai motofasi utama atau
satu-satunya harapan.
Semoga jawaban ringkas dan sederhana
ini bermanfaat, dan semoga Allah melimpahkan istiqomah kepada kita semua.
Wallahu a’alam bisshawab
TA'ADUD
AZ ZAUJAT ( POLIGAMI )
Prolog
Tidak diragukan lagi, Allah menurunkan syari'at bagi umat manusia, tidak lain hanya untuk kemaslahatan dan kebaikan umatnya. Begitu pula dengan Rasulullah Saw. beliau tidak akan berkata melainkan setelah diwahyukan oleh Allah kepadanya, sehingga hawa nafsu tidak ikut campur dalam setiap kebijakan beliau1.
Apatah daya, terkadang manusia membelot dan membangkang syari'at yang telah ditetapkan oleh agama Islam. Mereka mencoba merasionalisasikan pembelotannya, agar banyak yang merasa kagum dan setuju kepada hasil analisa yang dipaksakannya. Sikap ini telah lama muncul di negeri kita sendiri, salah satunya adalah mereka yang mengatasnamakan Islam liberal.
Berlepas dari apa tujuan mereka melakukan pengkaburan dalam memahami syari'at, yang pasti pemahaman ini sudah banyak meracuni kaum muslimin sempalan. Bahkan sampai-sampai para pembelot ini mereka anggap sebagai para alim, yang harus diikuti dan diperjuangkan setiap fatwanya. Padahal, "Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat". Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)"2.
Diantara banyaknya cara yang digunakan oleh para pembelot syari'at ini, saya hanya akan membahas dua permasalahan yang sering mereka munculkan di setiap diskusi ataupun buku mereka. Dalam makalah ini saya akan membahas seputar Ta'addud Az Zaujât (Poligini) dilengkapi syubhat-syubhat yang sering mereka lontarkan dalam masalah ini, juga saya akan membahas tentang Nikah beda Agama yang mereka anggap sikap ini adalah aplikasi dari persamaan agama-agama.
Ta'addud Az Zaujât
Ta'addud Az Zaujât telah lama dikenal oleh umat manusia, baik oleh pihak yang membolehkan ataupun dari pihak yang tidak membolehkannya. Pertentangan ini muncul karena manusia tidak paham akan hikmah (Maqâshid) yang terkandung dalam pensyari'atannya, juga karena mereka mendahulukan hawa nafsu dari pada akalnya. Sehingga tidak sedikit ketika kata Ta'addud Az Zaujât dimunculkan ke permukaan, mereka malah mendahulukan prasangka buruk. Seakan-akan Ta'addud Az Zaujât lebih kejam dari pada isu teroris yang sedang hangat pada masa ini, padahal Ta'addud Az Zaujât telah ada dan dipraktikan sebelum adanya risalah kenabian.
I. Ta'addud Az Zaujât pra-Risalah Saw
Ta'addud Az Zaujât sudah dilakukan ratusan tahun sebelum datangnya risalah kenabian Muhammad Saw:
1. Yahudi. Dalam ajaran Yahudi dengan kitab Tauratnya (Perjanjian Lama), terdapat banyak disebutkan para pemimpin dahulu bahkan para Nabi melakukan Ta'addud Az Zaujât. Dalam kitab Tauret disebutkan secara terang-terangan akan pembolehan Ta'addud Az Zaujât, sebut saja Nabi Sulaiman dan Nabi Daud diterangkan memiliki banyak istri3.
2. Nasrani. Begitu pula dengan ajaran Nasrani menyetujui Ta'addud Az Zaujât, karena Nabi Isa As berkata "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya"4.
3. Jaman Jahiliyyah. Pada masa inipun Ta'addud Az Zaujât malah semakin banyak orang melakukannya, karena mereka lebih mendahulukan hawa nafsu dari pada syari'at ataupun akalnya. Sebab itu ketika risalah kenabian Muhammad Saw mulai diangkat, maka Islam membatasi hawa nafsu umat manusia dengan cara membatasi Ta'addud Az Zaujât hanya sampai empat istri.
Dari rangkaian sejarah ini, kita bisa memiliki kesimpulan bahwa Ta'addud Az Zaujât sesuai dengan fitrah manusia dan merupakan kebutuhan yang dlaruri. Tapi, para pembelot (Munharif) tetap saja akan mencari alasan agar bisa membenarkan perbuatannya.
II. Syubuhât terhadap Ta'addud Az Zaujât
Sebagaimana telah disebutkan di atas, wacana Ta'addud Az Zaujât ini telah membuat hati-hati orang yang lemah imannya menjadi gamang dan malah berbalik menolak. Penolakan ini baik itu muncul dari kaum laki-laki ataupun dari wanita, bahkan kaum wanita sering mengatakan bahwa mereka menolak Ta'addud Az Zaujât karena mereka lebih mengenal sifat kewanitaanya dari pada laki-laki yang hanya ingin mengumbar hawa nafsu saja. Padahal, Allahlah yang menciptakan wanita, Dia lebih mengetahui kepribadian mereka sehingga syari'at Ta'addud Az Zaujât tidak akan sampai memadlaratkan mereka5 "... Katakanlah:"Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah..."6.
Disini saya akan menyebutkan sebagian syubuhât yang ditujukan para pembelot terhadap Ta'addud Az Zaujât:
1. Ta'addud Az Zauât adalah proses dehumanisasi perempuan:
Dalam menjustifikasi pembelotannya, mereka suka berkata "Dari cara pandang budaya memang menjadi jelas bahwa poligami merupakan proses dehumanisasi perempuan". Dari perkataan ini mereka telah jelas mengatakan bahwa Ta'addud Az Zaujât tidak memanusiakan wanita.
Alasan ini bermula karena mereka tidak paham maqâsid dari Ta'addud Az Zaujât, dan meskipun mereka paham mereka sengaja menutupinya dengan memakai cara pandang budaya dan kepatutan umum (public decency). Padahal public decency di setiap tempat berbeda-beda pandangannya, dan ini satu sama lain akan mengalami pertentangan karena yang membuat adalah manusia. Contohnya, di Amerika menurut public decencynya mengakui bahwa arak hukumnya halal, karena rakyat Amerika menyukainya, apakah umat Islam mesti mengikuti pengakuan seperti ini?!. Mereka seakan-akan memaksakan syari'at mesti mengikuti public decency. Juga mereka tidak menyadari bahwa Islam memiliki public decency tersendiri, yang memiliki sandaran Al Qur'an dan Sunnah yang tidak akan tersentuh dengan subjektivitas.
2. Siapapun tidak akan bisa berbuat adil:
Alasan ke-dua ini mereka ambil dari surat An Nisa ayat 3 dan ayat 129. Meskipun mereka mengambil alasan dari ayat Al Qur'an, mereka tetap lemah alasannya. Karena mereka tidak memahami makna ayat yang disebutkan tadi.
Memang, dalam surat An Nisa ayat ke-3 Allah berfirman "...Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja...". Dan dalam ayat ke 129 Allahpun berfirman "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian...". Namun maksud dari kedua ayat ini bahwa Islam mewajibkan suami agar bersikap adil kepada istri-istrinya dalam hal memberikan nafkah lahir, akan tetapi berbuat adil diantara para istri dalam hal cinta dan kasih sayang, suami tidak bisa melakukannya7.
Meskipun Allah berfirman bahwa manusia tidak akan bisa berbuat adil dalam masalah hati, tapi Allah menggantikannya agar manusia bisa berbuat adil kepada istri-istrinya dalam perkara dzahir. Dan ini pasti akan bisa dilaksanakan, karena Allah tidak akan memerintahkan suatu syari'at jika manusia tidak mampu mengembannya8. Bahkan dalam ayat-ayatnya yang lain, Allah memerintahkan agar manusia senantiasa berbuat adil9.
3. Nabi Muhammad Saw Melarang Ta'addud Az Zaujât:
Tuduhan mereka ini sekarang diambil dari Sunnah Rasul, mereka berkata "Teks-teks hadis poligami sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan, dan pengembalian pada prinsip keadilan. Dari sudut ini, pernyataan "poligami itu sunah" sangat bertentangan dengan apa yang disampaikan Nabi. Apalagi dengan melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat tegas menolak poligami Ali bin Abi Thalib ra. Anehnya, teks hadis ini jarang dimunculkan kalangan propoligami. Padahal, teks ini diriwayatkan para ulama hadis terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.
Nabi Saw marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad Saw, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib ra. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga. (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026)".
Hadits yang mereka sebutkan ini tidak menunjukkan bahwa Ta'addud Az Zaujât itu dilarang, karena pelarangan Nabi ini ditujukan kepada Bani Hasyim yang hendak menikahkan putrinya kepada Ali Ibn Abi thalib. Sedangkan wanita yang minta dinikahi Ali tersebut adalah putri dari musuh Allah, inilah yang menyebabkan Nabi tidak rela jika putrinya disatukan dengan anak dari musuh Allah. Juga, hadits ini menegaskan bahwa mertua berhak melarang menantunya yang akan Ta'addud Az Zaujât, meskipun tetap keputusan ini tergantung pilihan menantunya.
4. Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami:
Berikutnya, alasan yang sering mereka suarakan baik di berbagai web site yang mereka buat, ataupun di media elektronik lainnya, mereka berpendapat "Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi Saw bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid ra, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari kalkulasi ini, sebenarnya tidak beralasan pernyataan "poligami itu sunah".
Saya katakan, yang mesti kita lihat dari sirah nabi ini bukanlah kalkulasi masa nabi bermonogami, tetapi yang dilihat adalah nabi telah melaksanakan anjuran Allah untuk melaksanakan Ta'addud Az Zaujât. Disamping itu Ta'addud Az Zaujât hukumnya mubah (boleh), sehingga Nabi tidak serta merta melaksanakannya, sampai Allah menentukan Nabi agar menikahi perempuan yang lain.
III. Beberapa kemungkinan yang bisa di hadapi para suami
Setelah bersama mempelajari beberapa alasan yang dilontarkan mereka di dalam menolak syari'at Allah, kita bisa mengambil ibrah dari banyak fenomena yang terjadi, dimana fenomena ini mendorong adanya Ta'addud Az Zaujât. Fenomena itu diantaranya:
1. Istri terserang penyakit. Jika sampai istri terserang penyakit yang kronis, sehingga dia tidak bisa melaksanakan tugas sebagai ibu rumah tangganya, mendidik anak-anak dan memberikan hak-hak kepada suami. Apakah layak membiarkan suami terkatung-katung haknya?.
2. Istri mandul. Begitu juga bagaimana jika memiliki istri yang tidak bisa memberikan penerus (mandul), meskipun pengobatan sudah dijalani dengan berbagai cara. Pada suatu masa, perjuangan ini akan berakhir dengan kebosanan, sedangkan keinginan memiliki anak tidak akan hilang. Apakah dengan mengangkat anak angkat lebih baik dari pada memiliki anak dari darah daging sendiri, meskipun itu bukan dari rahim istri pertama?.
3. Wanita akan mengalami masa menopause. Dari salah satu fitrah wanita mereka akan mengalami masa menopause, dan masa ini sangat cepat datangnya yaitu di akhir umur 45 tahun. Setelah masa ini suami akan merasakan kehilangan sebagian haknya sebagai suami, padahal "nafkah batin itu yang menjadi jalan pemuasan nafkah zahir"10. Apakah sang istri akan rela jika suaminya menjadi "Om-Om Senang", ataukah membiarkan suami dan keluarga selamat dari api neraka dengan membiarkannya memiliki istri lain?.
4. Jumlah wanita lebih banyak. Nabi Muhammad Saw pernah bersabda tentang ciri-ciri dekatnya kiamat salah satunya adalah: "...dan berkurangnya laki-laki serta wanita bertambah, sampai 50 wanita berbanding satu orang (laki-laki)..."11. Juga sebagaimana ucapan Ibn Abbas kepada Sa'id Ibn Jabir "Menikahlah, karena kebaikan umat ini adalah banyaknya jumlah wanita"12. Sabda Nabi dan ucapan Salafunâ Ash Shâlih ini memang terjadi pada masa ini, dimana jumlah penduduk wanita lebih banyak dibandingkan jumlah laki-laki. Apakah lebih baik menelantarkan kaum wanita yang belum menikah tanpa perlindungan dan pendidikan suami, sehingga pada jaman ini sudah banyak para wanita tuna susila?.
A.IV. Membela Syari'at
Dari pelajaran yang telah kita renungkan mengenai masalah Ta'addud Az Zaujât ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Ta'addud Az Zaujât sesuai dengan fitrah manusia. Serta itu merupakan hak seorang suami yang telah Allah tetapkan dalam Al qur'an, dan kaum wanita tidak bisa beralasan bahwa dengan adanya Ta'addud Az Zaujât hak-hak mereka telah diperkosa. Padahal sebaliknya, kaum laki-lakilah yang diperkosa haknya jika hal ini dilarang. Disamping itu, memang merupakan syari'at Allah bagi umatnya. Sebagaimana firman-Nya "... maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja..."13.
Maka selayaknya kita (wanita dan laki-laki) membela syari'at yang telah ditetapkan agama Islam, karena para ulama Islam telah menetapkan murtad bagi orang yang menolak atau membenci sesuatu yang datang dari Kitabullah. Dan mereka yang menolak Ta'addud Az Zaujât, atau yang berpendapat bahwa Ta'addud Az Zaujât merupakan tindakan mendzalimi dan menganiyaya wanita, atau mereka yang membencinya. Maka tidak diragukan lagi kekafiran dan kemurtadan mereka dari agama, sebagaimana firman Allah Swt "Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (al-Qur'an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka"14.
A.V. Mengikat Ta'adud Az Zaujât
Syari'at yang ditetapkan oleh Allah Swt dan Rasulullah Saw bisa berdampak negatif, jika dalam menjalankannya lebih mengedepankan hawa nafsu. Karenanya di dalam pensyari'atan pasti ada syarat yang mesti dijalankan juga. Begitupula dalam pensyari'atan Ta'addud Az Zaujât terdapat berbagai syarat agar para kaum lelaki tidak salah dalam bertindak, misalkan mereka bertujuan hanya untuk memenuhi syahwatnya. Syarat-syarat melaksanakan Ta'addud Az Zaujât:15
1. Suami mampu berbuat adil diantara istri-istrinya: sebagaimana firman-Nya "Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja..."
2. Mampu menghadapi segala fitnah dari istri-istri dan tidak menghilangkan hak-hak Allah: sebab Allah telah berfirman "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka..."16
3. Mampu memberi pelayanan yang baik kepada istri-istri: agar tidak berdampak keburukan dan kerusakan terhadap istri-istri, sedangkan Allah tidak menyukai kerusakan. Nabipun pernah bersabda "Wahai para pemuda, barangsiapa yang sudah mampu untuk bâ'ah (jima'), maka menikahlah"17.
4. Mampu memberikan nafkah kepada istri-istri
Epilog
Para Munharif di setiap masa pasti akan ada, bagaimanapun mereka melancarkan misinya, tetap kebenaran akan selamanya terdepan. Maka, tugas kita kali ini adalah menghidupkan kebenaran agar kebathilan tenggelam. "Dan katakanlah:"Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap"18.
HUKUM MEROKOK
Sejak
awal abad XI Hijriyah atau sekitar empat ratus tahun yang lalu, rokok dikenal
dan membudaya di berbagai belahan dunia Islam. Sejak itulah sampai sekarang
hukum rokok gencar dibahas oleh para ulama di berbagai negeri, baik secara
kolektif maupun pribadi. Perbedaan pendapat di antara mereka mengenai hukum
rokok tidak dapat dihindari dan berakhir kontroversi. Itulah keragaman pendapat
yang merupakan fatwa-fatwa yang selama ini telah banyak terbukukan. Sebagian di
antara mereka menfatwakan mubah alias boleh, sebagian berfatwa makruh,
sedangkan sebagian lainnya lebih cenderung menfatwakan haram.
Pada
dasarnya terdapat nash bersifat umum yang menjadi patokan hukum, yakni larangan
melakukan segala sesuatu yang dapat membawa kerusakan, kemudaratan atau
kemafsadatan sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai
berikut:
Al-Qur’an :
Dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
(Al-Baqarah: 195)
As-Sunnah :
Dari Ibnu ‘Abbas ra, ia berkata ;
Rasulullah SAW. bersabda: Tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri
sendiri), dan tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri orang lain). (HR.
Ibnu Majah, No.2331)
Bertolak
dari dua nash di atas, ulama’ sepakat mengenai segala sesuatu yang membawa
mudarat adalah haram. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah merokok
itu membawa mudarat ataukah tidak, dan terdapat pula manfaat ataukah tidak.
Dalam hal ini tercetus persepsi yang berbeda dalam meneliti dan mencermati
substansi rokok dari aspek kemaslahatan dan kemafsadatan. Perbedaan persepsi
ini merupakan babak baru munculnya beberapa pendapat mengenai hukum merokok
dengan berbagai argumennya.
Seandainya
semua sepakat, bahwa merokok tidak membawa mudarat atau membawa mudarat tetapi
relatif kecil, maka semua akan sepakat dengan hukum mubah atau makruh. Demikian
pula seandainya semuanya sepakat, bahwa merokok membawa mudarat besar, maka
akan sepakat pula dengan hukum haram.
Beberapa pendapat itu serta
argumennya dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam hukum.
Pertama ; hukum merokok adalah mubah
atau boleh karena rokok dipandang tidak membawa mudarat. Secara tegas dapat
dinyatakan, bahwa hakikat rokok bukanlah benda yang memabukkan.
Kedua ; hukum merokok adalah makruh
karena rokok membawa mudarat relatif kecil yang tidak signifikan untuk
dijadikan dasar hukum haram.
Ketiga; hukum merokok adalah haram
karena rokok secara mutlak dipandang membawa banyak mudarat. Berdasarkan
informasi mengenai hasil penelitian medis, bahwa rokok dapat menyebabkan
berbagai macam penyakit dalam, seperti kanker, paru-paru, jantung dan lainnya
setelah sekian lama membiasakannya.
Tiga pendapat di atas dapat berlaku
secara general, dalam arti mubah, makruh dan haram itu bagi siapa pun orangnya.
Namun bisa jadi tiga macam hukum tersebut berlaku secara personal, dengan
pengertian setiap person akan terkena hukum yang berbeda sesuai dengan apa yang
diakibatkannya, baik terkait kondisi personnya atau kwantitas yang
dikonsumsinya. Tiga tingkatan hukum merokok tersebut, baik bersifat general
maupun personal terangkum dalam paparan panjang ‘Abdur Rahman ibn Muhammad ibn
Husain ibn ‘Umar Ba’alawiy di dalam Bughyatul Mustarsyidin (hal.260)
yang sepotong teksnya sebagai berikut:
Tidak ada hadits mengenai tembakau
dan tidak ada atsar (ucapan dan tindakan) dari seorang pun di antara para
shahabat Nabi SAW. … Jelasnya, jika terdapat unsur-unsur yang membawa mudarat
bagi seseorang pada akal atau badannya, maka hukumnya adalah haram sebagaimana
madu itu haram bagi orang yang sedang sakit demam, dan lumpur itu haram bila
membawa mudarat bagi seseorang. Namun kadangkala terdapat unsur-unsur yang
mubah tetapi berubah menjadi sunnah sebagaimana bila sesuatu yang mubah itu
dimaksudkan untuk pengobatan berdasarkan keterangan terpercaya atau pengalaman
dirinya bahwa sesuatu itu dapat menjadi obat untuk penyakit yang diderita
sebagaimana berobat dengan benda najis selain khamr. Sekiranya terbebas dari
unsur-unsur haram dan mubah, maka hukumnya makruh karena bila terdapat
unsur-unsur yang bertolak belakang dengan unsur-unsur haram itu dapat difahami
makruh hukumnya.
Senada dengan sepotong paparan di atas, apa yang telah diuraikan oleh Mahmud Syaltut di dalam Al-Fatawa (hal.383-384) dengan sepenggal teks sebagai berikut:
Senada dengan sepotong paparan di atas, apa yang telah diuraikan oleh Mahmud Syaltut di dalam Al-Fatawa (hal.383-384) dengan sepenggal teks sebagai berikut:
Tentang tembakau sebagian ulama menghukumi halal
karena memandang bahwasanya tembakau tidaklah memabukkan, dan hakikatnya
bukanlah benda yang memabukkan, disamping itu juga tidak membawa mudarat bagi
setiap orang yang mengkonsumsi. …Pada dasarnya semisal tembakau adalah halal,
tetapi bisa jadi haram bagi orang yang memungkinkan terkena mudarat dan dampak
negatifnya. Sedangkan sebagian ulama’ lainnya menghukumi haram atau makruh
karena memandang tembakau dapat mengurangi kesehatan, nafsu makan, dan
menyebabkan organ-organ penting terjadi infeksi serta kurang stabil.
Demikian pula apa yang telah
dijelaskan oleh Prof Dr Wahbah Az-Zuhailiy di dalam Al-Fiqh al-Islamiy wa
Adillatuh (Cet. III, Jilid 6, hal. 166-167) dengan sepotong teks, sebagai
berikut:
Masalah kopi dan rokok; penyusun kitab Al-’Ubab dari madzhab Asy-Syafi’i ditanya mengenai kopi, lalu ia menjawab: (Kopi itu sarana) hukum, setiap sarana itu sesuai dengan tujuannnya. Jika sarana itu dimaksudkan untuk ibadah maka menjadi ibadah, untuk yang mubah maka menjadi mubah, untuk yang makruh maka menjadi makruh, atau haram maka menjadi haram. Hal ini dikuatkan oleh sebagian ulama’ dari madzhab Hanbaliy terkait penetapan tingkatan hukum ini. Syaikh Mar’i ibn Yusuf dari madzhab Hanbaliy, penyusun kitab Ghayah al-Muntaha mengatakan : Jawaban tersebut mengarah pada rokok dan kopi itu hukumnya mubah, tetapi bagi orang yang santun lebih utama meninggalkan keduanya.
Sangat
menarik bila tiga tingkatan hukum merokok sebagaimana di atas ditelusuri lebih
cermat. Kiranya ada benang ruwet dan rumit yang dapat diurai dalam perbedaan
pendapat yang terasa semakin sengit mengenai hukum merokok. Benang ruwet dan
rumit itu adalah beberapa pandangan kontradiktif dalam menetapkan ‘illah atau
alasan hukum yang di antaranya akan diulas dalam beberapa bagian.
Pertama;
sebagian besar ulama’ terdahulu berpandangan, bahwa merokok itu mubah atau
makruh. Mereka pada masa itu lebih bertendensi pada bukti, bahwa merokok tidak
membawa mudarat, atau membawa mudarat tetapi relatif kecil. Barangkali dalam
gambaran kita sekarang, bahwa kemudaratan merokok dapat pula dinyaakan tidak
lebih besar dari kemudaratan durian yang jelas berkadar kolesterol tinggi.
Betapa tidak, sepuluh tahun lebih seseorang merokok dalam setiap hari merokok
belum tentu menderita penyakit akibat merokok. Sedangkan selama tiga bulan saja
seseorang dalam setiap hari makan durian, kemungkinan besar dia akan terjangkit
penyakit berat.
Kedua;
berbeda dengan pandangan sebagian besar ulama’ terdahulu, pandangan sebagian
ulama sekarang yang cenderung mengharamkan merokok karena lebih bertendensi
pada informasi (bukan bukti) mengenai hasil penelitian medis yang sangat detail
dalam menemukan sekecil apa pun kemudaratan yang kemudian terkesan menjadi
lebih besar. Apabila karakter penelitian medis semacam ini kurang dicermati,
kemudaratan merokok akan cenderung dipahami jauh lebih besar dari apa yang
sebenarnya. Selanjutnya, kemudaratan yang sebenarnya kecil dan terkesan jauh
lebih besar itu (hanya dalam bayangan) dijadikan dasar untuk menetapkan hukum
haram. Padahal, kemudaratan yang relatif kecil itu seharusnya dijadikan dasar
untuk menetapkan hukum makruh. Hal seperti ini kemungkinan dapat terjadi
khususnya dalam membahas dan menetapkan hukum merokok. Tidakkah banyak pula
makanan dan minuman yang dinyatakan halal, ternyata secara medis dipandang
tidak steril untuk dikonsumsi. Mungkinkah setiap makanan dan minuman yang
dinyatakan tidak steril itu kemudian dihukumi haram, ataukah harus dicermati
seberapa besar kemudaratannya, kemudian ditentukan mubah, makruh ataukah haram
hukumnya.
Ketiga;
hukum merokok itu bisa jadi bersifat relatif dan seimbang dengan apa yang
diakibatkannya mengingat hukum itu berporos pada ‘illah yang
mendasarinya. Dengan demikian, pada satu sisi dapat dipahami bahwa merokok itu
haram bagi orang tertentu yang dimungkinkan dapat terkena mudaratnya. Akan
tetapi merokok itu mubah atau makruh bagi orang tertentu yang tidak terkena
mudaratnya atau terkena mudaratnya tetapi kadarnya kecil.
Namun
kami cenderung dengan yang keempat; karena merokok itu membawa mudarat relatif
kecil dengan hukum makruh, kemudian di balik kemudaratan itu terdapat
kemaslahatan yang lebih besar, maka hukum makruh itu dapat berubah menjadi
mubah. Adapun bentuk kemaslahatan itu seperti membangkitkan semangat berpikir
dan bekerja sebagaimana biasa dirasakan oleh para perokok. Kami kira Hal ini
selama tidak berlebihan yang dapat membawa mudarat cukup besar. Apa pun yang
dikonsumsi secara berlebihan dan jika membawa mudarat cukup besar, maka haram
hukumnya. Berbeda dengan benda yang secara jelas memabukkan, hukumnya tetap
haram meskipun terdapat manfaat apa pun bentuknya karena kemudaratannya tentu
lebih besar dari manfaatnya.
Onani
(Masturbasi)
Kadang-kadang darah pemuda
bergelora, kemudian dia menggunakan tangannya untuk mengeluarkan mani supaya
alat kelaminnya itu menjadi tenang dan darahnya yang bergelora itu menurun.
Cara semacam ini sekarang dikenal dengan nama onani (bahasa Arabnya: istimta'
atau adatus sirriyah).
Kebanyakan para ulama mengharamkan
perbuatan tersebut, di antaranya Imam Malik. Beliau memakai dalil ayat yang
berbunyi:
"Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali
terhadap isterinya atau hamba sahayanya, mereka yang demikian itu tidak
tercela. Tetapi barangsiapa mau selain yang demikian itu, maka mereka itu
adalah orang-orang yang melewati batas." (Al-Mu'minun: 5-7)
Sedang orang yang onani adalah
melepaskan syahwatnya itu bukan pada tempatnya.
Sedang Ahmad bin Hanbal berpendapat,
bahwa mani adalah barang kelebihan. Oleh karena itu boleh dikeluarkan, seperti
memotong daging lebih.
Pendapat ini diperkuat oleh Ibnu
Hazm. Tetapi ulama-ulama Hanafiah memberikan Batas kebolehannya itu dalam dua
perkara:
1.
Karena takut berbuat zina.
2.
Karena tidak mampu kawin.
Pendapat Imam Ahmad ini memungkinkan
untuk kita ambil dalam keadaan gharizah itu memuncak dan dikawatirkan akan
jatuh ke dalam haram. Misalnya seorang pemuda yang sedang belajar atau bekerja
di tempat lain yang jauh dari negerinya, sedang pengaruh-pengaruh di hadapannya
terlalu kuat dan dia kawatir akan berbuat zina. Karena itu dia tidak berdosa
menggunakan cara ini (onani) untuk meredakan bergeloranya gharizah tersebut dan
supaya dia tidak berlaku congkak dan gharizahnya itu tidak menjadi ulat.
Tetapi yang lebih baik dari itu
semua, ialah seperti apa yang diterangkan oleh Rasulullah s.a.w. terhadap
pemuda yang tidak mampu kawin, yaitu kiranya dia mau memperbanyak puasa, dimana
puasa itu dapat mendidik beribadah, mengajar bersabar dan menguatkan kedekatan
untuk bertaqwa dan keyakinan terhadap penyelidikan (muraqabah) Allah kepada
setiap jiwa seorang mu'min. Untuk itu Rasuluilah s.a.w. bersabda sebagai
berikut:
"Hai para pemuda! Barangsiapa
di antara kamu sudah ada kemampuan, maka kawinlah sebab dia itu dapat
menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan; tetapi barangsiapa tidak mampu,
maka hendaknya ia berpuasa, sebab puasa itu baginya merupakan pelindung."
(Riwayat Bukhari)
Hayooo... ngapain lama-lama di kamar
mandi? Onani, ya? Ya memang bukan rahasia umum lagi bahwa onani (masturbasi)
sering dilakukan oleh generasi muda kita saat ini. Menurut penelitian, para
pemuda yang berumur antara 13 dan 20 tahun merupakan usia yang paling banyak
melakukan onani. Biasanya yang melakukan onani adalah anak-anak muda yang belum
kawin, duda atau janda, orang-orang dalam pengasingan, dan bermacam-macam lagi.
Onani, atau dalam bahasa gaulnya coli
adalah kegiatan melepaskan keingiinan nafsu seksual dengan jalan tidak bersenggama,
dengan cara merangsang alat vital melalui tangan atau alat bantu lainnya. Dalam
Islam, onani di kenal dengan beberapa nama, yaitu, al-istimna, nikah
al-yad, jildu umairah, al-i’timar atau ‘adatus sirriyah. Nah,
sekarang pertanyaannya bagaimana hukum Islam memandang permasalahan ini ?
Sebenarnya, ada perbedaan pendapatdi
kalangan ulama mengenai hukum onani. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Malik, onani
adalah kegiatan dilarang dalam Islam. Mereka merujuk, pada beberapa ayat
Al-Qur’an sebagai berikut “Sungguh beruntung orang-orang beriman." (QS.
Al-Mukminun 23:1)
“(yaitu) orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali untuk pasangannya (suami atau isterinya).” (QS. Al-Mukminun 23: 5-6)
“Barangsiapa yang mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melewati batas”. (QS. Al-Mukminun 23: 7)
Dalam surat Al-Mukminun ayat tujuh tersebut, terdapat kata “Barangsiapa yang mencari di balik itu.” Maksudnya adalah yang mencari kepuasan seksual bukan dengan isteri atau suaminya, tapi dengan cara yang lain seperti homo seksual, lesbi dan onani, maka tindakan tersebut merupakan perbuatan yang melampaui batas atau haram. Nah, dari ayat tersebutlah Iman Syafi’i dan Imam Malik membuat kesimpulan bahwa onani adalah perbuatan yang haram .
“(yaitu) orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali untuk pasangannya (suami atau isterinya).” (QS. Al-Mukminun 23: 5-6)
“Barangsiapa yang mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melewati batas”. (QS. Al-Mukminun 23: 7)
Dalam surat Al-Mukminun ayat tujuh tersebut, terdapat kata “Barangsiapa yang mencari di balik itu.” Maksudnya adalah yang mencari kepuasan seksual bukan dengan isteri atau suaminya, tapi dengan cara yang lain seperti homo seksual, lesbi dan onani, maka tindakan tersebut merupakan perbuatan yang melampaui batas atau haram. Nah, dari ayat tersebutlah Iman Syafi’i dan Imam Malik membuat kesimpulan bahwa onani adalah perbuatan yang haram .
Namun ada juga sebagian ulama yang
memperbolehkan, terutama ulama dari mahzab Hanafi dan Hanbali. Mereka
mengatakan masturbasi secara prinsip hukumnya terlarang atau haram, namun
apabila dorongan seksual seseorang sangat tinggi padahal belum mampu menikah,
demi mencegah perbuatan zina, maka dalam kondisi ini onani hukumnya menjadi mu
bah, tetapi dengan catatan tidak menjadi kebiasaan atau adat
Hal ini juga terdapat dalam kasus,
orang yang sudah menikah namun tinggal berjauhan (long distance), demi mencegah
perbuatan yang tidak diinginkan, maka sebagian ulama memperbolehkan onani.
Sementara, ada juga beberapa ulama
seperti Imam Ibnu Hazm berpendapat bahwa hukum masturbasi adalah makruh,
artinya bila ditinggalkan mendapat pahala dan bila dikerjakan tidak berdosa. Ia
mendasarkan pendapatnya pada firman Allah swt “Dialah Allah, yang menjadikan
segala yang ada di bumi untuk kamu” (QS. Al Baqarah 2:29).
Oleh karena itu Ibnu Hazm memandang makruh mencari kesenangan dengan cara masturbasi karena untuk melakukannya tidak melibatkan orang lain. Secara umum Allah swt. telah menciptakan segala sesuatu dengan fitrahnya. Salah satu fitrah manusia adalah memenuhi kebutuhan seksual.
Oleh karena itu Ibnu Hazm memandang makruh mencari kesenangan dengan cara masturbasi karena untuk melakukannya tidak melibatkan orang lain. Secara umum Allah swt. telah menciptakan segala sesuatu dengan fitrahnya. Salah satu fitrah manusia adalah memenuhi kebutuhan seksual.
Memang, sampai saat ini terjadi
khilafiyah (perbedaan pendapat dikalangan ulama) mengenai hukum onani. Nah,
sekarang terkagantung bagaimana Anda melihat onani baik dari segi untung
ataupun ruginya. Namun apa yang terbaik ialah apa yang ditunjukkan oleh
Rasulullah SAW terhadap pemuda yang tidak mampu untuk kawin, beliau
mengatakan”Wahai sekalian pemuda! Barangsiapa di antara kamu mempunyai
kemampuan, maka kawinlah, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara
kemaluan, tetapi barangsiapa yang tidak berkemampuan, maka hendaklah dia
berpuasa karena puasa itu baginya merupakan pelindung.”
Operasi
Ganti Kelamin
Muqadimah
Dalam sebuah forum kajian muda-mudi
di sebuah desa, penulis pernah ditanya oleh seorang pemuda tentang hukum
mengubah alat kelamin. Pertanyaan tersebut diungkapkan oleh pemuda tersebut,
karena didorong keinginannya untuk menjadi seorang wanita, karena menurutnya
menjadi seorang pria sangat berat dan banyak bebannya, dan menjadi seorang
wanita sangat enak dan bahagia.
Alhamdulillah, penulis diberi
kemudahan oleh Allah untuk menjelaskan dengan bahasa yang lugas dan mudah
dipahami oleh pemuda tersebut. Pemuda tersebut pun masih menjalani kodratnya
sebagai seorang pria sejati hingga kini.
Kejadian seperti itu sudah sering
terjadi, bahkan beberapa waktu yang lalu, Pengadilan Negeri Batang telah
mengesahkan status Agus Wardoyo (Doyo) yang sebelumnya pria menjadi seorang
wanita yang bernama Nadia (Dea). Bahkan Doyo telah melakukan operasi kelamin di
RSUD Sutomo Surabaya untuk mewujudkan impiannya tersebut. Lantas bagaimana
pandangan Islam terhadap masalah ini? Bolehkan seseorang melakukan operasi
ganti kelamin? Kalau boleh bagaimana syarat-syaratnya?
Hukum Syar’i Tentang Operasi Ganti
Kelamin (Transeksual)
- Hukum operasi kelamin
Pertama: Masalah seseorang yang lahir dalam kondisi normal dan
sempurna organ kelaminnya yaitu penis (zakar) bagi laki-laki dan vagina
(farj) bagi perempuan yang dilengkapi dengan rahim dan ovarium tidak
dibolehkan dan diharamkan oleh syariat Islam untuk melakukan operasi
kelamin.
Adapun hujjah yang digunakan oleh
para ulama dalam masalah ini adalah sebagai berikut:
- Firman Allah Subhana Wa Ta’ala dalam surat Al-Hujurât:
13 yang menurut kitab Tafsir Ath-Thabari mengajarkan prinsip equality
(keadilan) bagi segenap manusia di hadapan Allah dan hukum yang
masing-masing telah ditentukan jenis kelaminnya dan ketentuan Allah ini
tidak boleh diubah dan seseorang harus menjalani hidupnya sesuai
kodratnya.
- Firman Allah Subhana Wa Ta’ala dalam surat An-Nisâ’:
119. Menurut kitab-kitab tafsir seperti Tafsir Ath-Thabari, Ash-Shawi,
Al-Khazin (I/405), Al-Baidhawi (II/117), Zubadu At-Tafsir (hal.123)
dan Al-Qurthubi (III/1963) disebutkan beberapa perbuatan manusia
yang diharamkan karena termasuk “mengubah ciptaan Allah” sebagaimana yang
dimaksud ayat di atas yaitu seperti mengebiri manusia, homoseksual,
lesbian, menyambung rambut dengan sopak, pangur dan sanggul, membuat tato,
mengerok bulu alis dan takhannuts (seorang pria berpakaian dan
bertingkah laku seperti wanita layaknya waria dan sebaliknya).
- Hadits Nabi n: “Allah mengutuk para tukang tato,
yang meminta ditato, yang menghilangkan alis mata, dan orang-orang yang
memotong (pangur) giginya, yang semuanya itu untuk kecantikan dengan
mengubah ciptaan Allah.” (HR. Al-Bukhari).
- Hadits Nabi n, “Allah mengutuk laki-laki yang
menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Ahmad).
Oleh karena itu kasus ini sebenarnya
berakar dari kondisi kesehatan mental yang penanganannya bukan dengan mengubah
ciptaan Allah, melainkan melalui pendekatan spiritual dan kejiwaan (spiritual
and psychological therapy).
Kedua: Operasi kelamin yang bersifat perbaikan (tashhih) atau
penyempurnaan (takmil) dan bukan penggantian jenis kelamin, menurut para ulama
diperbolehkan secara hukum syar’i. Jika kelamin seseorang tidak memiliki lubang
yang berfungsi untuk mengeluarkan air seni dan mani baik penis maupun vagina,
maka operasi untuk memperbaiki atau menyempurnakannya dibolehkan bahkan
dianjurkan sehingga menjadi kelamin yang normal karena kelainan seperti ini
merupakan suatu penyakit (aib) yang harus diobati.
Guna menghindari hal ini, operasi
perbaikan atau penyempurnaan kelamin boleh dilakukan berdasarkan prinsip “Mashalih
Mursalah”, karena kaidah fiqih menyatakan “Adh-Dhararu Yuzal”
(Bahaya harus dihilangkan) yang menurut Imam Asy-Syathibi menghindari dan
menghilangkan bahaya termasuk suatu kemaslahatan yang dianjurkan syariat Islam.
Ketiga: Operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda, yang
dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki dua organ/jenis kelamin
(penis dan vagina). Menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya Al-Fiqh
Al-Islami wa Adillatuhu bahwa jika selama ini penentuan hukum waris bagi
orang yang berkelamin ganda (khuntsa) didasarkan atas indikasi atau
kecenderungan sifat dan tingkah lakunya, maka setelah perbaikan kelamin menjadi
pria atau wanita, hak waris dan status hukumnya menjadi lebih tegas. Dan
menurutnya perbaikan dan penyempurnaan alat kelamin bagi khuntsa musykil
(pemilik kelamin ganda yang sulit diidentifikasi) sangat dianjurkan demi
kejelasan status hukumnya.
Beberapa Fatwa Ulama Tentang
Transeksual
1. Adapun operasi kelamin maka
hukumnya haram secara syar’i apabila hanya disandarkan pada keinginan pribadi
tanpa adanya suatu cacat pada sisi jasmani atau alat kelaminnya yang membolehkan
dilakukannya operasi tersebut. Dan operasi kelamin yang telah banyak dilakukan
dan tidak mengandung unsur cacat secara medis, tetapi hanya dimaksudkan untuk
mempercantik diri dengan menampakkan suatu bentuk tertentu dari kecantikannya,
ataupun mengubah bentuk yang telah ditetapkan oleh Allah atasnya maka hal ini
tidak ada keraguan lagi tentang keharamannya. Karena di dalamnya ada bentuk
perusakan hukum syar’i dan unsur penipuan serta membahayakan. (Dr. Yasir Shalih
M. Jamal, Kepala fakultas kedokteran bidang operasi anak RS. Universitas
Al-Malik ‘Abdul ‘Aziz).
2. Dibolehkannya operasi perbaikan
atau penyempurnaan kelamin, sesuai dengan keadaan anatomi bagian dalam kelamin
orang yang mempunyai kelainan kelamin atau kelamin ganda, juga merupakan
keputusan Nahdhatul Ulama Jawa Timur pada seminar “Tinjauan Syariat Islam
tentang Operasi Ganti Kelamin” pada tanggal 26-28 Desember 1989 di Pondok
Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo, Jawa Timur.
Sehingga jelaslah, jika operasi
kelamin dilakukan hanya karena kurang ‘sreg’ dengan kepribadiannya, padahal
Allah Subhana Wa Ta’ala telah mengaruniakannya kelamin yang jelas, maka
perbuatan ini diharamkan secara syar’i, dan hendaknya pelakunya bertobat kepada
Allah. wallâhu a’lâmu bish shawâb.
A. Pendahuluan
Operasi plastik atau dikenal dengan “Plastic
Surgery” (ing) atau dalam bahasa arab “Jirahah Tajmil” adalah
bedah/operasi yang dilakukan untuk mempercantik atau memperbaiki satu bagian
didalam anggota badan, baik yang nampak atau tidak, dengan cara ditambah,
dikurangi atau dibuang, bertujuan untuk memperbaiki fungsi dan estetika (seni)
tubuh[i]
dan sebagian Ulama hadits[ii] yang
lain berpendapat bahwa yang dimaksud dengan operasi plastik itu hanya ada dua:
1. Untuk mengobati aib yang ada
dibadan, atau dikarenakan kejadian yang menimpanya seperti kecelakaan,
kebakaran atau yang lainya. Maka operasi ini dimaksudkan untuk pengobatan
2. Atau untuk mempercantik diri,
dengan mencari bagian badan yang dianggap mengganggu atau tidak nyaman untuk
dilihat orang, istilah yang kedua ini adalah untuk kecantikan dan keindahan.
B.Jenis-jenis operasi plastik
Seperti yang telah kita ketahui
bahwa operasi yang dilakukan itu bisa sebelum meninggal atau sesudahnya, akan
tetapi untuk pembagian yang kedua ini tidak ada hubungannya dengan operasi
plastik.
Oleh karena itu dalam makalah yang
singkat ini, kita tidak membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan mayat.
Operasi plastik ada dua :
1. Operasi tanpa ada unsur
kesengajaan
2. Operasi yang disengaja
1.Operasi tanpa ada unsur
kesengajaan
Maksudnya adalah operasi yang
dilakukan hanya untuk pengobatan dari aib (cacat) yang ada dibadan, baik karena
cacat dari lahir (bawaan) seperti bibir sumbing, jari tangan atau kaki yang
berlebih, dan yang kedua bisa disebabkan oleh penyakit yang akhirnya merubah
sebagian anggota badan, seperti akibat dari penyakit lepra/kusta, TBC, atau karena
luka bakar pada wajah akibat siraman air panas.
Kesemua unsur ini adalah opersi yang
bukan karena keinginannya, akan tetapi yang dimaksudkan adalah untuk pengobatan
saja, walaupun hasilnya nanti menjadi lebih indah dari sebelumnya, dalam hukum
fiqih disebutkan bahwa, operasi semacam ini dibolehkan saja, adapun dalil
diantaranya sebagai berikut:
1. Dalil Sunnah
A.Diriwayatkan dari Abu Hurairah
R.a, dari Nabi Saw. berliau pernah bersabda, “Tidak lah Allah Swt.
menurunkan wabah/penyakit kecuali Allah Swt. juga menurunkan obat penwarnya”(H.R.
Bukhari) [iii]
B. Riwayat dari Usamah ibn Syuraik
R.a, berkata, “Ada beberapa orang Arab bertanya kepada Rasulullah Saw.:”Wahai
Rasulullah, apakah kami harus mengobati (penyakit kami), Rasulullah menjawab, “Obatilah.
Wahai hamba-hamba Allah lekaslah kalian berobat, karena sesungguhnya Allah
tidak menurunkan satu penyakit, diriwayat lain disebutkan, beberapa
penyakit. Kecuali diturunkan pula obat penawarnya Kecuali satu yang tidak
bisa diobati lagi”, mereka pun bertanya,”Apakah itu wahai Rasul?”, Rasulullah
pun menjawab, “Penyakit Tua”(H.R At-Turmudzi) [iv]
Maksud dari hadits diatas adalah,
bahwa setiap penyakit itu pasti ada obatnya, maka dianjurkan kepada orang yang
sakit agar mengobati sakitnya, jangan hanya dibiarkan saja, bahkan hadits itu
menekankan agar berobat kepada seorang dokter yang profesional dibidangnya.
Imam Abu hanifah dalam kitabnya[v]
berpendapat, “Bahwa tidak mengapa jika kita berobat menggunakan jarum suntik
(yang berhubungan dengan operasi), dengan alasan untuk berobat, karena berobat
itu dibolehkan hukumnya, Sesuai dengan ijma’ ulama, dan tidak ada pembeda
antara laki-laki dan perempuan”.Akan tetapi disebutkan (pendapat lemah) bahwa
tidak diperbolehkan berobat menggunakan bahan yang diharamkan, seperti
khamar,bir dan sejenis. tapi jika ia tidak mengetahui kandungan obat itu, maka
tidak mengapa menggunakannya, namun jika tidak memungkinkan lagi (yakin bahwa
tidak ada obat) untuk mencari obat selain yang diharamkan itu, maka bolehlah
menggunakan sekedarnya
Ibn Mas’ud Ra, mengatakan bahwa
sesungguhnya Allah Swt. tidak menciptakan sembuhnya kalian dengan barang yang
diharamkan-Nya”.makna dari pendapat beliau adalah walau bagaimanapun Allah Swt.
menurunkan penawar yang halal, karena secara akal pikir, tidak mungkin Allah
mengharamkan yang telah diharamkan kemudian diciptakan untuk dijadikan obat,
pasti masih ada jalan lain yang lebih halal.
Operasi semacam ini terkadang bisa
menjadi wajib hukumnya, jika menyebabkan kematian, maka wajib baginya untuk
berobat.
Allah Swt. berfirman yang artinya
(wallahu a’lam), “dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan”[vi]
dan di ayat lain disebutkan, “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” [vii]
Larangan membunuh diri sendiri ini
menunjukkan bahwa Allah Swt melarang hamba-Nya merusak jiwanya
2. Operasi ini tidak bisa dikatakan
mengubah ciptaan Allah dengan sengaja, karena operasi ini untuk pengobatan,
walaupun pada akhirnya bertambah cantik atau indah pada dirinya.
3.Syeikh Dr Yusuf Al-Qaradawi
berpendapat : “Adapun kalau ternyata orang tersebut mempunyai cacat yang
mungkin menjijikkan pandangan, misalnya karena ada daging tambah yang boleh
menimbulkan sakit jiwa dan perasaan, maka tidak berdosa bagi orang itu untuk
berobat selagi dengan tujuan menghilangkan kecacatan atau kesakitan yang boleh
mengancam hidupnya. Kerana Allah tidak menjadikan agama buat kita ini dengan
penuh kesukaran[viii]“
2. Operasi yang dilakukan dengan
sengaja
Maksudnya adalah operasi yang tidak
dikarenakan penyakit bawaan (turunan) atau karena kecelakaan, akan tetapi atas
keinginannya sendiri untuk menambah keindahan dan mempercantik diri.
Operasi ini ada bermacam-macam, akan
tetapi saya hanya menuliskan garis besarnya saja, yaitu terbagi dua, dan setiap
bagian mempunyai hukum masing-masing:
a. Operasi anggota badan
b. Operasi mempermuda
a. Operasi anggota badan
Diantaranya adalah operasi telinga,
dagu, hidung, perut, payudara, pantat (maaf) dengan ditambah, dikurang atau
dibuang, dengan keinginan agar terlihat cantik.
b. Adapun operasi bagian kedua ini
diperuntukkan bagi mereka yang sudah berumur tua, dengan menarik kerutan
diwajah, lengan, pantat, tangan, atau alis.
mungkin ini menurut penulis
bagian-bagian yang sering kita temui dan yang paling umum; para ulama berbeda
pendapat mengenai hukum operasi plastik ini :
1. Kebanyakan ulama hadits[ix]
berpendapat bahwa tidak boleh melakukan operasi ini dengan dalil diantaranya
sebagai berikut:
a. Allah berfirman (“Allah telah
melaknatnya. setan berkata, “sungguh akan kutarik bagian yang ditentukan dari
hamba-hamabaMu. dan sungguh akan kusesatkan mereka, dan akan kubangkitlan
angan-angan kosong mereka, dan aku suruh mereka memotong telinga binatang
ternak lalu mereka benar-benar memotongnya, dan aku akan suruh mereka (merobah
ciptaan Allah), lalu mereka benar-benar merobahnya. dan barangsiapa yang
menjadikan setan sebagai pelindung maka sungguh dia telah merugi dengan
kerugian yang nyata” [x]
Ayat ini menjelaskan kepada kita
dengan konteks celaan dan haramnya melakukan pengubahan pada diri yang telah
diciptakan Allah dengan sebaik-baik penciptaan, karena mengikuti akan hawa
nafsu dan keinginan syaitan yang dilaknat Allah.
2. Diriwayatkan dari Imam Bukhari
dan Muslim Ra. dari Abdullah ibn Mas’ud Ra.beliau pernah berkata “”Allah
melaknat wanita-wanita yang mentato dan yang meminta untuk ditatokan, yang
mencukur (menipiskan) alis dan yang meminta dicukur, yang mengikir gigi supaya
kelihatan cantik dan merubah ciptaan Allah.” (H.R Bukhari)[xi] dari hadits ini,
dapat diambil sebuah dalil bahwa Allah Swt. melaknat mereka yang melakukan
perkara ini dan mengubah ciptaan-Nya
3. Riwayat dari Ashabis Sunan[xii]
Dari Asmaa, bahwa ada seorang
perempuan yang mendatangi Rasulullah Saw. dan berkata, ” Wahai Rasululllah, dua
orang anak perempuan ku akan menjadi pengantin, akan tetapi ia mengadu kepadaku
bahwa rambutnya rontok, apakah berdosa jika aku sambung rambutnya?”, maka
Rasulullah pun menjawab, “Sesungguhnya Allah melaknat perempuan yang menyambung
atau minta disambungkan (rambutnya)”
Hadits ini dengan jelas mengatakan
bahwa haram hukumnya bagi orang yang menyambung rambutnya atau istilah sekrang
dikenal dengan konde atau wig dan jauh dari rahmat Allah Swt.
4. Qias
Untuk melengkapi pendapat ini,maka
akan saya coba menggunakan qias dan akal. Operasi plastik semacam ini tidak
dibolehkan dengan meng-qias larangan Nabi Saw. terhadap orang yang menyambung
rambutnya, tattoo, mengikir (menjarangkan) gigi atau apa saja yang berhubungan
dengan perubahan terhadap apa yang telah diciptakan Allah Swt.
5. Segi Akal
Secara akal kita akan menyangka
bahwa orang itu kelihatannya indah dan cantik akan tetapi, ia telah melakukan
operasi plastik pada dirinya, perbuatan ini sama dengan pemalsuan atau penipuan
terhadap dirinya sendiri bahkan orang lain, adapun hukumnya orang yang menipu
adalah haram menurut syara’.
Begitu juga dengan bahaya yang akan
terjadi jika operasi itu gagal, bisa menambah kerusakan didalam tubuhnya dan
sedikit sekali berhasilnya, apapun caranya tetap membahayakan dirinya dan ini tidak
sesuai dengan hukum syara’, sesuai dengan firman Allah yang berbunyi (wallahu
‘alam)”Jangan bawa diri kalian dalam kerusakan”
Setelah kita perhatikan dalil-dalil
diatas dengan seksama, maka jelaslah bahwa operasi plastik itu diharamkan
menurut syara’ dengan keinginan untuk mempercantik dan memperindah diri, dengan
kesimpulan sebagai berikut:
1. Operasi plastik merubah ciptaan
Allah Swt
2. Adanya unsur pemalsuan dan
penipuan
3. Dari sisi lain, bahwa negatifnya
lebih banyak dari manfaatnya, karena bahaya yang akan terjadi sangat besar
apabila operasi itu gagal, bisa menyebabkan kerusakan anggota badan bahkan
kematian.
4. Syarat pembedahan yang
dibenarkan Islam; memiliki keperluan untuk tujuan kesehatan semata-mata dan
tiada niat lain, diakui doktor profesional yang ahli dalam bidang itu bahwa
pembedahan akan berhasil dilakukan tanpa risiko, bahaya dan mudarat.
5. Untuk pemakaian kosmetik, disyaratkan kandungannya halal, tidak dari najis (kolagen / plasenta) dan tidak berlebihan (tabarruj) akan tetapi behias ini sangat di tekankan bagi mereka yang ingin menyenangkan suaminya.
5. Untuk pemakaian kosmetik, disyaratkan kandungannya halal, tidak dari najis (kolagen / plasenta) dan tidak berlebihan (tabarruj) akan tetapi behias ini sangat di tekankan bagi mereka yang ingin menyenangkan suaminya.
Sebelum menutup makalah ini, saya
ingin menekankan bahwa Allah Swt. Tidak lah menciptakan makhluknya dengan
sia-sia, “Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan
(susunan tubuh)mu seimbang. Dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia
menyusun tubuhmu.” [xiii]
Sesungguhnya Allah Swt. Menciptakan
kalian dalam keadaan sempurna dan seimbang satu sama lainnya dengan sebaik-baik
penciptaan. “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya .” [xiv]
Sudah sepantasnya kita sebagai
makhluk Allah mensyukuri apa-apa yang telah diberikan kepada kita.
Wallahu Subhaanahu Wa Ta’ala ‘Alam
——————————————————————————-
——————————————————————————-
[i] Al Mausu’ah at-Thibbiyah
al-Haditsah Li Majmu’ah minal at-Thibba, juz 3, hal. 454, cet. Lajnah an-Nasyr
al-’Ilmi
[ii] Al Fiqh Islami wal Qhadaya
at-Thibbiyah al-Mu’ashirah oleh Dr. Syauqi Abduh As-Sahi halaman 129, cetakan
pertama (1411H-1990M) Cetakan Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyah
[iii] Juz 2, Hal. 204,205 hadits ke
5327
[iv] juz 4, hal. 383
[v] lih. kitab Fathul Qadir, Juz 8,
hal 500, cet. Darul Kutub Ilmiah Beirut
[vi] Q.S Al-Baqarah ayat 195
[vii] Q.S An-Nisaa’ ayat 29
[viii] Al Halal Wal Haram Fil Islam
[ix] Diantaranya Dr. Muhammad
Mukhtar as-Syaiqity. “Ahkamul Jirahah at-Thibbiyah wal Atsar al-Mutarattabu
‘alaiha” hal. 193 dan sesudahnya, cetakan pertama (1411 H- 1990 M) cetakan
Maktabah an-Nahdah al-Mishriyah,
Dr. Muhammad Farag ‘Azb “Masuliyyah
Tabib fi Jirahah Tajmil fil Fiqhil Islami wal Qanun al-Wad’i”, Tulisan Doktor
di Kuliah Syari’ah wal Qanun Al Azhar di Mesir (1419 H- 1998 M) hal. 73 dan
sesudahnya,
Dr Muhammad Ustman Syabiir, “Ahkam
Jirahah Tajmil Fil Fiqhil Islami” hal. 466 dan sesudahnya, bahas ini pernah
diajukan dalam acara Nadwah Ru’yah Islamiyah liba’dil Mumaarasah at-Thibbiyah
di Kuwait pada tanggal 18 April 1987 M
[x] Q.S An-Nisaa’ ayat118-119
[xi] juz 6, hal. 58 dan seterusnya
juz 7, hal. 61. dan H.R Muslim juz 3, hal.1687
[xii] Subulus Salam Syarah Bulugul
Maram min Jam’il adillatil ahkam karangan Syaikh Muhammad ibn Ismail al-Amir
as-Shin’ani, wafat tahun 1182 H, juz 3, Hal. 1034 dengan Ta’liq oleh Muhammad
Abdul Aziz al-Khuli, Maktabah ‘Aatif, Tafsir al-Qurthubi al Jami’ li ahkamil
Qur’an, karangan Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Abu Bakr ibn
Farh al Anshari al Qurthubi, wafat tahun 671 H, juz 2, hal. 2054, Maktabah
Darul Ghad al Arabi, dan dalam kitab Mughnil muhtaz juz 1 hal.191
[xiii] Q.S Al-Infithaar ayar 7-8
[xiv] Q.S At-Tiin ayat 4
ORTHODONSI DALAM PANDANGAN ISLAM
(FIKIH KONTEMPORER)
|
Keahlian medis dalam masalah
merapikan gigi yang dikenal dengan istilah orthodonti (orthodontics) merupakan
nikmat Allah SWT kepada umat manusia untuk mengembalikan kepada fitrah
penciptaannya yang paling indah (fi ahsani taqwim) yang patut disyukuri
dengan menggunakannya pada tempatnya dan tidak disalahgunakan untuk memenuhi
nafsu insani yang kurang bersyukur. Oleh karena itu Islam sangat memuliakan
ilmu kesehatan dan kedokteran sebagai alat merawat kehidupan dengan izin Allah
swt. Ia bahkan memerintahkan kita semua sebagai fardhu ‘ain (kewajiban
personal) untuk mempelajarinya secara global dan mengenali diri secara fisik
biologis sebagai media peningkatan iman dan memenuhi kebutuhan setiap individu
dalam menyelamatkan, memperbaiki dan menjaga hidupnya. Firman Allah swt. yang
artinya:
“Dan di bumi terdapat tanda-tanda kekuasaan
Allah bagi orang-orang yang yakin. Dan juga pada dirimu sendiri. Maka apakah
kamu tidak memperhatikan.?” QS.
Ad-Dzariyat ( 51) : 20, 21)
Sabda Nabi SAW:
“Berobatlah wahai hamba Allah!
karena sesungguhnya Allah tidak menciptakan penyakit melainkan Ia telah
menciptakan pula obatnya, kecuali satu penyakit, yaitu tua.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi).
Islam juga menetapkan fardhu kifayah
(kewajiban kolektif) dan menggalakkan adanya ahli-ahli di bidang kedokteran dan
memandang kedokteran sebagai ilmu yang sangat mulia. Imam Syafi’i berkata: “Aku
tidak tahu suatu ilmu setelah masalah halal dan haram (Fiqih) yang lebih mulia
dari ilmu kedokteran.” (Al-Baghdadi dalam Atthib Minal Kitab was Sunnah:187).
Pemasangan gigi pada hakikatnya
termasuk bagian dari praktek transplantasi (pencangkokan) organ. Tatkala Islam
muncul pada abad ke-7 Masehi, ilmu bedah sudah dikenal di berbagai negara
dunia, khususnya negara-negara maju saat itu, seperti dua negara adi daya
Romawi dan Persi. Namun pencangkokan jaringan belum mengalami perkembangan yang
berarti, meskipun sudah ditempuh berbagai upaya untuk mengembangkannya. Selama
ribuan tahun setelah melewati berbagai eksperimen barulah berhasil pada akhir
abad ke-19 M, untuk pencangkokan jaringan, dan pada pertengahan abad ke-20 M
untuk pencangkokan organ manusia. Di masa Nabi saw. peradaban Islam telah
menunjukkan perhatian terhadap masalah kesehatan sehingga muncul beberapa
dokter ahli bedah di masa Nabi yang cukup terkenal seperti al Harth bin Kildah
dan Abu Ramtah Rafa’ah, juga Rafidah al Aslamiyah dari kaum wanita.
Pembuatan dan pemasangan gigi
sepanjang untuk alasan syar’i yakni karena pertimbangan kebutuhan (haajah)
medis untuk menormalkan atau memperbaiki kelainan serta penggantian yang lepas
untuk dapat mengunyah dan menggigit kembali merupakan perbuatan dan profesi
yang terpuji karena membawa kepada kemaslahatan, bahkan sekalipun menggunakan
bahan logam emas bagi pria maupun wanita bila hal itu lebih maslahat, kuat,
sehat dan bukan untuk tujuan pamer kemewahan, sekadar asesoris perhiasan dan
gaya berlebihan. Hal ini dapat dianalogikan dengan bolehnya bedah plastik
dengan alasan syar’i tersebut baik dengan organ asli maupun buatan. Operasi
plastik yang menggunakan organ buatan atau palsu sudah dikenal di masa Nabi saw.,
sebagaimana diriwayatkan Imam Abu Daud dan Tirmidzi dari Abdurrahman bin
Tharfah yang mengisahkan bahwa kakeknya ‘Arfajah bin As’ad pernah terpotong
hidungnya pada perang Kulab, lalu ia memasang hidung (palsu) dari logam perak,
namun hidung tersebut justru mulai membusuk, maka Nabi saw. menyuruhnya untuk
memasang hidung palsu dari bahan logam emas.
Dalam hal pemasangan gigi emas,
secara spesifik Imam Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya (III/58) telah meriwayatkan
dari Waqid bin Abi Yaser bahwa sahabat dan menantu Nabi saw ‘Utsman bin ‘Affan
ra. pernah memasang mahkota gigi dari emas, supaya giginya lebih kuat dan tahan
lama. Pemakaian gigi emas tidak dilarang sebagaimana dilarangnya laki-laki oleh
Nabi saw untuk memakai perhiasan emas atau pemakaian bejana emas sebagai
asesoris (HR. Muslim dan Abu Dawud), sebab disini yang harus menjadi penekanan
adalah fungsi kekuatan dan kesehatan gigi palsu dengan bahan emas dan bukan
untuk fungsi perhiasan dan pamer kemewahan sebagaimana alasan yang dipakai oleh
‘Utsman dalam menggunakan gigi palsu emas. Di samping itu penggunaan bahan emas
pada gigi palsu adalah untuk pemakaian yang tergolong dalam bukan pemakaian
luar sebagaimana lazimnya perhiasan.
Gigi palsu yang terbuat dari emas
tersebut bila pemakainya meninggal apakah dikubur bersamanya ataukah dicabut
dahulu sebelum dikebumikan mayatnya, maka terdapat silang pendapat di kalangan
ulama. Namun pada dasarnya pendapat yang lebih kuat adalah yang lebih dekat
kepada prinsip syariah dan kaidah fiqih. Prinsip syariah menekankan
kemaslahatan secara luas. Dengan demikian, penguburan gigi emas bersama mayat
merupakan perbuatan tabzir (menyia-nyiakan nikmat Allah) yang tidak disukai
dalam Islam padahal barang tersebut dapat berguna bagi orang yang masih hidup.
(QS. Al-Isra’: 26-27). Di samping itu membiarkan mayat dengan emas bersamanya
dapat mengundang kriminalitas dengan pencurian dan pembongkaran mayat yang
justru akan menodai kesucian dan kehormatan mayat. Dengan demikian sebaiknya
gigi emas tersebut dicabut oleh dokter gigi yang berpengalaman dari mayat
sebelum dikebumikan dengan cara yang lembut, hati-hati dan diupayakan agar
secepat dan semudah mungkin.
Adapun masalah pemasangan kawat gigi
atau behel memang sebenarnya diperuntukkan bagi orang-orang yang bermasalah
dengan penampilan giginya, atau dalam bahasa medis disebut sebagai memiliki
persoalan ortodontik seperti posisi gigi yang tonggos, tidak rata,
jarang-jarang dan sebagainya yang diakibatkan oleh berbagai faktor penyebab. Di
antaranya karena faktor keturunan dari orangtua, seperti cameh atau cakil,
tonggos gigi berjejal, gigi jarang dan sebagainya. Kelainan bawaan seperti
sumbing juga bisa menyebabkan kelainan ortodontik apalagi jika pada daerah
sumbing itu tak ditumbuhi gigi. Faktor penyebab lainnya adalah penyakit kronis,
misalnya amandel, pilek-pilek (rhinitis alergika), bernafas melalui mulut dan
sebagainya. Beberapa kebiasaan buruk seperti menopang dagu dan menjulurkan,
kebiasaan menghisap jari terutama dalam jangka waktu lama sampai lebih dari
lima tahun atau kebiasaan ngempeng anak balita terutama jika dotnya tak
ortodontik (tak sesuai dengan anatomi rongga mulut dan geligi) bisa pula
menyebabkan penampilan gigi buruk.
Tujuan pemasangan alat cekat atau
kawat gigi, menurut pakar ortodontik drg Tri Hardani, SpOrt, Kepala Departemen
Klinik Lembaga Kedokteran Gigi TNI-AL RE Martadinata Jakarta, dan sebagaimana
dikemukakan para dokter gigi yang menangani masalah ortodonsi bahwa perawatan
ortodonti tidak terlepas dari nuansa keharmonisan wajah yang melibatkan gigi
geligi, tulang muka serta jaringan lunak wajah. Tapi, Estetika itu hanya salah
satu tujuan ortodontik ini. Adapun tujuan lainnya adalah mengembalikan fungsi
pengunyahan menjadi normal kembali. Upaya yang dilakukan antara lain dengan
merapikan susunan gigi serta mengembalikan gigi geligi pada fungsinya secara
optimal. Hal ini sebenarnya merupakan pekerjaan dokter gigi spesialis yang
menggabungkan antara art dan science, seni dan pengetahuan medis.
Tujuan kosmetik itu terkait erat
dengan oklusi, yaitu tutup menutupnya gigi geligi atas dan bawah secara
sempurna. Dan agar terbentuk oklusi yang normal diperlukan susunan gigi yang
baik, jumlah gigi dan hubungan antara gigi atas dan bawah serta kanan kiri yang
sempurna. Jadi, yang utama dari perawatan ortodontik ini adalah mengembalikan
susunan gigi pada fungsinya sebagai alat pengunyah, pendukung pengucapan dan
estetika.
Secara umum alat untuk merapikan
gigi ada dua macam, yaitu alat yang lepasan (removeable appliances) dan alat
cekat (fixed appliances). Dibanding alat cekat, alat yang lepasan lebih mudah
dibersihkan sehingga gigi tetap terjaga kebersihannya. Tapi alat yang terbuat
dari akrilik ringan ini memiliki keterbatasan kemampuan untuk menangani
kasus-kasus sulit. Alat ini terbatas untuk menggerakkan gigi dengan jarak jauh.
Akibatnya untuk pasien dewasa akan kurang efektif jika menggunakan alat lepasan
ini.
Berbeda dengan alat lepasan, alat
cekat memiliki jangkauan perawatan lebih tinggi sehingga mampu digunakan untuk
kasus-kasus sulit. Alat ini terdiri dari kawat, baracket (penopang kawat yang
ditempelkan pada gigi terbuat dari logam, keramik, atau plastik) dan cincin
karet yang berwarna warni. Kawat ini sendiri terbuat dari logam titanium
ringan, tak berkarat dan memiliki kelentingan, ukuran serta bentuk yang
bermacam-macam sesuai kebutuhan. Karena menempel pada gigi maka cara
membersihkan alat cekat ini menjadi tak bebas. Karena itulah biasanya
disediakan sikat gigi khusus bagi para pemakai alat cekat ini. Selain itu
sebelum memakai alat cekat, pasien juga dilatih bagaimana cara menyikat dan
mengontrol gigi agar tetap bersih. Alat ini tak dianjurkan bagi anak-anak yang
belum bisa merawat giginya sendiri, seperti cara menggosok gigi. Hanya saja
pada orang dewasa, pemasangan alat ini sangat tergantung pada kondisi jaringan
pendukung gigi, seperti gusi, tulang yang mengikat, serta ada tidaknya penyakit
yang melemahkan tubuh seperti diabetes, TBC, dan lain-lain.
Melihat berbagai faktor penyebab
kelainan dan penanganan orthodontik karena alasan medis tersebut di atas
diperbolehkan dalam Islam baik sebagai pasien maupun dokter gigi yang
menanganinya, bahkan dianjurkan dan dapat bernilai ibadah. Sebab Islam
menganjurkan untuk berobat bila terjadi kelainan dan ketidaknormalan pada fisik
dan psikis. Bukankah Islam sangat memperhatikan kesehatan sebagaimana pesan
dalil-dalil yang telah di kemukakan di atas.
Belakangan ini ada kecenderungan dan
fenomena penggunaan kawat gigi menjadi semacam tren aksesoris yang merata
khususnya yang lebih banyak kaum perempuan, mulai dari siswa SD, anak ABG, para
remaja, gadis belia dan dewasa sampai kalangan ibu-ibu yang suka menggunakan
kawat gigi dengan hiasan mata cincin berwarna warni dan bahkan tidak jarang
berlian serta permata yang tidak jarang hanya sekadar ingin ikut-ikutan, sekadar
ingin bergaya dan tampil trendi atau biar kelihatan berkelas dan keren meskipun
sebenarnya tidak perlu memakainya dengan kondisi gigi yang normal. Pemasangan
kawat pada pasien yang sebenarnya secara medis dan kesehatan gigi dan gusi
tidak memerlukan perawatan itu sebenarnya merupakan perbuatan yang
berlebih-lebihan, tidak perlu, termasuk mubazir dan praktik tolong menolong
dalam kemaksiatan serta perbuatan dosa. Sebab, biasanya, rata-rata lama
perawatan ortodontik berkisar dua tahun atau tergantung tingkat keparahan
ketidaknormalan struktur giginya dengan biaya yang tak sedikit. Untuk memiliki
alat cekat seseorang membutuhkan biaya minimal Rp 5 juta hingga Rp 12 juta di
luar tarif kontrol yang wajib dilakukan setiap tiga minggu sekali untuk
mengecek keadaan alat. Tentunya biaya tersebut di luar tingkat kualitas behel
dan asesorisnya seperti berlian dan batu permata (QS. Al-Maidah:2).
Semua itu jika di luar kebutuhan mendesak medis
dikategorikan sebagai perbuatan tabzir (kemubaziran) dan isrof (berlebihan) demi
gengsi, gaya hidup (life style) dan sekadar pamer yang tidak terpuji dalam
Islam karena kawat tersebut tidak akan membawa pengaruh apa-apa pada
pertumbuhan gigi selanjutnya tetapi justru membuang-buang uang untuk sesuatu
yang tidak perlu dan cenderung berlebih-lebihan (israf) dan bermewah-mewahan
yang dibenci dan dikutuk Allah Swt (QS. Al-Mukminun:64-65, QS. Al-Isra’:26-27).
Akan lebih baik bila kelebihan rezki tersebut digunakan untuk beramal shalih
berupa sedekah terutama kepada korban kondisi krisis ekonomi dan bencana yang
justru secara spiritual akan mempercantik kepribadian diri secara hakiki di
samping akan membawa kebahagiaan dan keberkahan dunia dan akhirat.
REBONDING
Memang sebelum menentukan hukumnya, perlu diketahui terlebih dahulu faktanya. Baru kemudian kita bisa menentukan hukumnya.
Proses mengeriting dan meluruskan rambut secara kimiawi berarti mengubah struktur ikatan protein rambut. Suatu protein yang disebut dengan keratin, merupakan protein yang membentuk rambut manusia, terdiri dari unsur cystine, yaitu senyawa asam amino yang memiliki unsur sulfida, dalam jumlah persentase yang cukup tinggi. Jembatan disulfida -S-S- dari cystine merupakan salah satu faktor utama yang bertanggung jawab atas berbagai bentuk dari rambut kita. Rambut lurus atau keriting dikarenakan keratin mengandung jembatan disulfida yang memampukan molekul untuk mempertahankan bentuk-bentuk tertentu. Di dalam proses keriting atau ‘perm’ (permanent waves) , rambut diberikan senyawa pereduksi yang membuka beberapa ikatan -S-S- .
Bagaimana dengan hukum rebonding atau keriting ini?
Perlakuan Rebonding adalah mengubah struktur protein rambut secara permanen dan terkategori tindakan mengubah ciptaan Allah, sehingga hukumnya haram. Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: Allah Azza Wa Jalla melaknat orang yang mentato dan yang minta ditato, yang mencukur alisnya dan mengikir giginya untuk kecantikan, yang mengubah ciptaan Allah.(HR. Bukhori-Muslim)
Bagaimana kalau tujuan rebonding ini dalam rangka kebaikan, misalnya mempercantik agar menyenangkan di depan suami?
Berhias atau tazayyun dianjurkan bagi istri untuk menyenangkan pandangan suaminya. Namun memang perlu difahami agar berhias ini tidak termasuk pada bentuk-bentuk keharaman sebagaimana yang disebutkan dalam nash-nash syar’i. Rebonding sendiri adalah meluruskan rambut agar rambut jatuh lebih lurus dan lebih indah. Namun kenyataannya rebonding sering menyebabkan rambut kita rusak, merah, kasar dan bercabang, sehingga perlu perawatan lanjutan dengan shampoo khusus. Misalnya untuk produk yang cukup trend adalah merk makarizo (vitamin sesudah keramas) atau Johny Andrean (ion rebonding). Kemudian seminggu sekali untuk melembutkan rambut, digunakan hair mask dan hair tonic. Akhirnya perawatan ini akan mengeluarkan biaya yang lumayan mahal.
Rebonding sendiri menggunakan proses kimiawi pada rambut, dengan tujuan mengubah struktur protein rambut. Wajar bila selanjutnya harus ada perawatan intensif pada rambut yang direbonding, karena perubahan struktur secara paksa bisa menyebabkan rambut rapuh.
Ustadzah, masih tentang rebonding. Saat ini kan katanya banyak temuan-temuan terbaru tentang proses rebonding sehingga memungkinkan terjadinya pembaruan dalam proses. Apakah mungkin kemudian hukumnya menjadi boleh?
Asalkan tidak menyebabkan permanent, dalam arti mengubah struktur protein tentu tidak masalah. Sementara kenyataannya rebonding yang trend saat ini menyebabkan helai rambut berubah bentuk secara permanent. Pemulihan rambut yang terlihat, bukan dari bagian helai rambut yang terkena perlakuan rebonding, karena bagian tersebut memang telah rusak dan tidak bisa pulih, tetapi dari bagian helai rambut yang baru muncul menggantikan rambut yang telah rusak.
Dalam proses mengubah tatanan rambut, bisa saja menggunakan bahan-bahan dan peralatan yang tidak menyebabkan perubahan permanent. Seperti misalnya, roll (menggulung rambut) tanpa proses kimiawi atau menjalin rambut kecil-kecil agar lebih lurus ketika dibuka jalinannya. Semua hal ini bila tidak mengubah struktur ikatan protein rambut, tidak akan bersifat permanen. Paling lama bertahan hanya satu hingga dua hari. Tetapi tentu yang terpenting adalah tidak melanggar hukum syara’
Memang ada perbedaan pendapat tentang hukum kebolehan rebonding. Namun bagi setiap muslimah adalah berusaha mencari hukum yang diyakininya paling tepat tentang masalah tersebut berdasarkan pemahaman terhadap fakta hukum tersebut dan dalil-dalil syariy yang terkait.
HUKUM KREDIT DALAM ISLAM
Jual Beli Kredit (sell or buy on
credit/installment) dalam bahasa Arabnya disebut Bai’ bit Taqsith yang
pengertiannya menurut istilah syari’ah, ialah menjual sesuatu dengan pembayaran
yang diangsur dengan cicilan tertentu, pada waktu tertentu, dan lebih mahal
daripada pembayaran kontan/tunai. (Syarah Majalah al-Ahkam, no 157, vol
III/110, Majallah asy-Syari’ah wad Dirasah Al-Islamiyah, Fak Syari’ah, Kuwait
University, edisi VII, Sya’ban 1407, hal. 140, Al-Maurid, hal. 354, Lisanul
‘Arab, vol VII/377-378)
Jumhur ulama membolehkan praktik jual beli kredit
(bai’ bit Taqsith) tanpa bunga, diantaranya adalah Imam Al-Khathabi dalam Syarh
Mukhtashar Khalil (IV/375), Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ah Fatawa
(XXIX/498-500), Imam Syaukani dalam Nailul Authar (V/249-250), Ibnu Qudamah
dalam Al-Mughni dengan menukil pendapat Thawus, Hakam dan Hammad yang
membolehkannya (IV/259).
Demikian pula ulama mutakhirin seperti Syekh
Abdul Aziz bin Baz rahimahullah dalam majalah al-Iqtishad al-Islami, I/42 no.
11 th. 1402H dimana beliau mengatakan: “Saya pernah ditanya tentang hukum
jual-beli sekarung gula pasir dan sebagainya, yang dicicil sampai pada waktu
yang telah ditentukan dengan ketentuan harga yang lebih tinggi daripada kontan.
Maka saya jawab, mu’amalah ini sah. Sebab jual-beli kontan berbeda dengan
jual-beli kredit, sementara seluruh umat Islam mengamalkan mu’amalah ini.
Jadi, mereka telah sepakat atas bolehnya
jual-beli ini.” Syekh Abdul Wahhab Khallaf seperti dimuat dalam majalah Liwa’ul
Islam, no. 11 hlm. 122 juga memandangnya halal.
Fatwa Muktamar pertama al-Mashraf al-Islami di
Dubai yang dihadiri oleh 59 ulama internasional, fatwa Direktorat Jenderal
Riset, Dakwah dan Ifta’ serta Komisi Fatwa Kementrian Waqaf dan Urusan Agama Islam
Kuwait semua sepakat bahwa tidak ada larangan bagi penjual menentukan harga
secara kredit lebih tinggi daipada ketentuan harga kontan. Penjual boleh saja
mengambil keuntungan dari penjualan secara kredit dengan ketentuan dan
perhitungan yang jelas. (Majalah asy-Syari’ah Kuwait, Rajab 1414, hlm.264,
Majalah al-Iqtishad al-Islami, I/3 th 1402, hlm. 35, Majalah al-Buhuts
al-Islamiyah, no. 6 Rabi’ Tsani, 1403H, hlm.270)
Dalil syari’ah dalam membolehkan akad jual-beli
kredit (bai’ bit taqsith) diambil dari dalil-dalil al-Qur’an yang menghalalkan
praktik bai’ (jual-beli) secara umum, diantaranya firman Allah: “Allah
menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba” (al-Baqarah:275) “Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (al-Baqarah:282)
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka diantara kamu.” (QS. An-Nisa’:29)
Namun para ulama ketika membolehkan jual-beli
secara kredit dengan ketentuan selama pihak penjual dan pembeli mengikuti
kaidah dan syarat-syarat keabsahannya sebagai berikut:
1. Harga barang ditentukan jelas dan pasti diketahui pihak penjual dan
pembeli.2. Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran dibatasi sehingga terhindar dari parktik bai’ gharar, ‘bisnis penipuan’.
3. Harga semula yang sudah disepakati bersama tidak boleh dinaikkan lantaran pelunasannya melebihi waktu yang ditentukan, karena dapat jatuh pada praktik riba.
4. Seorang penjual tidak boleh mengeksploitasi kebutuhan pembeli dengan cara menaikkan harga terlalu tinggi melebihi harga pasar yang berlaku, agar tidak termasuk kategori bai’ muththarr, ‘jual-beli dengan terpaksa’ yang dikecam Nabi saw.
Menganai pertanyaan tentang jual-beli mobil
secara kredit yang banyak dilakukan orang dengan bunga tertentu, fatwa
direktorat jenderal riset, dakwah dan ifta’ menjelaskan bahwa jika dalam
jual-beli kredit terdapat kenaikan harga (bunga) lantaran terlambatnya
pelunasan dari pihak pembeli, maka menurut ijma’ ulama tidak sah, karena di
dalamnya terkandung unsur riba jahiliyah yang diharamkan Islam. (Majalah
al-Buhuts al-islamiyah, no. 6 Th. 1403, hlm 270)
Kalaupun terpaksa harus membeli secara kredit
dari penjual barang yang memberlakukan sistem bunga ini, maka pembeli
realitasnya harus yakin mampu mencicil dan melunasinya tepat waktu tanpa harus
terjerat pembayaran bunga tunggakan, agar terhindar dari laknat rasulullah
karena membayar uang riba.
Kartu kredit pada hakekatnya sebagai sarana
mempermudah proses jual-beli yang tidak tergantung kepada pembayaran kontan
dengan membawa uang tunai yang sangat riskan. Status hukumnya menurut fiqih
kontemporer adalah sebagai objek atau media jasa kafalah (jaminan). Perusahaan
perbankan dalam hal ini yang mengeluarkan kartu kredit (bukti kafalah) sebagai
penjamin (kafil) bagi pengguna kartu kredit tersebut dalam transaksi jual beli.
Oleh karena itu berlaku di sini hukum masalah ‘kafalah’.
Para ulama membolehkan sistem dan praktik kafalah
dalam mu’amalah berdasarkan dalil al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Allah berfirman:
“dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat)
beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.” (QS. Yusuf:72)
Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
kata “za’im” dalam ayat tersebut adalah “kafil”. Sabda Nabi saw.: “az-Za’im
Gharim” artinya; orang yang menjamin berarti berutang (sebab jaminan tersebut).
(HR. Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Hibban). Ulama sepakat (ijma’) tentang bolehnya
praktik kafalah karena lazim dibutuhkan dalam mu’amalah. (Lihat, Subulus Salam,
III/62, Al-Mabsuth, XIX/160, Al-Mughni, IV/534, Mughnil Muhtaj, II/98).
Kafalah pada dasarnya adalah akad tabarru’ (suka
rela) yang bernilai ibadah bagi penjamin karena termasuk kerjasama dalam
kebajikan (ta’awun ‘alal birri), dan penjamin berhak meminta gantinya kembali
kepada terutang, sepantasnyalah ia tidak meminta upah atas jasanya tersebut,
agar aman/jauh dari syubhat. Tetpi kalau terutang sendiri yang memberinya
sebagai hadiah atau hibah untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya, maka sah
sah saja.
Tetapi jika penjamin sendiri yang mensyaratkan
imbalan jasa (semacam uang iuran administrasi kartu kredit dan sebagainya) tersebut
dan tidak mau menjamin dengan sukarela, maka dibolehkan bagi pengguna jasa
jaminan memenuhi tuntutan tersebut bila diperlukan seperti kebutuhan yang lazim
dalam perjalanan studi, bisnis, kegiatan sosial, urusan pribadi dan sebagainya.
Hal itu berdasarkan kaedah fiqih: “al-Hajah
Tunazzal Manzilah Adz-Dzarurah” (kebutuhan dikategorikan sebagai suatu
darurat). Bilamana keharusan uang jasa kafalah merupakan suatu kelaziman
transaksi bisnis yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah, maka hal itu
dibolehkan sesuai dengan kaedah; “Al-Ma’ruf Bainat Tujjar kal Masyruthi
bainahum”; sesuatu yang lazim dikalangan bisnis merupakan suatu persyaratan
yang harus ditepati. (al-Burnu, al-Wajiz, hlm. 306,242)
Tetapi bisnis jasa kartu kredit tersebut boleh
selama dalam prakteknya tidak bertransaksi dengan sistem riba yaitu
memberlakukan ketentuan bunga bila pelunasan hutang kepada penjamin lewat jatuh
tempo pembayaran atau menunggak. Disamping itu ketentuan uang jasa kafalah tadi
tidak boleh terlalu mahal sehingga memberatkan pihak terutang atau terlalu
besar melebihi batas rasional, agar terjaga tujuan asal dari kafalah, yaitu
jasa pertolongan berupa jaminan utang kepada merchant, penjual barang atau jasa
yang menerima pembayaran dengan kartu kerdit tertentu. (Lihat, DR. Wahbah
az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, vol. V/130-161)
Dengan demikian kami berpendapat bahwa dibolehkan
bagi umat Islam untuk menggunakan jasa kartu kredit (credit card) yang tidak
memakai sistem bunga. Namun bila terpaksa atau tuntutan kebutuhan
mengharuskannya menggunakan kartu kredit biasa yang memakai ketentuan bunga,
maka demi kemudahan transaksi dibolehkan memakai semua kartu kredit dengan
keyakinan penuh menurut kondisi finansial dan ekonominya mampu membayar utang
dan komitmen untuk melunasinya tepat waktu sebelum jatuh tempo agar tidak
membayar hutang.
Hal itu berdasarkan prinsip fiqih ‘Saddudz
Dzari’ah’, artinya sikap dan tindakan prefentif untuk mencegah dari perbuatan
dosa. Sebab, hukum pemakan dan pemberi uang riba adalah sama-sama haram
berdasarkan riwayat Ibnu Mas’ud bahwa: “Rasulullah saw melaknat pemakan harta
riba, pembayar riba, saksi transaksi ribawi dan penulisnya.” (HR.Bukhari, Abu
Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
TOKO SERBA ENAM SAMPAI SEPULUH RIBU
Terkadang, kita jumpai sebuah toko
yang semua barang di toko tersebut seharga sepuluh ribu rupiah atau lima ribu
rupiah. Apakah kreasi sebagian penjual semacam ini adalah suatu hal yang bisa
dibenarkan dalam norma agama?
Penjelasan seorang ulama ahli fikih berikut ini mungkin bisa kita jadikan sebagai acuan untuk menilai hal di atas.
Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin mengatakan, “Transaksi jual beli barang yang tidak diketahui adalah transaksi yang tidak sah, mengingat adanya hadits dari Abu Hurairah. Beliau mengatakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang jual beli gharar (untung-untungan) (HR. Abu Daud).
Contohnya, ada seseorang yang berkata kepada kawannya, 'Di rumah, aku punya kambing perah dan susunya banyak.' Kawannya mengatakan, 'Kau jual dengan harga berapa kambingmu?' Pemilik kambing mengatakan, 'Lima ratus real.' 'Aku setuju,' respon kawannya.
Transaksi di atas adalah transaksi yang tidak sah, sehingga transaksi yang telah terjadi tidak ada gunanya. Kambing tersebut tetap merupakan milik penjual. Hak kepemilikan kambing tersebut tidaklah berpindah kepada pembeli, sedangkan uang juga tetap milik pembeli, tidak berpindah kepada penjual. Hal ini dikarenakan objek transaksinya tidak diketahui.
Jika ada yang menyanggah, 'Bukankan penjual telah mengatakan bahwa kambing tersebut memiliki banyak susu?'
Jawabannya, 'Penjelasan tersebut belum mencukupi, karena boleh jadi kambing tersebut muda atau tua, gemuk atau kurus, ataupun warna kulitnya bermasalah, karena harga kambing itu bisa berbeda-beda disebabkan perbedaan warna kulit dan kemungkinan-kemungkinan yang lain.'
Terkait dengah hal di atas, ada pertanyaan, 'Apa hukum fenomena yang muncul akhir-akhir ini, (yaitu) adanya pemilik toko yang yang menempelkan pengumuman di tokonya ‘semua barang, harganya sepuluh real'? Aku sendiri juga pernah menjumpai sebuah toko yang pada toko tersebut tertulis ‘semua barang, harganya satu real'. Ada juga penjual yang menulis ‘semua barang, harganya lima real atau lima belas real'. Apakah fenomena di atas termasuk menjual barang yang sudah diketahui ataukah barang yang tidak diketahui?'
Jawabannya: Sebenarnya, barang yang dijual di toko tersebut adalah barang yang diketahui sekaligus tidak diketahui. Pada saat Anda katakan, ‘Semua barang, harganya sepuluh real,' padahal realitanya, di toko tersebut terdapat barang yang harganya dua puluh real, ada juga yang cuma seharga dua real. Ditinjau dari sisi ini, kita katakan bahwa barang yang dijual saat ini berstatus sebagai barang yang tidak diketahui secara pasti.
Namun, pada akhirnya, barang yang dibeli tersebut diketahui, karena pada akhirnya pembeli akan mengatakan kepada pelayan toko, 'Ambilkan barang itu untukku dengan harga sepuluh real.' Jadi, barang yang dibeli dalam kondis ini adalah barang yang diketahui secara pasti.
Dengan demikian, saat ini, transaksi jual beli belum dilakukan sehingga barang yang dijual belum pasti.
Kendati begitu, jika pembeli mengatakan, 'Kuambil barang apa saja seharga sepuluh real,' maka ini termasuk jual beli barang yang belum jelas manakah barang yang dibeli.
Akan tetapi, cara memasarkan barang sebagaimana di atas adalah cara pemasaran yang bermasalah, bukan karena nilai barang yang tidak jelas namun karena cara pemasaran semacam ini menipu sebagian orang.
Ada sebagian orang polos yang patut dikasihani. Orang polos ini, ketika masuk ke sebuah toko yang tertulis di sana 'semua barang, harganya sepuluh real' mengira bahwa di toko tersebut terdapat barang yang harga normalnya 30 atau 40 atau 50 real, padahal boleh jadi sebenarnya harga sepuluh real adalah harga maksimal barang yang dijual di sana.
Kesimpulannya, saya katakan bahwa cara pemasaran di atas mengandung unsur penipuan, dari sudut pandang penjelasan di atas. Sedangkan, tentang masalah ketidakjelasan, ini adalah tinjauan yang tidak tepat karena transaksi jual beli dalam kasus ini tidaklah dilakukan kecuali pada barang tertentu yang sudah diketahui.” (Ibnu 'Utsaimin, Syarah Al-Ushul min *eIlmi Al-Ushul, hlm. 79--80, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, 1431 H)
Walhasil, toko model di atas adalah terlarang karena adanya unsur penipuan terhadap orang-orang polos dan awam.
Penjelasan seorang ulama ahli fikih berikut ini mungkin bisa kita jadikan sebagai acuan untuk menilai hal di atas.
Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin mengatakan, “Transaksi jual beli barang yang tidak diketahui adalah transaksi yang tidak sah, mengingat adanya hadits dari Abu Hurairah. Beliau mengatakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang jual beli gharar (untung-untungan) (HR. Abu Daud).
Contohnya, ada seseorang yang berkata kepada kawannya, 'Di rumah, aku punya kambing perah dan susunya banyak.' Kawannya mengatakan, 'Kau jual dengan harga berapa kambingmu?' Pemilik kambing mengatakan, 'Lima ratus real.' 'Aku setuju,' respon kawannya.
Transaksi di atas adalah transaksi yang tidak sah, sehingga transaksi yang telah terjadi tidak ada gunanya. Kambing tersebut tetap merupakan milik penjual. Hak kepemilikan kambing tersebut tidaklah berpindah kepada pembeli, sedangkan uang juga tetap milik pembeli, tidak berpindah kepada penjual. Hal ini dikarenakan objek transaksinya tidak diketahui.
Jika ada yang menyanggah, 'Bukankan penjual telah mengatakan bahwa kambing tersebut memiliki banyak susu?'
Jawabannya, 'Penjelasan tersebut belum mencukupi, karena boleh jadi kambing tersebut muda atau tua, gemuk atau kurus, ataupun warna kulitnya bermasalah, karena harga kambing itu bisa berbeda-beda disebabkan perbedaan warna kulit dan kemungkinan-kemungkinan yang lain.'
Terkait dengah hal di atas, ada pertanyaan, 'Apa hukum fenomena yang muncul akhir-akhir ini, (yaitu) adanya pemilik toko yang yang menempelkan pengumuman di tokonya ‘semua barang, harganya sepuluh real'? Aku sendiri juga pernah menjumpai sebuah toko yang pada toko tersebut tertulis ‘semua barang, harganya satu real'. Ada juga penjual yang menulis ‘semua barang, harganya lima real atau lima belas real'. Apakah fenomena di atas termasuk menjual barang yang sudah diketahui ataukah barang yang tidak diketahui?'
Jawabannya: Sebenarnya, barang yang dijual di toko tersebut adalah barang yang diketahui sekaligus tidak diketahui. Pada saat Anda katakan, ‘Semua barang, harganya sepuluh real,' padahal realitanya, di toko tersebut terdapat barang yang harganya dua puluh real, ada juga yang cuma seharga dua real. Ditinjau dari sisi ini, kita katakan bahwa barang yang dijual saat ini berstatus sebagai barang yang tidak diketahui secara pasti.
Namun, pada akhirnya, barang yang dibeli tersebut diketahui, karena pada akhirnya pembeli akan mengatakan kepada pelayan toko, 'Ambilkan barang itu untukku dengan harga sepuluh real.' Jadi, barang yang dibeli dalam kondis ini adalah barang yang diketahui secara pasti.
Dengan demikian, saat ini, transaksi jual beli belum dilakukan sehingga barang yang dijual belum pasti.
Kendati begitu, jika pembeli mengatakan, 'Kuambil barang apa saja seharga sepuluh real,' maka ini termasuk jual beli barang yang belum jelas manakah barang yang dibeli.
Akan tetapi, cara memasarkan barang sebagaimana di atas adalah cara pemasaran yang bermasalah, bukan karena nilai barang yang tidak jelas namun karena cara pemasaran semacam ini menipu sebagian orang.
Ada sebagian orang polos yang patut dikasihani. Orang polos ini, ketika masuk ke sebuah toko yang tertulis di sana 'semua barang, harganya sepuluh real' mengira bahwa di toko tersebut terdapat barang yang harga normalnya 30 atau 40 atau 50 real, padahal boleh jadi sebenarnya harga sepuluh real adalah harga maksimal barang yang dijual di sana.
Kesimpulannya, saya katakan bahwa cara pemasaran di atas mengandung unsur penipuan, dari sudut pandang penjelasan di atas. Sedangkan, tentang masalah ketidakjelasan, ini adalah tinjauan yang tidak tepat karena transaksi jual beli dalam kasus ini tidaklah dilakukan kecuali pada barang tertentu yang sudah diketahui.” (Ibnu 'Utsaimin, Syarah Al-Ushul min *eIlmi Al-Ushul, hlm. 79--80, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, 1431 H)
Walhasil, toko model di atas adalah terlarang karena adanya unsur penipuan terhadap orang-orang polos dan awam.
No comments:
Post a Comment