Total Pageviews

Sunday, February 12, 2012

Musyawarah atau Voting


Banyak orang berdalih dengan sebuah kisah dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
ssalam di perang uhud ketika musyawarah menentukan sikap dalam menghadapi perang Uhud. Sebagian kecil shahabat punya pendapat sebaiknya bertahan di Madinah, namun kebanyakan shahabat, dan yang belum sempat ikut dalam perang Badar sebelumnya, cenderung ingin menyongsong lawan di medan terbuka yang kemudian akhirnya Rasululullah shalallahu ‘alaihi wassalam mengambil pendapat mayoritas shahabat, mereka berdalih dengan kisah tersebut diatas untuk menunjukkan bahwa demokrasi dan voting pun sebenarnya merupakan sesuatu yang disyariatkan,…….
benarkah ……..??!
 Dalam demokrasi, orang mengenal istilah one man one vote.(voting) Dengan satu orang satu suara, maka tak ada lagi istilah muslim atau kafir, ulama atau juhala (orang bodoh), ahli maksiat atau orang shalih, dan seterusnya. Semua suara bernilai sama di hadapan ‘hukum’. Walhasil, keputusan terbaik adalah keputusan yang diperoleh dengan suara mayoritas. Lalu bagaimana dengan sistem islam? Siapakah yang patut didengar suaranya?
Dalam ketatanegaraan Islam, dIkenal istilah “ahli syur”’. Posisinya yang sangat penting membuat keberadaannya tidak mungkin dipisahkan dengan struktur ketatanegaraan. Karena bagaimanapun bagusnya seseorang pemimpin, ia tetap tidak akan pernah lepas dari kelemahan, kelalaian, atau ketidaktahuan dalam beberapa hal.
 Sampai-sampai Nabi Muhammad pun diperintahkan untuk melakukan syura, apalagi selain beliau tentunya.
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di mengatakan:
 “Jika Allah mengatakan kepada Rasul-Nya –padahal beliau adalah orang yang paling sempurna akalnya, paling banyak ilmunya dan paling bagus idenya– ‘maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu’, maka bagaimana dengan selain beliau??” (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 154)

Kata asy-syura adalah ungkapan lain dari kata musyawarah (مَشَاوَرَةٌ) atau masyurah (مَشُوْرَةٌ) yang dalam bahasa kita dikenal dengan musyawarah, sehingga ahli syura adalah orang yang dipercaya untuk diajak bermusyawarah.

Disyariatkannya Syura
Allah berfirman:  وَ شَاوِرْهُمْ في الأَمْرِ
“Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali Imran: 159)
 Juga Allah memuji kaum mukminin dengan firman-Nya:
وَأَمْرُهُمْ شُوْرَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ
“Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah dan mereka menafkahkan sebagian yang kami rizkikan kepada mereka.” (Asy-Syura: 38)
Kedua ayat mulia diatas menunjukkan tentang disyariatkannya bermusyawarah. Ditambah lagi dengan praktek Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam yang sering melakukannya dengan para sahabatnya seperti dalam masalah tawanan perang Badr, kepergian menuju Uhud untuk menghadapi kaum musyrikin, menangggapi tuduhan orang-orang munafiq yang menuduh ‘Aisyah berzina, dan lain-lain.
Demikian pula para shahabat beliau berjalan di atas jalan ini. (lihat Shahih Al-Bukhari, 13/339 dengan Fathul Bari)
Ibnu Hajar berkata: “Para ulama berselisih dalam hukum wajibnya.” (Fathul Bari, 13/341)

Pentingnya Syura
Syura teramat penting keberadaannya sehingga para ulama, diantarnya Al-Qurthubi, mengatakan: “Syura adalah keberkahan.” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/251)
Al-Hasan Al-Bashri mengatakan:
“Tidaklah sebuah kaum bermusyawarah di antara mereka kecuali Allah akan tunjuki mereka kepada yang paling utama dari yang mereka ketahui saat itu.” (Ibnu Hajar mengatakan: “Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad dan Ibnu Abi Hatim dengan sanad yang kuat.” Lihat Fathul Bari, 13/340)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam Tafsir-nya menyebutkan faidah-faidah musyawarah diantaranya:
1. Musyawarah termasuk ibadah yang mendekatkan kepada Allah.
2. Dengan musyawarah akan melegakan mereka (yang diajak bermusyawarah) dan menghilangkan ganjalan hati yang muncul karena sebuah peristiwa. Berbeda halnya dengan yang tidak melakukan musyawarah. Dikhawatirkan, orang tidak akan sungguh-sungguh mencintai dan tidak menaatinya. Seandainya menaati pun, tidak dengan penuh ketaatan.
3. Dengan bermusyawarah, akan menyinari pemikiran karena menggunakan pada tempatnya.
4. Musyawarah akan menghasilkan pendapat yang benar, karena hampir-hampir seorang yang bermusyawarah tidak akan salah dalam perbuatannya. Kalaupun salah atau belum sempurna sesuatu yang ia cari, maka ia tidak tercela. (Taisir Karimirrahman, hal. 154)

Apa Yang Perlu Dimusyawarahkan?

Para ulama berbeda pendapat dalam mempermasalahkan hal-hal yang sesungguhnya Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam diperintah Allah untuk bermusyawarah dengan para shahabatnya, sebagaimana tersebut dalam surat Ali Imran: 159.

Dalam hal ini, Ibnu Jarir menyebutkan beberapa pendapat:

1. Pada masalah strategi peperangan dan dalam menghadapi musuh untuk melegakan para shahabat dan untuk mengikat hati mereka kepada agama ini serta agar mereka melihat bahwa Nabi juga mendengar ucapan mereka.
2. Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam justru diperintahkan untuk bermusyawarah dalam perkara itu walaupun berliau punya pendapat yang paling benar karena adanya keutamaan (fadhilah) dalam musyawarah.
3. Allah perintahkan beliau untuk bermusyawarah padahal beliau sesungguhnya sudah cukup dengan bimbingan dari Allah. Hal ini dalam rangka memberi contoh kepada umatnya sehingga mereka mengikuti beliau ketika dilanda suatu masalah, dan ketika mereka bersepakat dalam sebuah perkara, maka Allah akan berikan taufiq-Nya kepada mereka kepada yang paling benar. (Tafsir Ath-Thabari, 4/152-153 dengan diringkas)
4. Sebagian ulama berpendapat bahwa maksudnya adalah musyawarah pada perkara yang Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam belum diberi ketentuaannya tentang perkara itu secara khusus.

5. Maksudnya yaitu pada urusan keduniaan secara khusus.
6. Pada perkara agama dan kejadian-kejadian yang belum ada ketentuannya dari Allah yang harus diikuti. Juga pada urusan yang keduniaan yang dapat dicapai melalui ide dan perkiraan yang kuat. (Ahkamul Qur’an karya Al-Jashshash, 2/40-42)

Pendapat terakhir inilah yang dianggap paling kuat oleh Al-Jashshash dengan alasan-alasan yang disebut dalam buku beliau.
Lalu beliau juga berkata: “Dan pasti Nabi bermusyawarah pada hal-hal yang belum ada nash atau ketentuannya dari Allah. Dimana tidak boleh bagi beliau melakukan musyawarah pada hal-hal yang telah ada ketentuannya dari Allah. Dan ketika Allah tidak mengkhususkan urusan agama dari urusan dunia ketika memerintahkan Nabi-Nya untuk musyawarah, maka pastilah perintah untuk musyawarah itu pada semua urusan”.

Dan nampaknya pendapat ini pula yang dikuatkan oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Bari (13/340) setelah menyebutkan pendapat-pendapat diatas. Juga oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam Tafsir-nya (hal. 154) seperti yang terpahami dari ucapan beliau.

Jadi tidak semua perkara dimusyawarahkan sampai-sampai sesuatu yang telah ditentukan syariat pun dimusyawarahkan, tetapi bagian tertentu saja seperti yang dijelaskan diatas.

Yang mendukung hal ini adalah bacaan ‘Abdullah bin ‘Abbas:

وَشَاوِرْهُمْ في بَعْضِ اْلأَمْرِ
“Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam sebagian urusan itu.” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/250)
Semua hal diatas kaitannya dengan musyawarah yang dilakukan oleh Nabi. Maka yang boleh dimusyawarahkan oleh umatnya perkaranya semakin jelas, yaitu pada hal-hal yang belum ada nash atau ketentuannya baik dari Allah atau Rasul-Nya. Artinya, jika telah ada ketentuannya dari syariat, maka tidak boleh melampauinya. Dan mereka harus mengikuti ketentuan syariat tersebut.

Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat: 1)

Al-Imam Al-Bukhari mengatakan:
“Maka Abu Bakar tidak memilih musyawarah jika beliau memiliki hukum dari Rasulullah…” [Shahih Al-Bukhari, 13/339-340 dengan Fathul Bari]
Dan sebaliknya. Jika sudah ada ketentuannya dalam syariat namun mereka tidak mengetahuinya, atau lupa, atau lalai, maka boleh bermusyawarah untuk mengetahui ketentuan syariat dalam perkara tersebut, bukan untuk menentukan sesuatu yang berbeda dengan ketentuan syariat.

Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan:
“Seorang hakim/pemimpin diperintahkan untuk bermusyawarah karena seorang penasehat akan mengingatkan dalil-dalil yang dia lalaikan dan menunjuki dalil-dalil yang tidak dia ingat, bukan untuk bertaqlid kepada penasehat tersebut pada apa yang dia katakan. Karena sesungguhnya Allah tidak menjadikan kedudukan yang demikian (diikuti dalam segala hal) itu bagi siapapun setelah Nabi”. (Fathul Bari, 13/342).”

Al-Bukhari mengatakan:
“Dan para imam setelah Nabi wafat bermusyawarah pada hal-hal yang mubah dengan para ulama yang amanah untuk mengambil yang paling mudah. Dan jika jelas bagi mereka Al Qur’an maupun As Sunnah, maka mereka tidak melampauinya untuk (kemudian) mengambil selainnya. Hal itu dalam rangka meneladani Nabi…” (Shahih Al-Bukhari, 13/339-340 dengan Fathul Bari. Lihat pula hal. 342 baris 18)

Ibnu Taimiyyah mengatakan:
“Dan jika seorang pemimpin bermusyawarah dengan mereka (ahli syura) kemudian sebagian mereka menjelaskan kepadanya sesuatu yang wajib dia ikuti baik dari Kitabullah atau Sunnah Rasul-Nya atau ijma’ kaum muslimin maka dia wajib mengikutinya dan tiada ketaatan kepada siapapun pada hal-hal yang menyelisihinya. Adapun jika pada hal-hal yang diperselisihkan kaum muslimin, maka mestinya meminta pendapat dari masing-masing mereka beserta alasannya, lalu pendapat paling mirip dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya itulah yang ia amalkan.” (Siyasah Syar’iyyah karya Ibnu Taimiyyah hal. 133-134 dinukil dari Fiqh Siyasah Syar’iyyah hal. 58))

Al-Qurthubi mengatakan:
“Syura terjadi karena perbedaan pendapat. Maka seseorang yang bermusyawarah hendaknya melihat perbedaan tersebut kemudian melihat kepada pendapat yang paling dekat kepada Al Qur’an dan As Sunnah jika ia mampu. Lalu jika Allah membimbingnya kepada yang Allah kehendaki, maka hendaknya ia ber-‘azam (bertekad) untuk kemudian melakukannya dengan bertawakkal kepada Allah. Dimana inilah ujung dari ijtihad yang diminta dan dengan inilah Allah perintahkan Nabi-Nya dalam ayat ini (Ali Imran: 159).” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/252)

artikel ini diambil dari tulisan Buletin Al ilmu Jember edisi 7/II/II/1425 di situs Darussalaf dengan penyesuain seperlunya dari admin
Tanya :
bagaimana cara Rasulullah memilih orang-orang yang pantas menjadi ahli syura ?
apakah berdasarkan tingkat keimanan ?
apakah berdasarkan penerimaan kabilahnya masing-masing ?
apakah diserahkan kepada tiap-tiap kabilah ?
ataukah berdasarkan hal lainnya ?
…Allahu ta’ala ‘alam…
Tanya juga:
Jadi apa hukum voting sebenarnya ?
Wajib ? Sunnah ? Mubah ? Makruh ? atau Haram ?
Kalau dilihat dari pendapat para syaikh di atas, sepertinya hukum voting adalah haram, atau minimal makruh. Kalau itu adalah kesimpulannya, maka berarti Rasulullah telah melakukan hal yang haram, atau minimal makruh … begitu ya Mas Adi ?
afwan….antum baca baik baik artikel diatas sekali lagi.sehingga antum gak salah mengambil kesimpulan…..barakallahu fiik….
afwan….antum baca baik baik artikel diatas sekali lagi.sehingga antum gak salah mengambil kesimpulan
tanya:
Justru karena saya takut salah mengambil kesimpulan, maka saya bertanya.
jadi, saya ulangi lagi, apa kesimpulannya, hukum voting itu apa ?
Wajib ? Sunnah ? Mubah ? Makruh ? atau Haram ?
Mohon dijawab secara singkat dan jelas, tapi jangan mutar-mutar.
Biar semua yang baca artikel dan komentar ini bisa mengerti pendapat Mas Adi sendiri.
Berani jawab ?
Allahu ‘alam
jawabnya kok Allahu ‘alam…..?? gimana hukumnya…??
afwan…mengenai hukumnya jujur ana nggak tahu, dan saya menahan diri dari menghukumi seseatu yang tidak saya ketahui,mungkin antum tahu bagaimana hukumnya seperti yang ditanyakan ….
yang jelas sedangkal pemahaman saya tidak semua perkara dimusyawarahkan sampai-sampai sesuatu yang telah ditentukan syariat pun dimusyawarahkan, tetapi bagian tertentu saja seperti yang dijelaskan diatas, yaitu pada hal-hal yang belum ada nash atau ketentuannya baik dari Allah atau Rasul-Nya. Artinya, jika telah ada ketentuannya dari syariat, maka tidak boleh melampauinya. Dan harus mengikuti ketentuan syariat tersebut, sehingga voting tidaklah diperlukan lagi ….
Allahu ‘alam bishowab…..
Jadi, status hukum dari voting adalah “Allahu a’lam” ?
Lantas bagaimana status hukum dari orang-orang yang melakukan voting ?
Apakah harus dilihat dulu pada masalah apa mereka melakukan voting ?
Apakah harus dilihat dulu apakah memang musyawarah secara mufakat sudah tidak memungkinkan lagi ?
Ataukah langsung disimpulkan saja bahwa mereka adalah para pelaku maksiat ?
Atau mungkin langsung disimpulkan saja bahwa status mereka adalah “Allahu a’lam” juga ?
bagaimana?
afwan…..saya mengatakan Allahu ‘alam sebab saya belum mengetahui hukumnya apakah haram mutlak atau bagaimana…..
voting dalam sistem demokrasi sekarang ini Dengan satu orang satu suara, maka tak ada lagi istilah muslim atau kafir, ulama atau juhala (orang bodoh), ahli maksiat atau orang shalih, dan seterusnya. Semua suara bernilai sama di hadapan ‘hukum’. Walhasil, keputusan terbaik adalah keputusan yang diperoleh dengan suara mayoritas biarpun seandainya hasil voting bertentangan dengan syara……
kemudian dalam sistem demokrasi sekarang ini…masalah masalah yang sudah ada nash secara jelaspun kadang dimusyawarahkan kemudian bila ada perselisihan maka dilakukan voting,…
untuk menyimpulkan pelaku voting sebagai pelaku voting tidaklah segampang itu….perlu penegakan hujjah …dsb…
WAllahu ‘alamu bissowaab..

No comments: