Total Pageviews

Sunday, May 13, 2012

ILMU


ILMU
Filsafat ilmu adalah filsafat sains.
Namun seiring dengan proses kelahiran ilmu-ilmu, pada kenyataanya filsafat ilmu sebagai sebuah disiplin memiliki objek kajian yang cukup luas, yaitu mulai dari yang masuk dalam kategori pengetahuan (knowledge), ilmu (science) itu sendiri, baik natural science dan social science sampai yang tergolong dalam ilmu humanities, termasuk ilmu-ilmu keagamaan dan kebahasaan.

Untuk yang terakhir ini, Dilthey[1] menyebutnya dengan cultural-historical-science. Sementara itu sebagaimana skema yang buat Jurgen Habermas[2], bahwa ilmu pengetahuan itu terdiri dari: ilmu-ilmu empiris analitis (ilmu-ilmu alam, juga ilmu hukum, psikologi), ilmu-ilmu historis-hemeneutis (ilmu agama, filsafat, bahasa, sastra, kebudayaan), dan ilmu-ilmu sosial-kritis (ilmu politik, ekonomi, sosiologi). Semua jenis dan kelompok ilmu-ilmu ini, menjadi objek (material) dari disiplin filsafat ilmu.
Adapun jenis-jenis ilmu pengetahuan menurut objeknya dapat diklasifikasikan ke dalam ilmu pengetahuan humaniora dengan objek materi manusia; ilmu pengetahuan sosial, dengan objek materi masyarakat; ilmu pengetahuan alam, dengan objek materi badan-badan dan benda alam; dan ilmu pengetahuan agama, dengan objek Tuhan.[3]
Melihat luasnya cakupan istilah ilmu ini, kemudian para ahli membedakan antara filsafat ilmu umum dan filsafat ilmu khusus. Yang terakhir ini diarahkan pada pembahasan secara filsafati terhadap ilmu-ilmu tertentu, misalnya filsafat ilmu alam, filsafat ilmu bahasa, filsafat ilmu sejarah dsb.
Bagaimana dengan ilmu-ilmu keislaman? Apakah ilmu-ilmu keislaman juga termasuk menjadi objek kajian filsafat ilmu? Atau apakah ilmu-ilmu keislaman juga mempunyai filsafat ilmu, dalam arti paradigma keilmuan?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini memang perlu ekstra hati-hati, karena kuatnya pandangan ummat Islam selama ini yang melihat ilmu-ilmu keislaman yang disusun oleh ulama dan kaum cerdik pandai terdahulu, hanya sebagai body of knowledge, yang begitu saja terlepas dari pengaruh dan campur tangan dimensi ruang dan waktu. Munculnya pemikir muslim kontemporer, semisal Fazlur Rahman[4], Mohammed Arkoun[5], Hasan Hanafi[6], Muhammad shahrour[7], Abdulah ahmed al-Naim[8], dan juga Amin Abdullah[9] adalah didorong oleh keprihatinan atau kegelisahan akademik (pinjaman bahasa Amin Abdullah) mereka dalam melihat keberagaman ummat Islam dan terutama pola pikir keilmuan Islam. Bahkan, tokoh yang disebut terakhir bisa disebut satu-satunya pemikir kontemporer, paling tidak di Indonesia, yang secara serius mengusung pendekatan kefilsafatan (dalam hal ini filsafat ilmu) dalam melihat bangunan keilmuan Islam.
Amin Abdullah melihat bahwa di kalangan ummat Islam baik disadari ataupun tidak sebenarnya telah terjadi proses pembakuan dan sekaligus pembekuan keilmuan Islam, yaitu dengan mengunci rapat (pintu ijtihad) dan memustahilkan perlunya telaah ulang terhadap rumusan-rumusan argumen keilmuan Islam klasik. Gejala inilah yang oleh Mohammed Arkoun disebut dengan pensakralan pemikiran keagamaan (taqdis al-afkar ad-diniyyah) di lingkungan umat Islam, baik di lingkungan awam, para aktivis-gerakan sosial keagamaan maupun para sarjana Islamic Studies.
Jika terobosan baru tidak dilakukan (pendapat Amin), secara otomatis dan alami keilmuan Islam akan kehilangan watak dinamikanya, yang merupakan jantung dan prasarat bagi pengembangan keilmuan Islamic Studies khususnya dalam menghadapi tantangan-tantangan baru yang muncul ke permukaan sebagai akibat langsung dari pengembangan jangkauan wilayah pengalaman manusia. Pada giliranya, hal ini mengakibatkan terpencilnya Islamic Studies dari wilayah pergaulan keilmuan sosial dan budaya serta sulitnya upaya pengembangan wilayah (contribution to knowledge) bagi Islamic studies atau dirasah Islamiyah itu sendiri.
Pada era post positivistik seperti sekarang ini, sudah tidak ada lagi suatu bangunan keilmuan dalam wilayah apapun –termasuk di dalamnya wilayah agama- yang terlepas dan tidak terkait sama sekali dari persoalan kultural, sosial dan bahkan sosial-politik yang melatarbelakangi munculnya, disusunya dan bekerjanya sebuah paradigma keilmuan. Maka menurut Amin, adalah tugas para pemerhati, praktisi, dan pengajar Islamic Studies pada umumnya untuk menjawab, mencermati dan merumuskan ulang kerangka berfikir filsafat ilmu dan wilayah Islamic Studies. Jika Islamic Studies adalah bagunan keilmuan biasa, karena disusun dan dirumuskan oleh ilmuan agama, fuqaha, mutakallimun, mutashawwifun, mufassirun, muhadditsun dan cerdik pandai pada era terdahulu dengan tantangan keagamaan dan kemanusiaan yang dihadapi saat itu, seperti layaknya bangunan ilmu-ilmu yang lain. Maka tidak ada alasan lain yang dapat dipertanggungjawabkan untuk menghindarkan diri dari pertemuan perbincangan dan pergumulannya dengan telaah filsafat ilmu.
Dari uraian singkat ini, terlihat bahwa sebagai suatu bangunan keilmuan, ilmu-ilmu keislaman juga digerakkan oleh paradigma keilmuan tertentu sekaligus berjalan atas dialektikanya[10] dengan persoalan aktuan sezaman. Dengan kata lain, ilmu-ilmu keislaman juga mempunyai filsafat ilmu, bahkan sesiologi ilmu dan sejarah ilmu, dan karenanya juga termasuk dalam diskursus filsafat ilmu, yang bisa dianalisis bangunan dasarnya dan konsekuensi-konsekuensinya, baik konsekuensi logis maupun sosiologisnya.


[1] Wilhelm Dilthey (19 November 1833 – 1 Oktober 1911) adalah seorang sejarahwan, psikolog, sosiolog, siswa hermeneutika, dan filsuf Jerman. Dilthey dapat dianggap sebagai seorang empirisis, berlawanan dengan idealisme yang meluas di Jerman pada waktu itu, tetapi penjelasannya tentang apa yang empiris dan eksperiensial berbeda dengan empirisisme Britania dan positivisme  dalam asumsi-asumsi epistemologis dan ontologis  sentralnya, yang diambil dari tradisi-traidisi sastra dan filsafat Jerman. Lihat: Dilthey: Philosopher of the Human Studies (Princeton: Princeton University Press, 1993)
[2] Jurgen Habermas adalah seorang filsuf dan sosiolog dari Jerman. Ia adalah generasi kedua dari Mazhab Frankfurt. Jurgen Habermas adalah penerus dari Teori Kritis yang ditawarkan oleh para pendahulunya (Max Horkheimer, Theodor Adorno, dan Herbert Marcuse). Teori Kritis yang dipaparkan oleh para pendahulunya berakhir dengan kepesimisan atau kebuntuan. Akan tetapi, Teori Kritis tidak berhenti begitu saja, Jurgen Habermas telah membangkitkan kembali teori itu dengan paradigma baru. Lihat: Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris Jerman. Jakarta: Gramedia. 2002. hlm 236
[3] Suparlan Suhartono, Ph.D, Filsafat Ilmu pengetahuan (Jogjakarta, ar-Ruzz Media: 2005) hlm.30
[4] Fazlur Rahman Malik (1 September 1919 – 26 Juli 1988) adalah seorang pemikir Islam.
Rahman lahir di Hazara, Kemaharajaan Britania (kini Pakistan). Ia mempelajari bahasa Arab di Universitas Punjab, dan menempuh mendidikan di Universitas Oxford dimana ia menulis disertasi mengenai Ibnu Sina. Setelah itu, Rahman memulai kariernya sebagai pengajar.
[5] Mohammed Arkoun (1 Februari 1928 – 14 September 2010) dianggap pada saat kematiannya telah menjadi salah satu ulama paling berpengaruh dalam studi Islam memberikan kontribusi bagi reformasi syariah kontemporer. berarir lebih dari 30 tahun, ia telah menjadi kritikus dari ketegangan tertanam dalam bidang studi, advokasi modernisme Islam dan humanisme.
[6] Hassan Hanafi lahir di Kairo, 13 Februari 1935 dari keluarga musisi. Melanjutkan studi di Departemen Filsafat Universitas Kairo (1956) kemudian ke Universitas Sorbone, Prancis. (1996) ia berhasil menyelesaikan program Master dan Doktornya.
Ia menulis Al-Yasar Al-lslamiy (Kiri Islam), sebuah tulisan yang lebih merupakan sebuah “manifesto politik” yang berbau ideologis.
[7] Muhammad Shahrour (lahir pada 1938 di Damaskus) adalah Profesor Emeritus Teknik Sipil di Universitas Damaskus yang menulis secara ekstensif tentang Islam. Ia hanya berpegang Qur’an saja tanpa Hadits.
[8] Abdullah Ahmed An-Na’im, lahir di Sudan pada tahun 1946. Diantara karya-karya utama Ahmad Al-Na’im adalah, berjudul Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and international Law diterbitkan diterbitkan Syracuse, NY: University Press, 1990. Karyanya yang paling kontroversial di Indonesia buku yang berjudul Islam and Secular State: Negotioting the future of Sharia. Edisi Indonesianya adalah: Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masadepan Syari’ah.
[9] Prof. Dr. M Amin Abdullah, lahir di Pati 28 Juli 1953. Alumni KMI Gontor (1972) dan Institut Pendidikan Darussalam (IPD) 1977. Menyelesaikan Program Sarjana pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Perbandingan Agama, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 1982. Atas sponsor Departemen Agama dan Pemerintah Republik Turki, mulai tahun 1985 mengambil Program Ph.D. bidang Filsafat Islam, di Department of Philosophy, Faculty of Art and Sciences, Middle East Technical University (METU), Ankara, Turki (1990). Mengikuti Program Post-Doctoral di McGill University, Kanada (1997-1998). Disertasinya, The Idea of University of Ethical Norms in Ghazali and Kant, diterbitkan di Turki (Ankara: Turkiye Diyanet Vakfi, 1992).
[10] Cara berfikir sesuai dengan kenyataan yang ada ( di suatu daerah/ tempat); analisa kritik  tentang konsepsi-konsepsi untuk menentukan arti, implikasi dan presuposisinya.

No comments: