Pendidikan yang dijadikan acuan masa depan ternyata menjadi sangat sempit setelah pemerintah menerapkan sistem yang memaksa mahasiswa untuk segera lulus dan mengisi kekurangan Indonesia, entah sistem apa saja yang telah diterapkan. Hasil dari pendidikan kampus saat ini memaksa teman-teman menjadi seorang yang mampu bekerja dan berwirausaha. Lalu untuk apa menuntut ilmu tinggi kalau dana yang dikeluarkan mampu dan cukup untuk memulai suatu usaha. Atau mungkin agar kelak menjadi seorang PNS jangan terlalu kecil golongannya. Menyedihkan.
Sistem ini bukan hanya merusak pola pikir teman-teman tapi juga mental yang tertanam dalam benak. Melihat hasil reportase teman-teman LPM Inovasi tentang “Harga Sebuah Skripsi” yang ditulis oleh Hamidah pada Majalah Inovasi edisi ke-26. Hal ini telah saya rasakan di Jogja sejak tahun 2007. Sifat malas yang semakin menjamur menyebabkan mahasiswa ingin segera lulus dengan cara termudah, membeli. Harga tidak terlalu mahal, bahkan ada yang gratis. Rasa tertekan yang sama menyebabkan adanya gerakan gotong royong yang sayang salah tempat.
Permasalahan tugas akhir selalu menyebabkan mahasiswa menjadi fokus dan meninggalkan tanggung jawab lainnya. Tanpa disadari mahasiswa menafikkan kebutuhan sosial. Masalah ini sebenarnya tidak dapat sepenuhnya menjadi kekeliruan pada mahasiswa, karena masih banyak orang tua yang menganggap bahwa nilai dan kelulusan cepat adalah baik adanya. Tanpa memperhatikan pembekalan diri mahasiswa/anak akan kesiapan bermasyarakat dan berfikir secara berkelompok.
Tugas akhir yang seharusnya menjadi karya terakhir dalam kampus ternyata harus ternodai oleh kebiasaan buruk para mahasiswa dalam mengerjakan tugas kuliah sehari-hari. Tidak hanya di Malang saja yang mengalami hal semacam itu tapi di kost berukuran 3×3 pernah ada seorang mahasiswa yang mampu menyelesaikan skripsi dalam 2 malam beserta programnya. Hal semacam itu mungkin saja terjadi, tapi kasus yang saya lihat ini terjadi tanpa adanya riset dan penelitian. Anehnya dosen yang menjadi pembimbingnya tidak merasa curiga karena skripsi yang dilakukannya hanya dalam 2 hari. Setelah melakukan diskusi ringan dengan orang yang bersangkutan ternyata dia hanya melakukan perubahan perusahaan dan barang yang dijual. “Penakno. Cuman ganti nama toko, barang dan penggarap-nya tok.” Tuturnya dengan santai sembari menghisap sebatang rokok.
Kehadiran dosen pembina seharusnya mampu menjadi gerbang pertama untuk mengarahkan mahasiswa agar dapat melakukan kerja ilmiah tanpa harus plagiat. Kasus yang pernah saya dapati adalah dosen yang membina mahasiswa untuk menggarap tugas akhir tidak paham dengan apa yang akan dibahas oleh binaannya. Menyedihkan. Saat melaporkan hal ini kepada ketua jurusan jawaban yang didapatkan sangatlah menyenangkan hati “Saya akan tinjau lagi.” Namun pada tingkat pelaksanaannya membakar hati dan meremukkan semangat, karena ternyata dosen pembina itu masih menyatakan kesediaannya dengan etikat baik akan mempelajari apa yang dibahas oleh mahasiswa binaannya. Lalu kapan mahasiswa ini akan lulus? Jelasnya setelah dosen pembina ini mengerti akan skripsi yang dibahas.
Ternyata gerbang yang dibangun oleh kampus untuk membentengi karya ilmiah mereka masih bergantung pada kesadaran masing-masing dosen. Pada bagian pengajaran pernah dikabarkan akan ini, namun jawabannya selalu menyenangkan hati tapi menyebalkan dalam penerapan. Mengapa permasalahan hak mahasiswa selalu menjadi pembahasan rutin setiap tahunnya, namun kewajiban mahasiswa harus selalu dipenuhi. Biadab.
Dosen selalu benar dan mahasiswa selalu salah. Mungkin ini yang sering dirasakan oleh beberapa mahasiswa dalam melakukan study. Kebiasaan yang kurang baik sebenarnya dilakukan mahasiswa apabila tidak menyenangi seorang dosen, mulai dari cara mengajar, penyampaian hingga peraturan yang diberikan dosen. Kegagalan dalam melakukan kontrak belajar tidak sepenuhnya menjadi kekeliruan dari para dosen karena terkadang mahasiswa malas untuk mengkritik atau memberikan saran. Dan pada saat sistem belajar mengajar dilakukan mereka merasa tidak nyaman dengan apa yang mereka lakukan.
Kegagalan para mahasiswa sebenarnya bukan pada masalah tidak mampu dalam menangkap materi, namun pada pengelolaan waktu. Hal semacam ini selalu dan hampir tidak disadari oleh mahasiswa dan pihak kampus. Kebebasana pada mahasiswa menyebabkan banyak sekali mahasiswa yang binal ketimbang tertip. Pembinaan yang diberikan kampus selalu “kerjakan tugas, ujian, masuk rajin dan bayar jangan telah.” Mengapa jarang sekali kampus yang memberikan gambaran tentang bagaimana cara melewati berorganisasi dengan kuliah.
Organisasi kampus sama halnya dengan kampus, memberikan beban tanpa memperhatikan apa yang sedang dilakukan kampus pada anggotanya. Tugas kuliah dan ujian selalu menjadi kendala dalam berorganisasi tapi itu sebenarnya bukan kendala bagi mereka yang mampu menajemen waktu secara teratur. Sekali lagi pendidikan tentang memanfaatkan waktu secara maksimal harus didapatkan sendiri tanpa adanya pembekalan dari organisasi sehingga terkadang ada beberapa anggota yang kebablasan dalam melakukan sesuatu.
Mungkin perlu ada sebuah mediasi antara kampus dan organisasi untuk menciptakan mahasiswa yang aktif dan trampil dalam berkarya bukan plagiat. Semangat berorganisasi tidak selalu diimbangi dengan kebijakan kampus yang mendukung, begitu pula sebaliknya. Hubungan antara organisasi dan kampus harus terjalin secara mesra dan sehat agar menciptakan kader yang berwawasan dan akal bukan nafsu.
No comments:
Post a Comment