MAKALAH
TENTANG HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU KALAM,FIQIH,DAN ILMU JIWA
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR
.........................................................................................
DAFTAR
ISI .......................................................................................................
BAB
I
PENDAHULUAN..........................................................................
Latar Belakang..............................................................................
Perumusan
Masalah.......................................................................
Tujuan Pembahasan.......................................................................
BAB
II Pembahasan......................................................................................
BAB
III
PENUTUP.....................................................................................
Kesimpulan......................................................................................
Saran................................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA...........................................................................................
BAB
1 PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ilmu tasawuf merupakan
rumusan tentang teoritis terhadap wahyu-wahyu yang berkenaan dengan hubungan
antara tuhan dengan manusia dan apa yang harus dilakukan oleh manusia agar
dapat berhubungan sedekat mungkin dengan tuhan baik dengan pensucian jiwa dan
latihan-latihan spritual. Sedangkan ilmu kalam merupakan disiplin ilmu
keislaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tetang persoalan tentang akidah
dan adapun filsafat adalah rumusan teoritis terhadap wahyu tersebut bagai
manusia mengenai keberadaan (esensi), proses dan sebagainya, Seperti proses
penciptaan alam dan manusia. Sedangkan ilmu jiwa adalah ilmu yang membahas
tentang gejala-gejala dan aktivitas kejiwaan manusia.
Maka dalam hal ini ilmu tasawuf tentunya mempunyai hubungan-hubungan yang terkait dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya, baik dari segi tujuan, konsep dan kontribusi ilmu tasawuf terhadap ilmu-ilmu tersebut dan begitu sebaliknya bagaimana kontribusi ilmu kioslaman yang lain terhadap ilmu tasawuf.
Maka dalam makalah kami ini kami telah membahas hubungan ilmu tasawuf dengan beberapa ilmu keislaman lainnya, diantaranya: Ilmu kalam, ilmu filsafat, ilmu jiwa, dan ilmu fikih. Dengan tujuan agar kita lebih mampu mengkorelasikan ilmu-ilmu tersebut dan bisa membandingbandingkannya.
Maka dalam hal ini ilmu tasawuf tentunya mempunyai hubungan-hubungan yang terkait dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya, baik dari segi tujuan, konsep dan kontribusi ilmu tasawuf terhadap ilmu-ilmu tersebut dan begitu sebaliknya bagaimana kontribusi ilmu kioslaman yang lain terhadap ilmu tasawuf.
Maka dalam makalah kami ini kami telah membahas hubungan ilmu tasawuf dengan beberapa ilmu keislaman lainnya, diantaranya: Ilmu kalam, ilmu filsafat, ilmu jiwa, dan ilmu fikih. Dengan tujuan agar kita lebih mampu mengkorelasikan ilmu-ilmu tersebut dan bisa membandingbandingkannya.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Apa hakekat Ilmu Tasawuf itu?
2. Apa hakekat Kalam itu?
3. Apa hakekat Falsafah itu?
1. Apa hakekat Ilmu Tasawuf itu?
2. Apa hakekat Kalam itu?
3. Apa hakekat Falsafah itu?
4. Apa hakekat Fiqih
itu ?
5. Apa hakekat Ilmu Jiwa itu ?
6. Bagaimana hubungan Ilmu tasawuf dengan kalam, filsafat, fiqih, dan ilmu
5. Apa hakekat Ilmu Jiwa itu ?
6. Bagaimana hubungan Ilmu tasawuf dengan kalam, filsafat, fiqih, dan ilmu
jiwa ?
C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Mengetahui dan memahami hakekat ilmu tasawuf
2. Mengetahui dan memahami hakekat ilmu kalam
3. Mengetahui dan memahami hakekat Filsafat
1. Mengetahui dan memahami hakekat ilmu tasawuf
2. Mengetahui dan memahami hakekat ilmu kalam
3. Mengetahui dan memahami hakekat Filsafat
4. Mengetahui dan memahami hakekat fiqih
5. Mengetahui dan memahami hakekat ilmu jiwa
6. Mengetahui dan memahami hubungan Ilmu tasawuf dengan
6. Mengetahui dan memahami hubungan Ilmu tasawuf dengan
kalam, falsafah, fiqih, dan ilmu jiwa
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. HAKIKAT TASAWUF
Pengertian Tasawuf
Istilah
"tasawuf"(sufism), yang telah sangat populer digunakan selama
berabad-abad, dan sering dengan bermacam-macam arti, berasal dari tiga huruf
Arab, sha, wau dan fa. Banyak pendapat tentang alasan atas asalnya dari sha wa
fa. Ada yang berpendapat, kata itu berasal dari shafa yang berarti kesucian
atau bersih. Sebagian berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shafwe yang
berarti baris atau deret, yang menunjukkan kaum Muslim awal yang berdiri di
baris pertama dalam salat atau dalam perang suci. Sebagian lainnya lagi
berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shuffah yang berarti serambi
masjid Nabawi di Madinah yang ditempati oleh para sahabat-sahabat nabi yang
miskin dari golongan Muhajirin. Ada pula yang menganggap bahwa kata tasawuf
berasal dari shuf yang berarti bulu domba, yang menunjukkan bahwa orang-orang
yang tertarik pada pengetahuan batin kurang memperdulikan penampilan
lahiriahnya dan sering memakai jubah yang terbuat dari bulu domba yang kasar
sebagai simbol kesederhanaan.
Harun Nasution mendefinisikan tasawuf sebagai ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagaimana orang Islam dapat sedekat mungkin dengan Alloh agar memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan bahwa seseorang betul-betul berada di hadirat Tuhan.
Harun Nasution mendefinisikan tasawuf sebagai ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagaimana orang Islam dapat sedekat mungkin dengan Alloh agar memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan bahwa seseorang betul-betul berada di hadirat Tuhan.
Ada sebagian orang yang mulai menyebut dirinya sufi, atau menggunakan istilah serupa lainnya yang berhubungan dengan tasawuf, yang berarti bahwa mereka mengikuti jalan penyucian diri, penyucian "hati", dan pembenahan kualitas watak dan perilaku mereka untuk mencapai maqam (kedudukan) orang-orang yang menyembah Allah seakan-akan mereka melihat Dia, dengan mengetahui bahwa sekalipun mereka tidak melihat Dia, Dia melihat mereka. Inilah makna istilah tasawuf sepanjang zaman dalam konteks Islam.
Imam Junaid dari Baghdad (910 M.) mendefinisikan tasawuf sebagai "mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah". Syekh Abul Hasan asy-Syadzili (1258 M.) syekh sufi besar dari Afrika Utara mendefinisikan tasawuf sebagai "praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan". Syekh Ahmad Zorruq (1494 M.)dari Maroko mendefinisikan tasawuf sebagai berikut: Ilmu yang dengannya dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan tentang jalan Islam, khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal dan menjaganya dalam batas-batas syariat Islam agar kebijaksanaan menjadi nyata. Ia menambahkan, "Fondasi tasawuf ialah pengetahuan tentang tauhid, dan setelah itu memerlukan manisnya keyakinan dan kepastian; apabila tidak demikian maka tidak akan dapat mengadakan penyembuhan 'hati'." Menurut Syekh Ibn Ajiba (1809 M): Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya Anda belajar bagaimana berperilaku supaya berada dalam kehadiran Tuhan yang Maha ada melalui penyucian batin dan mempermanisnya dengan amal baik. Jalan tasawuf dimulai sebagai suatu ilmu, tengahnya adalah amal. dan akhirnva adalah karunia Ilahi.
Tujuan Tasawuf
Tasawwuf sebagai mana
disebutkan dalam artinya di atas, bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung
dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di
hadirat Tuhan dan intisari dari itu adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan
dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan cara mengasingkan diri dan
berkontemplasi. Kesadaran dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad
atau menyatu dengan Tuhan. Dalam ajaran Tasawuf, seorang sufi tidak begitu saja
dapat dekat dengan Tuhan, melainkan terlebih dahulu ia harus menempuh maqamat .
mengenai jumlah maqomat yang harus di tempuh sufi bebrbeda-beda, Abu
Nasr Al- Sarraj menyebutkan tujuh maqomat yaitu tobat, wara, zuhud,
kefakiran, kesabaran, tawakkal, dan kerelaan hati. Dalam perjalananya seorang
shufi harus mengalami istilah hal (state). Hal atau ahwal yaitu sikap rohaniah
yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia tanpa diusahakan olehnya, seperti rasa
takut( al- khauf) , ikhlas, rasa berteman, gembira hati, dan syukur. Jalan
selanjutnya adalah fana' atau lebur dalam realitas mutlak (Allah). Manusia
merasa kekal abadi dalam realitas yang Tertinggi, bahkan meleburkan kepadaNya.
Maksudnya, menghancurkan atau mensinarkan diri agar dapat bersatu dengan Tuhan.
Menurut Taftazani seseorang yang bertasawuf mempunyai beberapa ciri yaitu:
Peningkatan moral, seorang sufi memiliki nilai-nilai moral dengan tujuan membersihkan jiwa. Yaitu dengan akhlak dan budi pekerti yang baik berdasarkan kasih dan cinta kepada allah, oleh karena itu, maka tasawuf sangat mengutamakan adab/ nilai baik dalam berhubungan dengan sesama manusia dan terutama dengan Tuhan (zuhud, qonaah, thaat, istiqomah, mahabbah, ikhlas, ubudiyah, dll). Sirna (fana) dalam realitas mutlak (Allah). Manusia merasa kekal abadi dalam realitas yang Tertinggi, bahkan meleburkan kepadaNya. Maksudnya, menghancurkan atau mensinarkan diri agar dapat bersatu dengan Tuhan. Dan Ketenteraman dan kebahagiaan. Sumber Ajaran Tasawuf : Sumber ajaran tasawuf adalah al-Qur'an dan Hadits yang didalamnya terdapat ajaran yang dapat memebawa kepada timbulnya tasawuf. Paham bahwa Tuhan dekat dengan manusia, yang merupakan ajaran dasarnya dapat dijelaskan dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqoroh ayat 186
B. HAKIKAT ILMU KALAM
Pengertian Ilmu Kalam
Nama lain dari Ilmu Kalam
: Ilmu Aqaid (ilmu akidah-akidah), Ilmu Tawhid (Ilmu tentang Kemaha Esa-an
Tuhan), Ilmu Ushuluddin (Ilmu pokok-pokok agama). Disebut juga 'Teologi Islam'.
'Theos'= Tuhan; 'Logos'= ilmu. Berarti ilmu tentang keTuhanan yang didasarkan atas
prinsip-prinsip dan ajaran Islam; termasuk di dalamnya persoalan-persoalan
ghaib. Menurut Ibnu Kholdun dalam kitab moqodimah mengatakan
ilmu kalam adalah ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan
kepercayaan-keprcayaan iman dengan menggunakan dalil fikiran dan juga berisi
tentang bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang mempunyai
kepercayaan-kepercayaan menyimpang. Ilmu= pengetahuan; Kalam= pembicaraan';
pengetahuan tentang pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan Persoalan
terpenting yang di bicarakan pada awal Islam adalah tentang Kalam Allah
(Al-Qur'an); apakah azali atau non azali (Dialog Ishak bin Ibrahim dengan Imam
Ahmad bin Hanbal. Dasar Ajarannya; Dasar Ilmu Kalam adalah
dalil-dalil fikiran (dalil aqli) Dalil Naqli (Al-Qur'an dan Hadis) baru dipakai
sesudah ditetapkan kebenaran persolan menurut akal fikiran. (Persoalan
kafir-bukan kafir)…… Jalan kebenaran; Pembuktian kepercayaan
dan kebenaran didasarkan atas logika (Dialog Al-Jubbai dan Al-Asy'ari).
C. HAKIKAT
FILSAFAT
Pengertian Filsafat
Menurut analisa Al-Farabi filasafat
berasal dari bahasa Yunani yaitu philosiphia. Philo berarti cinta dan shopia
berarti hikmah atau kebenaran. Menurut Plato, filsuf Yunani yang
termashur, murid Scorates dan guru Aristoteles mengatakan bahwa filsafat adalah
pengetahuan tentang segala sesuatu yang ada.
Marcus Tullius Cicero politikus dan ahli pidato romawi merumuskan filsafat adalah pengatahuan tentang segala sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya. Al Farabi filosuf muslim terbesar sebelum Ibn Sina mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam yang maujud dan brtujuan menyelidiki hakikatnya yang sebenarnya. Filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup metafisika, etika, agama, dan antripologi. Immanuel Kantyang sering disebut raksasa pikir barat, mengatakan bahwa Filsafat itu merupakan ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup metafisika, etika, agama, dan antripologi. Obyek Filsafat; Dalam filasafat terdapat dua obyek yaitu obyek materia dan obyek formanya. Obyek materianya adalah sarwa yang ada pada garis besarnya dibagi atas tiga persoalan, yaitu: Tuhan, alam, dan manusia. Sedangkan Obyek formannya adalah usaha mencari keterangan secara radikal ( sedalam-dalamnya) tentang obyek materi filsafat ( sarwa yang ada)
Marcus Tullius Cicero politikus dan ahli pidato romawi merumuskan filsafat adalah pengatahuan tentang segala sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya. Al Farabi filosuf muslim terbesar sebelum Ibn Sina mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam yang maujud dan brtujuan menyelidiki hakikatnya yang sebenarnya. Filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup metafisika, etika, agama, dan antripologi. Immanuel Kantyang sering disebut raksasa pikir barat, mengatakan bahwa Filsafat itu merupakan ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup metafisika, etika, agama, dan antripologi. Obyek Filsafat; Dalam filasafat terdapat dua obyek yaitu obyek materia dan obyek formanya. Obyek materianya adalah sarwa yang ada pada garis besarnya dibagi atas tiga persoalan, yaitu: Tuhan, alam, dan manusia. Sedangkan Obyek formannya adalah usaha mencari keterangan secara radikal ( sedalam-dalamnya) tentang obyek materi filsafat ( sarwa yang ada)
D. HAKIKAT ILMU FIQIH
PENGERTIAN FIQIH
Fiqh merupakan salah satu
disiplin ilmu Islam yang bisa menjadi teropong keindahan dan kesempurnaan
Islam. Dinamika pendapat yang terjadi diantara para fuqoha menunjukkan betapa Islam
memberikan kelapangan terhadap akal untuk kreativitas dan berijtihad.
Sebagaimana qaidah-qaidah fiqh dan prinsif-prinsif Syari'ah yang bertujuan
untuk menjaga kelestarian lima aksioma, yakni; Agama, akal, jiwa, harta dan
keturunan menunjukkan betapa ajaran ini memiliki filosofi dan tujuan yang
jelas, sehingga layak untuk exis sampai akhir zaman.
Pengertian Fiqh
Pengertian Fiqh
Fiqh menurut Etimologi
Fiqh menurut bahasa
berarti; faham, sebagaimana firman Allah SWT:
"Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku. Supaya mereka memahami perkataanku." ( Thaha:27-28)
"Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku. Supaya mereka memahami perkataanku." ( Thaha:27-28)
Pengertian fiqh seperti diatas, juga tertera dalam ayat lain, seperti; Surah Hud: 91, Surah At Taubah: 122, Surah An Nisa: 78
Fiqh dalam terminologi Islam
Dalam terminologi Islam,
fiqh mengalami proses penyempitan makna; apa yang dipahami oleh generasi awal
umat ini berbeda dengan apa yang populer di genersi kemudian, karenanya kita
perlu kemukakan pengertian fiqh menurut versi masing-masing generasi;
Pengertian fiqh dalam terminologi generasi Awal
Dalam pemahaman
generasi-generasi awal umat Islam (zaman Sahabat, Tabi'in dst.), fiqh berarti
pemahaman yang mendalam terhadap Islam secara utuh, sebagaimana tersebut dalam
Atsar-atsar berikut, diantaranya sabda Rasulullah SAW:
"Mudah-mudahan Allah memuliakan orang yang mendengar suatu hadist dariku, maka ia menghapalkannya kemuadian menyampaikannya (kepada yang lain), karena banyak orang yang menyampaikan fiqh (pengetahuan tentang Islam) kepada orang yang lebih menguasainya dan banyak orang yang menyandang fiqh (tetapi) dia bukan seorang Faqih." (HR Abu Daud, At Tirmdzi, An Nasai dan Ibnu Majah)
Ketika mendo'akan Ibnu Abbas, Rasulullah SAW berkata:
"Ya Allah, berikan kepadanya pemahaman dalam agama dan ajarkanlah kepadanya tafsir." (HR Bukhari Muslim)
Dalam penggalan cerita Anas bin Malik tentang beredarnya isu bahwa Rasulullah SAW telah bersikap tidak adil dalam membagikan rampasan perang Thaif, ia berkata:
"Para ahli fiqihnya berkata kepadanya: Adapun para cendekiawan kami, Wahai Rasulullah ! tidak pernah mengatakan apapun." (HR Bukhari)
Dan ketika Umar bin Khattab bermaksud untuk menyampaikan khutbah yang penting pada para jama'ah haji, Abdurrahman bin Auf mengusulkan untuk menundanya, karena dikalangan jama'ah bercampur sembarang orang, ia berkata:
"Khususkan (saja) kepada para fuqoha (cendekiawan)." (HR Bukhari)
Makna fiqh yang universal seperti diatas itulah yang difahami generasi sahabat, tabi'in dan beberapa generasi sesudahnya, sehingga Imam Abu Hanifah memberi judul salah satu buku akidahnya dengan "al Fiqh al Akbar." Istilah fuqoha dari pengertian fiqih diatas berbeda dengan makna istilah Qurra sebagaimana disebutkan Ibnu Khaldun, karena dalam suatu hadist ternyata kedua istilah ini dibedakan, Rasulullah SAW bersabda:
"Dan akan datang pada manusia suatu zaman dimana para faqihnya sedikit sedangkan Qurranya banyak; mereka menghafal huruf-huruf al Qur'an dan menyia-nyiakan norma-normanya, (pada masa itu) banyak orang yang meminta tetapi sedikit yang memberi, mereka memanjangkan khutbah dan memendekkan sholat, serta memperturutkan hawa nafsunya sebelum beramal." (HR Malik)
Lebih jauh tentang pengertian Fiqh seperti disebutkan diatas, Shadru al Syari'ah Ubaidillah bin Mas'ud menyebutkan: "Istilah fiqh menurut generasi pertama identik atas ilmu akhirat dan pengetahuan tentang seluk beluk kejiwaan, sikap cenderung kepada akhirat dan meremehkan dunia, dan aku tidak mengatakan (kalau) fiqh itu sejak awal hanya mencakup fatwa dan (urusan) hukum-hukum yang dhahir saja."
Demikian juga Ibnu Abidin, beliau berkata: "Yang dimaksud Fuqaha adalah orang-orang yang mengetahuai hukum-hukum Allah dalam i'tikad dan praktek, karenanya penamaan ilmu furu' sebagai fiqh adalah sesuatu yang baru."
Definisi tersebut diperkuat dengan perkataan al Imam al Hasan al Bashri: "Orang faqih itu adalah yang berpaling dari dunia, menginginkan akhirat, memahami agamanya, konsisten beribadah kepada Tuhannya, bersikap wara', menahan diri dari privasi kaum muslimin, ta'afuf terhadap harta orang dan senantiasa menasihati jama'ahnya."
"Mudah-mudahan Allah memuliakan orang yang mendengar suatu hadist dariku, maka ia menghapalkannya kemuadian menyampaikannya (kepada yang lain), karena banyak orang yang menyampaikan fiqh (pengetahuan tentang Islam) kepada orang yang lebih menguasainya dan banyak orang yang menyandang fiqh (tetapi) dia bukan seorang Faqih." (HR Abu Daud, At Tirmdzi, An Nasai dan Ibnu Majah)
Ketika mendo'akan Ibnu Abbas, Rasulullah SAW berkata:
"Ya Allah, berikan kepadanya pemahaman dalam agama dan ajarkanlah kepadanya tafsir." (HR Bukhari Muslim)
Dalam penggalan cerita Anas bin Malik tentang beredarnya isu bahwa Rasulullah SAW telah bersikap tidak adil dalam membagikan rampasan perang Thaif, ia berkata:
"Para ahli fiqihnya berkata kepadanya: Adapun para cendekiawan kami, Wahai Rasulullah ! tidak pernah mengatakan apapun." (HR Bukhari)
Dan ketika Umar bin Khattab bermaksud untuk menyampaikan khutbah yang penting pada para jama'ah haji, Abdurrahman bin Auf mengusulkan untuk menundanya, karena dikalangan jama'ah bercampur sembarang orang, ia berkata:
"Khususkan (saja) kepada para fuqoha (cendekiawan)." (HR Bukhari)
Makna fiqh yang universal seperti diatas itulah yang difahami generasi sahabat, tabi'in dan beberapa generasi sesudahnya, sehingga Imam Abu Hanifah memberi judul salah satu buku akidahnya dengan "al Fiqh al Akbar." Istilah fuqoha dari pengertian fiqih diatas berbeda dengan makna istilah Qurra sebagaimana disebutkan Ibnu Khaldun, karena dalam suatu hadist ternyata kedua istilah ini dibedakan, Rasulullah SAW bersabda:
"Dan akan datang pada manusia suatu zaman dimana para faqihnya sedikit sedangkan Qurranya banyak; mereka menghafal huruf-huruf al Qur'an dan menyia-nyiakan norma-normanya, (pada masa itu) banyak orang yang meminta tetapi sedikit yang memberi, mereka memanjangkan khutbah dan memendekkan sholat, serta memperturutkan hawa nafsunya sebelum beramal." (HR Malik)
Lebih jauh tentang pengertian Fiqh seperti disebutkan diatas, Shadru al Syari'ah Ubaidillah bin Mas'ud menyebutkan: "Istilah fiqh menurut generasi pertama identik atas ilmu akhirat dan pengetahuan tentang seluk beluk kejiwaan, sikap cenderung kepada akhirat dan meremehkan dunia, dan aku tidak mengatakan (kalau) fiqh itu sejak awal hanya mencakup fatwa dan (urusan) hukum-hukum yang dhahir saja."
Demikian juga Ibnu Abidin, beliau berkata: "Yang dimaksud Fuqaha adalah orang-orang yang mengetahuai hukum-hukum Allah dalam i'tikad dan praktek, karenanya penamaan ilmu furu' sebagai fiqh adalah sesuatu yang baru."
Definisi tersebut diperkuat dengan perkataan al Imam al Hasan al Bashri: "Orang faqih itu adalah yang berpaling dari dunia, menginginkan akhirat, memahami agamanya, konsisten beribadah kepada Tuhannya, bersikap wara', menahan diri dari privasi kaum muslimin, ta'afuf terhadap harta orang dan senantiasa menasihati jama'ahnya."
Pengertian fiqh dalam terminologi Mutaakhirin
Dalam terminologi mutakhirin, Fiqh adalah Ilmu furu' yaitu:"mengetahui hukum Syara' yang bersipat amaliah dari dalil-dalilnya yang rinci.
Syarah/penjelasan definisi ini adalah:
- Hukum Syara': Hukum yang diambil yang diambil dari Syara'(Al-Qur'an dan
As-Sunnah), seperti; Wajib, Sunah, Haram, Makruh dan Mubah.
- Yang bersifat amaliah: bukan yang berkaitan dengan aqidah dan kejiwaan.
- Dalil-dali yang rinci: seperti; dalil wajibnya sholat adalah "wa Aqiimus
- Yang bersifat amaliah: bukan yang berkaitan dengan aqidah dan kejiwaan.
- Dalil-dali yang rinci: seperti; dalil wajibnya sholat adalah "wa Aqiimus
sholaah", bukan kaidah-kaidah umum seperti kaidah Ushul
Fiqh.
Dengan definisi diatas, fiqh tidak hanya mencakup hukum syara' yang bersifat dharuriah (aksiomatik), seperti; wajibnya sholat lima waktu, haramnya hamr, dsb. Tetapi juga mencakup hukum-hukum yang dhanny, seperti; apakah menyentuh wanita itu membatalkan wudhu atau tidak? Apakah yang harus dihapus dalam wudhu itu seluruh kepala atau cukup sebagiannya saja?
Lebih spesifik lagi, para ahli hukum dan undang-undang Islam memberikan definisi fiqh dengan; Ilmu khusus tentang hukum-hukum syara' yang furu dengan berlandaskan hujjah dan argumen.
Dengan definisi diatas, fiqh tidak hanya mencakup hukum syara' yang bersifat dharuriah (aksiomatik), seperti; wajibnya sholat lima waktu, haramnya hamr, dsb. Tetapi juga mencakup hukum-hukum yang dhanny, seperti; apakah menyentuh wanita itu membatalkan wudhu atau tidak? Apakah yang harus dihapus dalam wudhu itu seluruh kepala atau cukup sebagiannya saja?
Lebih spesifik lagi, para ahli hukum dan undang-undang Islam memberikan definisi fiqh dengan; Ilmu khusus tentang hukum-hukum syara' yang furu dengan berlandaskan hujjah dan argumen.
E. HAKIKAT
ILMU JIWA
PEGERTIAN ILMU JIWA
Ilmu jiwa (psikologi)
adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku dan proses mental yang terjadi
pada manusia. Dengan kata lain, ilmu ini meneliti tentang peranan yang
dimainkan dalam perilaku manusia. Psikologi meneliti tentang suara hati
(dhamir), kemauan (iradah), daya ingat, hafalan, prasangka (waham), dan
kecenderungan-kecenderungan (awathif) manusia. Itu semua menjadi lapangan kerja
jiwa yang menggerakkan perilaku manusia.
Ilmu jiwa mengarahkan
pembahasan pada aspek batin yang di dalam Qur’an diungkapkan dengan istilah
insan. Dimana istilah ini berkaitan erat dengan kegiatan manusia yaitu kegiatan
belajar, tentang musuhnya, penggunaan waktunya, beban amanah yang dipikulkan,
konsekuensi usaha perbuatannya, keterkaitan dengan moral dan akhlak,
kepemimpinannya, ibadahnya dan kehidupannya di akhirat. Quraish Shihab
mengemukakan bahwa secara nyata terlihat dan sekaligus kita akui bahwa terdapat
manusia yang berkelakuan baik dan sebaliknya. Berarti manusia memiliki kedua
potensi tersebut. Beliau mengutip ayat yang berbunyi:
“Maka Kami telah memberi petunjuk (kepada)nya (manusia) dua jalan mendaki (baik dan buruk”) (QS. Al-Balad, 90: 10)
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”. (QS. As-Syams: 7-8)
Dalam diri manusia terdapat potensi rohaniah yang cenderung kepada kebaikan dan keburukan. Potensi rohaniah secara lebih dalam dikaji dalam ilmu jiwa. Untuk mengembangkan ilmu akhlak kita dapat memanfaatkan informasi yang diberikan oleh ilmu jiwa. Di dalam ilmu jiwa terdapat informasi tentang perbedaan psikologis yang dialami seseorang pada setiap jenjang usianya.
F. Hubungan
Tasawuf Dengan Ilmu Kalam, Ilmu Filsafat, Ilmu Fiqih, Dan Ilmu Jiwa
Ø HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU KALAM
Ilmu kalam adalah disiplin ilmu keIslaman yang banyak mengedepankan pembicaraan
tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Persoalan-persoalan kalam ini biasanya
mengarah sampai pada perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi,
baik rasional (aqliyah) maupun naqliyah. Argumentasi yang dimaksudkan adalah
landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode berpikir filosofis,
sedangkan argumentasi naqliyah biasanya bertendensi pada argumentasi berupa
dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits. Pembicaraan materi-materi yang tercakup dalam
ilmu kalam terkesan tidak menyentuh rasa rohaniah. Sebagai contoh, ilmu kalam
menerangkan bahwa Allah bersifat Sama’, Bashar, Kalam, Iradah, Qudrah, Hayat,
dan sebagainya. Namun, ilmu kalam tidak menjelaskan bagaimana seorang hamba
dapat merasakan langsung bahwa Allah mendengar dan melihatnya, bagaimana pula
perasaan hati seseorang ketika membaca Al-Qur’an, bagaimana seseorang merasa
bahwa segala sesuatu yang tercipta merupakan pengaruh dari kekuasaan Allah
?
Pernyataan-pernyataan diatas sulit terjawab hanya dengan berlandaskan pada ilmu
kalam. Biasanya, yang membicarakan penghayatan sampai pada penanaman kejiwaan
manusia adalah ilmu Tasawuf. Disiplin inilah yang membahas bagaimana merasakan
nilai-nilai akidah dengan memperhatikan bahwa persoalan bagaimana merasakan
tidak saja termasuk dalam lingkup hal yang diwajibkan. Pada ilmu kalam
ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta
kemunafikan dan batasannya. Sementara pada ilmu tasawuf ditemukan pembahasan
jalan atau metode praktis untuk merasakan keyakinan dan ketentraman.
Sebagaimana dijelaskan juga tentang menyelamatkan diri dari kemunafikan. Semua
itu tidak cukup hanya diketahui batasan-batasannya oleh seseorang. Sebab
terkadang seseorang sudah tahu batasan-batasan kemunafikan, tetapi tetap saja
melaksanakannya.
Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu Tasawuf mempunyai fungsi sebagai
berikut.
1. Sebagai pemberi wawasan
spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang mendalam lewat hati terhadap
ilmu kalam menjadikan ilmu ini lebih terhayati atau teraplikasikan dalam
perilaku. Dengan demikian, ilmu Tasawuf merupakan penyempurna ilmu kalam.
1.
Berfungsi sebagai
pengendali ilmu Tasawuf. Oleh karena itu, jika timbul suatu aliran yang bertentangan
dengan akidah, atau lahir suatu kepercayaan baru yang bertentangan dengan
Al-Qur’an dan As-Sunnah, hal itu merupakan penyimpangan atau penyelewengan.
Jika bertentangan atau tidak pernah diriwayatkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah,
atau belum pernah diriwayatkan oleh ulama-ulama salaf, hal itu harus ditolak.
2.
Berfungsi sebagai pemberi
kesadaran rohaniah dalam perdebatan-perdebatan kalam. Sebagaimana disebutkan
bahwa ilmu kalam dalam dunia Islam cenderung menjadi sebuah ilmu yang
mengandung muatan rasional disamping muatan naqliyah, ilmu kalam dapat bergerak
kearah yang lebih bebas. Disinilah ilmu Tasawuf berfungsi memberi muatan
rohaniah sehingga ilmu kalam terkesan sebagai dialektika keIslaman belaka, yang
kering dari kesadaran penghayatan atau sentuhan hati.
Andaikata manusia sadar bahwa Allahlah yang memberi, niscaya rasa
hasud dan dengki akan sirna, kalau saja dia tahu kedudukan penghambaan diri,
niscaya tidak akan ada rasa sombong dan membanggakan diri. Kalau saja manusia
sadar bahwa Allahlah pencipta segala sesuatu, niscaya tidak akan ada sifat ujub
dan riya. Dari sinilah dapat dilihat bahwa ilmu tauhid merupakan jenjang
pertama dalam pendakian menuju Allah (pendakian para kaum sufi). Dalam ilmu
Tasawuf, semua persoalan yang berada dalam kajian ilmu kalam terasa lebih
bermakna, tidak kaku, tetapi akan lebih dinamis dan aplikatif.
Ø HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU FALSAFAH
Biasanya Tasawuf dan filsafah selalu dipandang berlawanan. Ada juga
anggapan bahwa pencarian jalan Tasawuf mengharuskan pencelaan filsafat, tidak
hanya berupa timbal balik dan saling mempengaruhi, bahkan asimilasi (perpaduan)
dan hubungan ini sama sekali tidak terbatas pada kebencian dan permusuhan.
Tasawuf adalah pencarian jalan ruhani, kebersatuan dengan kebenaran mutlak dan pengetahuan
mistik menurut jalan dan sunnah. Sedangkan filsafah tidak dimaksudkan hanya
filsafah peripatetic yang rasionalistik, tetapi seluruh mazhab intelektual
dalam kultur Islam yang telah berusaha mencapai pengetahuan mengenai sebab awal
melalui daya intelek. Filsafat terdiri dari filsafat diskursif (bahtsi) maupun
intelek intuitif (dzawqi).
Hubungan antara Tasawuf dan filsafat, yaitu :
1.
Bentuk hubungan yang
paling luas antara Tasawuf dan filsafat tentu saja adalah pertentangan satu
sama lain, sebagaimana tampak dalam karya-karya al-Ghazali bersaudara, Abu
hamid dan Ahmad. Dan penyair sufi besar seperti Sana’I, Athar, dan Rumi.
Kelompok sufi ini hanya memperhatikan aspek rasional dari filsafat, dan setiap
kali berbicara tentang intelek, mereka tidak mengartikan intelek dalam arti
mutlaknya, namun mengacu kepada aspek rasional intelek (akal). Athar juga
memahami filsafat hanya sebagai filsafat peripatetic yang rasionalistik, dan
menekankan bahwa hal itu tidak boleh dikelirukan dengan misteri ilahiah dan pengetahuan
ilahiah, yang merupakan usaha puncak pensucian jiwa dibawah bimbingan spiritual
para guru sufi. Intelek tidak sama dengan hadist Nabi dan falsafah tidak sama
dengan teosofi (hikmah) dalam makna Qur’aninya. Matsnawi adalah sebuah
Masterpiece filsafat.
2.
Hubungan antara
Tasawuf dan filsafat tampak dalam munculnya bentuk khusus yang terjalin erat
dengan filsafat. Meskipun bentuk tasawuf ini tidak menerima filsafat
peripatetic dan mazhab-mazhab filsafat lain yang seperti itu, namun ia sendiri
tercampur dengan filsafat atau teosofi (hikmah) dalam bentuknya yang paling
luas. Dalam mazhab Tasawuf itu, intelek sebagai alat untuk mencapai realitas
tentang yang mutlak dengan memperoleh kedudukan yang tinggi. Dengan demikian,
dalam tasawuf berkembang satu jenis teosofi (ilmu ilahi) yang tidak hanya
datang untuk menggantikan filsafat didunia Arab, tapi di Persia ia juga amat
mempengaruhi jika bukan menggantikan filsafat dan kemudian secara amat
efektif menggabungkan filsafat dan Tasawuf, bahkan mengganti nama Tasawuf
menjadi Irfan (gnosis,makrifat) pada periode safawi. Penentangan terhadap
filsafat masih tetap tampak, tapi penentangan ini sebenarnya muncul dalam
kaitannya dengan istilah falsafah dan rasionalisme. Hubungan Tasawuf dan
filsafah berbeda dari apa yang diamati dalam tasawuf yang didominasi cinta,
seperti pada Athar dan lainnya.
3.
Hubungan antara Tasawuf
dan filsafat ditemukan dalam karya-karya para sufi yang sekaligus juga filosof,
Yang telah berusaha untuk merujuk tasawuf dan filsafat. Afdhaluddin kasyani,
Quthbuddin syirazi, Ibd Turkah al-Isfahani, dan Mir Abul Qosim findiriski,
orang-orang ini seluruhnya adalah sufi yang berjalan pada jalan spiritual dan
telah mencapai maqam spiritual, dan beberapa diantara mereka terdapat para
wali, tetapi pada saat yang sama secara mendalam memahami filsafat dan cukup
mengherankan, beberapa diantara mereka lebih tertarik pada filsafat
peripatetic dan rasionalistik daripada filsafat intuitif (dzawqi), sebagaimana
dapat diamati dalam kasus Mir Findiriski yang amat mendalami As-Syifanya Ibnu
Sina. Diantara kelompok ini, Afdhaluddin Kasyani memegang kedudukan yang unik.
Ia tidak hanya salah satu sufi terbesar yang hingga hari ini mouseleumnya di
Maqam Kasyani menjadi tempat Ziarah, baik orang-orang yang awam maupun
orang-orang terpelajar, tetapi ia juga dianggap sebagai salah satu filosof
Persia terbesar yang sumbangannya bagi pengembangan bahasa filsafat Persia tak
tertandingi. Karya-karya filsafatnya dalam logika, teologi, ataupun dalam
ilmu-ilmu alam ditulis dalam bahasa Persia yang jelas dan fasih, dan merupakan
Masterpiece dalam bahasa ini. Ia tidak hanya menunjukkan dengan jelas wawasan
tasawuf dalam syair-syairnya, namun dalam hal logika dan filsafat yang paling
ketat sekalipun. Figur besar lain seperti Quthbuddin al-Syirazi, yang dalam
masa remajanya bergabung dengan para sufi dan juga menulis karya besar dalam
filsafat peripatetic dalam bahasa Persia, Durrat al-Tajj, lalu bin Turkah
Isfahani, yang Tamhid al-Qawaidnya merupakan Masterpiece filsafat sekaligus
Tasawuf, dan Mir Abul Qosim Findiriski, yang menjadi komentator karya
metafisika Hindu penting, Yoga Vaisithsa adalah sufi dan ahli
makrifat yang kepadanya banyak mukjizat dinisbatkan. Mereka semua
sesungguhnya adalah para pengikut mazhab Afdhluddin Kasyani, sejauh menyangkut
upaya pemantapan hubungan antara Tasawuf dan Filsafat.
4.
Kategorisasi umum kita
mengenai hubungan Tasawuf dengan filsafat, mencakup para filosof yang
mempelajari atau mempraktekan Tasawuf. Yang pertama dari kelompok ini adalah
Al-Farabi, yang mempraktekan Tasawuf dan bahkan telah mengubah musik yang
dimainkan dalam pertemuan Sama’ pada sufi, mutiara hikmah yang dinisbatkan
kepadanya sangatlah penting. Karena, pada dasarnya, inilah buku mengenai
filsafat maupun makrifat dan hingga kini diajarkan di Persia bersama
komentar-komentar makrifati.
Ø HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU FIQIH
Biasanya, pembahasan kitab-kitab fiqih selalu dimulai dari Thaharah, kemudian
persoalan-persoalan kefiqihan lainnya. Namun, pembahasan ilmu fiqih tentang
thaharah atau yang lainnya secara tidak langsung terkait dengan pembicaraan
nilai-nilai rohaniahnya. Persoalannya sekarang, disiplin ilmu apakah yang dapat
menyempurnakan ilmu fiqih dalam persoalan-persoalan tersebut ? Ilmu Tasawuf
tampaknya merupakan jawaban yang paling tepat karena ilmu ini berhasil
memberikan corak batin terhadap ilmu fiqih. Corak batin yang dimaksud adalah
ikhlas dan khusyuk berikut jalannya masing-masing. Bahkan ilmu ini mampu
menumbuhkan kesiapan manusia untuk melaksanakan hukum-hukum fiqih. Akhirnya,
pelaksanaan kewajiban manusia tidak akan sempurna tanpa perjalanan rohaniah.
Dahulu para ahli fiqih mengatakan “Barang siapa mendalami fiqih, tetapi belum
bertasawuf, berarti ia fasik. Barang siapa bertasawuf, tetapi belum mendalami
fiqih, berarti ia zindiq. Dan Barang siapa melakukan ke-2 nya, berarti ia
melakukan kebenaran”. Tasawuf dan fiqih adalah 2 disiplin ilmu yang saling menyempurnakan.
Jika terjadi pertentangan antara ke-2 nya, berarti disitu terjadi kesalahan dan
penyimpangan. Maksudnya, boleh jadi seorang sufi berjalan tanpa fiqih, atau
seorang ahli tidak mengamalkan ilmunya. Jadi, seorang ahli sufi harus
bertasawuf (sufi), harus memahami dan mengikuti aturan fiqih. Tegasnya, seorang
fiqih harus mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan hukum dan yang berkaitan
dengan tata cara pengamalannya. Seorang sufi pun harus mengetahui aturan-aturan
hukum dan sekaligus mengamalkannya. Ini menjelaskan bahwa ilmu Tasawuf dan ilmu
Fiqih adalah 2 disiplin ilmu yang saling melengkapi.
Ilmu tasawuf tampaknya
merupakan jawaban yang paling tepat karena ilmu ini memberikan corak batin
terhadap ilmu fiqih. Corak batin yang dimaksud, seperti ikhlas dan khusu’
berikut jalannya masing-masing. Bahkan, ilmu ini dapat menumbuhkan kesiapan
manusia untuk melaksanakan hilim-hukum fiqih. Alasannya, pelaksanaan kewajiban
manusia tidak akan sempurna tanpa perjalanan rohaniyah.
Makrifat secara rasa terhadap Allah melahirkan pelaksanaan hukum-hukum-Nya secara sempurna. Dari sinilah dapat diketahui kelirunya pendapat yang menuduh perjalanan menuju Allah (dalam tasawuf) sebagai tindakan melepaskan diri dari hukum-hukum Allah.
Allah SWT sendiri telah berfirman:
Makrifat secara rasa terhadap Allah melahirkan pelaksanaan hukum-hukum-Nya secara sempurna. Dari sinilah dapat diketahui kelirunya pendapat yang menuduh perjalanan menuju Allah (dalam tasawuf) sebagai tindakan melepaskan diri dari hukum-hukum Allah.
Allah SWT sendiri telah berfirman:
Artinya: ”Kemudian Kami
jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu),
Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang
tidak mengetahui”.
Berkaitan dengan persoalan ini, Al-Junaid – seperti dikutip Sa’id Hawwa’ – menuduh sesat golongan yang menjadikan whusul (mencapai) Allah sebagi tindakan untuk melepaskan diri dari hukum-hukum syari’at. Lebih tegas ia mengatakan, Betul mereka sampai, tetapi ke neraka saqar”.
Dahulu para ahli fiqih mengatakan, ”barangsiapa mendalami fiqih tetapi belum bertasawuf, berarti ia fasik; barang siapa bertasawuf tetapi belum mendalami fikih berarti aia zindiq; Dan barangsiapa melakukan keduanya, berarti ia ber-tahaqquq (melakukan kebenaran).” tasawufdan fiqih adalah dua disiplin ilmu yang saling menyempurnakan. Jika terjadi pertentangan antara keduanya, berarti ia terjadi kesalahan dan penyimpangan. Maksudnya, boleh jadi seorang sufi berjalan tanpa fikih atau menjauhi fikih, atau seorang ahli fikih tidak mengamalkan ilmunya.
Jadi, seorang ahli fikih harus bertasawuf. Sebaliknya, seorang ahli tasawuf pun harus mendalmi dan mengikuti aturan fikih. Tegasnya, seorang fakih harus mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan hukum dan yang berkaitan dengan tata cara pengamalannya. Seorang sufu pun harus m,engetahui aturan-aturan hukum dan sekligus mengamalkannnya. Syeikh A-Rifa’i berkata, ”Sebenarnya tujuan akhir para ulama dan para sufi dalah satu. ”Pernyataan Ar-Rifa’i diatas perlu dikemukakan sebab beberapa sufi yang ”terkelabui” selalu menghujat setiap orang dengan perkataan, ”orang yang tidak memiliki syaikh, maka syaikhnya adalah setan.” Ungkapan ini diungkapkan seorang sufi bodoh yang berpropaganda untuk seikhnya; atau dilontarkan oleh sufi keliru yang tidak tahu bgaimana seharusnya mendudukkan tasawuf pada tempat yang sebenarnya.
Para pengamat Ilmu Tasawuf mengakui bahwa orang yang telah berhasil menyatukan ilmu tasawuf dengan fikih adalah Al-Ghazali. Kitab Ihya’ Ulumuddinnya dapat dipandang sebagai kitab yang dapat mewakili dua disiplin ilmu ini, disamping disiplin ilmu lainnya, seperti ilmu kalam dan filsafat. Paparan diatas telah menjelaskan bahwa ilmu tasawuf mengakui bahwa tasawuf dan ilmu fikih adalah dua disiplin ilmu yang saling melengkapi. Setiap orang harus menempuh keduanya, dengan catatan bahwa kebutuhan perseorangan terhadap kedua disiplin ilmu ini sangat beragam, sesuai dengan kadar kualitas ilmunya. Dari sini dapat dipahami bahwa ilmu fikih, yanbg terkesan sangat formalistik – lahiriyah, menjadi sangat kering, kaku, dan tidak mempunyai makna bagi penghambaan seseorang jika tidak diisi dengan muatan kesadaran rohaniyah yang dimiliki ilmu tsawuf. Begitu juga sebaliknya, tasawuf akan terhindar dari sikap-sikap ”merasa suci” sehingga tidak perlu lagi memperhatikan kesucian lahir yang diatur dalam ilmu fikih.
Berkaitan dengan persoalan ini, Al-Junaid – seperti dikutip Sa’id Hawwa’ – menuduh sesat golongan yang menjadikan whusul (mencapai) Allah sebagi tindakan untuk melepaskan diri dari hukum-hukum syari’at. Lebih tegas ia mengatakan, Betul mereka sampai, tetapi ke neraka saqar”.
Dahulu para ahli fiqih mengatakan, ”barangsiapa mendalami fiqih tetapi belum bertasawuf, berarti ia fasik; barang siapa bertasawuf tetapi belum mendalami fikih berarti aia zindiq; Dan barangsiapa melakukan keduanya, berarti ia ber-tahaqquq (melakukan kebenaran).” tasawufdan fiqih adalah dua disiplin ilmu yang saling menyempurnakan. Jika terjadi pertentangan antara keduanya, berarti ia terjadi kesalahan dan penyimpangan. Maksudnya, boleh jadi seorang sufi berjalan tanpa fikih atau menjauhi fikih, atau seorang ahli fikih tidak mengamalkan ilmunya.
Jadi, seorang ahli fikih harus bertasawuf. Sebaliknya, seorang ahli tasawuf pun harus mendalmi dan mengikuti aturan fikih. Tegasnya, seorang fakih harus mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan hukum dan yang berkaitan dengan tata cara pengamalannya. Seorang sufu pun harus m,engetahui aturan-aturan hukum dan sekligus mengamalkannnya. Syeikh A-Rifa’i berkata, ”Sebenarnya tujuan akhir para ulama dan para sufi dalah satu. ”Pernyataan Ar-Rifa’i diatas perlu dikemukakan sebab beberapa sufi yang ”terkelabui” selalu menghujat setiap orang dengan perkataan, ”orang yang tidak memiliki syaikh, maka syaikhnya adalah setan.” Ungkapan ini diungkapkan seorang sufi bodoh yang berpropaganda untuk seikhnya; atau dilontarkan oleh sufi keliru yang tidak tahu bgaimana seharusnya mendudukkan tasawuf pada tempat yang sebenarnya.
Para pengamat Ilmu Tasawuf mengakui bahwa orang yang telah berhasil menyatukan ilmu tasawuf dengan fikih adalah Al-Ghazali. Kitab Ihya’ Ulumuddinnya dapat dipandang sebagai kitab yang dapat mewakili dua disiplin ilmu ini, disamping disiplin ilmu lainnya, seperti ilmu kalam dan filsafat. Paparan diatas telah menjelaskan bahwa ilmu tasawuf mengakui bahwa tasawuf dan ilmu fikih adalah dua disiplin ilmu yang saling melengkapi. Setiap orang harus menempuh keduanya, dengan catatan bahwa kebutuhan perseorangan terhadap kedua disiplin ilmu ini sangat beragam, sesuai dengan kadar kualitas ilmunya. Dari sini dapat dipahami bahwa ilmu fikih, yanbg terkesan sangat formalistik – lahiriyah, menjadi sangat kering, kaku, dan tidak mempunyai makna bagi penghambaan seseorang jika tidak diisi dengan muatan kesadaran rohaniyah yang dimiliki ilmu tsawuf. Begitu juga sebaliknya, tasawuf akan terhindar dari sikap-sikap ”merasa suci” sehingga tidak perlu lagi memperhatikan kesucian lahir yang diatur dalam ilmu fikih.
Ø HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU JIWA
Dalam pembahasan Tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Yang
dikehendaki dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam Tasawuf tersebut
adalah terciptanya keserasian antara ke-2 nya. Pembahasan tentang jiwa dan
badan ini dikonsepsikan para sufi dalam rangka melihat sejauh mana hubungan
perilaku yang dipraktikan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya
sehingga perbuatan itu dapat terjadi. Dari sini, baru muncul kategori-kategori
perbuatan manusia, apakah dkategorikan sebagai perbuatan jelek atau perbuatan
baik. Jika perbuatan yang ditampilkan seseorang baik, ia disebut orang yang
berakhlak baik. Sebaliknya, jika perbuatan yang ditampilkannya jelek, ia
disebut sebagai orang yang berakhlak jalek. Dalalm pandangan kaum sufi, akhlak
dan sifat seseorang bergantung pada jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya. Jika
yang berkuasa dalam tubuhnya adalah nafsu-nafsu hewani atau nabati, yang akan
tampil dalam perilakunya adalah perilaku hewani atau nabati pula. Sebaliknya,
jika yang berkuasa adalah nafsu insani, yang akan tampil dalam perilakunya
adalah perilaku insani pula. Orang yang sehat mentalnya adalah yang mampu
merasakan kebahagiaan dalam hidup, karena orang-orang inilah yang dapat
merasakan bahwa dirinya berguna, berharga, dan mampu menggunakan segala potensi
dan bakatnya semaksimal mungkin dengan cara membawa kebahagiaan dirinya dan
orang lain. Disamping itu, ia mampu menyesuaikan diri dalam arti yang luas,
terhindar dari kegelisahan-kegelisahan dan gangguan jiwa, serta tetap
terpelihara moralnya.
Semua praktek dan
amalan-amalan dalam tasawuf adalah merupakan latihan rohani dan latihan jiwa
untuk melakukan pendakian spritual kerah yang lebih baik dan lebih sempurna.
Dengan demikian, amalan-amalan tasawuf tersebut adalah bertujuan untuk mencari
ketenangan jiwa dan keberhasilan ahli agar lebih kokoh dalam menempuh liku-liku
problem hidup yang beraneka ragam serta untuk mencari hakekat kebenaran yang
dapat mengatur segala-galanya dengan baik.
Manusia sebagai makhluk
Allah memiliki jasmani dan rohani. Salah satu unsur rohani manusia adalah hati
(Qalbu) disamping hawa nafsu. Karena itu penyakit yang dapat menimpa mansia ada
dua macam, yaitu penyakit jasmani dan penyakit rohani atau jiwa atau qalbu.
Di dalam beberapa ayat Al-Qur’an dikatakan bahwa di dalam hati manusia itu ada penyakit, Antara lain penyakit jiwa manusia itu adalah iri, dengki, takabur, resah, gelisah, khawatir, stress dan berbagai penyakit jiwa lainnya.
Dengan tasawuf manusia akan dapat menghindarkan diri dari penyakit kejiwaan (psikologis) berupa prilaku memperturutkan hawa nafsu keduniaan, seperti: iri, dengki, takabbur, resah, gelisah, khawatir, stress dan berbagai penyakit jiwa lainnya.
Tasawuf berusaha untuk melakukan kontak batin dengan tuhan bahwa berusaha untuk berada dihadirat Tuhan, sudah pasti akan memberikan ketentraman batin dan kemerdekaan jiwa dari segala pengaruh penyakit jiwa.
Dengan demikian antara tasawuf dengan ilmu jiwa memiliki hubungan yang erat karena salah satu tujuan praktis dari ilmu jiwa adalah agar manusia memiliki ketenangan hati, ketentraman jiwa dan terhindar dari penyakit-penyakit psikologis seperti dengki, sombong, serakah, takabbur dan sebagainya.
Tasawuf juga selalu membicarakan persoalan yang berkisar pada jiwa manusia. Hanya saja, jiwa yang dimaksud adalah jiwa manusia muslim, yang tentunya tidak lepas dari sentuhan-sentuhan keislaman. Dari sinilah tasawuf kelihatan identik dengan unsur kejiwaan manusia muslim.
Mengingat adanya hubungan dan relevansi yang sangat erat antara spritualitas (tasawuf) dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak terlepas dari kajian tentang kajian kejiwaan manusia itu sendiri.
Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Tujuan yang dikehendaki dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam tasawuf adalah terciptanya keserasian antara keduanya. Pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan para sufi dalam rangka melihat sejauhmana hubungan perilaku yang diperaktekkan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu dapat terjadi. Dari sini baru muncul kategori-kategori perbuatan manusia, apakah dikategorikan sebagai perbuatan buruk atau perbuatan baik. Jika perbuatan yang ditampilkan seseorang adalah perbuatan baik, ia disebut orang yang berakhlak baik. Sebaliknya, jika perbuatan yang ditampilkan jelek ia disebut sebagai orang yang berakhlak buruk.
Di dalam beberapa ayat Al-Qur’an dikatakan bahwa di dalam hati manusia itu ada penyakit, Antara lain penyakit jiwa manusia itu adalah iri, dengki, takabur, resah, gelisah, khawatir, stress dan berbagai penyakit jiwa lainnya.
Dengan tasawuf manusia akan dapat menghindarkan diri dari penyakit kejiwaan (psikologis) berupa prilaku memperturutkan hawa nafsu keduniaan, seperti: iri, dengki, takabbur, resah, gelisah, khawatir, stress dan berbagai penyakit jiwa lainnya.
Tasawuf berusaha untuk melakukan kontak batin dengan tuhan bahwa berusaha untuk berada dihadirat Tuhan, sudah pasti akan memberikan ketentraman batin dan kemerdekaan jiwa dari segala pengaruh penyakit jiwa.
Dengan demikian antara tasawuf dengan ilmu jiwa memiliki hubungan yang erat karena salah satu tujuan praktis dari ilmu jiwa adalah agar manusia memiliki ketenangan hati, ketentraman jiwa dan terhindar dari penyakit-penyakit psikologis seperti dengki, sombong, serakah, takabbur dan sebagainya.
Tasawuf juga selalu membicarakan persoalan yang berkisar pada jiwa manusia. Hanya saja, jiwa yang dimaksud adalah jiwa manusia muslim, yang tentunya tidak lepas dari sentuhan-sentuhan keislaman. Dari sinilah tasawuf kelihatan identik dengan unsur kejiwaan manusia muslim.
Mengingat adanya hubungan dan relevansi yang sangat erat antara spritualitas (tasawuf) dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak terlepas dari kajian tentang kajian kejiwaan manusia itu sendiri.
Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Tujuan yang dikehendaki dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam tasawuf adalah terciptanya keserasian antara keduanya. Pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan para sufi dalam rangka melihat sejauhmana hubungan perilaku yang diperaktekkan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu dapat terjadi. Dari sini baru muncul kategori-kategori perbuatan manusia, apakah dikategorikan sebagai perbuatan buruk atau perbuatan baik. Jika perbuatan yang ditampilkan seseorang adalah perbuatan baik, ia disebut orang yang berakhlak baik. Sebaliknya, jika perbuatan yang ditampilkan jelek ia disebut sebagai orang yang berakhlak buruk.
Dalam pandangan kaum sufi,
akhlak dan sifat seseorang tergantung pada jenis jiwa yang berkuasa pada
dirinya. Jika yang berkuasa atas dirinya adalah nafsu-nafsu hewani atau nabati,
prilaku yang tampil adalah prilaku hewani dan nabati pula. Sebaliknya, jika
yang berkuasa adalah nafsu insani, yang tampil adalah prilaku insani pula.
Kalau para sufi menekankan unsur kejiwaan dalam konsepsi tentang manusia, berarti bahwa hakikat zat, dan inti kehidupan manusia terletak pada unsur spritual dan kejiwaannya. Ditekankannya unsur jiwa dalam konsepsi tasawuf tidaklah berarti bahwa para sufi mengabaikan unsur jasmani manusia. Unsur ini juga mereka pentingkan karena rohani sangat memerlukan jasmani dalam melaksanakan kewajibannya beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah-Nya dibumi.
Dengan demikian, pada aspek lain psikologi juga kita temukan masih menggunakan teori dan metodologi psikologi modern. Dan sedangkan tasawuf lepas sama sekali dari teori dan metodologi psikologi modern. Inilah yang membedakan antara tasawuf dengan psikologi Islam.
Namun pada sisi lain tasawuf juga memberi kontribusi besar dalam pengembangan Psikologi Islam, karena tasawuf merupakan bidang kajian Islam yang membahas jiwa dan gejala kejiwaan. Unsur Islam dalam psikologi Islam akan banyak berasal dari tasawuf. Dan hanya sedikit berbeda antara tasawuf dengan ilmu kejiwaan adalahdari metode sistem pandangannya terhadap mempelajari kejiwaan manusia. Jika kita lihat tasawuf melihat manusia dari sisi internalnya artinya langsung mempelajari isi dan kondisi hati ataupun kejiwaan manusia bagaimana seharusnya. Sedangkan ilmu jiwa ataupun yang sering dikenal dengan psikologi mempelajari dan mendeskripsikan kejiwaan manusia dari eksternal manusia yaitu dengan mempelajari hal-hal yang tampak dari sikap dan prilaku manusia apa adanya karena menurutnya dari mempelajari prilakunya kita dapat menggambarkan bagaimana kondisi kejiwaannya.
BAB
III
· KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
a) Hubungan
Ilmu Tasawuf dengan ilmu kalam adalah Kebenaran dalam Tasawuf berupa
tersingkapnya (kasyaf) Kebenaran Sejati (Allah) melalui mata hati. Tasawuf
menemukan kebenaran dengan melewati beberapa jalan yaitu: maqomat, hal (state)
kemudian fana'.
Sedangkan kebenaran dalam Ilmu Kalam berupa diketahuinya kebenaran ajaran agama melalui penalaran rasio lalu dirujukkan kepada nash (al-Qur'an & Hadis)..
Sedangkan kebenaran dalam Ilmu Kalam berupa diketahuinya kebenaran ajaran agama melalui penalaran rasio lalu dirujukkan kepada nash (al-Qur'an & Hadis)..
Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya,
kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya. Sementara pada
ilmu tasawuf ditemukan pembahasan jalan atau metode praktis untuk merasakan
keyakinan dan ketentraman. Sebagaimana dijelaskan juga tentang menyelamatkan
diri dari kemunafikan. Semua itu tidak cukup hanya diketahui batasan-batasannya
oleh seseorang. Sebab terkadang seseorang sudah tahu batasan-batasan
kemunafikan, tetapi tetap saja melaksanakannya.
Dalam kaitannya dengan
ilmu kalam, ilmu Tasawuf mempunyai fungsi sebagai berikut.
Sebagai pemberi
wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang mendalam lewat
hati terhadap ilmu kalam menjadikan ilmu ini lebih terhayati atau
teraplikasikan dalam perilaku. Dengan demikian, ilmu Tasawuf merupakan
penyempurna ilmu kalam.
b) Hubungan Ilmu Tasawuf dengan
ilmu filsafat, Tasawuf adalah pencarian jalan ruhani, kebersatuan dengan
kebenaran mutlak dan pengetahuan mistik menurut jalan dan sunnah. Sedangkan
filsafah tidak dimaksudkan hanya filsafah peripatetic yang rasionalistik,
tetapi seluruh mazhab intelektual dalam kultur Islam yang telah berusaha
mencapai pengetahuan mengenai sebab awal melalui daya intelek. Filsafat terdiri
dari filsafat diskursif (bahtsi) maupun intelek intuitif (dzawqi)..
c) Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Fiqih
adalah dua disiplin ilmu yang saling melengkapi. Setiap orang harus menempuh
keduanya, dengan catatan bahwa kebutuhan perseorangan terhadap kedua disiplin
ilmu ini sangat beragam, sesuai dengan kadar kualitas ilmunya. Dari sini dapat
dipahami bahwa ilmu fikih, yanbg terkesan sangat formalistik – lahiriyah,
menjadi sangat kering, kaku, dan tidak mempunyai makna bagi penghambaan
seseorang jika tidak diisi dengan muatan kesadaran rohaniyah yang dimiliki ilmu
tsawuf. Begitu juga sebaliknya, tasawuf akan terhindar dari sikap-sikap ”merasa
suci” sehingga tidak perlu lagi memperhatikan kesucian lahir yang diatur dalam
ilmu fikih.
d) Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Jiwa adalah Dalam
pembahasan tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Tujuan
yang dikendaki dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam tasawuf
adalah terciptanya keserasian antar keduanya. Pembahasan tentang jiwa dan badan
ini dikonsepsikan para sufi untuk melihat sejauh mana hubungan prilaku yang
diperaktekan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga
perbuatan itu terjadi, dari sini terlihatlah perbuatan itu berakhlak baik atau
sebaliknya.
Dari uraian diatas kami
dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa ilmu tasawuf adalah suatu ilmu yang
sangat penting dimiliki manusia karena dengan ilmu tasawuf jiwa kita lebih
tenang dan damai. Dan bertasawuf bukanlah harus dengan bertarikat tapi hakikat
ilmu tasawuf adalah pembinaan jiwa kerohanian sehingga bisa berhubungan dengan
Allah sedekat mungkin.
3.2 SARAN
Maka dengan begitu kita
semua bisa bertasawuf walaupun apapun berprofesinya, karena inti tasawuf adalah
terisinya jiwa dengan akhlak yang baik dan kesucian jasmani dan rohani dari
akhlak yang tercela. Untuk itu menurut kami orang yang bisa menjaga dirinya
dari kedua hal tersebut juga sudah dinamakan hidup bertasawuf.
DAFTAR PUSTAKA :
-http://irpanharahap.blogspot.com/2011/07/hubungan-tasawuf-dengan-ilmu-lainnya.html
-http://ajiraksa.blogspot.com/2011/05/hubungan-tasawuf-dengan-ilmu-kalam-ilmu.html
http://www.jadilah.com/2011/11/hubungan-ilmu-kalam-tasawuf-dan.html
-http://www.cliquers-transetter.blogspot.com/2012/02/makalah-tentang-hubungan-tasawuf-dengan.html
-http://www.cliquers-transetter.blogspot.com/2012/02/makalah-tentang-hubungan-tasawuf-dengan.html
Makalah Ilmu Kalam
aliran Qadariah
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam sejarah pemikiran Islam,
terdapat lebih dari satu aliran teologi yang berkembang. Aliran-aliran tersebut
ada yang bersifat liberal, tradisional dan antara aliran liberal dan
tradisional. Kondisi demikian mem-bawa hikmah bagi umat Islam. Oleh karena itu,
bagi merekayang berpikiran liberal dapat menyesuaikan dirinya dengan aliran
yang liberal tersebut, sementara bagi mereka yang berpikiran tradisional atau
antara liberal dan tradisional, mereka akan menyesuaikan dirinya dengan
aliran-aliran yang cocok dengan pikirannya.
Salah satu pokok persoalan yang
menjadi bahan perbincangan para teolog adalah tentang ketergantungan manusia
terhadap Tuhan dalam hal menentukan perjalanan hidupnya. Adakah manusia dalam
segala aktifitas-nya terikat pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, atau
Tuhan telah berkenan memberi kemerdekaan kepada manusia dalam mewujudkan
per-buatan-perbuatannya serta mengatur perjalanan hidupnya?
Oleh karena kebanyakan sikap bangsa
Arab yang merasa lemah dan tak berkuasa menghadapi kesukaran-kesukaran hidup
yang ditimbulkan oleh suasana padang pasir, serta berpegang teguhnya terhadap
ayat-ayat al-Qur'an yang dianggap dapat mendukung pendapatnya, maka aliran
Jabariyah yang diprakarsai oleh al-Ja'ad ibn Dirham dan Jahm ibn Shafwan berpendapat,
bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat sesuatu, dia tidak
mempunyai kesanggupan dan hanya terpaksa dalam semua perbuatannya.
Perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia-baik yang terpuji maupun yang
tercela-pada hakikatnya bukan pekerjaan manusia sendiri,melainkan hanyalah
ciptaan Tuhan yang dilaksanakan-Nya melalui tangan manusia. Dengan demikian
maka manusia itu tiadalah mempunyai kodrat untuk berbuat. Sebab itu orang-orang
mukmin tidak akan menjadi kafir, lantaran dosa-dosa besar yang dilakukannya,
sebab dia melakukannya karena semata-mata terpaksa.
Sementara masyarakat sedang
memperbincangkan paham/aliran Jabariyah, muncul pulalah paham/aliran yang lain,
yang justru bertentangan dengan aliran tersebut. Paham/aliran baru tersebut adalah
aliran Qadariyah.
Qadariyah berasal dari bahasa Arab,
yaitu kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut
pengertian terminology, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala
tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan.aliran ini berpendapat bahwa
tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat
sesuatu dan meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.
Harun Nasition menegaskan bahwa
manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan
bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar Tuhan.
Menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa qadariyah pertama
kali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasqy. Ma’bad adalah
seorang taba’I yang dapat dipercaya dan pernah berguru kepada Hasan Al-Bashri.
Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh
Al-Uyun, seperti dikutip Ahmad Amin, memberi informasi lain bahwa yang pertama
kali memunculkan faham Qadariyah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen
kemudian masuk Islam dan balik lagi ke agama Kristen. Dari orang inilah Ma’bad
dan Ghailan mengambil faham ini.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1. Pengertian Qodariyah
Ditinjau dari segi llmu Bahasa, kata
Qadariyah berasal dari akar kata Sedang menurut pengertian terminologi,
al-Qadariyah adalah : Suatu kaum yang tidak mengakui adanya qadar bagi Tuhan.
Mereka menyatakan, bahwa tiap-tiap hamba Tuhan adalah pencipta bagi segala
perbuatannya; dia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya
sendiri. Golongan yang melawan pendapat mereka ini adalah al-Jabariyah.
Kiranya timbul keraguan bagi ahli
sejarah, mengapa aliran ini disebut dengan aliran al-Qadariyah, padahal mereka
meniadakan (menafikan) qa-dar Tuhan? Sebagian ahli sejarah mengatakan,
penyebutan demikian tidaklah mengapa, sebab banyak juga terjadi menyebutkan
sesuatu justru dengan sebutan kebalikannya. Sebagian ahli yang lain mengatakan,
bahwa karena mereka meniadakan qadar Tuhan dan menetapkannya pada ma-nusia
serta menjadikan segala perbuatan manusia tergantung pada kehen-dak dan
kekuasaan manusia sendiri, maka mereka disebut dengan kaum atau aliran
al-Qadariyah. Dalam istilah Inggrisnya paham ini dikenal dengan Free Will atau
Free Act.
1.2 Sejarah timbulnya Qodariyah
Sebagaimana tidak jelasnya kapan paham
Jabariyah itu mulai dibicarakan dalam teologi Islam, paham Qadariyah pun
mengalami hal seperti itu. Muhammad ibn Syu'aib yang memperoleh informasi dari
al-Auza'i mengatakan, bahwa mula pertama orang yang memperkenalkan paham
Qadariyah dalam kalangan orang Islam adalah "SUSAN". Dia penduduk
Irak, beragama Nasrani yang masuk Islam kemudian berbalik Nasrani lagi. Dari
orang inilah untuk pertama kalinya Ma'bad ibn Khalif al-Juhani al-Basri dan
Ghailan al-Dimasyqi memperoleh paham tersebut.
Dari penjelasan di atas, kiranya dapat
dikatakan, bawah lahirnya paham Qadariyah dalam Islam dipengaruhi oleh paham
bebas yang berkembang dikalangan pemeluk agama Masehi (Nestoria). Dalam hal ini
Max Hortan berpendapat, bahwa teologi Masehi di dunia Timur pertama-tama
menetapkan kebebasan manusia dan pertanggungan jawabnya yang penuh dalam segala
tindakannya. Karena dalil-dalil mengenai pendapat ini memuaskan golongan bebas
Islam (Qadariyah), maka mereka merasa perlu mengambilnya.
Menurut al-Zahabi dalam kitab Mizan
al-l'tidal yang dikutip oleh Ahmad Amin, bahwa Ma'bad al-Juhani adalah seorang
tabi'in yang dapat dipercaya (baik), tetapi dia telah memberi contoh dengan hal
yang tidak terpuji, yaitu mengatakan tentang tidak adanya qadar bagi Tuhan.
Dialah penyebar paham Qadariyah di Irak. Suatu kali dia memasuki lapangan
politik untuk menentang kekuasaan Bani Umayah dengan cara memihak kepada
Abdurrahman ibn Asy'as, Gubernur Sajistan. Hal ini mengakibatkan peris-tiwa
yang tragis baginya, sebab ketika dia bertempur dengan al-Hajjaj dia terbunuh.
Hal ini terjadi pada tahun sekitar 80 H. Sebagian orang mengatakan kematiannya
disebabkan oleh masalah politik, tetapi banyak juga orang yang mengatakan bahwa
kematiannya disebabkan oleh kezindikan-nya (paham Qadariyahnya).
Adapun Ghailan al-Dimasyqi (Abu Marwan
Gailan ibn Muslim) adalah penyebar paham Qadariyah di Damaskus. Dia seorang
orator, maka tidak heranlah jika banyak orang yang tertarik untuk mengikuti
pahamnya. Dalam menyebarkan pahamnya, dia mendapatkan tantangan dari Khalifah
al-Adil Umar ibn Abd al-Aziz, Setelah khalifah mangkat dia meneruskan
penyebaran pahamnya hingga pada akhirnya dia dihukum bunuh oleh Khalifah Hisyam
ibn Abd al-Malik ibn Marwan. Sebelum dilaksanakan hukum bunuh, sempat diadakan
perdebatan antara Ghailan dengan al-Auza'i yang dihadiri dan disaksikan oleh
Khalifah Hisyam.
Motif timbulnya paham Qadariyah ini,
menurut hemat penulis disebab-kan oleh 2 faktor. Pertama, faktor extern yaitu
agama Nasrani, dimana jauh sebelumnya mereka telah memperbincangkan tentang
qadar Tuhan dalam kalangan mereka. Kedua, faktor intern, yaitu merupakan reaksi
terhadap paham Jabariyah dan merupakan upaya protes terhadap tindakan-tindakan
penguasa Bani Umayah yang bertindak atas nama Tuhan dan berdalih kepada takdir
Tuhan.
Paham Qadariyah yang disebarluaskan
oleh dua sekawan ini banyak mendapat tantangan. Selain penganut paham
Jabariyah, penguasa yang berwenang ketika itu, juga oleh generasi terakhir dari
para sahabat, seperti Abdullah ibn Umar, Jabir ibn Abdullah, Abu Hurairah, ibn
Abbas, Anas ibn Malik dkk. Bahkan mereka menghimbau kepada generasi penerusnya,
agar tidak mengikuti paham Qadariyah, tidak usah menyembahyangkan jenazah-jenazahnya
dan tidak perlu membesuknya jika mereka sakit. Hal demikian dapat dimaklumi,
sebab menurut pendapat mereka, berdasarkan hadis/ atsar yang diterimanya, bahwa
kaum Qadariyah merupakan majusi umat Islam, dalam art! golongan yang tersesat.
Apakah dengan kematian tokoh-tokohnya
dan besarnya gelombang tantangan terhadapnya, kemudian paham Qadariyah ini mati
atau terhenti? Memang benar secara organisasi/aliran mereka tidak berwujud
lagi, tetapi existensi ajarannya masih tetap berkembang, yaitu dianut oleh kaum
Mu'tazilah.
1.3 Tokoh-tokoh Qodariyah dan Ajarannya
Ghailan al-Dimasyqi berpendapat, bahwa
manusia sendirilah yang berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia melakukan
perbuatan-perbuatan balk atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri
pulalah yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan
dayanya sendiri.
AI-Nazam salah seorang pemuka
Qadariyah mengatakan, bahwa manusia hidup itu mempunyai istitha'ah. Selagi
manusia hidup, dia mem-punyai istitha'ah (day a), maka dia berkuasa atas segala
perbuatannya. Manusia dalam hal ini mempunyai kewenangan untuk melakukan segala
perbuatannya atas kehendaknya sendiri, Sebab itu, dia berhak mendapat-kan
pahala atas kebaikan-kebaikan yang dilakukannya dan sebaliknya dia juga berhak
memperoleh hukuman atas kejahatan-kejahatan yang diperbuatnya. Di sini nyatalah
bahwa nasib manusia tidak ditentukan oleh Tuhan terlebih dahulu dan ditetapkan
sejak zaman azali seperti pendapat yang dipegangi oleh paham Jabariyah.
Pembahasan ajaran ini, kiranya lebih
luas dikupas oleh kalangan Mu'tazilah; sebab sebagaimana diketahui paham
Qadariyah ini juga dijadikan salah satu ajaran Mu'tazilah. Sehingga ada yang
menyebut al-Mu'-tazilah itu dengan sebutan al-Qadariyah.
AI-Jubba'i mengatakan, bahwa manusialah
yang menetapkan perbuatan-perbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh
dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya untuk
mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia, sebelum adanya
perbuatan. Pendapat yang sama juga diberikan oleh Abd al-Jab-bar,
Untuk memperkuat pendapatnya, Abd
al-Jabbar mengemukakan beberapa argumen, baik bersifat rasional maupun nas,
Salah satu argumen yang dikemukakan adalah, bahwa perbuatan manusia akan
terjadi sesuai dengan kehendaknya. Jika seseorang ingin berbuat sesuatu,
perbuatan tersebut terjadi, sebaliknya jika dia tidak ingin berbuat sesuatu,
maka tidak -lah terjadi perbuatan itu. Jika sekiranya perbuatan tersebut
perbuatan Tuhan, maka perbuatan tersebut tidak akan terjadi, sungguhpun dia
meng-inginkannya, dan sebaliknya perbuatan tersebut tetap akan
terjadi.sungguh-pun dia sangat tidak menginginkannya.
Di antara ayat yang digunakan untuk
memperkuat pendapatnya ada-lah ayat 17 surat al-Sajadah yang berbunyi sebagai
berikut:
Abd. al-Jabbar menyatakan, sekiranya perbuatan manusia perbuatan Tuhan,
maka ayat ini tidak ada artinya, sebab ini berarti bahwa Tuhan memberi pahala
atas dasar perbuatan seseorang yang pada hakikatnya perbuatan Tuhan sendiri.
Oleh karena itu, agar ayat ini tidak membawa kepada kebohongan, maka perbuatan
tersebut harus dipastikan sebagai perbuatan manusia dalam arti yang sebenarnya,
bukan dalam arti majazi.
Selain ayat tersebut, masih banyak ayat yang digunakan oleh kaum
Qadariyah (Mu'tazilah) untuk memperkuat argumennya. Sebagian ayat-ayat
al-Qur'an tersebut adalah sebagai berikut:
· Artinya: Tiap-tiap jiwa terikat dengan apa
yang telah diperbuatnya.(Q.S.AL-Mudassir:38)
· Artinya: Sesungguhnya ini adalah peringatan,
maka siapa yang ingin, tentu ia mengambil jalan kepada Tuhannya.(Q.S
AL-MUZAMMIL:19)
· Artinya: Dan barangsiapa melakukan suatu
dosa, maka sesungguhnya ia melakukannya untuk merugikan dirinya sendiri.(Q.S
an-Nisa:111)
Ajaran al-Qadariyah dan berbagai
argumen yang telah dipaparkan yang baru lalu memberi kesan, bahwa manusia dalam
mewujudkan segala perbuatannya bebas sebebas-bebasnya. Apakah benar demikian?
kiranya tidak. Sebab pada kenyataannya kebebasan dan kekuasaan manusia itu
dibatasi oleh hal-hal yang tak dapat dikuasai oleh manusia sendiri.
Sesungguhnya dalam paham Qadariyah
atau Mu'tazilah, manusia bebas dalam berkehendak dan berkuasa atas
perbuatan-perbuatannya, kebebasan manusia tidaklah mutlak. Kebebasan dan
kekuasaan manusia sendiri, umpama saja manusia datang ke dunia ini bukanlah
atas kemauan dan kekuasaannya. Seorang dengan tak disadari dan diketahuinya
telah mendapatkan dirinya berada di bumi ini. Demikian pula menjauhi maut, tiap
orang pada dasarnya ingin terus hidup dan tidak ingin mati. Tetapi bagaimanapun,
sekarang atau besok maut datang juga.
Kebebasan dan kekuasaan manusia,
sebenarnya dibatasi oleh hukum alam. Pertama-tama manusia tersusun dari materi.
Materi adalah terbatas, dan mau tak mau manusia sesuai dengan unsur materinya,
bersifat terbatas. Manusia hidup dengan diliputi oleh hukum-hukum alam yang
diciptakan Tuhan. Hukum alam ini tak dapat dirubah oleh manusia. Manusia harus
tunduk kepada hukum alam itu. Api, nalurinya adalah membakar. Manusia tak dapat
merubah naluri ini. Yang dapat dibuat manusia adalah membuat atau menyusun
sesuatu yang tak dapat dimakan api
Kebebasan dan kekuasaan manusia,
sebenarnya terbatas dan terikat pada hukum alam. Kebebasan manusia sebenarnya,
hanyalah me-milih hukum alam mana yang akan ditempuh dan diturutinya. Hal ini perlu
ditegaskan, karena paham Qadariyah bisa disalah artikan meng-andung paham,
bahwa manusia bebas sebebas-bebasnya dan dapat melawan kehendak dan kekuasaan
Tuhan. Hukum alam pada haki-katnya merupakan kehendak dan kekuasaan Tuhan, yang
tak dapat dilawan dan ditentang manusia.
1.4 Qadariah dan Doktrin-doktrinnya
Harun Nasution menjelaskan pendapat
Ghailan tentang doktrin Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas
perbuatan-perbuatanya. Manusia sendirilah yang melakukan baik atas kehendak dan
kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi
perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami
bahqa doktrin Qadariyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku
manusia dilakukan atas kehendakya sendiri. Manusia mempunyai kewenagan untuk
melakuakan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun
berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang
ia lakukan dan juga behak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang
diperbuat.
Faham takdir dalam pandangan qadariyah
bukanlah dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab ketika itu,
yaitu faham mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu.
Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah
ditentukan sejak azali terhdap dirinya. Dalam faham Qadariyah, takdir itu
adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alan semesta beserta seluruh
isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-quran sunnatullah.
BAB III
PENUTUP
Dari pembahasan makalah ini dapat
disimpulkan, bahwa al-Qadariyah adalah salah satu paham yang menyatakan bahwa
manusia dalam menentukan perbuatannya, memiliki kebebasan kekuasaan.
Perbuatannya tersebut diwujudkan atas kehendak dan dayanya sendiri. Oleh karena
itu pantaslah kiranya, jika orang mendapat pahala atau siksa. Namun demikian,
manusia tidak bebas sebebas-bebasnya dalam menentukan perbuatan-per-buatannya,
Sebab justru mereka dibatasi oleh adanya hukum alam (sunatullah), dan tak dapat
disangkal lagi bahwa hukum alam itu adalah kehendak dan kekuasaan Tuhan,
Terkait qada’ dan qadar, mula-mula
muncul permasalahan tentang kebebasan dan keterpaksaan manusia (al-jabr wa
al-ikhtiyar). Pemikiran seputar masalah ini melahirkan dua kutub pemikiran
ekstrim yang berbeda, yaitu Jabariyah dan Qadariyah.
MAKALAH ILMU KALAM KERANGKA BERPIKIR ALIRAN – ALIRAN ILMU KALAM,
LATAR BELAKANG, PERBEDAAN PENDAPAT DALAM ISLAM DAN PERSOALAN – PERSOALAN KALAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Mengkaji aliran – aliran
ilmu kalam pada dasarnya merupakan upaya memahami kerangka berpikir dan peroses
pengambilan keputusan para ulama aliran teologi dalam menyelesaikan persoalan –
persoalan kalam. Yang memiliki dua metode yaitu metode rasional yang
memiliki perinsif – perinsif yaitu: Hanya terkait pada dogma – dogma yang
dengan jelas disebut dalam al – qur’an dan hadis nabi yaitu hadis qath’i dan
memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak serta
memberikan daya yang kuat pada akal.
Adapun metode
berpikir tradisional berpikir memiliki perinsif – perinsif yaitu: Terkait pada
dogma – dogma dan ayat – ayat yang mengandung arti zhanni, Tidak memberikan
kebebesan kepada manusia dalam berkehendak dan berbuat, yang memberikan
daya yang kecil pada akal.
Menurut Harun Nasution
kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan kalam dipicu oleh persoalan
politik yang menyangkut peristiwa penbunuhan utsman bin affan, yang terbentuk
dalam penolakan mu’awiyah atas kekhalifaan Ali bin Abi thalib. Persoalan ini
telah menimbukan 3 aliran teologi dalam islam yaitu: Aliran
khawarij, aliran ini berpendapat atau menegaskan bahwa orang
yang berdosa besar atau kafir dalam arti telah keluar dari islam maka wajib
dibunuh. Aliran murji’ah yaitu menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar
masih tetap mu’min dan bukan kafir, adapun dosa yang dilakukannya, hal itu
terserah kepada Allah untuk mengampuni atau menghukumnya.Aliran mu’tazilah.
B. Rumusan
masalah
A. Seperti
apakah kerangka berpikir aliran – aliran ilmu kalam ?
B. Apakah
latar belakang perbedaan pendapat dalam islam ?
C. Bagai
manakah persoalan – persoalan kalam?
C. Tujuan
A. Untuk
mengetahui kerangka berpikir aliran – aliran ilmu kalam.
B. Untuk
mengetahui latar belakang perbedaan pendapat dalam islam.
C. Untuk
mengetahui persoalan – persoalan kalam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kerangka Berpikir
Aliran – Aliran Ilmu Kalam
Sebelum kita membahas
tentang kerangka berpikir ilmu kalam, kita harus memahami apa depenisi dari
ilmu kalam itu sendiri. Ilmu kalam biasa disebut dengan beberapa nama yaitu:
1. Ilmu
ushuludin
2. Ilmu
tauhid
3. Fiqih
ak-bar
4. Teologi
islam
Jadi dapat disimpulkan
bahwa Ilmu kalam adalah ilmu yang membahas berbagai masalah keTuhanan dengan
menggunakan argomentasi logika atau filsafat’ secara teoritis ‘
Sebagaimana sumber ilmu
kalam, Al –Qur’an banyak menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah
keTuhanan seperti :
a. Q.
S al – iklas ( 112 ) : 3- 4 ayat ini menunjukan bahwa Tuhan tidak beranak dan
tidak diperanakan, serta tidak ada sesuatupun didunia ini yang tanpak sekutu
baginya.
b. Q.
S . asy –syura ( 42 : 7 ayat ini menunjukan bahwa Tuhan tidak menyerupai apapun
didunia ini. Ia maha mendengar dan maha mengetahui.
c. Q.
S. Ali – imron ( 3) : 84 – 85, ayat ini menunjukan bahwa Tuhanlah yang
menurunkan petunjuk jalan kepada para nabi.
Ayat – ayat diatas
berkaitan dengan dzat, sifat, asma, perbuatan,tuntunan, dan hal – hal lain yang
berkaitan dengan ekstensi Tuhan, yaitu pembicaraan tentang hal – hal yang
berkaitan dengan keTuhanan itu disistimatiskan yang pada giliranhnya menjadi
sebuah ilmu yang dikenal dengan istilah ilmu kalam.
B. Latar
Belakang Perbedaan Pendapat Dalam Islam
Latar belakang ilmu kalam muncul
karena disebabkan oleh dua faktor yaitu :
1. Faktor
internal adalah yang menyebabkan timbulnya ilmu kalam karena masalah – masalah
politik karena akal pikiran mereka mulai memfilsafatkan agama, dan
karena Al – Qur’an itu tidak hanya sebagai seruan dakwah.
2. Faktor
eksternal yang menyebabkan timbulnya ilmu kalam karena kebanyakan orang – orang
memeluk agama islam sesuda kemenangannya, karena golongan islam yang terdahulu
terutama mu’tazilah lebih mementingkan atau memusatkan perhatian untuk dakwah
islamiyah dan membantah orang orang yang membanta alasan orang – orang
yang memusuhi islam.
Mengkaji aliran – aliran
ilmu kalam pada dasarnya merupakan upaya memahami kerangka berpikir dan peroses
pengambilan keputusan para ulama aliran teologi dalam menyelesaikan persoalan –
persoalan kalam.
Adapun perbedaan metode
berpikir secara garis besar dapat dikategoikan menjadi dua macam yaitu kerangka
berpikir tradisional metode tradisional dan berpikir rasional .
Metode rasioal memiliki
perinsif – perinsif sebagai berikut :
1. Hanya
terkait pada dogma – dogma yang dengan jelas disebut dalam al – qur’an dan
hadis nabi yaitu hadis qath’i
2. Memberikan
kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak serta memberikan
daya yang kuat pada akal.
Adapun metode berpikir tradisional memiliki
perinsif – perinsif yaitu:
1. Terkait
pada dogma – dogma dan ayat – ayat yang mengandung arti zhanni.
2. Tidak
memberikan kebebesan kepada manusia dalam berkehendak dan berbuat.
3. Memberikan
daya yang kecil pada akal.
a. Aliran
antroposentris
Aliran ini menganggap
bahwa hakikat realitas transenden bersifat intracosmos dan impersonsl, ia
berhubungan erat dengan masyarkat cosmos baik yang natural maupun yang
supernatural dengan demikian manusia harus mampu menghapus, keperibadian
kemanusiannya. Untuk meraih kemerdekaan lilitan natural.
b. Teologi
teosentris
Aliran ini mengagap bahwa
hakikat realitas transenden bersifat supercosmos personal dan ketuhanan. Kadang
kala manusia teoritis untuk manusia yang statis sering kali terjebak dalam
kepasraan mutlak kepada Tuhan sikaf kepasraan menjadikan penguasa mutlak yang
tidak dapat diganggu gugat.
Aliran tioritis menggap
bahwa daya yang menjadi potinsi perbuatan baik atau jahad manusia bisa datang
sewaktu dari Tuhan, bahkan manusia dapat dikatakan tidak mempunyai daya sama
sekali terhadap segala perbuatannya aliran teologi tergolong dalam kategori
Jabariayah.
c. Aliran
konvergensi / sentesis
Aliran ini menganggap
bahwa hakekat realitas terensinden bersifat super sekaligus intracosmos dan
sifat lain yang dikotomik. Aliran konvergensi memandang bahwa pada dasarnya,
segala sesuatu itu selalu berada dalam ambigu ( serba ganda ) baik
substansional maupun formal. Substansi atau sesuatu mempunyai nilai – nilai
batinyah, hawiyah, dan enternal.
Aliran ini berkaitan
bahwa hakikat daya manusia merupakan proses kerjasama antara daya yang
transendental ( Tuhan ) dalam bentuk kebijakan dan daya temporal (
manusia ) dalam bentuk teknis. Kesimpulannya aliran ini berpendapat bahwa
kehendak manusia yang perofan selalu berdampingan dengan Tuhan yang sakral dan
menyatu dalam daya manusia. Aliran yang dapat di masukan kedalam kategori ini
adalah asy’ariyah.
d. Aliran
Nihilis
Aliran ini menganggap
bahwa hakikat realitas transendental hanyalah ilus. Aliran ini pun menolak
Tuhan yang mutlak, tetapi menerima berbagai variasi Tuhan cosmos. Manusia
hanyalah bintik kecil dari aktivitas mekanisme dalam suatu masyarakat yang
serbah kebetulan.
C. Persoalan
– Persoalan Kalam
Menurut Harun Nasution
kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan kalam dipicu oleh persoalan
politik yang menyangkut peristiwa penbunuhan utsman bin affan, yang terbentuk
dalam penolakan mu’awiyah atas kekhalifaan Ali bin Abi thalib.
Persoalan ini telah
menimbukan 3 aliran teologi dalam islam yaitu:
a. Alira
khawarij
Aliran ini menegaskan bahwa orang yang
berdosa besar atau kafir dalam arti telah keluar dari islam maka wajib dibunuh.
b. Aliran
murji’ah
Aliran ini menegaskan bahwa orang yang
berbuat dosa besar masih tetap mu’min dan bukan kafir, adapun dosa yang
dilakukannya, hal itu terserah kepada Allah untuk mengampuni atau menghukumnya.
c. Aliran
mu’tazilah
Aliran ini menegaskan bahwa tidak menerima
kedua pendapat kahawarij dan murji’ah, karena bagi mereka orang yang berdosa
bukan kafir tetapi bukan pula mu’min. Mereka mengambil antara mu’min dan kafir,
yang dalam bahasa arabnya dikenal dengan istilah Al- Manzilah Manzilatan (
posisi diantara 2 posisi.
Dalam islam timbul pula
dua aliran dalam tiologi yang terkenal dengan nama “ Qadariyah” dan
“Jabariyah”. Menurut Qadariyah manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan
perbuatannya. Adapun jabariah adalah bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan
dalam kehendak dan perbuatannya.
Aliran – aliran khawarij.
murji’ah dan mu’tazilah tak mempunyai wujud lagi, kecuali dalam sejarah. Adapun
yang masih ada sampai sekarang adalah aliran asy’ariyah dan maturidiyah yang
keduanya disebut “ Ahluussunnah Wal Jam’ah “.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat
disimpulkan bahwa ilmu yang berkaitan dengan dzat, sifat, asma,
perbuatan,tuntunan, dan hal – hal lain yang berkaitan dengan ekstensi Tuhan,
yaitu pembicaraan tentang hal – hal yang berkaitan dengan keTuhanan itu
disistimatiskan yang pada giliranhnya menjadi sebuah ilmu yang dikenal dengan
istilah ilmu kalam.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa
makalah yang disusun ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu
keritik, saran, dan masukan yang sifatnya membangun sangatlah kami harapkan
untuk baiknya makalah ini ke depannya.
MAKALAH ILMU
KALAM
KERANGKA BERPIKIR
ALIRAN – ALIRAN ILMU KALAM,
LATAR BELAKANG, PERBEDAAN
PENDAPAT DALAM ISLAM
DAN PERSOALAN – PERSOALAN
KALAM
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .
KATA
PENGANTAR..................................................................... i
DAFTAR
ISI................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang.................................................................... iii
B. `Rumusan
Masalah.............................................................. iii
C. Tujuan................................................................................. iii
BAB II PEMBAHASAN
A. Kerangka Berpikir
Aliran – Aliran Ilmu Kalam.................. 2
B. Latar
Belakang Perbedaan Pendapat Dalam Islam.............. 3
C. Persoalan
– Persoalan Kalam............................................... 5
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................... 6
B. Saran.................................................................................... 6
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Beheshti, Syyid Muhammad. 2003. Tuhan
Menurut Al – Qur’an. Jakarta : Al – Huda.
Behesti , , Syyid Muhammad. 2002. Selangka
menuju Allah. Jakarta : zahra
Nasution
, Harun. 1992. Tiologi Islam Jakarta: Djambata
Yusuf,
Yunan. 1990. Pemikir Kalam. Jakarta : Perkasa Jakarta.
makalah
ilmu kalam
MAKALAH
PENGERTIAN ILMU
KALAM
, TAUHID SERTA SEJARAH MUNCUL DAN RUANG LINGKUPNYA
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah ilmu kalam
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT. Karena berkat rahmat dan hidayahnya kami bisa
menyelesaikan tugas dengan judul “ PENGERTIAN ILMU KALAM TAUHID SERTA SEJARAH
MUNCUL DAN RUANG LINGKUPNYA
”.
Shalawat serta salam tetap tercurah kepada Nabi besar Muhammad SAW. Yang mana
beliau telah memberikan kita petunjuk kepada jalan yang benar.
Tema
ini diberikan kepada kami sebagai tugas mata kuliah dan diharapkan nantinya
dapat membantu dosen pengajar dalam menyampaikan materi kuliah di kelas.
Akhir
kata, perkenankanlah kami memohon do’a restu atas makalah ini. Dan hanya kepada
Allahlah kita berlindung dan mengharapkan taufiq serta hidayahnya.
Akhirul kalam. Ihdinas shiratal mustaqim. tsumma assalamu
‘alaikum warahmatullahi wabarakatu
September , 2011
Penulis
BAB
1
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang
Aqidah
ilmu kalam sebagaimana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu
agama. Setiap orang yang ingin menyelami seluk-beluk agamanya secara mendalam,
perlu mempelajari akidah yang terdapat dalam agamanya. Mempelajari
akidah/teologi akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada
landasan yang kuat , yang tidak mudah diombang-ambingkan oleh peredaran zaman.
Teologi dalam
Islam disebut juga ilmu At-Tauhid. Kata Tauhid mengandung arti satu/esa dan
keEsaan dalam pandangan Islam merupakan sifat yang terpenting diantara
sifat-sifat Tuhan. Teologi Islam disebut juga ilmu kalam.
B.Rumusan Masalah
1. apa pengertian dari ilmu kalam ?
2. apa pengertian dari tauhid ?
3. bagaimana sejarah muncul imu kalam ?
4. apa saja ruang lingkup ilmu kalam ?
C.Tujuan
1.untuk mengetahui pengertian dari
ilmu kalam ?
2. untuk mengetahui apa pengertian dari tauhid ?
3 untuk mengetahui sejarah muncul imu kalam ?
4. untuk mengetahui ruang lingkup ilmu kalam ?
BAB
2
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Ilmu Kalam
Ilmu Kalam adalah
suatu ilmu yang membahas tentang akidah dengan dalil-dalil aqliyah (rasional
ilmiah) dan sebagai tameng terhadap segala tantangan dari para penentang.
Abu Hanifah menyebut
nama ilmu ini dengan fiqh al-akbar.Menurut persepsinya, hukum islam yang
dikenal dengan istilah fiqh terbagi atas dua bagian. Pertama,fiqh
al-akbar, membahas keyakinan atau pokok-pokok agama atau ilmu
tauhid. Kedua, fiqh al-ashghar, membahas hal-hal yang berkaitan
dengan masalah muamalah, bukan pokok-pokok agama, tetapi hanya cabang saja.[1]
Teologi
islam merupakan istilah lain dari ilmu kalam, yang diambil dari
bahasa inggris, theology. William L. Reese
mendefinisikannya dengan discourse or reason concerning God (
diskursus atau pemikiran tentang Tuhan).[2] Dengan
mengutip kata-kata William Ockham,Reese lebih jauh mengatakan, “Theology
to be a discipline resting on revealed truth and independent of both philosophy
and science.”(Teologi merupakan disiplin ilmu yang
berbicara tentang kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu
pengetahuan). Sementara itu, Gove menyatakan bahwa teologi adalah penjelasan
tentang keimanan,perbuatan,dan pengalaman agama secara rasional.
Al-Farabi
mendefinisikan Ilmu Kalam sebagai disiplin ilmu yang membahas Dzat dan Sifat
Allah beserta eksistensi semua yang mungkin, mulai yang berkenaan dengan
masalah setelah kematian yang berlandaskan doktrin Islam. Penekanan akhirnya
adalah menghasilkan ilmu ketuhanan secara filosofis.[3]
Adapun
Ibnu Khaldun mendefinisikan Ilmu Kalam adalah disiplin ilmu yang mengandung
berbagai argumentasi tentang akidah imani yang diperkuat dalil-dalil rasional.
Sedangkan
Musthafa Abdul Raziq berpendapat bahwa ilmu ini ( ilmu kalam) bersandar kepada argumentasi-argumentsi
rasional yang berkaitan dengan aqidah imaniah, atau sebuah kajian tentang
aqidah Islamiyah yang bersandar kepada nalar.[4]
Menurut
Ahmad Hanafi, di dalam nash-nash kuno tidak terdapat perkataan al-Kalam yang
menunjukkan suatu ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana yang diartikan
sekarang. Arti semula dari istilah al-Kalam adalah kata-kata
yang tersusun yang menunjukkan suatu maksud Kemudian dipakai untuk menunjukkan
salah satu sifat Tuhan, yaitu sifat berbicara. Sebagai contoh, kata-kata kalamullah banyak
terdapat dalam al-Qur’an, diantaranya pada Surah al-Baqarah ayat 75, 253, dan
Surah an-Nisa’ ayat 164.[5]
Penggunaan al-Kalam sebagai
suatu ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana kita kenal saat ini pertama kali
digunakan pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah, tepatnya pada masa khalifah
Al-Ma’mun.Sebelumnya, pembahasan tentang kepercayaan-kepercayaan dalam islam
disebut al-fiqh fi ad-din, sebagai imbangan terhadap al-fiqh
fi al-ilm yang diartikan ilmu hukum ( ilmu qanun ).
Biasannya mereka menyebutkan al-fiqhi fiddiniafdhalu minal fiqhi fil
‘ilmi, ilmu aqidah lebih baik dari ilmu hukum.
Menurut
As-Syihristani bahwa setelah ulama-ulama Mu’tazilah mempelajari kitab-kitab
filsafat yang duterjemahkan pada masa al-Ma’mun, mereka mempertemukan sistem
filsafat dengan sistem Ilmu Kalam dan dijadikan ilmu yang berdiri sendiri yang
dinamakan Ilmu Kalam. Sejak saat itu, diginakanlah penyebutan Ilmu Kalam
sebagai ilmu yang berdiri sendiri.
Adapun
yang melatarbelakangi mengapa ilmuini dinamakan Ilmu Kalam adalah :
1. Permasalahan
terpenting yang menjadi tema perbincangan pada masa permulaan Islam adalah
masalah firman Allah ( Kalam Allah ), yaitu al-Qur’an. Apakah Kalamullah tersebut
qadim atau hadits ( baru )? Walaupun permasalahan ini hanya merupakan salah
satu bagian dari pembahasan ilmu ketuhanan dalam Islam, namun karena ia menjadi
bagian terpenting maka ilmu ini dinamai Ilmu Kalam.
2. Dalam
membahas masalah-masalah ketuhanan, para mutakallim ( ahli
Ilmu Kalam ) menggunakan dalil-dalil aqliyah dan dampaknya
tercermin pada keahlian meraka dalam berargumentasi dengan mengolah kata-kata.
Dengan demikian, mutakallim diartikan juga dengan ahli debat yang pintar
memakai kata-kata.
3. Secara
harfiah, kata kalam berarti “pembicaraan”. Tetapi secara istilah, kalam
tidaklah dimaksudkan “pembicaraan” dalam pengertian sehari-hari, melainkan
dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Maka ciri
utama Ilmu Kalam ialah rasionalitas atau logika . Selain itu, kata kalam
sendiri memang dimaksudkan sebagai terjemahan dari kata dan istilah Yunani
“logos” yang juga secara harfiah berarti “pembicaraan”. Dari kata itulah
berasal berasal kata-kata logika dan logis. Kata Yunani “logos” juga disalin
kedalam bahasa Arab, “manthiq”. Sehingga ilmu logika, khususnya logika formal
atau silogisme ciptaan Aristoteles dinamakan Ilmu Manthiq ( ‘Ilm al-Manthiq ).
Jadi kata Arab “manthiqi” berarti “logis”. Dari penjelasan singkat itu dapat
diketahui bahwa Ilmu Kalam amat erat kaitannya dengan Ilmu Manthiq atau Logika.
Cara pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai
logika dalam filsafat.
Apabila memperhatikan
definisi ilmu kalam diatas, yakni ilmu yang membahas berbagai
masalah ketuhanan dengan menggunakan argumentasi logika atau filsafat, secara
teoritis aliran salaftidak dapat dimasukkan ke dalam aliran ilmu
kalam, karena aliran ini –dalam masalah-masalah ketuhanan- tidak
menggunakan argumentasi filsafat atau logika. Aliran ini cukup dimasukkan ke dalam
aliran ilmu tauhid atau ilmu ushuluddin atau fiqh
al-akbar.
Sunber-sumber ilmu
kalam dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu dalil naqli ( al-Qur’an dan
Hadits ) dan dalil aqli ( akal pemikiran manusia ). Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber utama yang
menerangkan tentang wujud Allah, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya dan
permasalahan aqidah Islamiyah uang lainnya. Paramutakallim tidak
pernah lepas dari-dari nash-nash al-Qur’an dan Hadits ketika berbicara masalah
ketuhanan. Masing-masing kelompok dalam ilmu kalam mencoba memahami dan
menafsirkan al-Qur’an dan Hadits lalu kemudian menjadikannya sebagai penguat
argumentasi mereka.
Di
samping itu, dalil-dalil naqli ini tentunya diperkuat dengan dalil aqli atau alur
pikir yang logis. Dalil aqli ini ada yang berasal dari ilmu keislaman murni dan
ada yang diadopsi dari pemikiran-pemikiran di luar Islam.Jadi kurang tepat
kalau dikatakan bahwa ilmu kalam itu merupakan ilmu keislaman murni, dan tidak
benar juga kalau dikatakan bahwa ilmu kalam itu timbul dari pemikiran di luar
Islam seperti filsafat Yunani. Yang benar adalah kalau dikatakan bahwa ilmu
kalam itu bersumber dari al-Qur’an dan Hadits yang perumusan-perumusannya di
dorong oleh unsur-unsur dari dalam dan dari luar.[6]
Berikut
ini adalah sumber-sumber ilmu kalam:
1. Al-Qur’an
Sebagai sumber ilmu
kalam, Al-Qur’an banyak menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah
ketuhanan,di antarannya adalah :
a. Q.S.
Al-Ikhlas : 1-4. Ayat ini menunjukkan bahwa Allah Maha Esa.
b. Q.S.
Asy-Syara : 7. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak menyerupai apapun di
dunia ini. Ia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
c. Q.S.
Al-Furqan : 59. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan Yang Maha Penyayang bertahta
di atas “Arsy”. Ia pencipta langit,bumi, dan semua yang ada diantara
keduannya.
d. Q.S.Al-Fath
: 10. Ayat ini menunjukkan Tuhan mempunyai “tangan” yang selalu berada diatas
tangan orang-orang yang melakukan sesuatu selama mereka berpegang teguh dengan
janji Allah.
e. Q.S.
Thaha : 39. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai “mata” yang selalu
digunakan untuk memgawasi seluruh gerak, termasuk gerakan hati makhluk-Nya.
f. Q.S
Ar-Rahman : 27. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai “wajah” yang tidak
akan rusak selama-lamannya.
g. Q.S
An-Nisa’ : 125. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan menurunkan aturan berupa
agama. Seseorang akan dikatakan telah melaksanakan aturan agama apabila
melaksanakannya dengan ikhlas karena Allah.
h. Q.S
Luqman : 22. Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang telah menyerahkan dirinnya
kepada Allah disebut sebagai orangmuhsin.
i. Q.S.
Ali Imran : 83. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan adalah tempat kembali segala
sesuatu, baik secara terpaksa maupun secara sadar.
j. Q.S
Ali Imran : 84-85. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhanlah yang menurunkan penunjuk
jalan kepada para nabi.
k. Q.S,
Al-Anbiya : 92. Ayat ini menunjukkan bahwa manusia dalam berbagai suku, ras,
atau etnis, dan agama apapun adalah umat Tuhan yang satu. Oleh sebab itu, semua
umat, dalam kondisi dan situasi apapun, harus mengarahkan pengabdiannya hanya
kepada-Nya.
l. Q.S.
Al-Hajj : 78: Ayat ini menunjukkan bahwa seseorang yang ingin melakukan suatu
kegiatan yang sungguh-sungguh akan dikatakan sebagai “jihad” kalau dilakukannya
hanya karena Allah semata.
Ayat-ayat
diatas berkaitan dengan dzat, sifat, asma, perbuatan,tuntunan, dan hal-hal lain
yang berkaitan dengan eksistensi Tuhan. Hanya saja, penjelasan rinciannya tidak
ditemukan. Oleh sebab itu, para ahli berbeda pendapat dalam menginterpretasikan
rinciannya. Pembicaraan tentang hal-hal yang berkaitan dengan ketuhanan
disistematisasikan yang pada gilirannya menjadi sebuah ilmu yang dikenal dengan
istilahilmu kalam.
2. Hadits
Masalah-masalah
dalam ilmu kalam juga disinggung dalam banyak hadits, Diantarannya yaitu hadits
yang menjelaskan tentang iman, islam, dan ihsan yang artinya :
Artinnya
: “Diriwayatkan dari Abi Hurairah ra. Berkata, pada suatu hari ketika
Rasulullah SAW berada bersama kaum muslimin, datanglah jibril ( dalam bentuk
seorang laki-laki ) kemudian bertanya kepada beliau, “ Apakah yang dimaksud
dengan iman?” Rasulullahmenjawab, “yaitu kamu percaya kepada Allah, para malaikat,
semua kitab yang diturnkan, hari pertemuan dengan-Nya, para rasul dan hari
kebangkitan. “ Lelaki itu bertanya lagi, “ Apakah pula yang diaksudkan dengan
Islam ?“ Rasulullah menjawab, “ Islam adalah mengabdikan diri kepada Allah dan
tidak menyekutukan-Nya dengan perkara lain, mendirikan sholat yang telah
difardhukan, mengeluarkan zakat yang telah diwajibkan dan berpuasa pada bulan
Ramadhan.” Kemudian lelaki itu bertannya lagi, “ Apakah ihsan itu?” Rasulullah
SAW menjawab, “ Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau
melihat-Nya. Sekiranya engkau tidak melihat-Nya, Ketahuilah bahwa Dia
senantiasa memperhatikanmu.” Lelaki tersebut bertanya lagi, “ Kapankah hari
kiamat akan terjadi?” Rasulullah menjawab, “ Aku tidak lebih tahu darimu, tetapi
aku akan ceritakan kepadamu mengenai tanda-tandanya. Apabila seorang hamba
melahirkan majikannya, itu adalah sebagian dari tandanya. Aoabila seorang
miskin menjadi pemimpinmasyarakat, itu juga sebagian dari tanda-tandanya.
Apabila masyarakat yang asalnya pengembala kambing mampu bersaing dalam
mendirikan bangunan-bangunan mereka, itu juga tanda akan terjadi kiamat. Hanya
lima perkara itu saja sebagian dari tanda-tanda yang aku ketahui. Selain dari
itu hanya Allah yang Maha Mengetahuinya. “ Kemudian Rasulullah SAW membaca
Surah Luqman ayat 34, “ Sesungguhnya hanya Allah lah yang mengetahui tentang
hari kimat; dan Dia-lah yang menurukan hujan, dan mengetahui apa yang ada di
dalam rahim. Tiada seorangpun yang dapat mengetahui ( dengan pasti ) apa yang
akan diusahakannya besok dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui dimanakah
ia akan menemui ajalnya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.” Kemudian lelaki tersebut beranjak dari tempatnya, kemudian
Rasulullah bersabda ( kepada sahabatnya ), “Panggil kembali lelaki itu.” ((
Lalu para sahabat pun mengejar lelaki tersebut untuk memanggilnya kembali ),
namun mereka tidak melihatnya. Rasulullah SAW pun bersabda, “ Lelaki tadi
adalah jibril as., kedatangannya adalah untuk mengajar manusia tentang agama
mereka.”
Adapula
beberapa Hadits yang kemudian dipahami sebagian ulam sebagai prediksi Nabi
mengenai kemunculan berbagai golongan dalam ilmu kalam, diantaranya
:
“Hadits yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. Ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “ Orang-orang
Yahudi akan terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan.”
“Hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar. Ia
mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “ Akan menimpa umatku yang pernah menimpa
Bani Israil, Bani Israil telah terpecah belah menjadi 72 golongan dan umatku
akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Semuanya akan masuk neraka, kecuali
satu golongan saja, “ Siapa mereka itu, wahai Rasulullah?” tanya para sahabat.
Rasulullah menjawab ‘mereka adalah yang mengikuti jejakku dan sahabat-sahabatku’.
Syaikh
Abdul Qadir mengomentari bahwa Hadits yang berkaitan dengan masalah faksi umat
ini, yang merupakan salah satu kajiiian ilmu kalam, mempunyai sanad sangat
banyak. Diantara sanad yang sampai kepada Nabi adalah yang
berasal dari berbagai sahabat, seperti Anas bin Malik, Abu Hurairah, Abu
Ad-Darba, Jabir, Abu Said Al-Khudri, Abu Abi Kaab, Abdullah bin Amr bin Al-Ash,
Abu Ummah, Watsilah bin Al-Aqsa.
Adapula
pada riwayat yang hanya sampai kepada sahabat. Diantaranya adalah Hadits yang
mengatakan bahwa umat islam akan terpecah belah kedalam beberapa golongan.
Diantara golongan-golongan itu, hanya satu saja yang benar, sedangkan yang
lainnya sesat.
Keberadaan
Hadits yang berkaitan dengan perpecahan umat seperti tersebut diatas, pada
dasarnya merupakan prediksi Nabi dengan melihat yang tersimpan dalam hati para
sahabatnya. Oleh sebab itu, sering dikatakan bahwa hadits-hadits seperti itu
lebih dimaksudkan sebagai peringatan bagi para sahabat dan umat Nabi tentang
bahayanya perpecahan dan pentingnya persatuan.
3. Pemikiran
Manusia
Sebagai
salah satu sumber ilmu kalam, pemikiran manusia berasal dari pemikiran umat
islam sendiri dan pemikiran yang berasal dari luar umat islam. Di dalam
al-Qur’an, banyak sekali terdapat ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk
berfikir dan menggunakan akalnya. Dalam hal ini biasanya Al-Qur’an menggunakan
redaksitafakkur, tadabbur, tadzakkur, tafaqqah, nazhar, fahima, aqala, ulul
al-albab, ulul al-ilm, ulu al-abshar, dan ulu an-nuha. Diantara
ayat-ayat tersebut yaitu :
Artinya : “
Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan. Dia diciptakan
dari air yang memancar. Yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan
tulang dada perempuan.” ( Q.S. At-Thariq Ayat 5-7 )
Artinya : “ Maka
apakah ( Allah ) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan?
Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?” ( Q.S. An-Nahl Ayat 17 )
Artinya : “ Maka apakah mereka tidak melihat akan
langit yang ada diatas mereka, bagaimana kami meninggikannya dan menghiasinya
dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun?” ( Q.S. Qaf
Ayat 6 )
Artinnya : “ Allah-lah yang menundukkan lautan
untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizing- Nya dan
supaya kamu dapat mencari karunia-Nya dan agar kamu bersyukur. Dan Dia telah
menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, ( sebagai
rahmat ) dari pada-Nya, Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda ( kekuasaan Allah ) bagi kaum yang berfikir.” (
Q.S. Al-Jatsiyah Ayat 12-13 )
Ayat-ayat yang lain
dapat ditemukan pada Surah Muhammad : 24, An-Nahl : 68-69, Al-Isra’ : 44,
Al-An’am : 97-98, At-Taubah : 122, Shad : 29, Az-Zummar : 9, Adz-Dzariyat :
47-49, Al-Ghatsiyah : 7-20, dan lain-lain.
Oleh karena itu, jika
umat islam sangat termotivasi untuk memaksimalkan penggunaan rasionya, hal itu
bukan karena ada pengaruh dari pihak luar saja, melainkan karena adanya
perintah langsung dari ajaran agama mereka. Hal inilah yang akhirnya
menyebabkan sangat jelasnya penggunaan rasio dan logika dalam pembahasan ilmu
kalam.
Ahmad Amin
menyebutkan, setelah umat Islam selesai menaklukan negeri-negeri baru dan
keadaan mulai stabil dan mereka hidup dengan rizki yang melimpah ruah, mulailah
mereka memikirkan tentang ajaran-ajaran agama mereka. Mereka sungguh-sungguh
membahasnya dan mempertemukan nash-nash agama yang kelihatannya bertentangan.
Keadaan seperti ini hampir merupakan gejala umum pada setiap agama. Pada
mulanya agama itu hanyalah kepercayaan yang sederhana dan kuat, tidak perlu
diperselisihkan dan tidak memerlukan penyelidikan. Pemeluk-pemeluknya
melaksanakan bulat-bulat apa yang dikerjakan agama dan mengimaninya. Lalu
setelah itu datanglah fase pembahasan dan pemikiran dalam membicarakan
soal-soal agama secara ilmiah dan filosofis.[7] Penelaahan
mendalam seperti ini tentu karena adanya ajaran-ajaran Islam yang memerintahkan
manusia untuk belajar dan menggunakan pikirannya.
Adapun sumber kalam
berupa pemikiran dari luar Islam, Ahmad Amin menyebutkan setidaknya ada tiga
faktor penting. Pertama, kebanyakan orang-orang yang memeluk
Islam setelah kemenangannya, pada awalnya mereka memeluk berbaga agama yaitu
Yahudi, Nasrani, Manu, Zoroaster, Brahmana, Sabiah, Atheisme, dan
lain-lain.Mereka dilahirkan dan dibesarkan dalam ajaran-ajaran agama ini.
Bahkan diantara mereka ada yang benar-benar memahami ajaran agama aslinya. Setelah
fikiran mereka tenang dan mereka benar-benar teguh memeluk agama Islam,
mulailah mereka memikirkan ajaran-ajaran agama mereka sebelumnya dan mengangkat
persoalan-persoalanya lalu memberinya corak baju keislaman.
Di dalam sejarah,
disebutkan bahwa Ahmad bin Haith dahulunya memeluk agama Hindu lalu
mempersoalkan masalah reinkarnasi ( tanasukh al-arwah ), yaitu
manusia mati lalu hidup kembali menjadi makhlik yang lain. Ada juga Abdullah
bin Saba’ dan Persia yang dahulunya memeluk agama Yahudi, menganggap bahwa raja
Persia itu mempunyai sifat-sifat ketuhanan. Kemudian timbul faham menuhankan
khalifah Ali r.a.[8]
Kedua, golongan
Mu’tazilah memusatkan perhatianya untuk dakwah Islam dengan membantah
argumentasi-argumentasi orang-orang yang memusuhi Islam. Untuk itu, mereka
tidak akan bias menolak lawa-lawannya kecuali sesudah mereka mempelajari
pendapat-pendapat serta alas an-alasan lawan mereka. Maka terjadilah
perdebatan-perdebatan yang rasional antar agama saat itu. Tidak menutup
kemungkinan masing-masing golongan mengambil pendapat yang dianggapnya benar
walau dari pendapat orang yang berbeda dengannya. Sebagian agama terutama
Yahudi dan Nasrani telah menggunakan senjata filsafat Yunani. Philon ( 25 SM-5
M ) orang Yahudi yang pertama memfilsafatkan ajaran-ajaran Yahudi dan
mempertemukannya dengan filsafat Yunani. Clemus von Alexandrian ( 185-254 M )
diantara orang yang pertama-tama mempertemukan agama Kristen Nestorius. Hal ini
akhirnya memaksa golongan Mu’tazilah untuk menggunakan senjata yang dipakai
lawan-lawannya, yaitu filsafat. Dengan masuknya filsafat Yunani kedalam
golongan Mu’tazilah dan golongan-golongan yang lain, semakin banyak perbedaan
pendapat dalam umat Islam. Hal ini merupakan salah satu faktor munculnya ilmu
kalam.[9]
Ketiga, sebagaimana
pada faktor kedua dimana para mutakallimun sangat membutuhkan
filsafat Yununi untuk mengalahkan lawan-lawannya, maka mereka terpaksa
mempelajari dan mengambil manfaat dari ilmu logika, terutama dari sisi
ketuhanannya. Misalnya An-Nadham, seorang tokoh Mu’tazilah, ia mempelajari
filsafat Aristoteles dan menolak beberapa pendapatnya, demikian juga Abu
al-Hudzail al-‘Allaf.[10]
4. Insting[11]
Secara Instingtif,
manusia selalu ingin bertuhan. Oleh sebab itu, kepercayaan adanya Tuhan telah
berkembang sejak adanya manusia pertama. Abbas Mahmoud Al-Akkad mengatakan
bahwa keberadaan mitos merupakan asal-usul agama dikalangan orang-orang primitif.[12] Tylor
justru mengatakan bahwa animism-anggapan adanya kehidupan pada benda-benda
mati- merupakan asal-usul kepercayaan adanya Tuhan. Adapun Spencer mengatakan
lain lagi. Ia mengatakan bahwa pemujaan terhadap nenek moyang merupakan bentuk
ibadah yang paling tua. Keduanya menganggap bahwaanimisme dan pemujaan
terhadap nenek moyang sebagai asal-usul kepercayaan dn ibadah tertua terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, lebih dilatarbelakangi oleh adanya pengalaman setiap
manusia yang suka mengalami mimpi.[13]
Di dalam mimpi, seorang dapat bertemaan terhadap, bercakap-cakap,
bercengkerama, dan sebagainya dengan orang lain, bahkan dengan orang yang telah
mati sekalipun. Ketika seorang yang mimpi itu bangun, dirinya tetap berada di
tempat semula. Kondisi ini telah membentuk intuisi bagi setiap orang yang telah
bermimpi untuk meyakini bahwa apa yang telah dilakukannya dalam mimpi adalah
perbuatan roh lain, yang pada masanya roh itu akan segera kembali. Dari
pemujaan terhadap roh berkembang ke pemujaan terhadap matahari, lalu lebih
berkembang lagi pada pemujaan terhadap benda-benda langit atau alam lainnya.
Abbas Mahmoud Al-Akkad, pada bagian lain, mengatakan bahwa sejak pemikiran
pemujaan terhadap benda-benda alam berkembang, di wilayah-wilayah tertentu
pemujaan terhadap benda-benda alam berkembang secara beragam. Di Mesir,
masyarakatnya memuja Totetisme. Mereka menganggap suci
terhadap burung elang, burung nasr, ibn awa ( semacam anjing hutan ), buaya,
dan lain-lainnya. Anggapan itu lalu berkembang menjadi pemujaan terhadap
matahari. Dari sini berkembang lagi menjadi percaya adanya keabadian dan
balasan bagi amal perbuatan yang baik.[14]
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kepercayaan adanya Tuhan, secara instingtif,
telah berkembang sejak keberadaan manusia pertama. Oleh sebab itu, sangat wajar
kalau William L. Reese mengatakan bahwa ilmu yang berhubungan dengan ketuhanan,
yang dikenal dengan istilah theologia, telah berkembang sejak
lama. Ia bahkan mengatakan bahwa teologi muncul dari sebuah mitos ( thelogia
was originally viewed as concerned with myth ). Selanjutnya, teologi
itu berkembang menjadi “ theology natural “ ( teologi alam )
dan “revealed theology “ ( teologi wahyu ).[15]
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa secara historis, ilmu kalambersumber
pada Al-Qur’an, hadits, pemikiran manusia, dan insting. Ilmu kalam adalah
sebuah ilmu yang mempunyai objek tersendiri, tersistematisasikan, dan mempunyai
metodologi tersendiri. Dikatakan oleh Musthafa Abd Ar-Raziq bahwa ilmu ini
bermula di tangan pemikir Mu’tazilah, Abu Hasyim, dan kawannya Imam Al-Hasan
bin Muhammad bin Hanafiyah.[16] Adapun orang yang
pertama membentangkan pemikiran kalam secara lebih baik dengan logikannya
adalah Imam Al-As’ari, tokoh ahlu sunnah wal al-jama’ah, melalui
tulisan-tulisannya yang terkenal, yaitu Al-Maqalat, [17]dan Al-Ibanah
An-Ushul Ad-Diyanah.
C.SEJARAH KEMUNCULAN PERSOALAN-PERSOALAN KALAM
sejarah dalam
pendeklarasian ilmu kalam tidak luput dari sejarah perpecahan prinsip teologi
umat islam yang masih ketika itu dipicu persoalan politik dan kedangkalan
ukhuwah dalam prilaku perebutan singgasana kekuasaan,bermula dari Peristiwa
wafatnya Nabi Muhammad SAW pada tanggal 8 juni 632 M melahirkan suatu
perjuangan keagamaan dan politik dalam masyarkat islam sehingga mengakibatkan
timbulnya perpecahan di kalangan umat islam. Perpecahan ini mulai memanas sejak
Khalifah Utsman bin Affan mengambil kebijakan mengangkat anggota
keluarganya untuk menduduki posisi dalam struktur politik dan jabatan penting,
sehingga sebagian besar masyarakat islam tidak senang dengan kebijakan
tersebut. Puncaknya adalah saat Khalifah Utsman bin Affan terbunuh saat sedang
membaca Al-Qur’an dirumahnya.
Setelah khalifah
ustman terbunuh maka kembali diumumkan pergantian kekhalifahan selanjutnya yang
berpacu pada penolakan muawiyyah atas terpilihnya Ali bin abi Thalib.Ketegangan antara keduanya mengobarkan
sebuah peperangan yang disebut perang siffindan merupakan perang
saudara pertama dalam islam yang dengan pertempuran utama terjadi dari tanggal
26-28 Juli. Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin
Abu Sufyan dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai
Furat yang kini terletak di Syria (Syam),akan tetapi dengan
kesigapan nilai ukhuwah maka peperangan ini dapat diakhiri dengan keputusan
tahkim (abitetrase), dan dalam tahkim terdapat persoalan-persoalan yang
merugikan pihak Ali bin abi Thalib karna menerima tipu muslihat Amr bin Al-Ash
utusan dari pihak Muawiyyah dalam tahkim yang mengakibatkan misintrepetasi dari
sebagian tentara Ali, karna telah memutuskan persoalan dengan tahkim sebagai
akhir dari sebuah pilihan. Hal inilah yang mengakibatkan perpecahan dari kubu
Ali bin abi thalib sehingga banyak diantara yang semula berpihak pada Ali
kemudian terpecah dan keluar dari barisan militer ali bin abi Thalib ,Putusan
hanya datang dari Allah dan harus kembali pada hukum dan ketetapan Allah yang
ada dalam Al-qur’an . La hukma illa Allah (tidak ada perantara
selain Allah) Hal ini tidak hanya mempunyai implikasi politik yang tajam,
tetapi juga meningkat kepada persoalan-persoalan teologi, yang melahirkan
beberapa aliran teologi yaitu :
a. Khawarij: persoalan iman
dan kufr (mu’min dan kafir)
Sebagai
kelompok yang lahir dari peristiwa politik, pendirian teologis khawarij
–terutama yang berkaitan dengan masalah iman dan kufur lebih bertendensi
politis ketimbang ilmiah-teoritis. Kebenaran pernyataan ini tak dapat disangka
karena, seperti yang telah diungkapkan sejalrah, Khawarij mula-mula memunculkan
eprsoalan teologis seputar masalah “apakah Ali dan pendukungnya adalah kafir
atau tetap mukmin?””apakah muawiyah dan pendukungnya telah kafir atau tetap
mukmin?” jawaban atas pertanyaan ini kemudian menjadi pijakan atas dasar
teologi mereka. Menurut mereka, Ali dan Muawiyah beserta para pendukungnyatelah
melakukan tahkim kepada manusia, berarti mereka telah berbuat dosa besar.
Dansemua pelaku dosa besar (mutabb al-kabirah), menurut semua subsekte
Khawarij, kecuali Najdah, adalah kafir dan akan disiksa di neraka selamanya.
Subsekte Khawarij yang sangat ekstrim, Azariqah, menggunakan istilah yang lebih
“mengerikan” dari pada kafir yaitu musyrik. Mereka memandang musyrik bagi siapa
saja yang tidak mau bergabung ke dalam barisan mereka, sedangkan pelaku dosa
besar dalam pandangan mereka telah beralih status keimanannya menjadi kafir
millah (agama), dan itu berarti ia telah keluar dari Islam. Si kafir semacam
ini akan kekal di neraka bersama orang kafir lainnya.
Iman
dalam pandangan Khawarij, tidak semata-mata percaya kepada Allah. Mengerjakan
segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Segala
perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan, segala perbuatan
yang berbau religius, termasuk di dalam masalah kekuasaan adalah bagian dari
keimanan, al-amal juz’un al-iman). Dengan demikian, siapapun yang menyatakan
dirinya beriman kepada Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul-Nya, tetapi tidak
melaksanakan kewajiban agama dan malah melakukan perbuatan dosa, ia dipandang
kafir oleh khawarij.
b. Murji’ah: masalah iman
dan menentang pendapat Khawarij
Aliran
murji’ah adalah aliran yang memberikan reaksi terhadap pendapat aliran khawarij
yang mengkafirkan orang yang melakukan dosa besar adalah aliran murji’ah.
Menurut kaum murjiah dosa besar tidak mengakibatkan kekafiran. Apabila seorang
mukmin melakukan dosa besar tetap mukmin. Adapun hakikatnya, kita serahkan
kepada Allah kelak di akhirat.
Dua doktrin
pokok ajaran Murji’ah, yaitu:
a.
Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal atau perbuatan
tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini,
seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardukan
dan melakukan dosa besar.
b.
Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap
maksiat tidak dapat mendatangkan madarat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk
mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik
dan mati dalam keadaan akidah tauhid.
Ajaran
pokok murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja atau
arja’a yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun
teologis. Di bidang politik, doktrin irja diimplementasikan dengan sikap diam.
Itulah sebabnya, kelompok Murji’ah dikenal pula sebagai the queieties (kelompok
bungkam). Sikap ini akhirnya berimplikasi begitu jauh sehingga membuat murjiah
selalu diam dalam persoalan politik.
c. Paham
Qadariyah dan Jabariyah: Memaksa
Dalam
kitab Tarikh al-Firaq al-Islamiyah, Ali musthafa al-Ghurabi menjelaskan bahwa
menurut paham teologi Aliran Qadariyah, manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya;
manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan
kemauannya sendiri, dan manusia sendiriilah yang melakukan perbuatan-perbuatan
jahat atas kehendak dan kemauannya sendiri. Menurut paham mereka, manusia
mempunyai kebebasan dalam tingkah lakunya. Ia dapat berbuat baik kalau ia
menghendakinya, dan ia pula dapat berbuat jahat kalau ia menghendakinya. Aliran
ini menolak paham yang mengatakan bahwa manusia dalam perbuatan-perbuatannya
hanya bertindak menurut kadar yang telah ditentukan sejak zaman azali.
Selanjutnya pengarang kitab Tarikh al-Firaq al-Islamiyah itu juga menyebutkan,
bahwa menurut paham Jabariyah, manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat
apa-apa. Manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan
tidak mempunyai pilihan dalam perbuatan-perbuatannya. Manusia dalam
perbuatan-perbuatannya dipaksa, dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan
baginya. Perbuatan-perbuatan diciptakan Tuhan di dalam diri mereka, tak ubahnya
seperti air yang mengalir, manusia tak ubahnya seperti bulu yang ditiup oleh
angin, dia akan melayang-layang ke arah mana angin bertiup. Menurut paham ini,
segala perbuatan manusia tidak merupakan sesuatu yang timbul dari kehendak dan
kemauan sendiri, tapi perbuatan yang dipaksakan kepada dirinya. Kalau seseorang
membunuh orang lain, maka perbuatannya itu bukanlah terjadi atas kehendaknya
sendiri, tetapi terjadi karena Qadha dan Qadar Tuhanlah yang menghendaki
demikian. Dengan kata lain, dia membunuh bukanlah atas kehendaknya sendiri,
tetapi Tuhanlah yang memaksanya membunuh. Manusia dalam paham ini hanya
merupakan wayang yang digerakan oleh dalang. Manusia berbuat dan bergerak
karena digerakan oleh Tuhan. Tanpa gerak dari Tuham manusia tidak dapat berbuat
apa-apa. Disamping kedua paham itu, terdapat pula paham tengah antara paham
Qadariyah yang dibawa oleh Ma’bad dan Ghailan dengan paham Jabariyah yang
dibawa oleh Jaham, yaitu paham kasb, yang dibawa oleh al-Husain Ibn Muhammad
al-Najjar dan Dirar Ibn ‘Amr. Menurut al-Syahrastani dalam kitab al-Milal wa
al-Nihal, dalam paham Kasb, Tuhanlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan
manusia, baik perbuatan baik maupun perbuatan yang jahat. Tetapi manusia
mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatan-perbuatan itu. Tenaga yang
diciptakan dalam dirinya mempunyai daya untuk mewujudkan
perbuatan-perbuatannya. Jadi menurut paham ini, Tuhan dan manusia bekerja sama
dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan manusia. Manusia tidak semata-mata dipaksa
dalam melakukan perbuatannya.
d. Mu’tazilah : al-Ushul al-Khamsah
Setiap
pelaku dosa besar, menurut mu’tazilah berada diposisi tengah diantara posisi
mukmin dan posisi kafir, jika pelakunya meninggal dunia dan belum sempat
bertobat, ia akan dimasukkan kedalam neraka selama-lamanya. Walaupun demikian,
siksaan yang diterimanya lebih ringan dari pada siksaan orang kafir. Dalam
perkembangannya, beberapa tokoh mu’tazilah, seperti Wasil bin Atha dan Amir Amr
bin Ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah fasik yang bukan mukmin attau
kafir.
1) Al Tauhid ( Ke-Esa-an )
Tuhan dalam paham Mu’tazilah betul-betul Esa dan tidak
ada sesuatu yang serupa denganNya. Ia menolak paham anthromorpisme (paham
yang menggambarkan Tuhannya serupa dengan makhlukNya) dan juga menolak paham beatic
vision (Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala) untuk menjaga
kemurnian Kemaha esaan Tuhan, Mu’tazilah menolak sifat-sifat Tuhan yang
mempunyai wujud sendiri di luar Zat Tuhan. Hal ini tidak berarti Tuhan tak
diberi sifat, tetapi sifat-sifat itu tak terpisah dari ZatNya. Mu’tazilah
membagi sifat Tuhan kepada dua golongan :
a.
Sifat-sifat yang merupakan esensi Tuhan, disebut sifat dzatiyah, seperti al
Wujud - al Qadim – al Hayy dan lain sebagainya
b.
Sifat-sifat yang merupakan perbuatan Tuhan, disebut juga dengan sifat fi’liyah
yang mengandung arti hubungan antara Tuhan dengan makhlukNya, seperti al
Iradah – Kalam – al Adl, dan lain-lain.
Kedua sifat tersebut tak terpisah atau berada di luar
Zat Tuhan, Tuhan Berkehendak, Maha Kuasa dan sifat-sifat lainnya semuanya bersama
dengan Zat. Jadi antara Zat dan sifat tidak terpisah.
Pandangan tersebut mengandung unsur teori yang
dikemukakan oleh Aristoteles bahwa : penggerak pertama adalah akal, sekaligus
subyek yang berpikir.
2) Al ‘Adl (Keadilan )
Paham keadilan dimaksudkan untuk mensucikan Tuhan dari
perbuatanNya. Hanya Tuhan lah yang berbuat adil, karena Tuhan tidak akan
berbuat zalim, bahkan semua perbuatan Tuhan adalah baik. Untuk mengekspresikan
kebaikan Tuhan, Mu’tazilah mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan mendatangkan yang
baik dan terbaik bagi manusia. Dari sini lah muncul paham al Shalah wa
al Aslah yakni paham Lutf atau rahmat Tuhan. Tuhan
wajib mencurahkan lutf bagi manusia, misalnya mengirim Nabi dan Rasul untuk
membawa petunjuk bagi manusia.
Keadilan Tuhan menuntut kebebasan bagi manusia karena
tidak ada artinya syari’ah dan pengutusan para Nabi dan Rasul kepada yang tidak
mempunyai kebebasan. Karena itu dalam pandangan Mu’tazilah, manusia bebas
menentukan perbuatannya.
3) Al Wa’d wa al Wa’id (Janji dan
Ancaman)
Ajaran ini merupakan kelanjutan dari keadilan Tuhan,
Tuhan tidak disebut adil jika ia tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat
baik dan menghukum orang yang berbuat buruk, karena itulah yang dijanjikan oleh
Tuhan. QS. Al Zalzalah ayat 7-8.
Terjemahnya
:“Barang siapa yang berbuat kebajikan seberat biji zarrah, niscaya dia akan
lihat balasannya, dan barang siapa yang berbuat keburukan seberat biji zarrah,
niscaya dia akan melihat balasannya pula.”
4) Manzilah Baina Manzilatain (Posisi
di antara dua tempat )
Posisi menengah atau fasik dalam ajaran Mu’tazilah di
tempati oleh orang-orang Islam yang berbuat dosa besar. Pembuat dosa besar
bukan kafir karena masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad saw, tetapi
tidak juga dapat dikatakan mukmin karena imannya tidak lagi sempurna, maka
inilah sebenarnya keadilan (menempatkan sesuatu pada tempatnya), akan tetapi di
akhirat hanya ada syurga dan neraka, maka tempat bagi orang-orang yang berbuat
dosa adalah di neraka, hanya saja tidak sama dengan orang-orang kafir sebab
Tuhan tidak adil jika siksaannya sama dengan orang kafir. Jadi lebih ringan
dari orang kafir.
5) Amar Ma’ruf , Nahi
Munkar. ( Memerintahkan Kebaikan dan Melarang Keburukan ).
e. Asy’ariyah:
Mazhab Syafi’i
Pendiri
mazhab Asya`irah adalah Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Asy`ari. Ia
lahir pada tahun 260 H di Bashrah dan wafat tahun 324 H di Baghdad. Sampai usia
empat puluh tahun, ia adalah salah satu murid Abu Ali Jubai yang mendukung
mazhab Mu`tazilah. Abu Hasan Asy`ari keluar dari mazhab Mu`tazilah pada tahun
300 H. Setelah mengadakan beberapa perbaikan dalam ajaran Ahlul hadits, Abu
Hasan Asy`ari mendirikan mazhab baru, yang berlawanan dengan Ahlul hadits dan
juga Mu`tazilah. Dalam bidang fikih, Abu Hasan Asy`ari mengikuti mazhab
Syafi`i. Di masa sekarang, sebagian besar pengikutnya juga berkiblat kepada
Imam Syafi`i dalam masalah hukum.
Tehadap
pelaku dosa besar, agaknya asy’ari, sebagai wakil ahl al-sunnah tidak
mengkafirkan orang-orang yang sujud ke baitullah (ahl al-qiblah), walaupun
melakukan dosa besar seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih
tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, selalipun
berbuat dosa besar, akan tetapi, jika dosa besar itu tetap dilakukannya dengan
anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia
dipandang telah kafir. Adapun balasan diakhirat kelak bagi pelaku dosa besar
apabila ia meninggal dan tidak sempat bertobat, maka menurut al-asyari, hal itu
bergantung pada kebijakan tuhan yang maha berkehendak. Tuhan dapat saja
mengampuni dosanya atau pelaku dosa besar itu mendapat syafaat nabi SAW.
Sehingga terbebas dari siksa neraka atau kebalikannya, yaitu Tuhan memberinya
siksaan neraka sesuai dengan ukuran dosa yang dilakukannya. Meskipun begitu, ia
tidak akan kekal di neraka seperti orang-orang kafir lainnya. Setelah
penyiksaan terhadap dirinya selesai ia akan dimasukkan ke dalam surga. Dari
paparan singkat ini, jelaslah bahwa asy’ariyah sesungguhnya mengambil
posisi yang sama dengan murjiah khususnya tidak mengkafirkan para pelaku
dosa besar.
f. Maturidiyah:
Mazhab Ahmad bin Hambal
Maturidiyah
didirikan oleh Abu Manshur Muhammad bin Muhammad Maturidi, di daerah Maturid
Samarqand, untuk melawan mazhab Mu`tazilah. Abu Manshur Maturidi
(wafat 333 H) menganut mazhab Abu Hanifah dalam masalah fikih. Oleh sebab itu,
kebanyakan pengikutnya juga bermazhab Hanafi.
Setelah
menelaah sekian riwayat tentang munculnya ilmu kalam dan persoalan-persoalan
disekitar ilmu kalam yang menjadi simbolisasi dari ilmu manthiq dan logika ,
seakan menata barisan idiologi tentang hal-hal yang mendoktrin untuk terus
berfikir akan sesuatu yang telah ada dan mencakup semua sejarah tentang
perebutan kekuasaan, perbedaan cara pandang dan sistem perpolitikan. Kaca
perbandingan yang menyeluruh dari sekian bentuk knowladge yang
bermunculan seiring perkembangan zaman. Wallahu a’lam.
D.Ruang lingkup aqidah ilmu kalam
Masalah yang dibahas
dalam aqidah ilmu kalam adalah mempercayai adanya Allah, Malaikat, Kitab-kitab
Allah, Nabi dan Rasul Allah, hari kiyamat, Qadha’ dan Qadar, Akhirat, akal dan
wahyu, surga , neraka, dosa besar, dan masalah iman dan kafir. yang diperkuat
dengan-dengan dalil-dalil rasional agar terhindar dari aqidah-aqidah yang
menyimpang.
D.
Sejarah kelahiran aqidah ilmu kalam
Menurut
Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu persoalan politik yang
menyangkut peristiwa terbunuhnya Usman bin affan yang berbuntut pada penolakan
Muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan antara . Mu’awiyah
dan Ali bin Abi Thalib mengkristal menjadi perang siffin yang berakhir dengan
keputusan Tahkim (arbitrase). sikap ali yang menerima tipu muslihat Amr bin
Ash(utusan Mu’awiyah dalam tahkim), sungguhpun dalam keadaan terpaksa , tidak
disetujui oleh sebagian tentaranya. mereka berpendapat bahwa persoalan yang
terjadi saat itu tidak dapat diputuskan melalui tahkim. Putusan datang dari
Allah dengan kembali kepada hukum-hukum Al-Qur’an La Hukma Ila Lillah(tidak ada
hukum selain dari hukum Allah). atau La Hukma Illa Allah( tidak ada perantara
selain Allah) menjadi semboyan mereka . mereka memandang Ali bin Abi Thalib
telah berbuat salah sehingga meninggalkan barisannya, mereka terkenal dengan
nama khawarij. dan kelompok yang tetap mendukung Ali bin Abi Thalib dikenal
dengan nama syiah.
Harun
lebih lanjut mengatakan bahwa persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah
persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang
telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Khawarij
sebagaimana yang telah disebutkan, memandang bahwa orang-orang yang terlibat
dalam peristiwa tahkim yakni Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari
adalah kafir berdasarkan firman Allah surat Al-Maidah ayat 44.
Persoalan
ini telah menimbulkan tiga alioran teologi dalam Islam yaitu:
1.
Aliran Khawarij, menegaskan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam
arti telah keluar dari Islam atau tegasnya murtad dan wajib dibunuh.
2.
Aliran Murji’ah, menegaskan bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin
dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, hal itu terserah kepada
Allah untuk mengampuni atau menghukumnya.
3.
Aliran Mu’tazilah , yang tidak menerima pendapat kedua diatas. Bagi mereka
orang yang berdosa besar bukan kafir , tetapi bukan mukmin. Mereka mengambil
posisi antara mukmin dan kafir, yang dalam bahjasa arabnya terkenal dengan
istilah al-manzilah manzilatain(posisi diantara dua posisi). dalam Islam timbul
pula dua aliran teologi yang terkenal dengan Qadariyah dan Jabariyah. menurut
Qadariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya.
adapun Jabariyah berpendapat sebaliknya, manusia tidak mempunyai kemerdekaan
dalam kehendak dan perbuatannya. Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional
mendapat tantangan keras dari golongan tradisional Islam yaitu aliran
Asy’ariyah dan Aliran Maturidiyah.
E.
Sumber-Sumber Ilmu Kalam
Pembahasan
ilmu kalam selalu berdasarkan/bersumber pada dua dalil yaitu dalil
naqli(al-qur’an dan hadits) dan dalil aqli (dalil fikiran) . Sebagai sumber
Ilmu Kalam, Al-qur;an banyak menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah
ketuhanan, diantaranya adalah
1.
Q. S. Al-Ikhlas(112):3-4. ayat ini menunjukkan bahwa tuhan tidak beranak dan
tidak diperanakkan, serta tidak satupun di dunia ini yang tampak sekutu
(sejajar) dengan-Nya.
2.
Q. S. Asy-Syura(42):7. ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak menyerupai apapun
di dunia ini. Ia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
3.
Al-Furqan(25):59. ayat ini menunjukkan bahwa tuhan Yang Maha Penyayang bertahta
diatas Arsy. Ia pencipta langit, bumi, dan semua yang ada diantara keduanya.
4.
Q. S. Al-Fath. (48):10. ayat ini menunjukkan Tuhan mempunyai tangan yang selalu
berada diatas tangan-tangan orang yang melakukan sesuatu selama mereka
berpegang teguh dengan janji Allah.
5.
Q. S. Thaha(20):39. ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai mata yang selalu
digunakan untuk mengawasi seluruh gerak , termasuk gerakan hati makhluknya.
6.
Q. S. Ar-Rahman(55):27. ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai wajah yang
tidak akan rusak selama-lamanya.
7.
Q. S. An-Nisa’(4)125. ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan menurunkan aturan berupa
agama . seseorang dikatakan telah melaksanakan aturan agama apabila
melaksanakannya dengan ikhlas karena Allah.
F.
Faktor-faktor Timbulnya Ilmu Kalam
1.
Faktor dari dalam(intern) :
a.
Sebagian orang musyrik ada yang mentuhankan bintang-bintang sebagai sekutu
Allah. hal ini ditolak dengan firman Allah surat Al-An’am ayat 76-78.
b.
Ada yang mentuhan kan Nabi Isa as. Hal ini ditolak dengan firman Allah surat
Al-Maidah ayat 116.
c.
Orang-orang yang menyembah berhala. Hal ini ditolak dengan firman Allah surat
al-an’am ayat 74.
d.
Golongan yang tidak percaya akan kerasulan nabi(nabi Muhammad saw. ) dan tidak
percaya akan kehidupan akhirat. hal ini ditolak dengan firman Allah surat
al-Ambiya’ ayat 104.
e.
Golongan orang-orang yang mengatakan semua yang terjadi di dunia ini adalah
perbuatan Tuhan semuanya dan Soal politik (Khilafah) pemimpin negara. yang
dimulai ketika Rasulullah meninggal dunia serta peristiwa terbunuhnya usman
dimana antara golongan yang satu dengan yang lain saling mengkafirkan dan
menganggap golongannya yang paling benar.
2.
Sebab dari luar (ekstern) yaitu:
a.
Danyak diantara pemeluk-pemeluk Islam yang mula-mula beragam yahudi, masehi dan
lain-lain, setelah fikiran mereka tenang dan sudah memegang teguh Islam ,
mereka mulai mengingat-ingat agama mereka yang dulu dan dimasukkannya dalam
ajaran-ajaran Islam.
b.
Golongan Islam yang dulu, terutama golongan mu’tazilah memusatkan perhatiannya
untuk penyiaran agama Islam dan membantah alasan-alasan mereka yang memusuhi
Islam. mereka tidak akan bisa menghadapi lawan-lawanya kalau mereka sendiri
tidak mengetahui pendapat-pendapat lawan-lawannya beserta dalil-dalilnya.
sehingga kaum muslimin memakai filsafat untuk menghadapi musuh-musuhnya.
c.
Para mutakallimin ingin mrngimbangi lawan-lawanya yang menggunakan filsafat ,
dengan mempelajari logika dan filsafat dari segi ketuhanan.
G.
Hubungan aqidah ilmu kalam dengan ilmu keIslaman lainnya (filsafat dan
tasawwuf)
1.
Titik persamaan
Ilmu
kalam, filsafat dan tasawwuf mempunyai obyek kemiripan. Obyek ilmu kalam
ketuhanan dan yang berkaitan dengan-Nya. Obyek kajian filsafat adalah masalah
ketuhanan disamping masalah alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada.
Sementara itu obyek kajian tasawwuf adalah Tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan
terhadap-Nya. Jadi dilihat dari aspek objeknya, ketiga ilmu itu membahas
masalah yang berkaitan dengan ketuhanan. Argumentasi filsafat sebagaimana ilmu
kalam dibangun diatas dasar logika. Oleh karena itu , hasil kajiannya bersifat
spekulatif(dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiris, riset, dan
eksperimen). Baik ilmu kalam, filsafat, maupun tasawwuf berurusan dengan hal
yang sama, yaitu kebenaran yang rasional.
2. Titik Perbedaan
Perbedaan
diantara ketiga ilmu itu tersebut terletak pada aspek metodologinya. Ilmu kalam
, sebagai ilmu yang menggunakan logika di samping argumentasi-argumentasi
naqliyah berfungsi untuk mempertahankan keyakinan ajaran agama, yang sangat tampak
nilai-nilai ketuhananya . Sebagian ilmuwan bahkan mengatakan bahwa ilmu ini
berisi keyakinan-keyakinan kebenaran, praktek dan pelaksanaan ajaran agama,
serta pengalaman keagamaan yang dijelaskan dengan pendekatan rasional.
Sementara filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran
rasional. Metode yang digunakannya pun adalah metode rasional. filsafat
menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan (mengembarakan atau mengelana)
akal budi secara radikal (mengakar) dan integral (menyeluruh) serta universal
tidak merasa terikat oleh ikatan apapun kecuali oleh ikatan tangannya sendiri
yang bernama logika. Adapun ilmu tasawwuf adalah ilmu yang lebih menekankan
rasa dari pada rasio. Sebagai sebuah ilmu yang prosesnya diperoleh dari rasa, ilmu
tasawwuf bersifat subyektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman
seseorang. Dilihat dari aspek aksiologi(manfaatnya), teologi diantaranya
berperan sebagai ilmu yang mengajak orang yang baru untuk mengenal rasio
sebagai upaya mengenal Tuhan secara rasional. Adapun filsafat, lebih berperan
sebagai ilmu yang lebih berperan sebagai ilmu yang mengajak kepada orang yang
yang mempunyai rasio secara prima untuk mengenal Tuhan secara lebih bebas
melalui pengamatan dan kajian langsung. Adapun tasawwuf lebih peran sebagai
ilmu yang memberi kepuasan kepada orang yang telah melepaskan rasionya secara
bebas karena tidak memperoleh yang ingin dicarinya. Sebagian orang memandang
bahwa ketiga ilmu itu memiliki jenjang tertentu . jenjang pertama adalah ilmu
kalam, kemudian filsafat dan yang terakhir adalah ilmu tasawwuf. Kesimpulan
1.
Pengertian Aqidah Ilmu kalam adalah artinya ilmu yang mempelajari
ikatan/keyakinan seseorang tentang masalah ketuhanan dengan menggunakan
dalil-dalil fikiran dan disertai alasan-alasan yang rasional. Nama-nama ilmu
kalam yaitu ilmu ushuluddin, ilmu tauhid, fiqh al-akbar dan teologi Islam. dan
Ruang lingkupnya adalah tentang mengesakan tuhan yang diperkuat dengan-dengan
dalil-dalil rasional agar terhindar dari aqiah-aqidah yang menyimpang.
2.
Sejarah munculnya ilmu kalam adalah ketika Rasulullah meninggal dunia dan
peristiwa terbunuhnya usman diman antara golongan yang satu dengan yang lain
saling mengkafirkan dan menganggap golongannya yang paling benar. dan
sumber-sunber ilmu kalam adalah dalil naqli(al-qur’an dan hadits) dan dalil
aqli (dalil fikiran)
3.
Faktor timbulnya ilmu kalam ada dua yaitu faktor intern dan ekstern.
4.
Hubungan ilmu kalam dengan ilmu keIslaman lainnya(filsafat dan tasawwuf
mempunyai persamaan dan perbedaan.
E.Pengertian Imu Tauhid
Ditinjau
dari sudut bahasa (etimologi ) ,kata tauhid adalah merupakan bentuk kata
mashdar dari asal kata kerja lampau yaitu : wahhada yuwahhidu wahdah yang
memiliki arti mengesakan atau menunggalkan .[18] kemudian ditegaskan oleh ibnu khaldun dalam kitabnya
muqaddimah bahwa kata tauhid mengandung makna keesaan tuhan. [19] maka dari pengertian ithimologi tersebut dapat
diketahui bahwa tauhid mengandung makna meyakinkan (mengi’tikadkan ) bahwa
allah adalah satu tidak ad syrikat bagi-nya
Ditinjau dari sudut istilah ( terminologi ) , telah dipahami bersama bahwa
setiap cabang ilmu pengetahuan itu telah mempunyai obyek dan tujuan tertentu
.karena itu setiap cabang ilmu pengetahuan juga masing –masing mempunyai
batasan – batasan tertentu pula . demi batasan-batasan tersebut pengaruhnya
adalah sangat besar bagi para ilmuan dan cendikiawan didalam membahas, mengkaji
, dan menelaah obek garapan dari suatu cabang ilmu pengatahuan .
Demikian
juga halnya pada kajian ilmu tauhid yang telah di ta’rifkan oleh para ahli
sebagai berikut :
a. syekh
muhamad abduh mengatakan bahwa :
ilmu tauhid
adalah ilmu yang membahas tentang wujud allah dan sifat sifat yang wajib ada
pada-nya ,dan sifat yang boleh ada padanya dan sifat yang tidak harus ada
pada-nya ( mustahi ) , ia juga membahas tentang para rasul untuk menegaskan
tugas risalahnya , sifat sifat yang wajib ada padanya yang boleh ada padanya (
jaiz ) dan yang tidak ada padanya ( mustahil ) [20]
b. syekh
husain affandi al-jisral-tharablusymenta ’rifkan sebagai berikut :
ilmu tauhid
ialah ilmu yang membahas atau membicarakan bagaimana menetapkan aqidah ( agama
islam ) dengan menggunakan dalil-dalil yang meyakinkan[21]
dari
kedua ilmu ta’rif ilmu tauhid tersebut itu dapat lah diambil suatu pengertian
bahwa pada ta’rif pertama ( syekh muhamad abduh ) lebih menitik beratkan pada
objek formal ilmu tauhid yakni pembahasan tentang wuhud allah dengan segala
sifat dan perbuatannya serta membahas tentang para rasulnya , sifat-sifat
dengan segala perbuatannya .sedangkan pada ta’rif kedua ( sekh husain al-jisr)
menekankan pada metode pembahasannya yakni dengan menggunakan dalil-dalil yang
meyakinkan , dan yang dimaksud disini adalah dalil naqli maupun dalil
aqli.dengan demikian ilmu tauhid adalah salah satu cabang ilmu study keislaman
yang lebih memfokuskan pada pembahasan wujud allah dengan segala sifat nya
serta tentang para rasul nya , sifat – sifat dan segala perbuatannya dengan
berbagai pendekatan .
C.Objek
Pembahasan Ilmu Tauhid
Obyek pembahasan atau yang menjadi
lapangan bahasan ilmu tauhid pada garis besarnya dibagi pada tiga bagian utama
yaitu :
1.
tauhid ilahiyah
(ketuhanan) yaitu bagian ilmu tauhid yang membahas masalah ketuhanan , hal ini
terdiri dari :
a.
tauhid uluhiyyah
yaitu membahas tentang keesaan allah dalam dzat –nya tidak terdiri dari
beberapa unsur atau oknum , dia (allah) sebagai dzat yang wajib disembah dan
dipuja dengan ikhlas ,semua pengabdian hambanya semata-mata hanya untuknya
seperti berdoa dan lain-lain sebagai mana yang dinyatakan dalam firman allah
swt dalam surat al-ikhlas ayat 1- 4
b.
tauhid
rububiyah , yaitu pembahasan tentang allah sebagai arrabu yaitu esa dalam
penciptaannya pemeliharaan dan pengaturan semua makluhnya sebagai firman allah
yang menjelaskan siapakah yang memberi rezeki pada manusia dalam surat yunus
ayat 31
c.
tauhid dzat ,
sifat – sifat dan nama – nama nya yaitu pembahasan tentang sifat sifat dan
nama-nama yang disebut sendiri oleh allah dan rasulnya yang tidak sama dengan
makluhnya sifat dan nama-nmanya adalah agung dan sempurna kita tidak boleh
memberi nama dan sifat yang dapat mengurangi keagungan dan kesempurnaan nya
atau menyusuaikan nama-nama dan sifat sifat itu dengan yang lain seperti
membagaimanakan , menggambarkan dan lain-lain .sebagaiman firman allah dalam
surat al-a’raaf ayat 180 .
2.
tauhid nubuwwah
( kenabian ) yaitu bagian ilmu tauhid yang membahas masalah kenabian ,kedudukan
dan peranan serta sifat sifat dan keistimewaannya , sebagaimana firman allah
dalam surat an-nahl ayat 43.
3.
tauhid
sam’iyyat ,yaitu sesuatu yang diperoleh lewat pendengaran dari sumber yang
meyakinkan yakni al-qur’an dan al-hadits ,misalnya tentang alam kubur , azab
kubur ,hari kebangkitan dipadang mashar ,alam akhirat ,tentang ’arsy ,lauh
mahfudz ,dan lain-lain [22] seperti yang
disebutkan dalam firman allah surat az-zumar ayat 60 .
D.Dasar-dasar
Ilmu Tauhid
Syekh
husain al-jisr menjelaskan bahwa didalam membahas ilmu tauhid mempergunakan
dalil-dalil yang meyakinkan yakni dalil naqli dan aqli . dalil naqli adalah
pengetahuan tentang masalah – masalah agama yang diambil dari alquran dan hadis
yang shaheh . dengan dalil naqli tersebut diketahui keterangan – keterangan
tentang tuhan dan segala sifat dan perbuatannya serta menunjukan bahwa segala
makhluh berada dalm lingkungan hukum alam ( sunnah allah ) yang tidak berubah
dan bertukar , sebagaimana tersebut dalam firman allah surat al-fath ayat 23.
Jadi
, sifat suatu dalil naqli adalah sebagai pembuktian suatu dalil , dan merupakan
akhir dari pembahasan yang penjang sesuai dengan yang ditunjuk oleh dalil ,
sebagai contoh pembuktian surat al-baqarah ayat 225 .
Adapun
dalail naqli adalah pengetahuan yang didapatkan dari keputusan akal yang sehat
berdasarkan cara berfikir yang telah ditentukan oleh ilmu pengetahuan , sifat
dalil ini adalah sebagai sarana penyimpulan keterangan suatu peristiwa ,
bertolak dari beberapa peristiwa nyata kemudian diambil satu atau lebih
kesimpulan yang benar , sebagai contoh adanya teori gerak , bahwasanya setiap
makluh merupakan kumpulan dari sejumlah gerakan sebagai tanda kehidupannya
dengan gerakan awal dan gerakan awal itu pasti ada penggeraknya , yaitu tuhan
allah SWT .
E.Fungsi Ilmu
Tauhid dalam Bidang Ilmu dan Amalan Islam
Berdasarkan
pada pengertian dan kedudukan ilmu tauhid yang mendasari semua keilmuan dan
amalan dalam islam , maka ilmu tauhid berfungsi dalam ( 2 ) bidang yang salin
terjalin antara yang satu bidang dengan yang lainnya yaitu :
1.
Dalam Bidang
I’tiqoyah
a.
ilmu tauhid
berfungsi memberikan dasar dan landasan mental ( basic mentalty ) yang kuat
bagi keimanan seorang muslim terhadap keesaan tuhan sebagai satu-satu nya
sesembahan dalam ibadah ( tauhid uluhiyah )
b.
memberikan
penerangan yang bersifat dakwah terhadap orang-orang non muslim untuk diajak
beriman secara tauhid yang tidak bercampur dengan kemusrikan dengan penjelasan
yang baik dan bijaksana , baik dalam artian menolak terhadap semua ajaran
ketuhanan yang salah diinterpretasikan maupun bersifat operatif terhadap
pemahaman yang bersifat merusak kemurnian tauhid .
2.
Dalam Bidang
Ijtihad
Dalam bidang
ini ilmu tauhid berfungsi :
a.
menjelaskan dan
membahas obyek ilmu tauhid secara ilmiah , dengan berdasarkan dalil naqli yang
shahih dan dikuatkan dengan dalil aqli yang tidak bertentangan / menyimpang
dari ajaran islam itu sendiri
b.
melengkapi
dasar dasar / landasan ilmiah bagi keimanan orang-orang islam yang sekaligus
berarti mempersenjatai mereka dengan dalil dalil ilmiyah . dengan demikian agar
orang orang islam memiliki kekebalan dan kemampuan terhadap unsur unsur yang
akan menggoyahkan keimanan mereka dalam bidang i’tiqad
c.
karena itu
dengan modal tersebut diharapkan dapat jadi pandangan atau sebagai falsafah
hidup bagi kaum muslimin dalam menjalani kehidupannya yang dalam hal ini
sebagai ” way of life ”
PENUTUP
A.Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Ilmu Kalam adalah
suatu ilmu yang membahas tentang akidah dengan dalil-dalil aqliyah (rasional
ilmiah) dan sebagai tameng terhadap segala tantangan dari para penentang dan
sejarah dalam pendeklarasian ilmu kalam tidak luput dari sejarah perpecahan
prinsip teologi umat islam yang masih ketika itu dipicu persoalan politik dan
kedangkalan ukhuwah dalam prilaku perebutan singgasana kekuasaan dan ilmu
kalam tidak lepas dari ilmu
tauhid , ilmu tauhid adalah salah satu cabang ilmu study keislaman yang lebih
memfokuskan pada pembahasan wujud allah dengan segala sifat nya serta tentang
para rasul nya , sifat – sifat dan segala perbuatannya dengan berbagai
pendekatan .
Daftar Pustaka
Rozak abdul , rosihan
anwar ,ilmu kalam untuk uin , stain , ptais , bandung ,cv pustaka setia
,2009
Mulyono dan bashori ,
study ilmu tauhid ,malang , uin maliki press ,2010
[2] William L Reese, Dictionary
of philosophy and religion, Humanities Press Ltd., USA, 1980, hlm. 28.
[3][3] Musthafa Abd
Al-Raziq, Tamhid li Tarikh al-falasafah al-islamiyah, Lajnah wa at-Ta’lif
wa at-Tarjamah wa an-Nasyr, 1959, h. 268.
[11] Lihat Abbas Mahmout Al-Akkad, Ketuhanan
Sepanjang Ajaran Agama-agama dan Pemikiran Manusia. Terj. A. Hanafi,
Bulan Bintang, Jakarta. 1973, hlm. 32
[13] Ibid., hlm.
15
[14] Ibid., hlm.,
50-51
[15] Raziq, op., cit., hlm. 450
[16] Buku ini telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Prinsip-prinsip Dasar Aliran
Teologi Islam, diterjemahkan oleh Rosihon Anwar dan Taufiq Rahman,
Pustaka Setia, Bandung, 1999
[17] Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI-Press, Jakarta,
hlm. 6
[18] Mulyono dan bashori mengutip
dari ahmad warson munawir .al munawir kamus bahasa arab –indonesia (yogyakarta
:ponpes al munawir ,1984 )hlm.1646.
[19] Mulyono dan bashori mengutip
dari ibnu khaldun ,muqaddimah ,terj ahmadie thoha (Jakarta : pustaka firdaus ,
cetakan pertama ,1986 ) , hlm 589
[20] Mulyono dan bashori mengutip
dari syekh muhamad abduh ,risalah tauhid ,terj .Kh firdaus( jakarta:an-pn bulan
bintang , cetakan pertama .1963 ) ,hlm 33
[21] Mulyono dan bashori mengutip
dari husain affandi al-jisr ,al-husunulhamidiyah ,terj. ahmad nabhan( surabaya
: tp ,1970 ) , hlm 6
[22] Mulyono dan bashori mengutip
dari abd.jahid dan pemikirtaubbar adlan et ,al ,teks book .pengantar ilmu
tauhid dan pemikiran islam ( surabaya : CV . aneka bahagia ,1995 ) , hlm 37
Diposkan oleh COPY
No comments:
Post a Comment