Proses dan hasil
keilmuan pada jenis ilmu apapun,
ternyata sangat ditentukan oleh landasan
filosofis yang mendasarinya, yang memang berfungsi memberikan kerangka,
mengarahkan, menentukan corak dari keilmuan yang dihasilkanya. Landasan
filosofis yang dimaksud adalah asumsi dasar, paradigma keilmuan dan kerangka
teori (Theoritical Framework).
Ketiga inilah yang lazim
disebut sebagai filsafat ilmu atau filsafat keilmuan. Kerja ketiga landasan
filosofis ini, memang tidak serta merta bisa ditunjukkan dalam wilayah praktis,
namun jelas sangat menentukan corak ilmu yang dihasilkan. Dalam sejarah perkembangan
ilmu, ketiga hal ini memiliki keterkaitan tidak saja historis namun juga
sistematis. Disebut demikian, karena suatu paradigma tertentu lahir berdasarkan
asumsi dasa tertentu, begitupula teori tertentu bekerja tidak keluar dari
wilayah paradigmanya. Dengan demikian bisa dikatakan, hubungan ketiganya
mengambil bentuk kerucut, dalam arti mulai dari yang umum ke yang lebih khusus.[1]
Dari bagan sederhana di
samping bisa dilihat bahwa ilmu-ilmu lahir dari atau sangat ditentukan oleh
kerangka teori (Theoritical Framework) yang mendasarinya, yang wilayahnya lebih umum
(baca: lebih abstrak dan filosofis. Sementara kerangka teori lahir dari
paradigma tertentu yang sifatnya juga lebih umum, begitupula paradigma tertentu
juga lahir dari/berdasarkan asumsi-asumsi yang mendasarinya.
Asumsi dasar proses
keilmuan diidentifikasi oleh filsafat ilmu menjadi beberapa aliran pemikiran,
yang meliputi: rasionalisme[2], empirisme[3], kritisme dan intuisionisme[4], sementara paradigma keilmuan (dalam tradisi sains) meliputi: positivisme[5], post-positivisme[6], konstruktivisme[7] dan teori kritis (critical theory).
Masing-masing paraadigma tersebut bisa mencakup beberapa kerangka teori, yang
ssecara serius dibangun dan ditawarkan oleh seorang ilmuwan atau kelompok
ilmuwan tertentu.
Dari sini bisa dipahami,
jika beberapa ilmu kemudian dapat diklasifikasikan menurut kesamaan
karakteristiknya, yakni atas dasar kesamaan teori atau paradigmanya. Misalnya
seperti apa yang dilakukan Habermas, sebagaimana telah diuraikan diatas.
Menurut hakikat dan
sebab-musabab keberadaannya, Filsafat Ilmu Pengetahuan merupakan sublimasi atau intisari dan berfungsi sebagai pengendali moral daripada pluralitas keberadaan ilmu pengetahuan.
Hal ini berarti keberadaan Filsafat Ilmu Pengetahuan berfungsi sebagai bidang
studi filsafat praktis dan bersifat normatif . Dengan keberadaannya
dalam konteks pluralitas ilmu pengetahuan itu, maka Filsafat Ilmu Pengetahuan
berkepentingnan pada nilai kebenaran ilmiah dan kegunaannya. Kedua nilai ini dibangun
dalam satu kesatuan sistem, sehingga keberadaan pluralitas ilmu
pengetahuan tetap terikat dalam sikap (pandang) ilmiah yang bersifat interdisipliner
dan multidisipliner. Sedemikian rupa sehingga jalan dan metode pemberdayaan ilmu pengetahuan dan teknologi secara
pragmatis bagi kelangsungan kehidupan yang berkeadilan menjadi jelas dan tepat.[8]
Ilmu skadar merupakan pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis yang dapat membantu kehidupan manusia secara pragmatis.[9]
Dari bagan di atas bisa
dilihat bahwa ilmu-ilmu lahir dari atau sangat ditentukan oleh kerangka teori
(theoretical framework) yang mendasarinya, yang
“wilayahnya” lebih umum, sementara kerangka teori lahir dari paradigma tertentu
yang sifatnya juga lebih umum, begitu pula paradigma tertentu juga lahir
dari/berdasarkan asumsi yang mendasarinya.[10]
[1] Muslih, op.cit., hlm.40
[2] Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa
kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang
berdasarkan fakta, daripada melalui iman, dogma, atau ajaran agama.
Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme
dan atheisme, dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana
bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan atau takhayul.
[3] Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua
pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa
manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan.
Empirisme lahir di Inggris dengan tiga eksponennya adalah David Hume, George Berkeley dan John Locke.
[4] Suatu anggapan bahwa ilmu pengetahuan dapat
dicapai dengan pemahaman langsung; berlawanan dengan proses pemikiran yang
sadar atau persepsi yang langsung; anggapan bahwa kewajiban moral tidak dapat
disimpulkan sendiri 9tanpa pertolongan Tuhan). Lihat: Pius A Partanto, M.
Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiyah Populer, (Surabaya, Arloka: 1994)
[5] Anggapan bahwa yang berarti itu hanya proposisi
analitik yang dapat dibuktikan kebenaranya secara empiris.
[6] Post Positivisme lawan dari positivisme: cara berpikir yg
subjektif Asumsi terhadap realitas. Kebenaran subjektif dan tergantung pada
konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan keyakinan.
[7] Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat
generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari.
Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui
dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman
demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan
menjadi lebih dinamis.
[8] Op.Cit, Suparlan, hlm.35
[9] Op.Cit, Jujun, hlm.72
[10] Op.Cit, Muslih, hlm. 40
No comments:
Post a Comment