Total Pageviews

Thursday, April 26, 2012

FILSAFAT SEBAGAI LANDASAN FILOSOFIS BAGI ILMU



Proses dan hasil keilmuan pada jenis ilmu apapun,
ternyata sangat ditentukan oleh landasan filosofis yang mendasarinya, yang memang berfungsi memberikan kerangka, mengarahkan, menentukan corak dari keilmuan yang dihasilkanya. Landasan filosofis yang dimaksud adalah asumsi dasar, paradigma keilmuan dan kerangka teori (Theoritical Framework).
Ketiga inilah yang lazim disebut sebagai filsafat ilmu atau filsafat keilmuan. Kerja ketiga landasan filosofis ini, memang tidak serta merta bisa ditunjukkan dalam wilayah praktis, namun jelas sangat menentukan corak ilmu yang dihasilkan. Dalam sejarah perkembangan ilmu, ketiga hal ini memiliki keterkaitan tidak saja historis namun juga sistematis. Disebut demikian, karena suatu paradigma tertentu lahir berdasarkan asumsi dasa tertentu, begitupula teori tertentu bekerja tidak keluar dari wilayah paradigmanya. Dengan demikian bisa dikatakan, hubungan ketiganya mengambil bentuk kerucut, dalam arti mulai dari yang umum ke yang lebih khusus.[1]
Dari bagan sederhana di samping bisa dilihat bahwa ilmu-ilmu lahir dari atau sangat ditentukan oleh kerangka teori (Theoritical Framework) yang mendasarinya, yang wilayahnya lebih umum (baca: lebih abstrak dan filosofis. Sementara kerangka teori lahir dari paradigma tertentu yang sifatnya juga lebih umum, begitupula paradigma tertentu juga lahir dari/berdasarkan asumsi-asumsi yang mendasarinya.
Asumsi dasar proses keilmuan diidentifikasi oleh filsafat ilmu menjadi beberapa aliran pemikiran, yang meliputi: rasionalisme[2], empirisme[3], kritisme dan intuisionisme[4], sementara paradigma keilmuan (dalam tradisi sains) meliputi: positivisme[5], post-positivisme[6], konstruktivisme[7] dan teori kritis (critical theory). Masing-masing paraadigma tersebut bisa mencakup beberapa kerangka teori, yang ssecara serius dibangun dan ditawarkan oleh seorang ilmuwan atau kelompok ilmuwan tertentu.
Dari sini bisa dipahami, jika beberapa ilmu kemudian dapat diklasifikasikan menurut kesamaan karakteristiknya, yakni atas dasar kesamaan teori atau paradigmanya. Misalnya seperti apa yang dilakukan Habermas, sebagaimana telah diuraikan diatas.
Menurut hakikat dan sebab-musabab keberadaannya, Filsafat Ilmu Pengetahuan merupakan  sublimasi atau intisari dan berfungsi sebagai pengendali moral daripada pluralitas keberadaan ilmu pengetahuan. Hal ini berarti keberadaan Filsafat Ilmu Pengetahuan berfungsi sebagai bidang studi filsafat praktis dan bersifat normatif . Dengan keberadaannya dalam konteks pluralitas ilmu pengetahuan itu, maka Filsafat Ilmu Pengetahuan berkepentingnan pada nilai kebenaran ilmiah dan kegunaannya. Kedua nilai ini dibangun dalam satu kesatuan sistem, sehingga keberadaan  pluralitas ilmu pengetahuan tetap terikat dalam sikap (pandang) ilmiah yang bersifat interdisipliner dan multidisipliner. Sedemikian rupa sehingga jalan dan metode pemberdayaan ilmu pengetahuan dan teknologi secara pragmatis bagi kelangsungan kehidupan yang berkeadilan menjadi jelas dan tepat.[8]
Ilmu skadar merupakan pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis yang dapat membantu kehidupan manusia secara pragmatis.[9]
Dari bagan di atas bisa dilihat bahwa ilmu-ilmu lahir dari atau sangat ditentukan oleh kerangka teori (theoretical framework) yang mendasarinya, yang “wilayahnya” lebih umum, sementara kerangka teori lahir dari paradigma tertentu yang sifatnya juga lebih umum, begitu pula paradigma tertentu juga lahir dari/berdasarkan asumsi yang mendasarinya.[10]

[1] Muslih, op.cit., hlm.40
[2] Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan fakta, daripada melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan atau takhayul.
[3] Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Empirisme lahir di Inggris dengan tiga eksponennya adalah David Hume, George Berkeley dan John Locke.
[4] Suatu anggapan bahwa ilmu pengetahuan dapat dicapai dengan pemahaman langsung; berlawanan dengan proses pemikiran yang sadar atau persepsi yang langsung; anggapan bahwa kewajiban moral tidak dapat disimpulkan sendiri 9tanpa pertolongan Tuhan). Lihat: Pius A Partanto, M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiyah Populer, (Surabaya, Arloka: 1994)
[5] Anggapan bahwa yang berarti itu hanya proposisi analitik yang dapat dibuktikan kebenaranya secara empiris.
[6] Post Positivisme lawan dari positivisme: cara berpikir yg subjektif Asumsi terhadap realitas. Kebenaran subjektif dan tergantung pada konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan keyakinan.
[7] Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan  dan menjadi lebih dinamis.
[8] Op.Cit, Suparlan, hlm.35
[9] Op.Cit, Jujun, hlm.72
[10] Op.Cit, Muslih, hlm. 40

No comments: