Pada awal abad ke-20,
ide-ide pembaharuan terlihat telah turut mewarnai arus pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Menilik latar belakang kehidupan sebagian tokoh-tokohnya, sangat mungkin diasumsikan bahwa perkembangan baru Islam di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi oleh ide-ide yang berasal dari luar Indonesia. Seperti misalnya Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), Ahmad Surkati (Al-Irshad), Zamzam (Persis), yang ketiganya sempat menimba ilmu di Mekkah dan melalui media publikasi dan korespondensi mereka berkesempatan untuk dapat berinteraksi dengan arus pemikiran baru Islam dari Mesir. Tokoh lainnya seperti Tjokroaminoto (Sarekat Islam) juga dikenal menggali inspirasi gerakannya dari ide-ide pembaharuan Islam di anak benua India. Oemar Amin Hoesin pernah menulis bahwa terdapat media cetak berupa majalah dan surat kabar, yang memuat ide-ide Pan-Islamisme, menyusup ke Indonesia pada awal-awal abad 20-an, semisal: al-’Urwat al-Wuthqa, al-Mu’ayyad, al-Siyasah, al-Liwa’, dan al-’Adl yang kesemuanya berasal dari Mesir. Sementara terbitan Beirut ada Thamrat al-Fumm dan al-Qistas al-Mustaqim. Sekalipun demikian, Karel Steenbrink menyatakan keraguannya pada adanya pengaruh pemikiran Abduh kedalam konstruk gerakan Islam Indonesia modern.
Ide-ide pembaharuan Islam dari luar yang masuk ke Indonesia dengan demikian dapat dibaca berlangsung secara berproses setidaknya melalui 3 (tiga) jalur: (1) Jalur haji dan mukim, yakni tradisi (pemuka) umat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji ketika itu bermukim untuk sementara waktu guna menimba dan memperdalam ilmu keagamaan atau pengetahuan lainnya. Sehingga ketika mereka kembali ke tanah air, kualitas keilmuan dan pengamalan keagamaan mereka umumnya semakin meningkat. Ide-ide baru yang mereka peroleh tak jarang kemudian juga mempengaruhi orientasi pemikiran dan dakwah mereka di tanah air. Dari hasil observasi C.S. Hurgronje terhadap komunitas muslim dari Jawa yang bermukim di Mekah pada tahun 1884-1885 M, menyebutkan bahwa kurikulum yang dipelajari mereka di sana antara lain teologi, fikih, ilmu bahasa dan sastra Arab, aritmatika yang berguna untuk perhitungan fara’id (ilmu waris) dan juga ilmu falak dengan metode hisab. Masyhur dalam sejarah bahwa K.H. Ahmad Dahlan yang menguasai ilmu falak mempergunakan metode hisab (bukan lagi dengan ru’yat) untuk menentukan waktu awal puasa atau jatuhnya hari raya Ied, yang ketika itu memperoleh penentangan kuat dari ulama setempat yang masih berfaham tradisionil; (2) Jalur publikasi, yakni berupa jurnal atau majalah-majalah yang memuat ide-ide pembaharuan Islam baik dari terbitan Mesir maupun Beirut. Wacana yang disuarakan media tersebut kemudian menarik muslim nusantara untuk mentransliterasikannya ke dalam bahasa lokal, seperti pernah muncul jurnal al-Imam, Neracha dan Tunas Melayu di Singapura. Di Sumatera Barat juga terbit al-Munir yang sebagian materinya disadur K.H. Ahmad Dahlan kedalam bahasa Jawa agar mudah dikonsumsi anggota masyarakat yang hanya menguasai bahasa ini; (3) Peran mahasiswa yang sempat menimba ilmu di Timur-Tengah. Menurut Achmad Jainuri, para pemimpin gerakan pembaharuan Islam awal di Indonesia hampir merata adalah alumni pendidikan Mekah. Alumni pendidikan Mesir yang terlibat dalam gerakan pembaharuan ini rata-rata baru muncul sebagai generasi kedua.
Patut dicatat disini bahwa faktor domestik seperti proyek pendidikan yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda ketika itu telah menunjukkan implikasi nyata berupa kemunculan kaum pribumi terpelajar. Dimana golongan inilah yang kemudian menjadi elit yang peka terhadap isu-isu pembaharuan termasuk ide nasionalisme yang tengah menjadi trend di dunia. Diketahui bersama bahwa awal abad ke-20 terjadi beberapa fenomena yang cukup membesarkan hati bangsa-bangsa non-Eropa, antara lain kemenangan Jepang atas Rusia (1905), keberhasilan gerakan Turki Muda (1908), dan Revolusi Cina-nya Sun Yat Sen (1911). Sekalipun demikian, secara umum sebagaimana diutarakan oleh Alfian, kelahiran dan perkembangan pembaharuan Islam di Indonesia merupakan wujud respon terhadap hal-hal berikut ini: (1) Kemunduran Islam sebagai agama karena praktek-praktek penyimpangan; (2) Keterbelakangan para pemeluknya; dan (3) Adanya invansi politik, kultural dan intelektual dari dunia Barat.
Selanjutnya yang patut disadari pula bahwa antara berbagai tokoh pemuka gerakan pembaharuan Islam di Indonesia relatif memiliki kekhasan seiring perbedaan latar belakang karakter dan pendidikan masing-masing. Ditambah faktor konteks kedaerahan, gerakan yang kemudian digagas dan diperjuangkan oleh mereka pun memperlihatkan variasi artikulasi yang beragam. Al-Irsyad misalnya, mengklaim diri sebagai gerakan reformasi Islam dengan konsentrasi pada komunitas Arab Indonesia. Persatuan Islam (Persis) lebih tegas lagi mengidentifikasi diri sebagai gerakan revivalis yang anti bid’ah, khurafat, taqlid dan shirk. Fokus perjuangannya lebih berdimensi penyebaran agama daripada bersifat sosial. Berbeda dengan Persis yang tumbuh di daerah Bandung yang sedikit pengaruh Hindu-Budha-nya, Muhammadiyah justru lahir di lingkungan masyarakat yang dikenal heterodoks, yaitu Yogyakarta. Maka tampaklah bahwa karakter gerakan Muhammadiyah lebih bercorak toleran. Seperti halnya Sarekat Islam, Muhammadiyah tidak mengklaim secara verbal sebagai gerakan reformis, tetapi lebih suka menampilkan diri sebagai gerakan nyata yang berjuang memperbaiki dan meningkatkan kehidupan keagamaan dan sosial umat Islam. Hanya saja, Sarekat Islam lebih cenderung menggarap bidang politik, sementara Muhammadiyah pada bidang sosial-keagamaan.
Singkat kata, gerakan pembaharuan Islam di Indonesia tidaklah muncul dalam satu pola dan bentuk yang sama, melainkan memiliki karakter dan orientasi yang beragam. Disini penting dipahami bahwa gerakan nasionalisme Indonesia yang bangkit sekitar awal abad ke-20 diusung sebagiannya oleh tokoh-tokoh modernis muslim tidak hanya melalui kendaraan gerakan yang berdasar atau berafiliasi ideologis pada Islam. Sejarah menunjukkan bahwa Islam ternyata hanya menjadi salah satu alternatif yang mungkin bagi tokoh-tokoh modernis muslim di Indonesia sebagai sumber rujukan teoritis dan instrumental gerakan pembaharuan dan nasionalismenya. Sekalipun demikian, hal ini tidak mengecilkan pengertian adanya keterkaitan antara dimensi penghayatan religius dan artikulasi perjuangan sosial-politik di masyarakat. Dengan kata lain, kesadaran nasional sebagai anak bangsa yang terjajah oleh penguasa asing tampaknya memikat mereka untuk bersama-sama menempatkan prioritas nasional sebagai ujud kepeduliannya. Maka menarik dicermati paparan Harry J. Benda yang menyebutkan bahwa pembaharuan Islam di Indonesia pada umumnya memiliki 4 (empat) bidang garap: (1) Menyerang formalisme dari ortodoksi Islam serta realitas sinkretisme ajaran karena pengaruh animisme dan Hindu-Budha; (2) Menyerang institusi pra-Islam yang menghalangi perkembangan, dengan representasi institusi adat dan kaum priyayi; (3) Melawan tekanan westernisasi dan dominasi nilai-nilai Barat; dan (4) Melawan kekuasaan status quo kolonial Belanda.
Dengan kian massifnya kiprah gerakan pembaharuan Islam di Indonesia di tengah-tengah masyarakat, secara umum pada awal abad ke-20 M tersebut, corak gerakan keagamaan Islam di Indonesia dapat dipetakan dengan meminjam istilah Achmad Jainuri sebagai berikut: (1) Tradisionalis-konservatis, yakni mereka yang menolak kecenderungan westernisasi (pembaratan) dengan mengatasnamakan Islam yang secara pemahaman dan pengamalan melestarikan tradisi-tradisi yang bercorak lokal. Pendukung kelompok ini rata-rata dari kalangan ulama, tarekat dan penduduk pedesaan; (2) Reformis-modernis, yakni mereka menegaskan relevansi Islam untuk semua lapangan kehidupan baik privat maupun publik. Islam dipandang memiliki karakter fleksibilitas dalam berinteraksi dengan perkembangan zaman; (3) Radikal-puritan, seraya sepakat dengan klaim fleksibilitas Islam di tengah arus zaman, mereka enggan memakai kecenderungan kaum modernis dalam memanfaatkan ide-ide Barat. Mereka lebih percaya pada penafsiran yang disebutnya sebagai murni Islami. Kelompok ini juga mengkritik pemikiran dan cara-cara implementatif kaum tradisionalis. Sebagai pengayaan, menarik jika tipologi ini dikomparasikan dengan kasus gerakan Islam yang berkembang di Turki.
ide-ide pembaharuan terlihat telah turut mewarnai arus pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Menilik latar belakang kehidupan sebagian tokoh-tokohnya, sangat mungkin diasumsikan bahwa perkembangan baru Islam di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi oleh ide-ide yang berasal dari luar Indonesia. Seperti misalnya Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), Ahmad Surkati (Al-Irshad), Zamzam (Persis), yang ketiganya sempat menimba ilmu di Mekkah dan melalui media publikasi dan korespondensi mereka berkesempatan untuk dapat berinteraksi dengan arus pemikiran baru Islam dari Mesir. Tokoh lainnya seperti Tjokroaminoto (Sarekat Islam) juga dikenal menggali inspirasi gerakannya dari ide-ide pembaharuan Islam di anak benua India. Oemar Amin Hoesin pernah menulis bahwa terdapat media cetak berupa majalah dan surat kabar, yang memuat ide-ide Pan-Islamisme, menyusup ke Indonesia pada awal-awal abad 20-an, semisal: al-’Urwat al-Wuthqa, al-Mu’ayyad, al-Siyasah, al-Liwa’, dan al-’Adl yang kesemuanya berasal dari Mesir. Sementara terbitan Beirut ada Thamrat al-Fumm dan al-Qistas al-Mustaqim. Sekalipun demikian, Karel Steenbrink menyatakan keraguannya pada adanya pengaruh pemikiran Abduh kedalam konstruk gerakan Islam Indonesia modern.
Ide-ide pembaharuan Islam dari luar yang masuk ke Indonesia dengan demikian dapat dibaca berlangsung secara berproses setidaknya melalui 3 (tiga) jalur: (1) Jalur haji dan mukim, yakni tradisi (pemuka) umat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji ketika itu bermukim untuk sementara waktu guna menimba dan memperdalam ilmu keagamaan atau pengetahuan lainnya. Sehingga ketika mereka kembali ke tanah air, kualitas keilmuan dan pengamalan keagamaan mereka umumnya semakin meningkat. Ide-ide baru yang mereka peroleh tak jarang kemudian juga mempengaruhi orientasi pemikiran dan dakwah mereka di tanah air. Dari hasil observasi C.S. Hurgronje terhadap komunitas muslim dari Jawa yang bermukim di Mekah pada tahun 1884-1885 M, menyebutkan bahwa kurikulum yang dipelajari mereka di sana antara lain teologi, fikih, ilmu bahasa dan sastra Arab, aritmatika yang berguna untuk perhitungan fara’id (ilmu waris) dan juga ilmu falak dengan metode hisab. Masyhur dalam sejarah bahwa K.H. Ahmad Dahlan yang menguasai ilmu falak mempergunakan metode hisab (bukan lagi dengan ru’yat) untuk menentukan waktu awal puasa atau jatuhnya hari raya Ied, yang ketika itu memperoleh penentangan kuat dari ulama setempat yang masih berfaham tradisionil; (2) Jalur publikasi, yakni berupa jurnal atau majalah-majalah yang memuat ide-ide pembaharuan Islam baik dari terbitan Mesir maupun Beirut. Wacana yang disuarakan media tersebut kemudian menarik muslim nusantara untuk mentransliterasikannya ke dalam bahasa lokal, seperti pernah muncul jurnal al-Imam, Neracha dan Tunas Melayu di Singapura. Di Sumatera Barat juga terbit al-Munir yang sebagian materinya disadur K.H. Ahmad Dahlan kedalam bahasa Jawa agar mudah dikonsumsi anggota masyarakat yang hanya menguasai bahasa ini; (3) Peran mahasiswa yang sempat menimba ilmu di Timur-Tengah. Menurut Achmad Jainuri, para pemimpin gerakan pembaharuan Islam awal di Indonesia hampir merata adalah alumni pendidikan Mekah. Alumni pendidikan Mesir yang terlibat dalam gerakan pembaharuan ini rata-rata baru muncul sebagai generasi kedua.
Patut dicatat disini bahwa faktor domestik seperti proyek pendidikan yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda ketika itu telah menunjukkan implikasi nyata berupa kemunculan kaum pribumi terpelajar. Dimana golongan inilah yang kemudian menjadi elit yang peka terhadap isu-isu pembaharuan termasuk ide nasionalisme yang tengah menjadi trend di dunia. Diketahui bersama bahwa awal abad ke-20 terjadi beberapa fenomena yang cukup membesarkan hati bangsa-bangsa non-Eropa, antara lain kemenangan Jepang atas Rusia (1905), keberhasilan gerakan Turki Muda (1908), dan Revolusi Cina-nya Sun Yat Sen (1911). Sekalipun demikian, secara umum sebagaimana diutarakan oleh Alfian, kelahiran dan perkembangan pembaharuan Islam di Indonesia merupakan wujud respon terhadap hal-hal berikut ini: (1) Kemunduran Islam sebagai agama karena praktek-praktek penyimpangan; (2) Keterbelakangan para pemeluknya; dan (3) Adanya invansi politik, kultural dan intelektual dari dunia Barat.
Selanjutnya yang patut disadari pula bahwa antara berbagai tokoh pemuka gerakan pembaharuan Islam di Indonesia relatif memiliki kekhasan seiring perbedaan latar belakang karakter dan pendidikan masing-masing. Ditambah faktor konteks kedaerahan, gerakan yang kemudian digagas dan diperjuangkan oleh mereka pun memperlihatkan variasi artikulasi yang beragam. Al-Irsyad misalnya, mengklaim diri sebagai gerakan reformasi Islam dengan konsentrasi pada komunitas Arab Indonesia. Persatuan Islam (Persis) lebih tegas lagi mengidentifikasi diri sebagai gerakan revivalis yang anti bid’ah, khurafat, taqlid dan shirk. Fokus perjuangannya lebih berdimensi penyebaran agama daripada bersifat sosial. Berbeda dengan Persis yang tumbuh di daerah Bandung yang sedikit pengaruh Hindu-Budha-nya, Muhammadiyah justru lahir di lingkungan masyarakat yang dikenal heterodoks, yaitu Yogyakarta. Maka tampaklah bahwa karakter gerakan Muhammadiyah lebih bercorak toleran. Seperti halnya Sarekat Islam, Muhammadiyah tidak mengklaim secara verbal sebagai gerakan reformis, tetapi lebih suka menampilkan diri sebagai gerakan nyata yang berjuang memperbaiki dan meningkatkan kehidupan keagamaan dan sosial umat Islam. Hanya saja, Sarekat Islam lebih cenderung menggarap bidang politik, sementara Muhammadiyah pada bidang sosial-keagamaan.
Singkat kata, gerakan pembaharuan Islam di Indonesia tidaklah muncul dalam satu pola dan bentuk yang sama, melainkan memiliki karakter dan orientasi yang beragam. Disini penting dipahami bahwa gerakan nasionalisme Indonesia yang bangkit sekitar awal abad ke-20 diusung sebagiannya oleh tokoh-tokoh modernis muslim tidak hanya melalui kendaraan gerakan yang berdasar atau berafiliasi ideologis pada Islam. Sejarah menunjukkan bahwa Islam ternyata hanya menjadi salah satu alternatif yang mungkin bagi tokoh-tokoh modernis muslim di Indonesia sebagai sumber rujukan teoritis dan instrumental gerakan pembaharuan dan nasionalismenya. Sekalipun demikian, hal ini tidak mengecilkan pengertian adanya keterkaitan antara dimensi penghayatan religius dan artikulasi perjuangan sosial-politik di masyarakat. Dengan kata lain, kesadaran nasional sebagai anak bangsa yang terjajah oleh penguasa asing tampaknya memikat mereka untuk bersama-sama menempatkan prioritas nasional sebagai ujud kepeduliannya. Maka menarik dicermati paparan Harry J. Benda yang menyebutkan bahwa pembaharuan Islam di Indonesia pada umumnya memiliki 4 (empat) bidang garap: (1) Menyerang formalisme dari ortodoksi Islam serta realitas sinkretisme ajaran karena pengaruh animisme dan Hindu-Budha; (2) Menyerang institusi pra-Islam yang menghalangi perkembangan, dengan representasi institusi adat dan kaum priyayi; (3) Melawan tekanan westernisasi dan dominasi nilai-nilai Barat; dan (4) Melawan kekuasaan status quo kolonial Belanda.
Dengan kian massifnya kiprah gerakan pembaharuan Islam di Indonesia di tengah-tengah masyarakat, secara umum pada awal abad ke-20 M tersebut, corak gerakan keagamaan Islam di Indonesia dapat dipetakan dengan meminjam istilah Achmad Jainuri sebagai berikut: (1) Tradisionalis-konservatis, yakni mereka yang menolak kecenderungan westernisasi (pembaratan) dengan mengatasnamakan Islam yang secara pemahaman dan pengamalan melestarikan tradisi-tradisi yang bercorak lokal. Pendukung kelompok ini rata-rata dari kalangan ulama, tarekat dan penduduk pedesaan; (2) Reformis-modernis, yakni mereka menegaskan relevansi Islam untuk semua lapangan kehidupan baik privat maupun publik. Islam dipandang memiliki karakter fleksibilitas dalam berinteraksi dengan perkembangan zaman; (3) Radikal-puritan, seraya sepakat dengan klaim fleksibilitas Islam di tengah arus zaman, mereka enggan memakai kecenderungan kaum modernis dalam memanfaatkan ide-ide Barat. Mereka lebih percaya pada penafsiran yang disebutnya sebagai murni Islami. Kelompok ini juga mengkritik pemikiran dan cara-cara implementatif kaum tradisionalis. Sebagai pengayaan, menarik jika tipologi ini dikomparasikan dengan kasus gerakan Islam yang berkembang di Turki.
No comments:
Post a Comment