Perbincangan mengenai wahabi tidak bisa dilepaskan dari kerajaan Arab Saudi ( Mamlakah Al-Su’udiyah), karena dalam proses perdiriannya Wahhab dan Ibn Saud membentuk system simbiosis mutualisme.
Wahabi-isme muncul pada abad ke-XVIII. Istilah wahabi dinisbahkan pada pendirinya Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1792). Ia merupakan seorang Arab badui yang hidup di sebuah kampung terpencil yaitu Uyaynah Nejd.
Ia mengembara ke berbagai wilayah sekitar Arab seperti Iran, Iraq, Suriyah dan Yaman. Pengetahunnya tentang Islam lebih didominasi oleh mazhab Hambali dan pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah. Kondisi geografis merupakan factor yang mempengaruhi sikap Abd. Wahhab menjadi keras, ditambah lagi dengan pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah dan Ahmad bin Hambal.
Di Nejd terdapat sebuah pemukiman kecil Dir’iyah yang diperintah oleh Muhammad Ibn Saud (w.1765). Ia merangkul Wahhab, ini disebabkan wahhab menerapkan ajaran Islam versi dirinya yang keras. Sehingga ia tidak disukai lagi oleh sukunya. Kemudian Ia berkoalisi dengan Ibn Saud dalam upaya mengembangkan paham ajarannya dan mengekspansi wilayah kekuasaan Ibn Saud.
Mereka mulai menyerang suku-suku di sekitar wilayah mereka. Setiap suku yang belum masuk Wahabi diberi dua tawaran jelas: masuk Wahabi atau diperangi sebagai orang-orang musyrik dan kafir. Yang setuju harus mengucapkan bay`ah ketundukan dan menunjukkan loyalitas dengan bersedia ikut berjihad dan membayar zakat.
Gerakan wahabi semakin meluas di semenjung Arabia. Wahabi mengataskan nama mereka sebagai muwahhid (orang yang bertauhid) yang sesuai dengan ajaran Al quran dan Sunnah. Mereka mengklaim ajaran merekalah yang paling benar sebagai representasi Islam pada masa Nabi. Bagi mereka semua ajaran yang berbeda dengan mereka adalah bidah, kafir, syirik dan dihalalkan untuk menumpahkan darahnya. Mereka mengharamkan ziarah kubur, tawassul, pujian yang berlebihan terhadap pemimpin/wali, menolak tradisi, dan menolak rasionalitas dalam beragama.
Hal inilah yang menjadi legal-standing wahabiyah melakukan penyerangan terhadap tempat-tempat dan praktek-praktek yang dianggap bertolak-punggung dengan ajaran Islam. Di antaranya; penyerangan Karbala (tempat suci syiah) pada tahun 1802. Di sana para wahabiyin menghancurkan makam Imam Husein dan membantai siapa yang menghalangi mereka. Dalam peristiwa itu, ribuan orang syiah menjadi korban pembantaian wahabi.
Pada tahun berikutnya, mereka berhasil menaklukkan Makkah (1803) dan Madinah (1804). Mereka membantai ulama yang tidak mau mengikuti ajaran mereka dan menghancur sekaligus meratakan makam-makam sahabat, karena dapat membawa umat Islam dalam memperhalakan makam. Sedangkan makam Nabi tidak dapat mereka hancurkan, karena mendapat teguran keras dari Khalifah Turkey Utsmani.
Karakteristik pemikiran wahabi adalah memiliki sikap yang keras, mudah menuduh bid’ah, kafir, tidak toleran, kaku, pemahaman yang sempit/literal terhadap teks suci. Mereka sangat mengecam kaum muslim yang melakukan tawasul (doa dengan perantara), merayakan maulid Nabi, dan tasawuf.
Pergolakan ekspansi wahabi tidak hanya sebatas semenanjung Arabia saja, tapi juga merembet ke Nusantara. Di Indonesia tidak hanya tanahnya yang subur, berbagai idiologi pun ikut tumbuh subur, termasuk wahabi. Bentuk keterpengaruhan itu sudah muncul pada abad ke XIX yaitu dari ulama-ulama nusantara yang belajar di Makkah. Pada masa itu, kota Makkah sudah dikuasai oleh wahabi. Semua ilmu-ilmu keislaman bercorak ala wahabi. sehingga setiap orang yang belajar di sana langsung-tak langsung akan dirasuki oleh virus wahabi.
Contoh yang paling menarik adalah perang padri di Sumatra Barat pada tahun 1803 yang terlanjur dianggap sebagai pembaruan Islam minangkabau. Yaitu peperangan antara kaum padri (ulama) dengan kaum adat. Peperangan ini dilatarbelakangi pulangnya 3 orang ulama yang belajar di Makkah yaitu Haji Miskin dkk (jelas mereka sudah terkontamidasi dengan virus wahabi), bergabung dengan ulama setempat. Mereka melakukan perlawanan terhadap kerajaan Pagaruyuang, karena prilaku-prilaku yang bertentangan dengan ajaran Islam semakin tumbuh di sana seperti perjudian, sabung ayam dll. Tidak hanya sebatas itu, budaya/tradisi minangkabau pun ikut dipermasalahkan, yaitu system matrilineal yang sudah lama ada di minangkabau.
Dalam peperangan tersebut, kaum padri berhasil mengalahkan kerajaan pagaruyuang. Tidak bisa dibayangkan kejamnya ulama yang membunuh saudaranya sesama muslim. Hal ini sama dengan kekerasaan wahabi ketika menaklukkan makkah, dimana ulama yang tidak mau menganut paham mereka dibunuh dengan mengganaskan.
Hingga saat ini, penyebaran virus wahabi berkembang sangat pesat. Arab Saudi memiliki dana yang besar dalam mendiasporakan ideology wahabi. Seperti melalui beasiswa untuk belajar di sana, media, percetakan dan lembaga pendidikan.
Mahasiswa yang telah selesai mengenyam Ilmu di sana, pulang dengan membawa ajaran wahabi. Melalui dakwah mereka mulai mempermasalahkan yang mestinya tidak perlu dipermasalahkan, menebarkan kebencian dan permusuhan pada kelompok yang berbeda dengan ajaran mereka, gemar menuduh umat Islam yang tak sejalan dengan mereka dengan tuduhan kafir, syirik dan ahli bidah. Itulah ucapan yang selalu didengungkan di setiap kesempatan dakwah mereka.
Merembaknya virus wahabi di Indonesia, sangat berdampak negative terhadap stabilitas Negara. Di Indonesia mereka tidak memakai nama wahabi, akan tetapi salafi. Kita pun dapat menyaksiakan menjamurnya kelompok-kelompok radikal-ekstrem. Keberadaan mareka mencabik-cabik kebhinekaan kita. Di sini saya tidak mengatakan wahabi satu-satunya sebagai subversif, tapi salah satu diantaranya.
Ideology bangsa kita tinggal namanya saja. Sila ketuhanan yang menjadi fondasi bangsa kita telah digorgoti oleh mereka, sehingga setiap orang yang dirasuki virus tersebut akan mengalami misorientasi dari nilai-nilai pancasila. Mereka tidaklagi beradab, mengikis persatuan dan kesatuan, ketidakmufakatan dalam permusyawaratan dan kesalahan perwakilan. Sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lalu, dimanakah pemerintah kita? Bukankah kita memiliki BIN (badan Intelegen Negara)? Apakah BIN sudah mandul, sehingga tidak dapat bereproduksi lagi? Atau aparat kita juga telah mereka tunggangi juga.
Tantangan ini tidaklah hanya untuk pemerintah, tapi seluruh rakyat Indonesia. Merupakan suatu keniscayaan bagi kita untuk mendakwahkan Islam yang toleran dan ramah lingkungan. Dan melakukan rasionalitas agama dalam upaya mendewasakan spritualitas bangsa.
Hal yang esensi dalam pancasila adalah gotong-royong yang sekaligus sebagai karakteristik masyarakat kita dalam membangun bumi nusantara. Tantangan yang kedua adalah menjaga semangat kebangsaan kita.
Wahabi-isme muncul pada abad ke-XVIII. Istilah wahabi dinisbahkan pada pendirinya Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1792). Ia merupakan seorang Arab badui yang hidup di sebuah kampung terpencil yaitu Uyaynah Nejd.
Ia mengembara ke berbagai wilayah sekitar Arab seperti Iran, Iraq, Suriyah dan Yaman. Pengetahunnya tentang Islam lebih didominasi oleh mazhab Hambali dan pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah. Kondisi geografis merupakan factor yang mempengaruhi sikap Abd. Wahhab menjadi keras, ditambah lagi dengan pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah dan Ahmad bin Hambal.
Di Nejd terdapat sebuah pemukiman kecil Dir’iyah yang diperintah oleh Muhammad Ibn Saud (w.1765). Ia merangkul Wahhab, ini disebabkan wahhab menerapkan ajaran Islam versi dirinya yang keras. Sehingga ia tidak disukai lagi oleh sukunya. Kemudian Ia berkoalisi dengan Ibn Saud dalam upaya mengembangkan paham ajarannya dan mengekspansi wilayah kekuasaan Ibn Saud.
Mereka mulai menyerang suku-suku di sekitar wilayah mereka. Setiap suku yang belum masuk Wahabi diberi dua tawaran jelas: masuk Wahabi atau diperangi sebagai orang-orang musyrik dan kafir. Yang setuju harus mengucapkan bay`ah ketundukan dan menunjukkan loyalitas dengan bersedia ikut berjihad dan membayar zakat.
Gerakan wahabi semakin meluas di semenjung Arabia. Wahabi mengataskan nama mereka sebagai muwahhid (orang yang bertauhid) yang sesuai dengan ajaran Al quran dan Sunnah. Mereka mengklaim ajaran merekalah yang paling benar sebagai representasi Islam pada masa Nabi. Bagi mereka semua ajaran yang berbeda dengan mereka adalah bidah, kafir, syirik dan dihalalkan untuk menumpahkan darahnya. Mereka mengharamkan ziarah kubur, tawassul, pujian yang berlebihan terhadap pemimpin/wali, menolak tradisi, dan menolak rasionalitas dalam beragama.
Hal inilah yang menjadi legal-standing wahabiyah melakukan penyerangan terhadap tempat-tempat dan praktek-praktek yang dianggap bertolak-punggung dengan ajaran Islam. Di antaranya; penyerangan Karbala (tempat suci syiah) pada tahun 1802. Di sana para wahabiyin menghancurkan makam Imam Husein dan membantai siapa yang menghalangi mereka. Dalam peristiwa itu, ribuan orang syiah menjadi korban pembantaian wahabi.
Pada tahun berikutnya, mereka berhasil menaklukkan Makkah (1803) dan Madinah (1804). Mereka membantai ulama yang tidak mau mengikuti ajaran mereka dan menghancur sekaligus meratakan makam-makam sahabat, karena dapat membawa umat Islam dalam memperhalakan makam. Sedangkan makam Nabi tidak dapat mereka hancurkan, karena mendapat teguran keras dari Khalifah Turkey Utsmani.
Karakteristik pemikiran wahabi adalah memiliki sikap yang keras, mudah menuduh bid’ah, kafir, tidak toleran, kaku, pemahaman yang sempit/literal terhadap teks suci. Mereka sangat mengecam kaum muslim yang melakukan tawasul (doa dengan perantara), merayakan maulid Nabi, dan tasawuf.
Pergolakan ekspansi wahabi tidak hanya sebatas semenanjung Arabia saja, tapi juga merembet ke Nusantara. Di Indonesia tidak hanya tanahnya yang subur, berbagai idiologi pun ikut tumbuh subur, termasuk wahabi. Bentuk keterpengaruhan itu sudah muncul pada abad ke XIX yaitu dari ulama-ulama nusantara yang belajar di Makkah. Pada masa itu, kota Makkah sudah dikuasai oleh wahabi. Semua ilmu-ilmu keislaman bercorak ala wahabi. sehingga setiap orang yang belajar di sana langsung-tak langsung akan dirasuki oleh virus wahabi.
Contoh yang paling menarik adalah perang padri di Sumatra Barat pada tahun 1803 yang terlanjur dianggap sebagai pembaruan Islam minangkabau. Yaitu peperangan antara kaum padri (ulama) dengan kaum adat. Peperangan ini dilatarbelakangi pulangnya 3 orang ulama yang belajar di Makkah yaitu Haji Miskin dkk (jelas mereka sudah terkontamidasi dengan virus wahabi), bergabung dengan ulama setempat. Mereka melakukan perlawanan terhadap kerajaan Pagaruyuang, karena prilaku-prilaku yang bertentangan dengan ajaran Islam semakin tumbuh di sana seperti perjudian, sabung ayam dll. Tidak hanya sebatas itu, budaya/tradisi minangkabau pun ikut dipermasalahkan, yaitu system matrilineal yang sudah lama ada di minangkabau.
Dalam peperangan tersebut, kaum padri berhasil mengalahkan kerajaan pagaruyuang. Tidak bisa dibayangkan kejamnya ulama yang membunuh saudaranya sesama muslim. Hal ini sama dengan kekerasaan wahabi ketika menaklukkan makkah, dimana ulama yang tidak mau menganut paham mereka dibunuh dengan mengganaskan.
Hingga saat ini, penyebaran virus wahabi berkembang sangat pesat. Arab Saudi memiliki dana yang besar dalam mendiasporakan ideology wahabi. Seperti melalui beasiswa untuk belajar di sana, media, percetakan dan lembaga pendidikan.
Mahasiswa yang telah selesai mengenyam Ilmu di sana, pulang dengan membawa ajaran wahabi. Melalui dakwah mereka mulai mempermasalahkan yang mestinya tidak perlu dipermasalahkan, menebarkan kebencian dan permusuhan pada kelompok yang berbeda dengan ajaran mereka, gemar menuduh umat Islam yang tak sejalan dengan mereka dengan tuduhan kafir, syirik dan ahli bidah. Itulah ucapan yang selalu didengungkan di setiap kesempatan dakwah mereka.
Merembaknya virus wahabi di Indonesia, sangat berdampak negative terhadap stabilitas Negara. Di Indonesia mereka tidak memakai nama wahabi, akan tetapi salafi. Kita pun dapat menyaksiakan menjamurnya kelompok-kelompok radikal-ekstrem. Keberadaan mareka mencabik-cabik kebhinekaan kita. Di sini saya tidak mengatakan wahabi satu-satunya sebagai subversif, tapi salah satu diantaranya.
Ideology bangsa kita tinggal namanya saja. Sila ketuhanan yang menjadi fondasi bangsa kita telah digorgoti oleh mereka, sehingga setiap orang yang dirasuki virus tersebut akan mengalami misorientasi dari nilai-nilai pancasila. Mereka tidaklagi beradab, mengikis persatuan dan kesatuan, ketidakmufakatan dalam permusyawaratan dan kesalahan perwakilan. Sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lalu, dimanakah pemerintah kita? Bukankah kita memiliki BIN (badan Intelegen Negara)? Apakah BIN sudah mandul, sehingga tidak dapat bereproduksi lagi? Atau aparat kita juga telah mereka tunggangi juga.
Tantangan ini tidaklah hanya untuk pemerintah, tapi seluruh rakyat Indonesia. Merupakan suatu keniscayaan bagi kita untuk mendakwahkan Islam yang toleran dan ramah lingkungan. Dan melakukan rasionalitas agama dalam upaya mendewasakan spritualitas bangsa.
Hal yang esensi dalam pancasila adalah gotong-royong yang sekaligus sebagai karakteristik masyarakat kita dalam membangun bumi nusantara. Tantangan yang kedua adalah menjaga semangat kebangsaan kita.
No comments:
Post a Comment