A. PENDAHULUAN
Hukum Islam adalah salah satu aspek ajaran Islam yang menempati posisi
penting dalam pandangan umat Islam, karena ia merupakan manifestasi paling kongkrit
dari hukum Islam sebagai sebuah agama . Sedemikian pentingnya hukum Islam dalam
skema doktrinal Islam, sehingga seorang orientalis, Joseph Schacht, menilai bahwa
“mustahil memahami Islam tanpa memahami Hukum Islam”1
Hukum Islam menjadi hukum yang hidup (living law) dan berakar kuat
dikalangan masyarakat indonesia yang mayoritas muslim. Masuknya hukum Islam ke
Indonesia bersamaan dengan masuknya agama Islam ke Indonesia. Selanjutnya hukum
Islam menancapkan pengaruh yang kuat setelah umat Islam memiliki kekuatan politik di
Indonesia yang ditandai dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di nusantara, seperti
Kerajaan Samudera Pasai, Kesultanan Demak, dll.
Dalam sejarah hukum di Indonesia, hukum Islam dalam perkembangannya
mengalami pasang surut terutama setelah bangsa Indonesia mengalami masa penjajahan
Belanda, hukum Islam di Indonesia diupayakan sedikit demi sedikit dihapus apalagi
setelah Snouchk Hurgronye dengan teori receptie-nya berusaha menghilangkan hukum
Islam dengan cara membenturkan hukum Islam dengan Hukum adat (adatrech).2 Namun
upaya tersebut gagal dan sampai sekarang hukum Islam tetap eksis dan memberikan
kontribusi besar terhadap terbentuknya Hukum Nasional. Hukum Islam menjadi sumber
hukum nasional selain hukum adat dan hukum Belanda.
Dalam tata hukum Nasional-Indonesia UU No 1/1974 dan Inpres No 1/1991
merupakan peraturan yang memuat nilai-nilai hukum Islam, bahkan KHI merupakan fiqh
Indonesia yang sepenuhnya memuat materi hukum keperdataan Islam termasuk
diantaranya perkawinan dan perceraian.
1 Abdul Halim Barkatullah &Teguh Prasetyo ,Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman yang Terus
Berkembang, Pustaka Pelajar Yogyakarta., Cet.1 2006, h.145.
2 Abdul Manan, Reformasi hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, h. 2
2 Perkawinan dan perceraian merupakan suatu hal yang sangat urgen dalam
kehidupan manusia, itu sebabnya hukum Islam menaruh perhatian yang cukup signifikan
terhadap kedua hal tersebut. Hal ini bisa terlihat apabila kita mengkaji hukum Islam
diatas, niscaya akan kita temukan kedua hal tadi menjadi salah satu objek pembahasan
hukum Islam.
Perceraian tidak bisa dipisahkan dari perkawinan, tak ada perceraian tanpa
diawali perkawinan. Perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan bathin antara seorang lakilaki
dan seorang wanita untuk membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah
warahmah. Namun pada saat tujuan itu tidak tercapai, maka perceraian merupakan jalan
keluar (way out) terakhir yang mesti ditempuh. Perceraian tidak dapat dilakukan kecuali
telah ada alasan-alasan yang dibenarkan oleh agama dan undang-undang
Dalam hukum Islam, alasan-alasan perceraian itu mengalami perkembangan
sesuai dengan setting sosial yang melingkupi hukum tersebut. Karena itu, dalam makalah
ini, penulis berupaya menyoroti dan memaparkan perkembangan alasan-alasan perceraian
dan akibat perceraian menurut Perspektif hukum Islam dan hukum Belanda yang
keduanya memberikan pengaruh yang cukup signifikan dan memiliki kedudukan
tersendiri dalam pengembangan hukum nasional di Indonesia.
1. Pengertian dan Kedudukan Perceraian
Perceraian merupakan bagian dari pernikahan, sebab tidak ada perceraian
tanpa diawali pernikahan terlebih dahulu. Pernikahan merupakan awal dari hidup
bersama antara seorang pria dan seorang wanita yang diatur dalam peraturan perundangundangan
yang berlaku. Dalam semua tradisi hukum, baik civil law, common law,
maupun Islamic Law, perkawinan adalah sebuah kontrak berdasarkan persetujuan
sukarela yang bersifat pribadi antara seorang pria dan seorang wanita untuk menjadi
suami isteri. Dalam hal ini, perkawinan selalu dipandang sebagai dasar bagi unit keluarga
yang mempunyai arti penting bagi penjagaan moral atau akhak masyarakat dan
pembentukan peradaban.3
3 Rifyal Ka’bah, Permasalahan Perkawinan, dalam Majalah Varia Peradilan, No 271 Juni 2008, IKAHI,
Jakarta, hal 7
3 Perkawinan sebagai perjanjian atau kontrak (‘aqd), maka pihak-pihak yang
terikat dengan perjanjian atau kontrak berjanji akan membina rumah tangga yang bahagia
lahir bathin dengan melahirkan anak cucu yang meneruskan cita-cita mereka. Bila ikatan
lahir bathin tidak dapat diwujudkan dalam perkawinan, misalnya tidak lagi dapat
melakukan hubungan seksual, atau tidak dapat melahirkan keturunan, atau masingmasing
sudah mempunyai tujuan yang berbeda, maka perjanjian dapat dibatalkan
melalui pemutusan perkawinan (perceraian) atau paling tidak ditinjau kembali melalui
perkawinan kembali setelah terjadi perceraian “ruju’’.4
Bagi orang Islam, perceraian lebih dikenal dengan istilah talak. Menurut
Sayyid Sabiq, talak adalah
Artinya: melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan
perkawinan.5
Menurut HA. Fuad Sa’id yang dimaksud dengan perceraian adalah putusnya
perkawinan antara suami dengan isteri karena tidak terdapat kerukunan dalam rumah
tangga atau sebab lain seperti mandulnya isteri atau suami dan setelah sebelumnya
diupayakan perdamaian dengan melibatkan keluarga kedua belah pihak.6 Dari uraian
diatas dapat diketahui, bahwa Pertama; perceraian baru dapat dilaksanakan apabila telah
dilakukan berbagai cara untuk mendamaikan kedua belah pihak untuk tetap
mempertahankan keutuhan rumah tangga mereka dan ternyata tidak ada jalan lain kecuali
hanya dengan jalan perceraian. Dengan perkataan lain bahwa perceraian itu adalah
sebagai way out bagi suami isteri demi kebahagian yang dapat diharapkan sesudah
terjadinya perceraian terjadi. Kedua; bahwa perceraian itu merupakan sesuatu yang
dibolehkan namun dibenci oleh agama. Berdasarkan sabda Rasul:
“Hal yang halal tetapi paling dibenci menurut Allah adalah perceraian”
Dalam sebuah hadits, ada ancaman khusus bagi seorang isteri yang meminta
jatuhnya talak dari suaminya tanpa disertai alasan yang dibenarkan syara. Rasul bersabda:
4 Ibid.
5 Sayyid Sabiq, Fiqhusunnah, Darul Fikri, Beirut, Jilid II, h.206 tt.
6 Abdul Manan, Problematika Perceraian Karena Zina dalam Proses Penyelesaian Perkara di Lingkungan
Peradilan Agama, dalam Jurnal Mimbar Hukum, al-Hikmah & DITBINBAPERA, Jakarta.No 52 Th XII
2001 h. 7
4. Artinya:”Siapa saja isteri yang menuntut cerai kepada suaminya tanpa alasan
yang jelas, maka ia haram menghirup wanginya surga”7.
Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam pertama, dalam banyak kesempatan
selalu menyarankan agar suami isteri bergaul secara ma’ruf dan jangan menceraikan
isteri dengan sebab-sebab yang tidak prinsip. Jika terjadi pertengkaran yang sangat
memuncak diantara suami isteri dianjurkan bersabar dan berlaku baik untuk tetap rukun
dalam rumah tangga, tidak langsung membubarkan perkawinan mereka, tetapi hendaklah
menempuh usaha perdamaian terlebih dahulu dengan mengirim seorang hakam dari
keluarga pihak suami dan seorang hakam dari keluarga pihak isteri untuk mengadakan
perdamaian. Jika usaha ini tidak berhasil dilaksanakan, maka perceraian baru dapat
dilakukan.
Secara garis besar hukum Islam membagi perceraian kepada dua golongan
besar yaitu talak dan fasakh. Talak adalah perceraian yang timbul dari tindakan suami
untuk melepaskan ikatan dengan lafadz talak dan seumpamanya, sedangkan fasakh
adalah melepas ikatan perkawinan antara suami isteri yang biasanya dilakukan oleh isteri.
Dari dua golongan perceraian ini, Dr. Abdurrahman Taj sebagaimana dikutip oleh H.M
Djamil Latief, S.H. membuat klasifikasi perceraian sebagai berikut, (1) Talak yang terjadi
dengan keputusan hakim yaitu li’an, perceraian dengan sebab aib suami seperti impoten
dan perceraian dengan sebab suami menolak masuk Islam, (2)Talak yang terjadi tanpa
putusan Hakim yaitu talak biasa yakni talak yang diucapkan suami baik sharih maupun
kinayah dan ‘ila, (3) fasakh yang terjadi dengan keputusan hakim yaitu dengan sebab
perkawinannya anak laki-laki atau perempuan yang masih dibawah umur dan perkawinan
itu tidak dilakukan oleh wali yaitu bapaknya atau kakeknya, fasakh dengan sebab salah
satu pihak dalam keadaan gila, tidak sekufu, kurangnya mas kawin dari mahar mitsil dan
salah satu pihak menolak masuk Islam, (4) fasakh yang terjadi tanpa adanya putusan
7 Sayyid Sabiq. Lokcit.h. 207
5 hakim, yaitu fasakh dengan sebab merdekanya isteri, ada hubungan semenda antara
suami isteri dan nikahnya fasid sejak semula.8
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia sebagai bentuk
mempositifkan hukum Islam mengklasifikasi penyebab terjadinya perceraian kepada (1)
Kematian salah satu pihak, (2) Perceraian karena talak dan perceraian karena gugat, (3)
keputusan Pengadilan.9
Dalam hukum Belanda, Perceraian dikenal sebagai salah satu penyebab
bubarnya perkawinan. Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 199 BW Dalam pasal
199 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wet Book) disebutkan
Perkawinan dapat bubar karena (1) kematian salah satu pihak, (2) keadaan tidak hadirnya
suami atau isteri selama 10 Tahun diikuti perkawinan baru si isteri atau suami setelah
mendapat izin dari Hakim, (3) karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan
ranjang, serta pembuktian bubarnya perkawinan dalam register catatan sipil, (4).
Perceraian.10
2. Perkembangan Alasan Perceraian
Pada dasarnya hukum Islam menetapkan bahwa alasan perceraian hanya satu
macam saja yaitu pertengkaran yang sangat memuncak dan membahayakan keselamatan
jiwa yang disebut dengan “syiqaq” sebagaimana Firman Allah dalam al-Qur’an Surat an-
Nisa ayat 35 yang berbunyi:
Artinya: “Dan jika kamu khawatir terjadinya perselisihan diantara keduanya
(suami dan Isteri), maka utuslah seorang hakam dari keluarga suaminya dan seorang
hakam dari keluarga Isteri. Dan jika keduanya menghendaki kebaikan, niscaya Allah
8 Abdul Manan, Lokcit, h.12.
9 Ibid.
10Ibid
6 memberikan petunjuk kepada keduanya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan
Maha Mengawasi”.
Sedangkan menurut hukum Perdata, perceraian hanya dapat terjadi
berdasarkan alasan-alasan yang ditentukan Undang-undang dan harus dilakukan di depan
sidang Pengadilan.11 Dalam kaitan ini ada dua pengertian yang perlu dipahami yaitu
istilah “bubarnya perkawinan” dan “perceraian”.
Perceraian adalah salah satu sebab dari bubarnya atau putusnya perkawinan.
Dalam pasal 199 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) disebutkan Perkawinan
dapat bubar karena (1) kematian salah satu pihak, (2) keadaan tidak hadirnya suami atau
isteri selama 10 Tahun diikuti perkawinan baru si isteri atau suami setelah mendapat izin
dari Hakim, (3) karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan ranjang, serta
pembuktian bubarnya perkawinan dalam register catatan sipil, (4). Perceraian. Sedangkan
perceraian yang menjadi dasar bubarnya perkawinan adalah perceraian yang tidak
didahului oleh perpisahan meja dan ranjang. Tentang hal ini ditentukan dalam pasal 209
Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu (1) Zina baik yang dilakukan oleh suami
atau isteri, (2) Meningggalkan tempat tinggal bersama dengan sengaja, (3) Suami atau
isteri dihukum selama 5 tahun penjara atau lebih yang dijatuhkan setelah perkawinan
dilaksanakan, (4) Salah satu pihak melakukan penganiyaan berat yang membahayakan
jiwa pihak lain (suami/isteri). Lebih lanjut dalam pasal 208 KUH Perdata bahwa
perceraian tidak dapat dilaksanakan berdasarkan atas persetujuan antara suami dan isteri.
Dalam pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
disebutkan bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi karena salah satu pihak meninggal
dunia, karena perceraian dan karena adanya putusan pengadilan . Kemudian dalam pasal
39 ayat (2) ditentukan bahwa untuk melaksanakan perceraian harus cukup alasan yaitu
antara suami isteri tidak akan hidup sebagai suami isteri . Ketentuan ini dipertegas lagi
dalam penjelasan pasal 39 ayat (2) tersebut dan pasal 19 Peraturan pemerintah Nomor 9
tahun 1975 yang mana disebutkan bahwa alasan yang dapat dipergunakan untuk
melaksanakan perceraian adalah:
11 Yahya Harahap, Beberapa Permasalahan Hukum Acara pada Peradilan Agama, al-Hikmah, Jakarta, h.
133, th 1975
7- Salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat dan lain sebagainya yang
sukar disembuhkan
- Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemauannya.
- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung
- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang
membahayakan pihak lain.
- Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.
- Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Alasan perceraian ini adalah sama seperti yang tersebut dalam pasal 116
Kompilasi Hukum Islam dengan penambahan dua ayat yaitu:(a) suami melanggar taklik
talak dan (b) peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga.
Memperhatikan alasan-alasan perceraian yang diterima dalam hukum
Perkawinan Nasional, maka dapat diketahui bahwa hukum positif di Indonesia tidak
mengenal lembaga hidup terpisah yaitu perceraian pisah meja dan pisah tempat tidur
(scheding van tafel end bed) sebagaimana diatur dalam pasal 424 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata atau dalam lembaga hukum keluarga Eropa yang dikenal dengan
“separation from bed and board”. Selai dari hal ini ketentuan yang diatur dalam hukum
positif Indonesia hampir sama dengan apa yang tersebut dalam Stb.1933-74 pasal 52 dan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 208, kecuali apa yang tersebut dalam
Kompilasi Hukum Islam sebagaimana tersebut diatas.
Perkembangan hukum keluarga di beberapa negara Eropa menunjukkan
bahwa alasa-alasan perceraian sebagaimana tersebut diatas sudah banyak dimodifikasi
sesuai dengan perkembangan hidup masyarakat. Di negara Belanda dalam pasal 151 NBW
baru Tahun 1971ditetapkan bahwa perceraian dapat diputuskan oleh Pengadilan jika
perkawinan itu sudah tidak dapat dirukunkan lagi dan ini adalah sama dengan retaknya
rumah tangga yang tidak dapat diperbaiki lagi (brokendown marriage). Sekarang tidak
8 dipersoalkan lagi siapa yang bersalah (matrimonial guilt) sehingga mereka bercerai, yang
penting sekarang tidak ada lagi prospek pemulihan hubungan rumah tangga yang
bahagia. Pihak suami atau isteri yang mengajukan perceraian kepada Pengadilan harus
menunjukkan bukti kepada hakim bahwa rumah tangganya betul-betul telah retak yang
tidak dapat diperbaiki lagi.
Di Inggris semula menganut asas bahwa perceraian hanya dapat dilakukan
oleh Penggugat yang tidak bersalah dan dapat membuktikan kesalahan Tergugat bahwa ia
telah melakukan pelanggaran dalam perkawinan.. Dalam The Matrimanial Act 1973
ditentukan bahwa gugatan perceraian boleh diajukan ke Pengadilan oleh Pihak suami atau
isteri atas dasar perkawinan yang telah retak (brokendown marriage) yang tidak dapat
diperbaiki lagi. Ini adalah satu-satunya alasan perceraian menurut hukum keluarga di
Inggris. Pengadilan dapat mengabulkan permohonan perceraian setelah menilai keretakan
dari perkawinan tersebut.12
Dalam menyelesaikan perkara perceraian dengan alasan pecahnya
perkawinan. Peradilan keluarga Belanda dan Inggris menempuh prosedur yang mirip
dengan prosedur syiqaq dalam hukum Islam. Langkah pertama setelah perkara terdaftar,
pengadilan memberi waktu kedua belah pihak untuk berfikir secara mendalam. Dalam
tenggang waktu tersebut, mereka diharuskan berkonsultasi dengan tim ahli masalah
keluarga yang mirip dengan institusi hakamain dalam Syiqaq. Hasil kesepakatan mereka
akan disahkan oleh Pengadilan. Langkah kedua ialah, bila kesepakatan tidak tercapai,
pemeriksaan di Pengadilan baru dilakukan dengan menempuh prosedur hukum acara
biasa.13
Bustanil Arifin mengutip Dr. S. Jaffar Husein bahwa kemiripan penyelesaian
perkara perceraian karena marriage break down dengan prosedur Syiqaq (marriage
breakdown itu sebenarnya sudah berarti Syiqaq) membuktikan bahwa dunia sekarang
dalam masalah perceraian kembali kepada konsep al-Qur’an.14
Sebagaimana telah diuraikan dimuka, Sebenarnya hukum Islam sudah terlebih
dahulu menetapkan bahwa alasan perceraian hanya ada satu macam saja yaitu
12 Abdul Kadir Muhammad, Perkembangan Beberapa HUkum Keluarga di Beberapa Negara Eropa, Citra
Aditya Bandung, 1998, h.126
13 Taufiq, Peradilan Keluarga Indonesia, Mahkamah Agung RI , Jakarta, 2000, h.80
14 Busthanul Arifin, Transformasi Hukum Islam ke Hukum Nasional, al-Hikmah, Jakarta,2001, h. 60
9 pertengkaran yang sangat memuncak dan membahayakan keselamatan jiwa yang disebut
dengan “Syiqaq” atau (broken mariage, marital breakdown). Namun dengan merinci
alasan-alasan cerai yang sebenarnya hanyalah indikator dari pecahnya sebuah
perkawinan. sebagaimana tercantum dalam pasal 19 PP no 9 Tahun 1975 dan pasal 116
Kompilasi Hukum Islam, sesungguhnya Hukum Islam di Indonesia telah berjalan mundur
kebelakang karena mengikuti Burgerlijk Wetboek (BW) dan Huwelijke Ordonantie voor
Christen Indonesiers Java, Minahasa en Amboina (HOCI) . Sedangkan di Belanda
sendiri, ternyata alasan perceraian seperti yang terdapat dalam Burgerlijk Wetboek dan
Huwelijke Ordonantie voor Christen Indonesiers Java, Minahasa en Amboina telah lama
ditingggalkan.15
D. AKIBAT PERCERAIAN
Dalam hukum Islam maupun hukum Belanda, perceraian yang terjadi antara
seorang suami dan isteri bukan hanya memutuskan ikatan perkawinan saja, lebih lanjut
perkawinan juga melahirkan beberapa akibat seperti timbulnya pembagian harta bersama
(gemenshap) dan hak pengurusan anak (hadlonah).
a. Harta Bersama
Perceraian yang timbul antara suami dan isteri melahirkan akibat, diantaranya
adalah pembagian harta bersama. Dalam bahasa Belanda disebut gemenschap.
Sebenarnya konsep harta bersama dalam hukum Islam tidak ditemukan nash yang secara
tegas menyebutkan hukum harta bersama baik dalam al-Qur’an maupun hadist.
Karenanya hal ini merupakan ranah ijtihad bagi ulama yang memiliki kafasitas untuk
melakukan ijtihad atau yang dikenal dengan istilah mujtahid.
Satria Effendi M. Zein menyebutkan bahwa dalam kultur masyarakat muslim
berkaitan dengan harta yang diperoleh dalam sebuah pernikahan ada dua kultur yang
berlaku, pertama; kultur masyarakat yang memisahkan antara harta suami dan harta isteri
dalam sebuah rumah tangga. Dalam masyarakat muslim seperti ini, tidak ditemukan
adanya istilah harta bersama. Kedua; masyarakat muslim yang tidak memisahkan harta
yang diperoleh suami isteri dalam pernikahan. Masyarakat muslim seperti ini mengenal
dan mengakui adanya harta bersama. Di Indonesia, adat kebiasaan masyarakat muslim
15 Taufiq, Lokcit, h.80
10
yang mengakui adanya harta bersama sudah menjadi lebih kuat, karena telah dituangkan
dalam pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974.16
Sedangkan dalam hukum Belanda yang terdapat dalam Pasal 119 dan Pasal
126 Burgerlijk Wetboek disebutkan bahwa sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka
menurut hukum, terjadilah percampuran harta antara suami isteri yang disebut dengan
harta bersama. Hal ini terjadi selama tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Harta bersama bubar atau berakhit demi hukum disebabkan; kematian salah
satu pihak, perceraian, pisah meja dan ranjang dan karena pemisahan harta yang
dituangkan dalam perjanjian sebelum terjadinya perkawinan. Dan dalam Pasal 127 BW,
setelah bubarnya harta bersama, kekayaan mereka dibagi dua antara suami dan isteri atau
antara para pewaris mereka tanpa mempersoalkan dari pihak mana asal barang-barang
itu.
b. Pengurusan anak
Perceraian disamping menimbulkan adanya pembagian harta bersama seperti
yang diterangkan diatas, juga menimbulkan masalah pengurusan anak. Pengurusan anak
atau dikenal dengan sebutan hadlonah. Hukum Islam menyebutkan bahwa apabila terjadi
perceraian antara suami dan isteri, maka isterilah yang berhak mengasuh mendidik dan
memelihara anak-anaknya selama anak-nya belum mumayyiz. Hal ini berdasarkan Sabda
Nabi kepada seorang isteri yang mengadukan pengurusan anaknya setelah isteri tersebut
bercerai dari suaminya. Nabi berkata:”kaulah yang lebih berhak mendidik anakmu
selama kamu belum kawin dengan orang lain”. (Hadits riwayatAbu Dawud dan al-
Hakim) 17
Disamping dua akibat perceraian diatas, khusus dalam hukum Islam ada
akibat-akibat lain yang timbul dari perceraian yang tidak ada dalam Hukum Belanda.
Dalam hukum Islam ada ciri khas yang tidak ada dalam Hukum Belanda bahwa
perceraian tidak sekaligus memutus hubungan suami isteri terutama perceraian dalam
bentuk talak raj’i yang memberikan hak ruju’ kepada suami sebelum masa ‘iddah-nya
habis.
16 Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Kencana ,Jakarta.Cet.2 h. 60-61
17 Ibid.
11 Untuk lebih jelasnya implikasi yang ditimbulkan perceraian dalam konsep
hukum Islam selain yang telah dipaparkan diatas, penulis akan paparkan sebagai berikut:
1. Akibat talak
1.1 Akibat Talak Raj’i
Talak raj’i tidak menghalangi mantan suami berkumpul dengan mantan
isterinya, sebab akad perkawinannya tidak hilang dan tidak menghilangkan hak
(pemilikan), serta tidak mempengaruhi hubungannya yang halal (kecuali persetubuhan).18
Segala akibat hukum talak baru berjalan sesudah habis masa ‘iddah dan jika
tidak ada ruju’. Sedangkan apabila masa ‘iddah telah habis maka tidak boleh ruju’dan
berarti perempuan itu telah ter-talak ba’in. Jika masih ada dalam masa ‘iddah maka talak
raj’i yang berarti tidak melarang suami berkumpul dengan isterinya kecuali
bersengggama. Jika ia menggaulinya istrinya berarti ia telah ruju’. Selama dalam masa
‘iddah, isteri yang ditalak raj’i masih berhak memperoleh tempat tinggal, pakaian, dan
uang belanja dari mantan suaminya. Dan selama dalam masa ‘iddah bekas isteri wajib
menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.
Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:”Perempuan yang berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal
dari mantan suaminya adalah apabila mantan suaminya itu berhak merujuk kepadanya”.
(HR. Muslim).19
Berkaitan dengan adanya konsep ruju’ dalam hukum Islam, Syeikh
Muhammad Ali As-Shabuni mengutip perkataan Ahmad Muhammad Jamal mengatakan
bahwa Hukum Islam memiliki ciri khas dalam masalah perceraian yang tidak dimiliki
oleh sistem hukum yang lain yaitu masalah ruju’ atau bisa kembalinya seorang suami
terhadap isteri yang dithalak satu dan dua selama belum habis masa ‘iddah (
menunggu). Hal ini menunjukan bahwa Islam sangat menginginkan kembalinya mantan
18 A. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (kencana, Jakarta. 2006 cet.2 h. 265
19 Ibid
12 suami dan mantan isteri tersebut dalam ikatan perkawinan sehingga keturunan keduanya
dapat terpelihara dengan baik.20
1.2 Akibat Talak Bain Shugra
Talak Ba’in Sughra menghilangkan pemilikan bekas suami terhadap bekas
isterinya tetapi tidak menghilangkan kehalalan bekas suami untuk menikahi kembali
dengan mantan isterinya, artinya bekas suami boleh mengadakan akad nikah baru dengan
bekas isteri, baik dalam masa ‘iddah-nya maupun sesudah berakhir masa ‘iddah-nya.
Termasuk talak ba’in sughra adalah
- Talak qabla dukhul
- Talak dengan penggantian harta atau yang disebut dengan khulu’
- Talak karena cacad badan, karena salah seorang dipenjara dan talak karena
penganiyaan.
1.3 Akibat Talak Ba’in Kubra.
Hukum talak bain kubra sama dengan talak ba’in sughra, yaitu memutuskan
hubungan tali perkawinan antara suami dan isteri. Tetapi talak bain kubra tidak
menghalalkan bekas suami merujuk mantan isterinya, kecuali sesudah ia menikah dengan
laki-laki lain dan telah bercerai sesudah dikumpulinya, tanpa ada niat tahlil. Sebagaiman
firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah 230.
Perempuan yang menjalani ‘iddah talak ba’in, jika tidak hamil, ia hanya
berhak memperoleh tempat tinggal (rumah), sedangkan jika ia hamil maka ia berhak
tempat tingggal dan nafkah. Sebagaimana dalam surat al-Talaq ayat 6
20 Ali As-Shabuni, Tafsir Rawa’iul Bayan fi Ayat al-Ahkam, Darul Fikri, Beirut Juz I h. 344
13
2. Akibat Li’an
Akibat li’an adalah terjadinya perceraian antara suami isteri. Bagi suami,
maka isterinya menjadi haram untuk selamanya. Ia tidak boleh rujuk ataupun menikah
lagi dengan akad baru. Bila isterinya melahirkan anak yang dikandungnya, maka anak itu
dihukumkan tidak termasuk keturunan suaminya.21
3. Akibat Fasakh
Pisahnya suami isteri akibat fasakh berbeda dengan yang diakibatkan oleh
talak. Sebab talak ada talak bain dan ada talak raj’i. Talak raj’i tidak mengakhiri ikatan
suami isteri dengan seketika sedangkan talak ba’in mengakhirinya seketika itu juga.
Adapun fasakh, baik karena hal-hal yang datang belakangan maupun karena
adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, maka ia mengakhiri ikatan pernikahan seketika
itu juga.
4. Akibat khulu’
Khulu’ adalah perceraian dengan disertai sejumlah harta sebagai ‘iwadh yang
diberikan oleh isteri kepada suaminya untuk menebus diri agar terlepas dari ikatan
perkawinan. Perceraian antara suami dan isteri akibat khulu’, suami tidak bisa meruju’
isterinya pada masa ‘iddah.
KESIMPULAN
1. Perceraian adalah jalan keluar terakhir (way out )untuk mengakhiri perkawinan
yang sudah tidak mungkin lagi dapat dipertahankan dan perceraian ini dilakukan
demi kebahagian yang dapat diharapkan sesudah terjadinya perceraian. Perceraian
hanya dapat dilakukan apabila telah terbukti adanya alasan-alasan yang dapat
dibenarkan oleh hukum Agama dan Undang-undang yang berlaku.
2. Alasan perceraian senantiasa berkembang mengikuti perkembangan dan
perubahan hukum yang merespon perubahan sosial. Alasan perceraian dalam
hukum Islam Indonesia yang tercermin dalam pasal 19 PP no 9 Tahun 1975 dan
pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, sesungguhnya telah berjalan mundur
kebelakang karena mengikuti Burgerlijk Wetboek (BW) dan Huwelijke
Ordonantie voor Christen Indonesiers Java, Minahasa en Amboina (HOCI) yang
21 A. Rahman Ghazali, Lokcit, h. 272-276
14 ternyata telah ditingggalkan oleh Belanda sendiri. Dan hukum Belanda
kontemporer memandang bahwa satu-satunya alasan perceraian adalah pecahnya
perkawinan (marriage breakdown) yang dalam hukum Islam klasik dikenal
dengan term Syiqaq.
3. Dalam hukum Islam dan hukum Belanda Perceraian tidak hanya mengakhiri
perkawinan antara suami isteri. Tetapi, disamping itu perceraian melahirkan
akibat adanya pembagian harta bersama dan pengurusan anak. Dan khusus dalam
hukum Islam, perceraian menyebabkan adanya ‘nafkah iddah, mut’ah,
maskan,kiswah,’iddah, ruju’ dan nisbat anak terhadap ibu saja (perceraian akibat
li’an)
15 DAFTAR PUSTAKA
1. Muhammad Ali as-Shabuni, Tafsir Rawa’iul Bayan fi Ayat al-Ahkam, Jilid II,
Dar al-Fikr, Beirut, Tt.
2. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid II, Dar al-Fikri, Beirut, Th 1983.
3. Satria Effendi M Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer,
Kencana, Jakarta, 2004
4. Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab
Tantangan Zaman yang Terus Berkembang, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.
5. Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Kencana, Jakarta, 2006
6. Abdul Manan, Problematika Perceraian Karena Zina dalam Proses
Penyelesaian Perkara di Lingkungan Peradilan Agama, Mimbar Hukum No 52
Th XII Mei- Juni 2001, Jakarta, al-Hikmah & DITBINBAPERA Islam.
7. Rifyal Ka’bah, Permasalahan Perkawinan, Varia Peradilan No. 271 Th XXII Juni
2008, Jakarta, IKAHI .
8. Busthanul Arifin, Transformasi Hukum Islam ke Hukum Nasional, al-Hikmah Jakarta
2001
9. Taufiq, Peradilan Keluarga Indonesia, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2001.
10. Abdul Kadir Muhammad, perkembangan Hukum Keluarga di Beberapa Negara
Eropah, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998
11. Abdul Manan, Reformasi hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2006
12. Yahya Harahap, Beberapa Permasalahan Hukum Acara pada Peradilan
Agama, al-Hikmah, Jakarta, th 1975
Hukum Islam adalah salah satu aspek ajaran Islam yang menempati posisi
penting dalam pandangan umat Islam, karena ia merupakan manifestasi paling kongkrit
dari hukum Islam sebagai sebuah agama . Sedemikian pentingnya hukum Islam dalam
skema doktrinal Islam, sehingga seorang orientalis, Joseph Schacht, menilai bahwa
“mustahil memahami Islam tanpa memahami Hukum Islam”1
Hukum Islam menjadi hukum yang hidup (living law) dan berakar kuat
dikalangan masyarakat indonesia yang mayoritas muslim. Masuknya hukum Islam ke
Indonesia bersamaan dengan masuknya agama Islam ke Indonesia. Selanjutnya hukum
Islam menancapkan pengaruh yang kuat setelah umat Islam memiliki kekuatan politik di
Indonesia yang ditandai dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di nusantara, seperti
Kerajaan Samudera Pasai, Kesultanan Demak, dll.
Dalam sejarah hukum di Indonesia, hukum Islam dalam perkembangannya
mengalami pasang surut terutama setelah bangsa Indonesia mengalami masa penjajahan
Belanda, hukum Islam di Indonesia diupayakan sedikit demi sedikit dihapus apalagi
setelah Snouchk Hurgronye dengan teori receptie-nya berusaha menghilangkan hukum
Islam dengan cara membenturkan hukum Islam dengan Hukum adat (adatrech).2 Namun
upaya tersebut gagal dan sampai sekarang hukum Islam tetap eksis dan memberikan
kontribusi besar terhadap terbentuknya Hukum Nasional. Hukum Islam menjadi sumber
hukum nasional selain hukum adat dan hukum Belanda.
Dalam tata hukum Nasional-Indonesia UU No 1/1974 dan Inpres No 1/1991
merupakan peraturan yang memuat nilai-nilai hukum Islam, bahkan KHI merupakan fiqh
Indonesia yang sepenuhnya memuat materi hukum keperdataan Islam termasuk
diantaranya perkawinan dan perceraian.
1 Abdul Halim Barkatullah &Teguh Prasetyo ,Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman yang Terus
Berkembang, Pustaka Pelajar Yogyakarta., Cet.1 2006, h.145.
2 Abdul Manan, Reformasi hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, h. 2
2 Perkawinan dan perceraian merupakan suatu hal yang sangat urgen dalam
kehidupan manusia, itu sebabnya hukum Islam menaruh perhatian yang cukup signifikan
terhadap kedua hal tersebut. Hal ini bisa terlihat apabila kita mengkaji hukum Islam
diatas, niscaya akan kita temukan kedua hal tadi menjadi salah satu objek pembahasan
hukum Islam.
Perceraian tidak bisa dipisahkan dari perkawinan, tak ada perceraian tanpa
diawali perkawinan. Perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan bathin antara seorang lakilaki
dan seorang wanita untuk membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah
warahmah. Namun pada saat tujuan itu tidak tercapai, maka perceraian merupakan jalan
keluar (way out) terakhir yang mesti ditempuh. Perceraian tidak dapat dilakukan kecuali
telah ada alasan-alasan yang dibenarkan oleh agama dan undang-undang
Dalam hukum Islam, alasan-alasan perceraian itu mengalami perkembangan
sesuai dengan setting sosial yang melingkupi hukum tersebut. Karena itu, dalam makalah
ini, penulis berupaya menyoroti dan memaparkan perkembangan alasan-alasan perceraian
dan akibat perceraian menurut Perspektif hukum Islam dan hukum Belanda yang
keduanya memberikan pengaruh yang cukup signifikan dan memiliki kedudukan
tersendiri dalam pengembangan hukum nasional di Indonesia.
1. Pengertian dan Kedudukan Perceraian
Perceraian merupakan bagian dari pernikahan, sebab tidak ada perceraian
tanpa diawali pernikahan terlebih dahulu. Pernikahan merupakan awal dari hidup
bersama antara seorang pria dan seorang wanita yang diatur dalam peraturan perundangundangan
yang berlaku. Dalam semua tradisi hukum, baik civil law, common law,
maupun Islamic Law, perkawinan adalah sebuah kontrak berdasarkan persetujuan
sukarela yang bersifat pribadi antara seorang pria dan seorang wanita untuk menjadi
suami isteri. Dalam hal ini, perkawinan selalu dipandang sebagai dasar bagi unit keluarga
yang mempunyai arti penting bagi penjagaan moral atau akhak masyarakat dan
pembentukan peradaban.3
3 Rifyal Ka’bah, Permasalahan Perkawinan, dalam Majalah Varia Peradilan, No 271 Juni 2008, IKAHI,
Jakarta, hal 7
3 Perkawinan sebagai perjanjian atau kontrak (‘aqd), maka pihak-pihak yang
terikat dengan perjanjian atau kontrak berjanji akan membina rumah tangga yang bahagia
lahir bathin dengan melahirkan anak cucu yang meneruskan cita-cita mereka. Bila ikatan
lahir bathin tidak dapat diwujudkan dalam perkawinan, misalnya tidak lagi dapat
melakukan hubungan seksual, atau tidak dapat melahirkan keturunan, atau masingmasing
sudah mempunyai tujuan yang berbeda, maka perjanjian dapat dibatalkan
melalui pemutusan perkawinan (perceraian) atau paling tidak ditinjau kembali melalui
perkawinan kembali setelah terjadi perceraian “ruju’’.4
Bagi orang Islam, perceraian lebih dikenal dengan istilah talak. Menurut
Sayyid Sabiq, talak adalah
Artinya: melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan
perkawinan.5
Menurut HA. Fuad Sa’id yang dimaksud dengan perceraian adalah putusnya
perkawinan antara suami dengan isteri karena tidak terdapat kerukunan dalam rumah
tangga atau sebab lain seperti mandulnya isteri atau suami dan setelah sebelumnya
diupayakan perdamaian dengan melibatkan keluarga kedua belah pihak.6 Dari uraian
diatas dapat diketahui, bahwa Pertama; perceraian baru dapat dilaksanakan apabila telah
dilakukan berbagai cara untuk mendamaikan kedua belah pihak untuk tetap
mempertahankan keutuhan rumah tangga mereka dan ternyata tidak ada jalan lain kecuali
hanya dengan jalan perceraian. Dengan perkataan lain bahwa perceraian itu adalah
sebagai way out bagi suami isteri demi kebahagian yang dapat diharapkan sesudah
terjadinya perceraian terjadi. Kedua; bahwa perceraian itu merupakan sesuatu yang
dibolehkan namun dibenci oleh agama. Berdasarkan sabda Rasul:
“Hal yang halal tetapi paling dibenci menurut Allah adalah perceraian”
Dalam sebuah hadits, ada ancaman khusus bagi seorang isteri yang meminta
jatuhnya talak dari suaminya tanpa disertai alasan yang dibenarkan syara. Rasul bersabda:
4 Ibid.
5 Sayyid Sabiq, Fiqhusunnah, Darul Fikri, Beirut, Jilid II, h.206 tt.
6 Abdul Manan, Problematika Perceraian Karena Zina dalam Proses Penyelesaian Perkara di Lingkungan
Peradilan Agama, dalam Jurnal Mimbar Hukum, al-Hikmah & DITBINBAPERA, Jakarta.No 52 Th XII
2001 h. 7
4. Artinya:”Siapa saja isteri yang menuntut cerai kepada suaminya tanpa alasan
yang jelas, maka ia haram menghirup wanginya surga”7.
Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam pertama, dalam banyak kesempatan
selalu menyarankan agar suami isteri bergaul secara ma’ruf dan jangan menceraikan
isteri dengan sebab-sebab yang tidak prinsip. Jika terjadi pertengkaran yang sangat
memuncak diantara suami isteri dianjurkan bersabar dan berlaku baik untuk tetap rukun
dalam rumah tangga, tidak langsung membubarkan perkawinan mereka, tetapi hendaklah
menempuh usaha perdamaian terlebih dahulu dengan mengirim seorang hakam dari
keluarga pihak suami dan seorang hakam dari keluarga pihak isteri untuk mengadakan
perdamaian. Jika usaha ini tidak berhasil dilaksanakan, maka perceraian baru dapat
dilakukan.
Secara garis besar hukum Islam membagi perceraian kepada dua golongan
besar yaitu talak dan fasakh. Talak adalah perceraian yang timbul dari tindakan suami
untuk melepaskan ikatan dengan lafadz talak dan seumpamanya, sedangkan fasakh
adalah melepas ikatan perkawinan antara suami isteri yang biasanya dilakukan oleh isteri.
Dari dua golongan perceraian ini, Dr. Abdurrahman Taj sebagaimana dikutip oleh H.M
Djamil Latief, S.H. membuat klasifikasi perceraian sebagai berikut, (1) Talak yang terjadi
dengan keputusan hakim yaitu li’an, perceraian dengan sebab aib suami seperti impoten
dan perceraian dengan sebab suami menolak masuk Islam, (2)Talak yang terjadi tanpa
putusan Hakim yaitu talak biasa yakni talak yang diucapkan suami baik sharih maupun
kinayah dan ‘ila, (3) fasakh yang terjadi dengan keputusan hakim yaitu dengan sebab
perkawinannya anak laki-laki atau perempuan yang masih dibawah umur dan perkawinan
itu tidak dilakukan oleh wali yaitu bapaknya atau kakeknya, fasakh dengan sebab salah
satu pihak dalam keadaan gila, tidak sekufu, kurangnya mas kawin dari mahar mitsil dan
salah satu pihak menolak masuk Islam, (4) fasakh yang terjadi tanpa adanya putusan
7 Sayyid Sabiq. Lokcit.h. 207
5 hakim, yaitu fasakh dengan sebab merdekanya isteri, ada hubungan semenda antara
suami isteri dan nikahnya fasid sejak semula.8
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia sebagai bentuk
mempositifkan hukum Islam mengklasifikasi penyebab terjadinya perceraian kepada (1)
Kematian salah satu pihak, (2) Perceraian karena talak dan perceraian karena gugat, (3)
keputusan Pengadilan.9
Dalam hukum Belanda, Perceraian dikenal sebagai salah satu penyebab
bubarnya perkawinan. Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 199 BW Dalam pasal
199 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wet Book) disebutkan
Perkawinan dapat bubar karena (1) kematian salah satu pihak, (2) keadaan tidak hadirnya
suami atau isteri selama 10 Tahun diikuti perkawinan baru si isteri atau suami setelah
mendapat izin dari Hakim, (3) karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan
ranjang, serta pembuktian bubarnya perkawinan dalam register catatan sipil, (4).
Perceraian.10
2. Perkembangan Alasan Perceraian
Pada dasarnya hukum Islam menetapkan bahwa alasan perceraian hanya satu
macam saja yaitu pertengkaran yang sangat memuncak dan membahayakan keselamatan
jiwa yang disebut dengan “syiqaq” sebagaimana Firman Allah dalam al-Qur’an Surat an-
Nisa ayat 35 yang berbunyi:
Artinya: “Dan jika kamu khawatir terjadinya perselisihan diantara keduanya
(suami dan Isteri), maka utuslah seorang hakam dari keluarga suaminya dan seorang
hakam dari keluarga Isteri. Dan jika keduanya menghendaki kebaikan, niscaya Allah
8 Abdul Manan, Lokcit, h.12.
9 Ibid.
10Ibid
6 memberikan petunjuk kepada keduanya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan
Maha Mengawasi”.
Sedangkan menurut hukum Perdata, perceraian hanya dapat terjadi
berdasarkan alasan-alasan yang ditentukan Undang-undang dan harus dilakukan di depan
sidang Pengadilan.11 Dalam kaitan ini ada dua pengertian yang perlu dipahami yaitu
istilah “bubarnya perkawinan” dan “perceraian”.
Perceraian adalah salah satu sebab dari bubarnya atau putusnya perkawinan.
Dalam pasal 199 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) disebutkan Perkawinan
dapat bubar karena (1) kematian salah satu pihak, (2) keadaan tidak hadirnya suami atau
isteri selama 10 Tahun diikuti perkawinan baru si isteri atau suami setelah mendapat izin
dari Hakim, (3) karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan ranjang, serta
pembuktian bubarnya perkawinan dalam register catatan sipil, (4). Perceraian. Sedangkan
perceraian yang menjadi dasar bubarnya perkawinan adalah perceraian yang tidak
didahului oleh perpisahan meja dan ranjang. Tentang hal ini ditentukan dalam pasal 209
Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu (1) Zina baik yang dilakukan oleh suami
atau isteri, (2) Meningggalkan tempat tinggal bersama dengan sengaja, (3) Suami atau
isteri dihukum selama 5 tahun penjara atau lebih yang dijatuhkan setelah perkawinan
dilaksanakan, (4) Salah satu pihak melakukan penganiyaan berat yang membahayakan
jiwa pihak lain (suami/isteri). Lebih lanjut dalam pasal 208 KUH Perdata bahwa
perceraian tidak dapat dilaksanakan berdasarkan atas persetujuan antara suami dan isteri.
Dalam pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
disebutkan bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi karena salah satu pihak meninggal
dunia, karena perceraian dan karena adanya putusan pengadilan . Kemudian dalam pasal
39 ayat (2) ditentukan bahwa untuk melaksanakan perceraian harus cukup alasan yaitu
antara suami isteri tidak akan hidup sebagai suami isteri . Ketentuan ini dipertegas lagi
dalam penjelasan pasal 39 ayat (2) tersebut dan pasal 19 Peraturan pemerintah Nomor 9
tahun 1975 yang mana disebutkan bahwa alasan yang dapat dipergunakan untuk
melaksanakan perceraian adalah:
11 Yahya Harahap, Beberapa Permasalahan Hukum Acara pada Peradilan Agama, al-Hikmah, Jakarta, h.
133, th 1975
7- Salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat dan lain sebagainya yang
sukar disembuhkan
- Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemauannya.
- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung
- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang
membahayakan pihak lain.
- Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.
- Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Alasan perceraian ini adalah sama seperti yang tersebut dalam pasal 116
Kompilasi Hukum Islam dengan penambahan dua ayat yaitu:(a) suami melanggar taklik
talak dan (b) peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga.
Memperhatikan alasan-alasan perceraian yang diterima dalam hukum
Perkawinan Nasional, maka dapat diketahui bahwa hukum positif di Indonesia tidak
mengenal lembaga hidup terpisah yaitu perceraian pisah meja dan pisah tempat tidur
(scheding van tafel end bed) sebagaimana diatur dalam pasal 424 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata atau dalam lembaga hukum keluarga Eropa yang dikenal dengan
“separation from bed and board”. Selai dari hal ini ketentuan yang diatur dalam hukum
positif Indonesia hampir sama dengan apa yang tersebut dalam Stb.1933-74 pasal 52 dan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 208, kecuali apa yang tersebut dalam
Kompilasi Hukum Islam sebagaimana tersebut diatas.
Perkembangan hukum keluarga di beberapa negara Eropa menunjukkan
bahwa alasa-alasan perceraian sebagaimana tersebut diatas sudah banyak dimodifikasi
sesuai dengan perkembangan hidup masyarakat. Di negara Belanda dalam pasal 151 NBW
baru Tahun 1971ditetapkan bahwa perceraian dapat diputuskan oleh Pengadilan jika
perkawinan itu sudah tidak dapat dirukunkan lagi dan ini adalah sama dengan retaknya
rumah tangga yang tidak dapat diperbaiki lagi (brokendown marriage). Sekarang tidak
8 dipersoalkan lagi siapa yang bersalah (matrimonial guilt) sehingga mereka bercerai, yang
penting sekarang tidak ada lagi prospek pemulihan hubungan rumah tangga yang
bahagia. Pihak suami atau isteri yang mengajukan perceraian kepada Pengadilan harus
menunjukkan bukti kepada hakim bahwa rumah tangganya betul-betul telah retak yang
tidak dapat diperbaiki lagi.
Di Inggris semula menganut asas bahwa perceraian hanya dapat dilakukan
oleh Penggugat yang tidak bersalah dan dapat membuktikan kesalahan Tergugat bahwa ia
telah melakukan pelanggaran dalam perkawinan.. Dalam The Matrimanial Act 1973
ditentukan bahwa gugatan perceraian boleh diajukan ke Pengadilan oleh Pihak suami atau
isteri atas dasar perkawinan yang telah retak (brokendown marriage) yang tidak dapat
diperbaiki lagi. Ini adalah satu-satunya alasan perceraian menurut hukum keluarga di
Inggris. Pengadilan dapat mengabulkan permohonan perceraian setelah menilai keretakan
dari perkawinan tersebut.12
Dalam menyelesaikan perkara perceraian dengan alasan pecahnya
perkawinan. Peradilan keluarga Belanda dan Inggris menempuh prosedur yang mirip
dengan prosedur syiqaq dalam hukum Islam. Langkah pertama setelah perkara terdaftar,
pengadilan memberi waktu kedua belah pihak untuk berfikir secara mendalam. Dalam
tenggang waktu tersebut, mereka diharuskan berkonsultasi dengan tim ahli masalah
keluarga yang mirip dengan institusi hakamain dalam Syiqaq. Hasil kesepakatan mereka
akan disahkan oleh Pengadilan. Langkah kedua ialah, bila kesepakatan tidak tercapai,
pemeriksaan di Pengadilan baru dilakukan dengan menempuh prosedur hukum acara
biasa.13
Bustanil Arifin mengutip Dr. S. Jaffar Husein bahwa kemiripan penyelesaian
perkara perceraian karena marriage break down dengan prosedur Syiqaq (marriage
breakdown itu sebenarnya sudah berarti Syiqaq) membuktikan bahwa dunia sekarang
dalam masalah perceraian kembali kepada konsep al-Qur’an.14
Sebagaimana telah diuraikan dimuka, Sebenarnya hukum Islam sudah terlebih
dahulu menetapkan bahwa alasan perceraian hanya ada satu macam saja yaitu
12 Abdul Kadir Muhammad, Perkembangan Beberapa HUkum Keluarga di Beberapa Negara Eropa, Citra
Aditya Bandung, 1998, h.126
13 Taufiq, Peradilan Keluarga Indonesia, Mahkamah Agung RI , Jakarta, 2000, h.80
14 Busthanul Arifin, Transformasi Hukum Islam ke Hukum Nasional, al-Hikmah, Jakarta,2001, h. 60
9 pertengkaran yang sangat memuncak dan membahayakan keselamatan jiwa yang disebut
dengan “Syiqaq” atau (broken mariage, marital breakdown). Namun dengan merinci
alasan-alasan cerai yang sebenarnya hanyalah indikator dari pecahnya sebuah
perkawinan. sebagaimana tercantum dalam pasal 19 PP no 9 Tahun 1975 dan pasal 116
Kompilasi Hukum Islam, sesungguhnya Hukum Islam di Indonesia telah berjalan mundur
kebelakang karena mengikuti Burgerlijk Wetboek (BW) dan Huwelijke Ordonantie voor
Christen Indonesiers Java, Minahasa en Amboina (HOCI) . Sedangkan di Belanda
sendiri, ternyata alasan perceraian seperti yang terdapat dalam Burgerlijk Wetboek dan
Huwelijke Ordonantie voor Christen Indonesiers Java, Minahasa en Amboina telah lama
ditingggalkan.15
D. AKIBAT PERCERAIAN
Dalam hukum Islam maupun hukum Belanda, perceraian yang terjadi antara
seorang suami dan isteri bukan hanya memutuskan ikatan perkawinan saja, lebih lanjut
perkawinan juga melahirkan beberapa akibat seperti timbulnya pembagian harta bersama
(gemenshap) dan hak pengurusan anak (hadlonah).
a. Harta Bersama
Perceraian yang timbul antara suami dan isteri melahirkan akibat, diantaranya
adalah pembagian harta bersama. Dalam bahasa Belanda disebut gemenschap.
Sebenarnya konsep harta bersama dalam hukum Islam tidak ditemukan nash yang secara
tegas menyebutkan hukum harta bersama baik dalam al-Qur’an maupun hadist.
Karenanya hal ini merupakan ranah ijtihad bagi ulama yang memiliki kafasitas untuk
melakukan ijtihad atau yang dikenal dengan istilah mujtahid.
Satria Effendi M. Zein menyebutkan bahwa dalam kultur masyarakat muslim
berkaitan dengan harta yang diperoleh dalam sebuah pernikahan ada dua kultur yang
berlaku, pertama; kultur masyarakat yang memisahkan antara harta suami dan harta isteri
dalam sebuah rumah tangga. Dalam masyarakat muslim seperti ini, tidak ditemukan
adanya istilah harta bersama. Kedua; masyarakat muslim yang tidak memisahkan harta
yang diperoleh suami isteri dalam pernikahan. Masyarakat muslim seperti ini mengenal
dan mengakui adanya harta bersama. Di Indonesia, adat kebiasaan masyarakat muslim
15 Taufiq, Lokcit, h.80
10
yang mengakui adanya harta bersama sudah menjadi lebih kuat, karena telah dituangkan
dalam pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974.16
Sedangkan dalam hukum Belanda yang terdapat dalam Pasal 119 dan Pasal
126 Burgerlijk Wetboek disebutkan bahwa sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka
menurut hukum, terjadilah percampuran harta antara suami isteri yang disebut dengan
harta bersama. Hal ini terjadi selama tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Harta bersama bubar atau berakhit demi hukum disebabkan; kematian salah
satu pihak, perceraian, pisah meja dan ranjang dan karena pemisahan harta yang
dituangkan dalam perjanjian sebelum terjadinya perkawinan. Dan dalam Pasal 127 BW,
setelah bubarnya harta bersama, kekayaan mereka dibagi dua antara suami dan isteri atau
antara para pewaris mereka tanpa mempersoalkan dari pihak mana asal barang-barang
itu.
b. Pengurusan anak
Perceraian disamping menimbulkan adanya pembagian harta bersama seperti
yang diterangkan diatas, juga menimbulkan masalah pengurusan anak. Pengurusan anak
atau dikenal dengan sebutan hadlonah. Hukum Islam menyebutkan bahwa apabila terjadi
perceraian antara suami dan isteri, maka isterilah yang berhak mengasuh mendidik dan
memelihara anak-anaknya selama anak-nya belum mumayyiz. Hal ini berdasarkan Sabda
Nabi kepada seorang isteri yang mengadukan pengurusan anaknya setelah isteri tersebut
bercerai dari suaminya. Nabi berkata:”kaulah yang lebih berhak mendidik anakmu
selama kamu belum kawin dengan orang lain”. (Hadits riwayatAbu Dawud dan al-
Hakim) 17
Disamping dua akibat perceraian diatas, khusus dalam hukum Islam ada
akibat-akibat lain yang timbul dari perceraian yang tidak ada dalam Hukum Belanda.
Dalam hukum Islam ada ciri khas yang tidak ada dalam Hukum Belanda bahwa
perceraian tidak sekaligus memutus hubungan suami isteri terutama perceraian dalam
bentuk talak raj’i yang memberikan hak ruju’ kepada suami sebelum masa ‘iddah-nya
habis.
16 Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Kencana ,Jakarta.Cet.2 h. 60-61
17 Ibid.
11 Untuk lebih jelasnya implikasi yang ditimbulkan perceraian dalam konsep
hukum Islam selain yang telah dipaparkan diatas, penulis akan paparkan sebagai berikut:
1. Akibat talak
1.1 Akibat Talak Raj’i
Talak raj’i tidak menghalangi mantan suami berkumpul dengan mantan
isterinya, sebab akad perkawinannya tidak hilang dan tidak menghilangkan hak
(pemilikan), serta tidak mempengaruhi hubungannya yang halal (kecuali persetubuhan).18
Segala akibat hukum talak baru berjalan sesudah habis masa ‘iddah dan jika
tidak ada ruju’. Sedangkan apabila masa ‘iddah telah habis maka tidak boleh ruju’dan
berarti perempuan itu telah ter-talak ba’in. Jika masih ada dalam masa ‘iddah maka talak
raj’i yang berarti tidak melarang suami berkumpul dengan isterinya kecuali
bersengggama. Jika ia menggaulinya istrinya berarti ia telah ruju’. Selama dalam masa
‘iddah, isteri yang ditalak raj’i masih berhak memperoleh tempat tinggal, pakaian, dan
uang belanja dari mantan suaminya. Dan selama dalam masa ‘iddah bekas isteri wajib
menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.
Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:”Perempuan yang berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal
dari mantan suaminya adalah apabila mantan suaminya itu berhak merujuk kepadanya”.
(HR. Muslim).19
Berkaitan dengan adanya konsep ruju’ dalam hukum Islam, Syeikh
Muhammad Ali As-Shabuni mengutip perkataan Ahmad Muhammad Jamal mengatakan
bahwa Hukum Islam memiliki ciri khas dalam masalah perceraian yang tidak dimiliki
oleh sistem hukum yang lain yaitu masalah ruju’ atau bisa kembalinya seorang suami
terhadap isteri yang dithalak satu dan dua selama belum habis masa ‘iddah (
menunggu). Hal ini menunjukan bahwa Islam sangat menginginkan kembalinya mantan
18 A. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (kencana, Jakarta. 2006 cet.2 h. 265
19 Ibid
12 suami dan mantan isteri tersebut dalam ikatan perkawinan sehingga keturunan keduanya
dapat terpelihara dengan baik.20
1.2 Akibat Talak Bain Shugra
Talak Ba’in Sughra menghilangkan pemilikan bekas suami terhadap bekas
isterinya tetapi tidak menghilangkan kehalalan bekas suami untuk menikahi kembali
dengan mantan isterinya, artinya bekas suami boleh mengadakan akad nikah baru dengan
bekas isteri, baik dalam masa ‘iddah-nya maupun sesudah berakhir masa ‘iddah-nya.
Termasuk talak ba’in sughra adalah
- Talak qabla dukhul
- Talak dengan penggantian harta atau yang disebut dengan khulu’
- Talak karena cacad badan, karena salah seorang dipenjara dan talak karena
penganiyaan.
1.3 Akibat Talak Ba’in Kubra.
Hukum talak bain kubra sama dengan talak ba’in sughra, yaitu memutuskan
hubungan tali perkawinan antara suami dan isteri. Tetapi talak bain kubra tidak
menghalalkan bekas suami merujuk mantan isterinya, kecuali sesudah ia menikah dengan
laki-laki lain dan telah bercerai sesudah dikumpulinya, tanpa ada niat tahlil. Sebagaiman
firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah 230.
Perempuan yang menjalani ‘iddah talak ba’in, jika tidak hamil, ia hanya
berhak memperoleh tempat tinggal (rumah), sedangkan jika ia hamil maka ia berhak
tempat tingggal dan nafkah. Sebagaimana dalam surat al-Talaq ayat 6
20 Ali As-Shabuni, Tafsir Rawa’iul Bayan fi Ayat al-Ahkam, Darul Fikri, Beirut Juz I h. 344
13
2. Akibat Li’an
Akibat li’an adalah terjadinya perceraian antara suami isteri. Bagi suami,
maka isterinya menjadi haram untuk selamanya. Ia tidak boleh rujuk ataupun menikah
lagi dengan akad baru. Bila isterinya melahirkan anak yang dikandungnya, maka anak itu
dihukumkan tidak termasuk keturunan suaminya.21
3. Akibat Fasakh
Pisahnya suami isteri akibat fasakh berbeda dengan yang diakibatkan oleh
talak. Sebab talak ada talak bain dan ada talak raj’i. Talak raj’i tidak mengakhiri ikatan
suami isteri dengan seketika sedangkan talak ba’in mengakhirinya seketika itu juga.
Adapun fasakh, baik karena hal-hal yang datang belakangan maupun karena
adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, maka ia mengakhiri ikatan pernikahan seketika
itu juga.
4. Akibat khulu’
Khulu’ adalah perceraian dengan disertai sejumlah harta sebagai ‘iwadh yang
diberikan oleh isteri kepada suaminya untuk menebus diri agar terlepas dari ikatan
perkawinan. Perceraian antara suami dan isteri akibat khulu’, suami tidak bisa meruju’
isterinya pada masa ‘iddah.
KESIMPULAN
1. Perceraian adalah jalan keluar terakhir (way out )untuk mengakhiri perkawinan
yang sudah tidak mungkin lagi dapat dipertahankan dan perceraian ini dilakukan
demi kebahagian yang dapat diharapkan sesudah terjadinya perceraian. Perceraian
hanya dapat dilakukan apabila telah terbukti adanya alasan-alasan yang dapat
dibenarkan oleh hukum Agama dan Undang-undang yang berlaku.
2. Alasan perceraian senantiasa berkembang mengikuti perkembangan dan
perubahan hukum yang merespon perubahan sosial. Alasan perceraian dalam
hukum Islam Indonesia yang tercermin dalam pasal 19 PP no 9 Tahun 1975 dan
pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, sesungguhnya telah berjalan mundur
kebelakang karena mengikuti Burgerlijk Wetboek (BW) dan Huwelijke
Ordonantie voor Christen Indonesiers Java, Minahasa en Amboina (HOCI) yang
21 A. Rahman Ghazali, Lokcit, h. 272-276
14 ternyata telah ditingggalkan oleh Belanda sendiri. Dan hukum Belanda
kontemporer memandang bahwa satu-satunya alasan perceraian adalah pecahnya
perkawinan (marriage breakdown) yang dalam hukum Islam klasik dikenal
dengan term Syiqaq.
3. Dalam hukum Islam dan hukum Belanda Perceraian tidak hanya mengakhiri
perkawinan antara suami isteri. Tetapi, disamping itu perceraian melahirkan
akibat adanya pembagian harta bersama dan pengurusan anak. Dan khusus dalam
hukum Islam, perceraian menyebabkan adanya ‘nafkah iddah, mut’ah,
maskan,kiswah,’iddah, ruju’ dan nisbat anak terhadap ibu saja (perceraian akibat
li’an)
15 DAFTAR PUSTAKA
1. Muhammad Ali as-Shabuni, Tafsir Rawa’iul Bayan fi Ayat al-Ahkam, Jilid II,
Dar al-Fikr, Beirut, Tt.
2. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid II, Dar al-Fikri, Beirut, Th 1983.
3. Satria Effendi M Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer,
Kencana, Jakarta, 2004
4. Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab
Tantangan Zaman yang Terus Berkembang, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.
5. Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Kencana, Jakarta, 2006
6. Abdul Manan, Problematika Perceraian Karena Zina dalam Proses
Penyelesaian Perkara di Lingkungan Peradilan Agama, Mimbar Hukum No 52
Th XII Mei- Juni 2001, Jakarta, al-Hikmah & DITBINBAPERA Islam.
7. Rifyal Ka’bah, Permasalahan Perkawinan, Varia Peradilan No. 271 Th XXII Juni
2008, Jakarta, IKAHI .
8. Busthanul Arifin, Transformasi Hukum Islam ke Hukum Nasional, al-Hikmah Jakarta
2001
9. Taufiq, Peradilan Keluarga Indonesia, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2001.
10. Abdul Kadir Muhammad, perkembangan Hukum Keluarga di Beberapa Negara
Eropah, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998
11. Abdul Manan, Reformasi hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2006
12. Yahya Harahap, Beberapa Permasalahan Hukum Acara pada Peradilan
Agama, al-Hikmah, Jakarta, th 1975
No comments:
Post a Comment