Upaya kaum liberalis dalam menggolkan tujuannya tidak hanya berhenti sampai memberikan pemahaman kepada umat beragama bahwa semua agama itu sama, tetapi mereka melanjutkannya pada tarap praktis seperti; menikahkan muslimin dengan non-muslim yang mereka anggap sebagai Ahlul kitab. Padahal, Allah telah memberikan batasan bahwa umat Islam dilarang menikahi para musyrikin1.
Sedangkan mengenai Ahlul kitab, saya merasa wajib mendefinisikan Ahlul kitab dahulu dengan mengambil definisi yang diterangkan para ulama Islam. Tidak sebagaimana para liberalis mendefinisikannya sebagai “Konsep yang memberi pengakuan tertentu kepada para penganut agama diluar Islam yang memiliki kitab suci”2, lebih jauh lagi mereka mendefinisikannya sebagai: “mereka yang percaya kepada Tuhan dan hari akhir, dan tentunya juga percaya kepada salah seorang nabi dan mengakui adanya kitab suci yang menjadi pegangan mereka. Karena itu, siapa saja yang mengaku pimpinan agamanya sebagai nabi dan mempunyai kitab suci, pengikutnya dapat disebut sebagai Ahli Kitab”. Sehingga dalam keyakinan mereka agama buatan manusiapun mereka anggap sebagai ahlul kitab, karena merekapun memiliki kitab suci, semisal; Budha, Hindu, Kong hu chu, dll
Imam Syafi’i (wafat 204H) dalam kitabnya “Al Umm” menyebutkan definisi Ahlul kitab dengan menyitir ucapan Atha (seorang Tabi’in) yang berkata “Orang Kristen Arab bukan termasuk ahli kitab, ahli kitab adalah keturunan Israel. Yakni orang-orang yang datang kepada mereka kitab Tauret dan Injil. Adapun orang lain yang memeluk agama mereka bukan ahlul kitab”3.
Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa Ahlul kitab adalah orang-orang yang beragama Yahudi dan Nashrani keturunan bangsa Israel, adapun Yahudi dan Nashrani yang bukan keturunan bangsa Israel bukanlah termasuk Ahlul kitab. Definisi ini sejalan dengan firman Allah Swt. dalam surat Ash Shaf: 6 yang berbunyi “Dan ketika 'Isa ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad ….". Ucapan Nabi Isa As. ini menegaskan bahwa terbatasnya ajaran yang dibawa oleh Nabi Isa, yaitu hanya untuk Bangsa Israel dan hanya hingga kedatangan Nabi Muhammad Saw.
Di dalam Injilpun terdapat ayat yang menunjukan keterbatasan ajaran Nabi Isa hanya bagi bangsa Israel “Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel”4, karena ajaran Nabi-Nabi sebelum kedatangan Nabi Muhammad Saw. yang berjumlah 124.000 Nabi, dibatasi oleh tempat (bangsa) dan waktu. Sedangkan Nabi Isa dibatasi hanya untuk satu bangsa (Israel) dan hanya untuk waktu sampai sebelum diutus Muhammad Saw. Adapun Rasulullah adalah penutup para Nabi yang diutus kepada semua bangsa dan untuk masa yang tidak ditentukan, sebagaimana firman Allah Swt. “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk rahmat bagi semesta alam”5.
Maka dapat didefinisikan bahwa Ahlul Kitab adalah "Orang yang beragama Yahudi dan Nashrani keturunan bangsa Israel, yang masih ada setelah kedatangan Nabi Muhammad Saw.".
Islam membolehkan muslim laki-laki untuk menikahi wanita Ahlul kitab6, tetapi Islam tidak membolehkan jika muslimah menikahi laki-laki dari Ahlul kitab7. Larangan ini disyari’atkan, agar dapat menjaga aqidah para muslimah dari pengaruh suaminya, karena pengaruh pendidikan suami lebih besar bagi istri ketimbang pengaruh istri bagi suami.
Adapun pembolehannya laki-laki muslim dalam menikahi wanita Ahlul kitab, ini dibatasi oleh syarat umum yang terdapat dalam surat Al Mâidah: 5. Maksudnya, laki-laki muslim boleh menikahi wanita Ahlul kitab, jika wanita tersebut termasuk orang yang menjaga kehormatannya (Al Ihshân). Imam Al Qurthubi menyitir ucapan Ibn Abbas dalam menafsirkan kalimat Al Ihshân, beliau berkata “Al Ihshân ditafsirkan sebagai, wanita Ahlul kitab yang suci dan berakal”8.
Tetapi, syarat umum ini masih terikat oleh syarat-syarat khusus yang terdapat di dalam ayat-ayat lainnya. Artinya, laki-laki muslim boleh menikahi wanita Ahlul Kitab jika wanita itu termasuk Al Ihshân (syarat umum) dan termasuk pada syarat-syarat khusus di bawah ini:
1. Wanita Ahlul kitab keturunan bangsa Israel, karena Ahlul kitab adalah mereka yang berasal-usul dari keturunan bangsa Israel9.
2. Wanita Ahlul kitab yang mempercayai ke-Esa-an Allah Swt. dan kerasulan Muhammad Saw10.
Syarat nomor dua ini dimasukkan, karena orang yang menyatakan bahwa Isa atau Uzair adalah anak/tuhan, mereka itu disebut juga para musyrikin sekaligus kafir. Karenanya Abdullah Ibn Umar pernah berkata “Allah mengharamkan wanita-wanita musyrik bagi orang-orang yang beriman. Dan aku (Ibn Umar) tidak melihat ada kemusyrikan yang lebih besar dari seorang wanita yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa (Yesus), padahal Isa adalah hamba Allah”11. Ahlul kitab yang dimaksud disini adalah mereka yang bermadzhab Arius (dalam Kristen) yang menyatakan dalam Konsili Nikea tahun 325M bahwa “Yesus tidak bersifat azali (azali: ada yang tidak didahului oleh tidak ada), Yesus diciptakan oleh Allah, dia tidak menyamai substansi (jauhar) Allah”. Namun mayoritas madzhab ini diusir, dibunuh dan dibakar buku-bukunya oleh madzhab Athanasius (aqidah trinitas) pada penjagalan yang bernama “Lembaga Inkuisisi”.
Kedua syarat ini tidak berarti mengubah nash qath’i (teks mapan) dalam Al Qur’an yang membolehkan lelaki muslim menikahi wanita Ahlul Kitab, akan tetapi ini adalah upaya mengikat syarat yang umum dengan syarat-syarat yang khusus, agar muslimin tidak salah dalam memilih wanita Ahlul kitab. Upaya pengikatan syarat umum ini telah dilakukan oleh Umar Ibn khathab pada masa kekhilafahannya, beliau melarang Thalhah Ibn Ubaidillah dan Hudzaifah yang hendak menikahi wanita Ahlul kitab. Beliau beralasan, khawatir jika wanita Ahlul kitab yang akan dinikahi Thalhah dan Hudzaifah berkhianat dan keluar dari syarat Al Ihsan, yang telah ditetapkan Allah dalam Al Qur’an12.
Lebih lanjut lagi, Imam Asy Syafi’i menyatakan dalam kitab “Al Umm”nya “Menikahi orang-orang baik (wanita Al Ihshân. pen) dari golongan Ahlul kitab hukumnya halal, meski aku lebih suka orang Islam tidak menikahi mereka. Aku diberitahu Abdul Majid dari Ibn Juraij dari Abu Zubair, bahwa Abu Zubair mendengar Jabir Ibn Abdullah ra. pernah ditanya tentang pria muslim yang menikahi wanita Yahudi atau wanita Nashrani. Jabir menjawab, ‘Aku dan Sa’ad Ibn Abi Waqqash pernah menikahi wanita Ahlul kitab semasa penaklukan Kufah (Irak) oleh karena kami tidak mendapati banyak wanita muslimat di sana ketika itu. Lalu kami kembali ke Madinah, kami menceraikan mereka’. Kata Jabir lagi, ‘Mereka tidak berhak mewarisi harta seorang muslim, dan sebaliknya orang muslim tidak berhak mewarisi harta mereka. Wanita Ahlul kitab boleh dinikahi oleh muslim, tapi wanita muslimah haram dinikahi oleh mereka’,”13.
Dari kisah Jabir ini dapat disimpulkan bahwa, ada dua kondisi yang harus diperhitungkan ketika akan menikahi wanita Ahlul kitab :
Pertama, mereka dalam kondisi masa penaklukan (Al Fath). Artinya, menikahi wanita Ahlul kitab itu ketika Islam menang atas mereka. Jadi, pernikahan itu boleh dilakukan hanya dalam Negara Islam, dimana pemerintahan Islam punya kekuasaan untuk memelihara keluarga muslim. Dan lagi, wanita Ahlul kitab itu berada dalam wilayah negeri Islam.
Kedua, mereka dalam kondisi nyaris tak mendapat wanita muslimah.
Namun, meskipun dua kondisi itu sudah terpenuhi, dua orang sahabat dalam riwayat di atas toh pada akhirnya menceraikan mereka14. Maka penulis cenderung kepada pendapat imam Syafi’i yaitu membolehkan menikahi wanita Ahlul kitab, namun yang sesuai dengan syarat-syarat di atas. Tapi, penulis lebih menyarankan jika orang Islam tidak menikahi mereka, disamping demi menjaga diri dan keluarga dari api neraka15, juga karena masih banyak wanita muslimah yang belum menikah.
Foot Note:
1. QS. Al Baqarah: 221
2. Nurcholish Madjid, dkk. Fiqih Lintas Agama, Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, h. 42
3. Asy Syafi'i, Al Umm, Beirut, Dar El Kutub El Ilmiah, Jil. V, h. 11
4. Matius 15:24
5. QS. Al Anbiyâ: 107
6. QS. Al Mâidah: 5
7. QS. Al Mumtahanah: 10
8. Al Qurthubi, Al Jâmi'u Li Ahkâmil Qur'ân, Egypt: Al Maktabah At Taufîqiyyah. Jil. VI, h. 70
9. QS. Ash Shaf: 6
10.QS. Al Baqarah: 221
11. Dr. Rauf Syalabi, Terj; Distorsi Sejarah dan Ajaran YESUS, Jaktim: Pustaka Al Kautsar, 2001, h. 197
12. Yusuf Qardhawi, As Siyâsah Asy Syar’iyyah, Egypt: Maktabah Wahbah, 1997,h. 209
13. Asy Syafi'i, Op cit. Jil. V, h. 10
14. Dr. Rauf Syalabi, Op cit. h. 196
15. QS. At Tahrîm: 6
No comments:
Post a Comment