KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr wb.Puji dan syukur kami ucapkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan kurnia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Pembuatan makalah ini didasarkan sebagai tugas untuk mendaptkan nilai dari mata kuliah Pancasila
Dalam makalah ini, kami mengambil judul mengenai Pancasila sebagai Filsafat/Falsafat Bangsa Negara Indonesia yang berisikan pendapat-pendapat dari orang yang ahli dalam bidangnya. Dan tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing yang telah membantu kami dalam menyelesaikan tugas pancasila ini
Walau bagaimanapun juga makalah ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu kami memohon kritik dan saran.
Wasalammualaikum Wr.Wb
……………., February 2011
Penulis
Ideologi Pancasila di tengah Perubahan Dunia
UNIA berkembang dan berubah dengan sangat cepat, dan perubahan yang terjadi itu ikut mewarnai kehidupan bangsa kita secara fundamental. Ada beberapa penulis buku yang melalui konsep-konsepnya telah berhasil memotret realitas zaman yang sedang kita jalani ini. Di antaranya adalah Rowan Gibson (1997) yang menyatakan bahwa The road stop here. Masa di depan kita nanti akan sangat lain dari masa lalu, dan karenanya diperlukan pemahaman yang tepat tentang masa depan itu.New time call for new organizations, dengan tantangan yang berbeda diperlukan bentuk organisasi yang berbeda, dengan ciri efisiensi yang tinggi. Where do we go next; dengan berbagai perubahan yang terjadi, setiap organisasi-termasuk organisasi negara-perlu merumuskan dengan tepat arah yang ingin dituju. Peter Senge (1994) mengemukakan bahwa ke depan terjadi perubahan dari detail complexity menjadi dynamic complexity yang membuat interpolasi menjadi sulit. Perubahan-perubahan terjadi sangat mendadak dan tidak menentu. Rossabeth Moss Kanter (1994) juga menyatakan bahwa masa depan akan didominasi oleh nilai-nilai dan pemikiran cosmopolitan, dan karenanya setiap pelakunya, termasuk pelaku bisnis dan politik dituntut memiliki 4 C, yaitu concept, competence, connection, dan confidence.
Peran Ideologi
Sejak berakhirnya perang dingin yang kental diwarnai persaingan ideologi antara blok Barat yang memromosikan liberalisme-kapitalisme dan blok Timur yang mempromosikan komunisme-sosialisme, tata pergaulan dunia mengalami perubahan-perubahan yang mendasar. Beberapa kalangan mengatakan bahwa setelah berakhirnya perang dingin yang ditandai dengan bubarnya negara Uni Soviet dan runtuhnya tembok Berlin-di akhir dekade 1980-an- dunia ini mengakhiri periode bipolar dan memasuki periode multipolar.
Periode multipolar yang dimulai awal 1990-an yang kita alami selama sekitar satu dekade, juga pada akhirnya disinyalir banyak pihak terutama para pengamat politik internasional, telah berakhir setelah Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden George Bush memromosikan doktrin unilateralisme dalam menangani masalah internasional sebagai wujud dari konsepsi dunia unipolar yang ada di bawah pengaruhnya.
Dapat disimpulkan bahwa era persaingan ideologis dalam dimensi global telah berakhir. Saat ini kita belum dapat membayangkan bahwa dalam waktu dekat akan muncul kembali persaingan ideologis yang keras yang meliputi seluruh wilayah dunia ini. Dunia sekarang ini cenderung masuk kembali ke arah persaingan antarbangsa dan negara, yang dimensi utamanya terletak pada bidang ekonomi karena setiap negara sedang berjuang untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi warga bangsanya. Dalam era yang seperti ini, kedudukan ideologi nasional suatu negara akan berperan dalam mengembangkan kemampuan bersaing negara yang bersangkutan dengan negara lainnya.
Pancasila sebagai ideologi memiliki karakter utama sebagai ideologi nasional. Ia adalah cara pandang dan metode bagi seluruh bangsa Indonesia untuk mencapai cita-citanya, yaitu masyarakat yang adil dan makmur. Pancasila adalah ideologi kebangsaan karena ia digali dan dirumuskan untuk kepentingan membangun negara bangsa Indonesia. Pancasila yang memberi pedoman dan pegangan bagi tercapainya persatuan dan kesatuan di kalangan warga bangsa dan membangun pertalian batin antara warga negara dengan tanah airnya.
Pancasila juga merupakan wujud dari konsensus nasional karena negara bangsa Indonesia ini adalah sebuah desain negara moderen yang disepakati oleh para pendiri negara Republik Indonesia dengan berdasarkan Pancasila. Dengan ideologi nasional yang mantap seluruh dinamika sosial, budaya, dan politik dapat diarahkan untuk menciptakan peluang positif bagi pertumbuhan kesejahteraan bangsa.
Kesadaran Berbangsa
Sebenarnya, proses reformasi selama enam tahun belakangan ini adalah kesempatan emas yang harus dimanfaatkan secara optimal untuk merevitalisasi semangat dan cita-cita para pendiri negara kita untuk membangun negara Pancasila ini. Sayangnya, peluang untuk melakukan revitalisasi ideologi kebangsaan kita dalam era reformasi ini masih kurang dimanfaatkan. Bahkan dalam proses reformasi-selain sejumlah keberhasilan yang ada, terutama dalam bidang politik-juga muncul ekses berupa melemahnya kesadaran hidup berbangsa.
Manifestasinya muncul dalam bentuk gerakan separatisme, tidak diindahkannya konsensus nasional, pelaksanaan otonomi daerah yang menyuburkan etnosentrisme dan desentralisasi korupsi, demokratisasi yang dimanfaatkan untuk mengembangkan paham sektarian, dan munculnya kelompok-kelompok yang memromosikan secara terbuka ideologi di luar Pancasila.
Patut disadari oleh semua warga bangsa bahwa keragaman bangsa ini adalah berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh sebab itu, semangat Bhinneka Tunggal Ika harus terus dikembangkan karena bangsa ini perlu hidup dalam keberagaman, kesetaraan, dan harmoni. Sayangnya, belum semua warga bangsa kita menerima keragaman sebagai berkah. Oleh karenanya, kita semua harus menolak adanya konsepsi hegemoni mayoritas yang melindungi minoritas karena konsep tersebut tidak sesuai dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) 1945 terbentuk dengan karakter utamanya mengakui pluralitas dan kesetaraan antarwarga bangsa. Hal tersebut merupakan kesepakatan bangsa kita yang bersifat final. Oleh karenanya, NKRI tidak dapat diubah menjadi bentuk negara yang lain dan perubahan bentuk NKRI tidak akan difasilitasi oleh NKRI sendiri.
Cita-cita yang mendasari berdirinya NKRI yang dirumuskan founding fathers telah membekali kita dengan aspek-aspek normatif negara bangsa yang menganut nilai-nilai yang sangat maju dan modern. Oleh sebab itu, tugas kita semua sebagai warga bangsa untuk mengimplementasikannya secara konkret. NKRI yang mengakui, menghormati keragaman dan kesetaraan adalah pilihan terbaik untuk mengantarkan masyarakat kita pada pencapaian kemajuan peradabannya.
Perlu disadari oleh semua pihak bahwa proses demokratisasi yang sedang berlangsung ini memiliki koridor, yaitu untuk menjaga dan melindungi keberlangsungan NKRI, yang menganut ideologi negara Pancasila yang membina keberagaman, dan memantapkan keseta-raan. Oleh karenanya, tidak semua hal dapat dilakukan dengan mengatasnamakan demokrasi.
Pancasila sebagaimana ideologi manapun di dunia ini, adalah kerangka berfikir yang senantiasa memerlukan penyempurnaan. Karena tidak ada satu pun ideologi yang disusun dengan begitu sempurnanya sehingga cukup lengkap dan bersifat abadi untuk semua zaman, kondisi, dan situasi. Setiap ideologi memerlukan hadirnya proses dialektika agar ia dapat mengembangkan dirinya dan tetap adaptif dengan perkembangan yang terjadi. Dalam hal ini, setiap warga negara Indonesia yang mencintai negara dan bangsa ini berhak ikut dalam proses merevitalisasi ideologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya, prestasi bangsa kita akan menentukan posisi Pancasila di tengah percaturan ideologi dunia saat ini dan di masa mendatang.
Penyegaran Pemahaman terhadap Pancasila
Era reformasi menyadarkan bahwa di satu sisi Pancasila telah menyelamatkan bangsa Indonesia dari ancaman disintegrasi selama lebih dari tiga dasawarsa, namun sebaliknya sakralisasi dan penggunaan berlebihan dari ideologi negara dalam format politik Orde Baru juga membuahkan kritik dan protes terhadap Pancasila.
Sejarah implementasi Pancasila memang tidak menunjukkan garis lurus, bukan dalam pengertian keabsahan substansialnya, tapi dalam konteks implementasinya. Tantangan terhadap Pancasila sebagai kristalisasi pandangan politik berbangsa dan bernegara bukan hanya berasal dari faktor domestik, tetapi juga internasional. Banyak ideologi-ideologi mancanegara yang turut bertarung di Indonesia.
Kini gelombang demokratisasi, hak asasi manusia, neo-liberalisme, serta neo-konservatisme dan globalisme bahkan telah memasuki cara pandang dan cara berpikir masyarakat Indonesia. Hal demikian bisa meminggirkan Pancasila dan bisa menghadirkan sistem nilai dan idealisme baru yang bertentangan dengan kepribadian bangsa. Dalam suasana demikian, bisa saja solidaritas global menggeser kesetiaan nasional. Internasionalisme menggeser nasionalisme.
Ijtihad Politik
Pada masa Bung Karno, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang berkembang pada situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi. Pada saat itu kondisi politik dan keamanan dalam negeri diliputi oleh kekacauan dan kondisi sosial-budaya berada dalam suasana transisional dari masyarakat terjajah (inlander) menjadi masyarakat merdeka.
Dalam mengimplentasikan Pancasila, Bung Karno melakukan pemahaman Pancasila dengan paradigma yang disebut USDEK. Untuk memberi arah perjalanan bangsa, beliau menekankan pentingnya memegang teguh UUD 45, sosialisme ala Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin dan kepribadian nasional.
Hasil dari ijtihad politik Bung Karno sudah kita ketahui bersama, yakni kudeta PKI dan kondisi ekonomi yang memprihatinkan, tapi posisi Indonesia tetap dihormati dunia internasional dan integritas wilayah serta semangat kebangsaan dapat ditegakkan.
Pada masa Orde Baru, Pak Harto melakukan ijtihad politik dengan melakukan pemahaman Pancasila melalui apa yang disebut dengan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) atau Ekaprasetia Pancakarsa. Itu tentu saja didasarkan pada pengalaman era sebelumnya dan situasi baru yang dihadapi bangsa.
Situasi internasional kala itu masih diliputi konflik perang dingin. Situasi politik dan keamanan dalam negeri kacau dan ekonomi hampir bangkrut. Kita dihadapkan pada pilihan yang sulit, memberikan sandang dan pangan kepada rakyat atau mengedepankan kepentingan strategi dan politik di arena internasional seperti yang dilakukan oleh Bung Karno.
Dilihat dari konteks zaman, ijtihad politik Pak Harto tentang Pancasila, diliputi oleh paradigma yang esensinya adalah bagaimana menegakkan stabilitas guna mendukung rehabilitasi dan pembangunan ekonomi. Istilah terkenal pada saat itu adalah stabilitas politik yang dinamis diikuti dengan trilogi pembangunan. Perincian pemahaman Pancasila itu sebagaimana yang kita lihat dalam konsep P4 dengan esensi selaras, serasi dan seimbang.
Hasil dari ijtihad politik itu seperti kita rasakan bersama, yakni meningkatnya kesejahteraan rakyat dan penghormatan terhadap Indonesia di dunia internasional. Tapi kondisi politik dan keamanan dalam negeri tetap rentan, karena pemerintahan yang sentralistis dan otoritarian.
Sesungguhnya, jikalau Pak Harto konsekuen dengan ijtihad politiknya yang antara lain menyatakan bahwa Pancasila sebagai ideologi terbuka, mungkin tidak mengalami kekacauan pada 1998. Tapi sejarah mencatat Pak Harto memaksakan Pancasila sebagai asas tunggal pada semua parpol dan ormas sejak tahun 1982.
Ibarat Kapal Tanpa Kemudi
Pada masa Orba, kecenderungan pemaksaan asas tunggal telah membekukan Pancasila. Pancasila seringkali digunakan sebagai legimitator tindakan yang menyimpang. Ia dikeramatkan sebagai alasan untuk stabilitas nasional daripada sebagai ideologi yang memberikan ruang kebebasan untuk berkreasi.
Bila Pancasila tetap dipegang teguh sebagai ideologi bernegara, seharusnya jebakan-jebakan seperti itu tidak boleh terjadi, karena sesungguhnya Pancasila sangat terbuka terhadap interpretasi baru sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakatnya.
Pada era Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarno Putri, meskipun secara formal Pancasila tetap dianggap sebagai dasar dan ideologi negara, tapi kita rasakan hanya sebatas pada pernyataan politik.
Hal ini bisa dipahami karena arus globalisasi dan arus demokratisasi sedemikian keras. Aktivis-aktivis prodemokrasi tidak tertarik merespons ajakan dari siapapun yang berusaha mengutamakan pentingnya Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara.
Ideologi negara yang seharusnya menjadi acuan dan landasan seluruh elemen bangsa Indonesia khususnya para negarawan dan para politisi serta pelaku ekonomi dalam berpartisipasi membangun negara, justru menjadi kabur dan terpinggirkan.
Hasilnya bisa kita lihat, NKRI ibarat kapal tanpa kemudi, terombang-ambing ombak dan arus globalisasi dalam lautan berbagai ideologi asing. Tidak segan-segan, sebagian masyarakat menerima aliran dana asing dan rela mengorbankan kepentingan bangsanya sebagai imbalan dolar. Dalam bahasa intelijen kita mengalami apa yang dikenal dengan ”subversi asing”, yakni kita saling menghancurkan negara sendiri karena campur tangan secara halus pihak asing.
Siapapun yang menjadi pemimpin pada saat ini pasti akan menghadapi atau menerima situasi yang sangat sulit dalam menata bangsa ini. Sudah menjadi kewajiban semua komponen bangsa ini untuk membantu para pemimpin bangsa ini dengan melakukan ijtihad politik tentang Pancasila.
Pembangunan politik, keamanan, ekonomi, sosial, budaya, dan beragama harus didasarkan pada pemahaman terhadap Pancasila sesuai dengan situasi yang sedang berjalan. Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara tidak perlu dipersoalkan, sedangkan yang harus menjadi ijtihad politik hanya sebatas pada upaya mencari kesepakatan tentang paradigma yang akan digunakan untuk memahaminya. Bung Karno memahami Pancasila dengan USDEK dan Pak Harto dengan P4. Lalu, kita menggunakan paradigma apa?
Pemilihan Ideologi Pacasila
Seperti yang telah kita ketahui bahwa di Indonesia terdapat berbagai macam suku bangsa, adat istiadat hingga berbagai macam agama dan aliran kepercayaan. Dengan kondisi sosiokultur yang begitu heterogen dibutuhkan sebuah ideologi yang netral namun dapat mengayomi berbagai keragaman yang ada di Indonesia.
Karena itu dipilihlah Pancasila sebagai dasar negara. Namun saat ini yang menjadi permasalahan adalah bunyi dan butir pada sila pertama. Sedangkan sejauh ini tidak ada pihak manapun yang secara terang terangan menentang bunyi dan butir pada sila kedua hingga ke lima, kecuali Hizbut Tahrir Indonesia yang secara terang terangan menentang pasal ke 4. Namun hal itu akan dibahas lain kali.
Sila pertama yang berbunyi “ketuhanan yang maha esa” pada saat perumusan pernah diusulkan oleh PDU PPP dan FDU (kini PKS) ditambah dengan kata kata “… dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya“ sejak saat itu dikenal sebagai Piagam Jakarta. Namun dua ormas Islam terbesar saat itu – hingga kini yaitu Nahdatul Ulama dan Muahmmadiyah menentang penerapan Piagam Jakarta tersebut, karena dua ormas Islam tersebut menyadari bahwa jika penerapan syariat Islam diterapkan secara tidak langsung namun pasti akan menjadikan indonesia sebagai negara Islam dan secara “fair” hal tersebut dapat memojokan umat beragama lain. Yang lebih buruk lagi adalah dapat memicu disintegrasi bangsa terutama bagi profinsi yang mayoritas beragama non Islam. Karena itulah sampai detik ini bunyi sila pertama adalah “ketuhanan yang maha esa” yang berarti bahwa Pancasila mengakui dan menyakralkan keberadaan Agama, tidak hanya Islam namun termasuk juga Kristen, Katholic, Budha dan Hindu sebagai agama resmi negara.
Akibat maraknya parpol dan ormas Islam yang tidak mengakui keberadaan Pancasila dengan menjual nama Syariat islam dapat mengakibatkan disintegrasi bangsa. Bagi kebanyakan masyarakat indonesia yang cinta atas keutuhan NKRI maka banyak dari mereka yang mengatasnamakan diri mereka Islam Pancasilais, atau Islam Nasionalis.
Bedah Butir Pada Pancasila – Sila Pertama
- Ketuhanan Yang Maha Esa
- Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaanya dan ketaqwaanya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
- Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
- Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antra pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
- Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
- Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang
menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. - Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaanya masing masing
- · Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
Pemahaman dan Pelanggaran terhadap Pancasila saat ini
- · Artinya Ideologi Pancasila merupakan dasar negara yang mengakui dan mengagungkan keberadaan agama dalam pemerintahan. Sehingga kita sebagai warga negara Indonesia tidak perlu meragukan konsistensi atas Ideologi Pancasila terhadap agama. Tidak perlu berusaha mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi berbasis agama dengan alasan bahwa ideologi Pancasila bukan ideologi beragama. Ideologi Pancasila adalah ideologi beragama.
- · Sesama umat beragama seharusnya kita saling tolong menolong. Tidak perlu melakukan permusuhan ataupun diskriminasi terhadap umat yang berbeda agama, berbeda keyakinan maupun berbeda adat istiadat.
- · Hanya karena merasa berasal dari agama mayoritas tidak seharusnya kita merendahkan umat yang berbeda agama ataupun membuat aturan yang secara langsung dan tidak langsung memaksakan aturan agama yang dianut atau standar agama tertentu kepada pemeluk agama lainya dengan dalih moralitas.
- · Hendaknya kita tidak menggunakan standar sebuah agama tertentu untuk dijadikan tolak ukur nilai moralitas bangsa Indonesia. Sesungguhnya tidak ada agama yang salah dan mengajarkan permusuhan.
- · Agama yang diakui di Indonesia ada 5, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Budha dan Hindu.
- · Sebuah kesalahan fatal bila menjadikan salah satu agama sebagai standar tolak ukur benar salah dan moralitas bangsa. Karena akan terjadi chaos dan timbul gesekan antar agama. kalaupun penggunaan dasar agama haruslah mengakomodir standar dari Islam, Kristen, Katolik, Budha dan Hindu bukan berdasarkan salah satu agama entah agama mayoritas ataupun minoritas.
JAKARTA-Sebagai dasar dan ideologi negara, Pancasila harus terus dimaknai secara terbuka dan dinamis, berkembang sesuai dengan konteks kehidupan modern yang penuh dengan tantangan. Sebagai ideologi, Pancasila merupakan konsep yang final dan mapan bagi bangsa kepulauan dengan masyarakat semajemuk Indonesia.
Namun, pemaknaan atas Pancasila tentu belum final. Pemaknaan Pancasila terus disesuaikan dengan konteks, berkembang seiring dengan gerak demokrasi yang ada di Indonesia. Setiap generasi dan kelompok masyarakat Indonesia dimungkinkan untuk memberikan makna yang berbeda dan mewujudkannya dalam keragaman yang akseleratif.
Seperti pencarian akan kebenaran yang tak pernah berhenti, Pancasila adalah gagasan ideal yang harus didekati secara terus-menerus. Ia harus terus diisi dengan memakai metode trial and error dalam setiap kontekstualisasinya.
Kebenaran kontekstulisasi hari ini belum tentu masih berlaku esok. Prinsip falsifikasi dapat kita terapkan dalam pemaknaan Pancasila, yakni dengan menemukan kelemahan untuk mendapatkan keunggulannya.
Berhadapan dengan globalisasi dan munculnya budaya global seperti konsumerisme, hedonisme, atau budaya instan lainnya, peran pemaknaan kembali Pancasila menjadi demikian mendasar. Tentu, kita tidak bermaksud berhadap-hadapan dalam arti clash of civilization atas pola hidup modern. Sebaliknya, yang dibutuhkan adalah bagaimana memoderasi nilai-nilai Pancasila agar tetap mendapat tempat di tengah kehidupan masyarakat modern.
Kepentingan nasional setiap negara anggota tak dapat diabaikan begitu saja. Malah gerakan anti-Uni Eropa dari tahun ke tahun terus meningkat. Artinya, kita tak dapat masuk dalam sebuah perkumpulan tanpa kepentingan masing-masing. Kita juga tidak dapat menolak begitu saja budaya global yang serba-instan tanpa memiliki pola budaya yang menjadi identitas kita sendiri.
Identitas merupakan ukuran penilaian yang dapat kita gunakan berhadapan dengan dunia di luar kita. Identitas dalam bentuk ideologi dan semangat nasionalisme merupakan perjuangan dan diraih dengan perjuangan pula.
Perjuangan merebut kemerdekaan oleh pendiri bangsa Indonesia tidak lepas dari usaha menemukan identitas bangsa Indonesia. Identitas itu menyatu dalam konsep Pancasila yang lalu menjadi ideologi negara.
Sayang dan rasanya tak beradab kalau darah dan nyawa pahlawan bangsa untuk menemukan identitas itu tak dimaknai oleh generasi muda bangsa Indonesia saat ini. Tidak ada perang dalam sejarah umat manusia yang lebih ganas dari pada perang menemukan identitas bangsa. Dua perang dunia hingga pertengahan abad 20 antarkelompok manusia justru dipacu oleh konsep nasionalisme sebuah bangsa dengan ideologi berbeda.
Penemuan Terbesar
Sekalipun kristalisasi Pancasila dalam wujud teks yang kita inderai sekarang baru muncul setelah kemerdekaan, sebetulnya dari awal dialah yang menjadi pemacu semangat untuk memperjuangkan kemerdekaan. Lima sila tersebut menjadi asal-usul keluar dari kungkungan kolonialisme bangsa Eropa selama ratusan tahun.
Tidak ada penemuan bangsa Indonesia yang lebih besar saat ini selain Pancasila. Pancasila adalah penemuan idelogi bangsa paling tangguh di zaman modern dengan tingkat heterogenitas penduduk yang sangat tinggi. Persoalannya, mampukah generasi penerusnya untuk mempertahankan?
Namun, harus diingat, ideologi dan semangat nasionalisme sebuah bangsa juga selalu bersifat paradoksal. Tidak sekadar sebagai sebuah pegas yang menendang ke kiri dan kanan tetapi tetap akan kembali ke titik keseimbangan.
Di satu sisi, keduanya bisa memberikan semangat pembebasan, tetapi pada sisi lain dia dapat menghasilkan efek kekerasan yang luar biasa jika tidak ada pengelolaan yang lebih baik. Pancasila tak punya rupa yang dapat disapa, tetapi hanya dirasakan oleh sebuah pengelolaan negara yang adil dan merata, sejehtera, dan berimbang.
Ideologi sebuah bangsa akan bergerak liar manakala perbedaan pemaknaan serta kontekstualisasi tak terakomodasi dengan baik. Ideologi selalu bergerak secara terbuka sesuai konteks tantangan yang dihadapi. Tidak ada pemaknaan yang tetap dan tak berubah. “Make it and test it in a fact!”
Pengeolaan perbedaan seperti itulah yang saat ini menjadi tantangan ideologi bangsa kita. Bagaimana perbedaan dikelola menjadi keunggulan, tidak hanya dalam kata tetapi juga dalam laku sehari-hari.
Pemaknaan ideologi Pancasila pada prinsipnya sangat ditentukan oleh bagaimana pemerintah mendengar aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, bagaimana negara menciptakan kondisi atau prasyarat yang baik agar warga bisa hidup aman, makmur, adil, dan sejahtera.
Ideologi Pancasila adalah sesuatu yang harus selalu direbut oleh rakyat Indonesia dari penguasa. Artinya, bagaimana upaya agar ideologi dan semangat nasionalisme tidak hanya menjadi hak penguasa, tetapi milik bersama masyarakat.
Ideologi Pancasila Harus Dibumikan
Jakarta, Kompas – Usaha merevitalisasi Pancasila harus dilakukan dalam dua tingkatan, yaitu ide dan praksis. Sebagai ide, Pancasila harus diletakkan sebagai cita-cita. Pada tataran praksis, Pancasila perlu dibumikan dengan strategi kebudayaan.
Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate, Sukardi Rinakit, dalam Silaturahmi HUT Ke-5 Gerakan Jalan Lurus yang mengangkat tema “Revitalisasi Pancasila” di Jakarta Selasa (30/5). Hadir Akbar Tandjung, Solahuddin Wahid, Quraish Shihab, dan Syafii Ma’arif.
“Sejak Orba (Orde Baru) runtuh, orang segan bicara Pancasila. Ini akibat praktik politik otoriter Orba yang dipenuhi intimidasi dan kekerasan dengan mengatasnamakan Pancasila,” ujar Sukardi.
Akibatnya, menurut Sukardi, muncul kelompok yang antisimbolik terhadap Pancasila. Kelompok inilah yang harus diyakinkan bahwa Pancasila merupakan satu-satunya pegangan yang bangsa ini punyai untuk mencairkan politik identitas.
Pemilihan Ideologi Pacasila
Seperti yang telah kita ketahui bahwa di Indonesia terdapat berbagai macam suku bangsa, adat istiadat hingga berbagai macam agama dan aliran kepercayaan. Dengan kondisi sosiokultur yang begitu heterogen dibutuhkan sebuah ideologi yang netral namun dapat mengayomi berbagai keragaman yang ada di Indonesia.
Karena itu dipilihlah Pancasila sebagai dasar negara. Namun saat ini yang menjadi permasalahan adalah bunyi dan butir pada sila pertama. Sedangkan sejauh ini tidak ada pihak manapun yang secara terang terangan menentang bunyi dan butir pada sila kedua hingga ke lima, kecuali Hizbut Tahrir Indonesia yang secara terang terangan menentang pasal ke 4. Namun hal itu akan dibahas lain kali.
Sila pertama yang berbunyi “ketuhanan yang maha esa” pada saat perumusan pernah diusulkan oleh PDU PPP dan FDU (kini PKS) ditambah dengan kata kata “… dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya“ sejak saat itu dikenal sebagai Piagam Jakarta. Namun dua ormas Islam terbesar saat itu – hingga kini yaitu Nahdatul Ulama dan Muahmmadiyah menentang penerapan Piagam Jakarta tersebut, karena dua ormas Islam tersebut menyadari bahwa jika penerapan syariat Islam diterapkan secara tidak langsung namun pasti akan menjadikan indonesia sebagai negara Islam dan secara “fair” hal tersebut dapat memojokan umat beragama lain. Yang lebih buruk lagi adalah dapat memicu disintegrasi bangsa terutama bagi profinsi yang mayoritas beragama non Islam. Karena itulah sampai detik ini bunyi sila pertama adalah “ketuhanan yang maha esa” yang berarti bahwa Pancasila mengakui dan menyakralkan keberadaan Agama, tidak hanya Islam namun termasuk juga Kristen, Katholic, Budha dan Hindu sebagai agama resmi negara.
Akibat maraknya parpol dan ormas Islam yang tidak mengakui keberadaan Pancasila dengan menjual nama Syariat islam dapat mengakibatkan disintegrasi bangsa. Bagi kebanyakan masyarakat indonesia yang cinta atas keutuhan NKRI maka banyak dari mereka yang mengatasnamakan diri mereka Islam Pancasilais, atau Islam Nasionalis.
Pancasila sebagai Ideologi
Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh destutt de trascky pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan “sains tentang ide”. Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu (bandingkan Weltanschauung), sebagai akal sehat dan beberapa kecenderungan filosofis, atau sebagai serangkaian ide yang dikemukakan oleh kelas masyarakat yang dominan kepada seluruh anggota masyarakat (definisi ideologi Marxisme).
Pancasila sebagaimana kita yakini merupakan jiwa, kepribadian dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Disamping itu juga telah dibuktikan dengan kenyataan sejarah bahawa Pancasila merupakan sumber kekuatan bagi perjuangan karena menjadikan bangsa Indonesia bersatu. Kerena Pancasila merupakan ideologi dari negeri kita. Dengan adanya persatuan dan kesatuan tersebut jelas mendorong usaha dalam menegakkan dan memperjuangkan kemerdekaan. Ini membuktikan dan meyakinkan tentang Pancasila sebagai suatu yang harus kita yakini karena cocok bagi bangsa Indonesia.
Pancasila adalah ideologi Bangsa Indonesia, dengan pedoman Pancasila para pedahulu kita bisa mempersatukan berbagai golongan dan kelompok. Kini Pancasila sudah ditinggalkan oleh banyak orang, terutama para kalangan Politikus yang berbasiskan agama. Apakah kini Pancasila sebagai Dasar Negara telah benar-benar dilupakan ???
Sangat dibutuhkan! Kecuali untuk orang-orang yang berharap adanya negara Islam Indonesia atau sejenisnya, atau ada yang berharap adanya negara Bali, negara Dayak, negara Ambon, negara Batak, negara Minahasa, dan ratusan negara kecil lain sebagai ganti NKRI. Bukankah orang-orang seperti itu yang tidak menginginkan lagi Pancasila?
Anda tahu gak sekarang, negara kita berjalan tanpa idiologi. Idiologi Pancasila itu sudah ditinggalkan di tengah jalan. Karena terasa berat untuk membawanya dan menerapkan dalam kehidupan pemerintahan pada saat ini.
Jadi, sangat kita butuhkan Kalau tidak, mau pakai idiologi apa, idiologi korupsi, idiologi penindas atau idiologi kekuasaan.
Walau idiologi pancasila itu kurang sesuai dengan zaman sekarang yang serba bebas dan tidak tahu arah, tetapi idiologi Pancasila bisa mengayomi para pemimpin bangsa ini kalau dilaksanakan dengan benar dan dengan hati nurani yang mengutamakan rakyat.
Zaman sekarang kiranya sudah seperti zaman Jahiliah, dimana kebanyakan orang sudah tidak mau tahu dengan kebenaran. Malahan mengesampingkan kebenaran demi yang namanya uang. Begitu juga dengan pergaulan remaja yang sudah tidak terkendali. Sehingga tidak luput dari kenistaan dan dosa. Berteman dengan narkoba, bermain dengan minuman keras dan bersenang-senang dengan seks bebas tanpa mengingat hidup akan mati.
Kiranya itulah contoh martabat bangsa yang sudah mulai pupus dan hilang akibat idiologi Pancasila yang sudah ditinggalkan di jalan. Generasi tidak lagi memikirkan bangsanya dan hanya memikirkan kepuasan pribadi semata.
Jadi, Indonesia saat ini sangat membutuhkan sebuah idiologi dalam menjalankan pemerintahan ini ke depan. Tidak lain idiologi itu adalah Pancasila.
Sebelumnya melangkah lebih jauh, sangat perlu kita memahami apa arti dari ideologi dan apa itu Pancasila sebenarnya. Ideologi adalah pemikiran yang mencakup konsepsi mendasar tentang kehidupan dan memiliki metode untuk merasionalisasikan pemikiran tersebut berupa fakta, metode menjaga pemikiran tersebut agar tidak menjadi absurd dari pemikiran-pemikiran yang lain dan metode untuk menyebarkannya (wikipedia). Pancasila sendiri tindak ada yang salah padanya, setiap kalimat-kalimatnya jika kita renungkan dengan sangat dan memaknainya dengan segenap jiwa, maka kita akan meyakini bahwa itu baik bagi bangsa yang beragam ini. Tapi apakah sebagai ideologi?
Sebenarnya yang membuat citra ‘pancasila sebagai ideologi’ itu buruk adalah kedzaliman rezim Orde Baru, selama 32 tahun penguasa-penguasa dan pemimpin-pemimpin bangsa ini atas nama persatuan, menggunakan Pancasila sebagai resistansi atau sistem pertahanan dari segala macam gangguan yang terjadi, tapi bukan untuk kebersatuan negara ini,melainkan demi mempertahankan eksistensi atau keberadaan kedudukan mereka. Dan pengalaman buruk selam 32 tahun itulah yang membuat kita(atau beberapa orang tepatnya) berpikir bahwa pancasila sudah tidak relevan lagi dengan kondisi masyarakat dan bagnsa ini. Tapi apa yang membuat Pancasila itu bertahan selama ini?
Sebuah negara bangsa membutuhkan Weltanschauung atau landasan filosofis. Atas dasar Weltanschauung itu, disusunlah visi, misi, dan tujuan negara. Tanpa itu, negara bergerak seperti layangan putus, tanpa pedoman. Itu saja yang membuat Pancasila bertahan selama ini. Oleh karena itu pemirintah bahkan tidak pernah sekalipun berani menyinggung atau mempertanyakan relevansi dari Pancasila. Karena sudah terhujam dengan sangat dalam di hati seluruh rakyat Indonesia abhwa “Pancasila-lah” yang mempersatukan kita. Apa benar?
Secara simbolis memang pancasila adalah alat pemersatu bangsa yang merupakan jiwa, kepribadian dan pandangan hidup bangsa Indonesia, dan berdasarkan sejarah Pancasila juga merupakan sumber kekuatan bagi perjuangan karena menjadikan bangsa Indonesia bersatu. Benarkah begitu? Setidaknya itulah yang selalu dipropagandakan pemerintah.
Untuk mengusut sejak kapan ‘Pancasila sebagai Ideologi’ negara ini, cukup sulit karena sejarah indonesia tidak murni hitam-putih tapi abu-bau atau kelabu. Tidak pasti mana kejadian yang terjadi, mana yang hanya rekayasa semata. Kejernihan mata reformasi bahkan tidak sanggup menembus kabut kelamnya masa lalu bangsa ini(baca: Orde Baru).
Tapi bukan itu yang kita bicarakan sekarang, tapi masih layakkah atau relevankah jika Pancasila dianggap sebagai ideologi bangsa ini?
Karena seperti yang telah saya sebutkan diatas bahwa secara simbolis Pancasila benar-benar sencara kuat mempersatukan bangsa ini, dan apabila kita mempertanyakan keabsahan Pancasila,yang terjadi adalah disintergasi lagi.
Yang perlu kita lakukan sekarang sebagai tindakan nyata adalah merevitalisasi atau menghidupkan kembali semua fungsi-fungsi dan pelaksanaan Pancasila. Dalam konteks itulah, Pancasila sebagai faktor pemersatu harus direvitalisasi. Pancasila perlu direhabilitasi dan direjuvenasi. Jika tidak, ada kemungkinan bangkitnya ideologi-ideologi lain.
Walaupun demikian pendapat pribadi saya adalah pancasila tidak patut disebut sebagai ideologi negara, cukupn sebagai kontrak sosial.
Mukadimah dalam konstitusi kita memuat serangkaian cita-cita yang akan diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi realitas empiris berbicara lain. Kita semakin terjerumus kedalam lingkaran yang tak menentu dan menyimpang jauh dari apa yang kita cita-citakan. Karena memuat hal-hal yang menyangkut sendi-sendi kenegaraan, dan agar tak semakin terperosok dan menyimpang jauh, diperlukan ruang yang lapang untuk jelajah kritis yang intens. Demikian pula dengan Pancasila yang menempati posisi sentral sebagai sendi kenegaraan, karena akan muncul permasalahan maha besar jika kita tak mampu menghadapinya secara arif, bukan dengan cara yang ‘panas’ (mendewakan) ataupun dengan cara yang ‘dingin’ (sinis) terhadapnya, apalagi jika dirunut maka Pancasila seolah-olah ditakdirkan untuk menjadi kontroversiil karena lahir dengan watak yang kontroversiil.
Kontroversi ini sebenarnya lebih bersumber pada kerancuan dalam alam pikir kita terhadapnya sehingga menimbulkan kerancuan dalam sikap serta tindakan dan juga bersumber dari syahwat kita yang berlebihan dalam memakai Pancasila.
Pancasila belum menjadi suatu ideologi karena belum pernah melahirkan suatu teori tetapi masih merupakan prinsip-prinsip dasar, dan Pancasila tak akan pernah menjadi suatu konsep yang efektif jika kita memandang dan memperlakukannya sekaligus sebagai ideologi, falsafah, dan alat dengan totalitas yang sama, karena masing-masing dapat terbentang jarak yang amat jauh. Dan kita perlu untuk sangat berhati-hati jika berangkat dari titik tolak ini. Pengertian ideologi yang kita pakai disini adalah hal-hal yang berada dalam dunia gagasan yang hendak kita wujudkan dalam realitas, sedangkan falsafah dalam garis besarnya kita kelompokkan dalam dua kategori: (1) patokan-patokan yang secara individuil kita pandang sebagai prinsip hidup ideal yang kita gandrungi (berbicara tentang apa yang seharusnya), yang dalam perwujudannya tidak berbeda dengan ideologi, dan (2) suatu penafsiran yang menyangkut sistem tata-nilai yang dianggap berlaku dalam realitas secara relatif konsisten dan terintegrasi (berbicara tentang apa adanya). Atau secara gamblang, Pancasila sebagai ideologi dapat diibaratkan sebagai ide/angan-angan dalam otak, misalnya, mengenai suatu gambaran bentuk bangunan; sedangkan Pancasila sebagai falsafah kategori pertama adalah perwujudan bentuk bangunan yang diangan-angankan dalam penggambaran diatas kertas, dan Pancasila sebagai falsafah kategori yang kedua adalah adanya lokasi serta tingkat ketersediaan bahan-bahan untuk merealisasikan bangunan yang dicita-citakan. (Untuk meluruskan jalan berpikir dan untuk membedakannya dengan ideologi, maka istilah falsafah seharusnya digunakan untuk kategori yang kedua). Kerancuan akan semakin melebar jika Pancasila kita anggap pula sebagai alat secara total, karena alat selalu bersifat netral tetapi bisa digunakan oleh siapa saja yang memegangnya dan untuk tujuan apa saja, dan pengalaman sejarah telah membuktikannya.
Kontroversi dapat pula bersumber pada keragaman pengertian kita terhadap kata “Weltanschauung” yang dipopulerkan oleh Bung Karno lewat naskah pidatonya yang melahirkan Pancasila, yang kemudian digunakan oleh banyak orang sebagai falsafah, tetapi tidak jelas yang dimaksudkan apakah falsafah sebagai “gambar diatas kertas” ataukah yang sudah menemukan “lokasi dan bahan” untuk perwujudannya. Padahal sejak awalnya Pancasila bukanlah merupakan suatu kepribadian yang telah mewujud tetapi suatu alternatif terbaik bagi bangsa Indonesia, seperti yang dikatakan oleh Bung Karno: “Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi realitas, jika tidak dengan perjuangan!”.
Dalam konteks masa kini, Pancasila harus tetap kita pandang sebagai “Weltanschauung” dalam arti harus ada tempat bagi sekian nilai falsafi, nilai ideologis, serta nilai praktis yang dikandungnya, dan batasan bagi masing-masing-masing nilai tersebut harus kita letakkan secara arif. Dalam penjabaran praktis yang bertujuan memberikan pengertian yang relatif riil, jelas, dan benar untuk setiap sebutan bagi atau yang berhubungan dengan Pancasila; maka kalau kita berbicara tentang Pancasila sebagai ideologi maka yang dimaksud adalah tiap sila didalamnya belum sanggup berkembang dari dimensi ideologisnya semula, yang dapat kita masukkan kedalamnya adalah sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sila Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan terutama sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dan kalau kita berbicara tentang Pancasila sebagai falsafah yang dimaksudkan adalah tiap sila didalamnya yang (oleh karena perkembangan sejarah) selain masih tetap berfungsi sebagai landasan ideologis, iapun telah memperoleh nilai-nilai falsafi didalam dirinya, yang dapat kita masukkan kedalamnya adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila Persatuan Indonesia. Dalam dataran apapun Pancasila sebagai ideologi tetap sama baiknya dengan Pancasila sebagai falsafah, yang diperlukan hanyalah bersediakah kita memberikan ruang untuk menentukan apakah suatu sila sudah termasuk dalam kategori falsafi ataukah masih murni ideologis. Kekacauan persepsi terhadap realitas akan muncul jika kita mencampur-adukkan keduanya sehingga memperlakukan yang masih cita-cita sebagai kenyataan, atau yang telah menjadi kenyataan sebagai cita-cita. Bagaimana dengan Pancasila sebagai alat? Seringkali disebut Pancasila sebagai alat pemersatu, tetapi mengapa? Untuk menghindari kecenderungan eskapis menuju ke dunia irasionalitas, maka jawabannya sangat sederhana, yaitu: karena sila Persatuan Indonesia memang tercantum sebagai salah satu sila dari Pancasila. Dengan jalan pikiran ini, dan sebagai suatu kesatuan yang utuh, Pancasila bukan hanya alat pemersatu, ia juga merupakan alat bagi perwujudan masyarakat Indonesia yang religius, alat bagi penciptaan kemanusian yang adil dan beradab, alat bagi pembinaan prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan alat bagi perjuangan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Atau dalam kalimat lain Pancasila merupakan alat bagi perwujudan kelima sila-silanya yang dibatasi oleh kebersamaannya. Pada saat ia menjadi alat suatu sila sekaligus ia tak boleh bertentangan tetapi harus mendukung segenap sila-sila lainnya. Sejauh Pancasila menjadi alat demi perwujudannya sendiri maka ia tak akan pernah bertentangan dengan Pancasila sebagai falsafah maupun ideologi. Pada saat Pancasila dijadikan sebagai alat untuk tujuan yang lain dari tujuan yang terkandung dalam sila-silanya maka akan terjadi pertentangan. Pancasila hanya sah sebagai alat selama ia semata-mata menjadi alat bagi dirinya sendiri, bukan bagi yang selainnya.
Secara keseluruhan, Pancasila tetap mengandung sila-sila yang masih sepenuhnya bersifat ideologis, dan Pancasila mengandung sila-sila yang telah mengembangkan dimensinya dari sepenuhnya ideologis menjadi juga bersifat falsafi. Dengan pandangan yang seperti inilah kita akan terhindar dari kesalahan dalam memandangnya sebagai sepenuhnya falsafah atau sepenuhnya ideologi dan/atau sepenuhnya alat, karena masing-masing sila mempunyai sifat-sifat uniknya sendiri, ada sila-sila yang lebih sulit dan ada sila-sila yang lebih mudah untuk diwujudkan.
Jika ilustrasi tersebut diatas disepakati dan karena Pancasila telah kita pilih sebagai azas untuk membangun Partai Pergerakan Kebangsaan, dari sinilah titik-tolak keberangkatan kita. Sebelum sila-sila dalam Pancasila yang sulit untuk diwujudkan menemukan nilai-nilai falsafinya maka disitulah kancah (titik berat) perjuangan Partai untuk mewujudkannya, Partai sekaligus akan melakukan kerja etika untuk menciptakan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, kerja politik untuk pembinaan prinsip Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan kerja ekonomi untuk memperjuangkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia; dan untuk sila-sila yang telah menemukan nilai-nilai falsafinya Partai berkepentingan mempertahankan serta meningkatkan kualitas dan kuantitasnya. Sebelum kelima sila dalam Pancasila menemukan nilai-nilai falsafinya dengan kualitas dan kuantitas yang setara, maka Pancasila belum menjadi suatu kesatuan yang utuh, dan jangan pernah bermimpi nasionalisme akan menemukan sebuah ideologi apalagi dapat melahirkan suatu teori tanpa melakukan kerja-kerja terkait. Inilah sebuah konsekuensi dari pilihan semua!
MASIH RELEVANKAH PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI
Catatan Peringatan Hari Lahir Pancasila
———————————————————-
Semenjak Orba ditumbangkan oleh gerakan reformasi, Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia telah kehilangan tempatnya yang mapan. Semacam ada phobia dan ke-alergi-an masyarakat negara-bangsa ini untuk mengakui Pancasila apalagi mencoba untuk menelaahnya. Meskipun negara ini masih menjaga suatu konsensus dengan menyatakan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Namun secara faktual, agaknya kita harus mempertanyakannya kembali. Karena saat ini debat tentang masih relevan atau tidaknya Pancasila dijadikan ideologi masih kerap terjadi. Apalagi ditengah kegalauan dan kegagalan negara-bangsa menapak dengan tegak jalur sejarahnya sehingga selalu jatuh bangun dan labil.Pancasila sebagai satu-satunya ideologi yang diakui di negeri ini, sempat menjadi semangat perjuangan dan pemikiran setiap warga negara Indonesia.
Namun, sayangnya, di zaman yang lalu, ideologi Pancasila dengan sengaja mengalami disorientasi dan degradasi nilai, yang mana proses penanaman nilai-nilai murni dan luhurnya hanya menjadi sebuah rekayasa politik untuk menciptakan sebuah kesadaran palsu yang berguna untuk mengamankan kekuasaan. Kenaifan yang dilakukan ini, oleh David E. Apter karena “ideologi mencakup lebih dari sekadar doktrin. Ia mengaitkan tindakan-tindakan yang khas dan praktek-praktek duniawi dengan sejumlah makna yang lebih luas, yang memberi penampakkan tingkah laku sosial lebih dihormati dan dihargai. Tentu saja, ini merupakan pandangan umum. Dari sudut pandang lain, ideologi adalah selubung bagi keinginan dan penampakan yang sesungguhnya busuk.”Sedangkan Gramsci menjelaskan, bahwa ideologi tidak bisa dinilai dari kebenaran atau kesalahannya, tetapi harus dinilai dari berhasil atau tidaknya dia menjadi suatu kontrak sosial yang mengikat berbagai kelompok sosial yang berbeda-beda ke dalam satu entitas dalam hal ini bernama negara dan bangsa. Untuk kasus Pancasila, peranannya sebagai elemen fundamental dalam proses integrasi sosial yang tidak artifisial masih punya potensi yang kuat. Artinya, dalam keadaan negara kita terancam disintegrasi, kita masih bisa berharap ideologi Pancasila akan efektif untuk menjadi perekat persatuan dan kesatuan Negara Republik Indonesia. Paling tidak, kita berharap masih bisa berusaha menjadikannya sebagai modal sosial yang masih di-amini oleh sebagian besar rakyat untuk mengatasi berbagai konflik atau kemacetan bangsa, melalui apa yang disebut ideologi sebagai solusi yang disepakati bersama.
Ideologi Pancasila dan Tantangan Dunia
Tantangan bagi suatu ideologi apalagi seperti Pancasila yang indigenous milik Indonesia, adalah apakah Pancasila masih relevan menghadapi gelombang globalisasi dan demokratisasi yang nyaris melintasi segala tapal batas geografis dan demografis suatu komunitas sosial? Pertanyaan tentang relevansi ideologi dalam dunia yang berubah dinamis, muncul dengan mulai mempertanyakan relevansi ideologi baik dalam konteks negara-bangsa berupa kerangka nasionalisme tertentu dari masing-masing negara-bangsa, maupun dalam tataran ideologi-ideologi besar dunia yang pernah muncul dan berjaya.
Dus…kita menyaksikan, gelombang demokrasi yang berlangsung telah mengakibatkan runtuhnya rezim sosialis-komunis di Uni Soviet dan Eropa Timur, membuat ideologi itu seolah-olah tidak relevan. Sehingga Francis Fukuyama memandang perkembangan seperti itu sebagai “the end of history”, dan menetapkan satu-satunya ideologi yang relevan adalah demokrasi Barat. Ternyata ideologi liberalisme-kapitalisme Barat yang muncul sebagai pemenang sampai saat ini tampil dominan dan mempengaruhi banyak komunitas sosial dan bahkan muncul sebagai kekuatan penindas baru yang hegemonik.Gelombang demokratisasi yang digaungkannya diselipi dengan pemaksaan globalisasi yang nyaris memangkas habis ideologi lainnya dan seakan-akan membuat ideologi lain makin tidak relevan dalam dunia. Globalisasi yang mengandung cacat bawaan dengan berbagai absurditas dan kontradiksi, memang berhasil menyingkirkan banyak ideologi-baik universal maupun lokal. Akan tetapi globalisasi mendorong pula bangkitnya nasionalisme lokal yang sempat terkubur, bahkan dalam bentuknya yang sarkastik, yakni semacam ethno-nationalism dan bahkan tribalism. Nah, hal inilah pula yang juga melanda Indonesia ketika diterpa krisis moneter, ekonomi, dan politik sampai runtuhnya orde baru yang memunculkan euphoria masyarakat karena memang selama ini selalu diam dan tertindas. Juga membuat Pancasila sebagai basis ideologis dan common platform bagi negara-bangsa Indonesia yang plural seolah-olah semakin kehilangan relevansinya.
Berbagai kebijakan yang dikeluarkan dan dipaksakan oleh rezim yang memerintah negeri ini di masa lalu dalam memperlakukan Pancasila ternyata memang memberikan kontribusi terhadap resisten-nya Pancasila pasca reformasi. Pancasila dicemari karena kebijakan rezim yang hanya menjadikan Pancasila sebagai alat politik untuk mempertahankan status quo kekuasaannya. Dominasi dan hegemonisasi interpretasi dan pemahaman Pancasila yang dilakukan meninggalkan benih resistensi itu. Apalagi ketika Pancasila dipaksakan sebagai asas tunggal bukan dimaknai sebagai atau coba dihayati dengan arif sebagai asas bersama. Model-model seragamisasi itu amat menyakitkan, sehingga ketika terjadi keterbukaan sosial-politik yang selama ini dikekang, membuat euphoria itu muncul tak terkontrol dan menafikan Pancasila, karena selama ini Pancasila tidak ditanamkan melalui proses pencerahan fajar budi dan pembelajaran-penyadaran tapi lewat uniformitas dan represifitas itu tadi. Euphoria ini, memberikan peluang bagi penerimaan atas ideologi lain, khususnya yang berbasiskan agama dan sektarianisme lainnya. Pancasila jadinya cenderung tidak laku menjadi common platform dalam kehidupan politik. Hal ini kemudian diperparah dengan arus sektarianisme dan primordialisme yang meningkat menuju local-nationalism yang bisa menggiring kearah ethno-nationalism, seiring desentralisasi.
Secara an sich tidak ada yang salah dengan Pancasila. Pemaknaan yang keliru selama ini adalah buah kebijakan dan bukan sesuatu yang melekat, karena nilai-nilai Pancasila sendiri adalah sesuatu yang universal, yang pada dasarnya merupakan penjelmaan dari suara nurani tentang kewajiban ber-Tuhan sebagai sesuatu hak yang paling asasi, penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, indahnya kebersamaan dengan persatuan, menghargai dan mendahulukan atau pro-kerakyatan dan hikmah serta mendeklarasikan pula penghargaan, penghormatan dan perjuangan untuk keadilan yang egalitarian. Nilai-nilai seperti ini sangat berharga untuk membangun suatu komunitas sosial bersama.
Pancasila dalam Sistem Ekonomi ditengah terjangan dan jeratan sistem liberalis-kapitalistik saat ini, ketika kita kembali terjajah secara ekonomi, nilai-nilai suatu sistem seperti apa sih yang mampu menjatidirikan negara-bangsa ini. Sejatinya, sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang mestinya berbasis kerakyatan, bukan sistem yang cenderung melegalisasi liberalisme dan kapitalisme global. Meskipun pasca reformasi terkadang kita enggan untuk mengenali kembali atau memaknai kembali sistem ekonomi kerakyatan yang berbasis Pancasila sebagai idea moral. Namun jika diletakkan Pancasila sebagai spirit dasar ekonomi kerakyatan, toh tak ada yang salah. Seperti yang dijelaskan oleh Sri Edi Swasono, bahwa…sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang berorientasi kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, sistem ekonomi yang harus memuat dan berlandaskan pada berlakunya etik dan moral agama, bukan materialisme. Kemanusiaan yang adil dan beradab, artinya sistem ekonomi yang tidak mengenal pemerasan atau eksploitasi. Persatuan Indonesia, berarti sistem ekonomi ini mengedepankan kebersamaan, asas kekeluargaan, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi dalam ekonomi. Kerakyatan, yang tentulah maksudnya untuk mengutamakan kehidupan ekonomi rakyat dan hajat hidup orang banyak. Serta Keadilan Sosial, sebuah sistem ekonomi yang mesti menjamin adanya persamaan/emansipasi, kemakmuran masyarakat yang utama, bukan kemakmuran orang-seorang. Pancasila dalam Konteks Sosial Politik
Akhir-akhir ini diskusi tentang kebhinekaan pun menjadi semakin asyik, karena sedang terjadi ketegangan sosial dan perdebatan tentang berbagai masalah terutama tentang pluralisme dan kebijakan yang berkenaan atau menyentil rasa kebhinekaan. Polemik berkenaan tentang RUU APP misalnya, dan konsistensi menjadikan Pancasila sebagai falsafah/ideologi Negara, telah mengemuka di ruang publik. Pro dan kontra di ikuti dengan ketegangan-ketegangan malah show of force semakin sering terjadi. Ada yang merasa benar, ada yang merasa unggul, ada yang merasa terdiskriminasikan dan adapula yang merasa terancam.
Seperti yang di paparkan oleh Imdadun Rahmat, bahwa…salah satu hal yang menjadi kontroversi dari RUU APP adalah penyeragaman nilai dan standar etika. Ukuran susila dan asusila milik satu golongan dipaksakan untuk menjadi ukuran kesopanan bagi semua golongan bangsa ini. Pengertian porno dan tidak porno dibangun dari keyakinan, paradigma dan perspektif tunggal. Bagi bangsa yang plural baik dari sisi budaya, adat maupun agama ini uniformisasi nilai dan etika tidak saja akan menimbulkan masalah, tetapi juga memantik rasa ketidakadilan. Endingnya bisa muncul problem sektarianisme dan primordialisme sempit.
Dalam masalah ini, Pancasila menemukan momentumnya. Pancasila kembali harus dimunculkan sebagai suatu nilai yang sedapat mungkin masih diterima bersama selama Indonesia masih ada. Sesungguhnya Pancasila masih bisa diupayakan menjadi acuan nation state kita yang meletakkan seluruh kepentingan pada posisi yang sama yakni kesetaraan sebagai hal yang utama bagi eksistensi Indonesia. Di tengah situasi politik dan ekonomi yang teramat rentan, nilai-nilai multikulturalisme yang ada pada Pancasila menjadi faktor penyelamat negara-bangsa. Sekarang…Pancasila seharusnya kembali menjadi suatu milik bersama mulai dari pengkajian sebagai wacana bersama, pengembangan kembali Pancasila sebagai ideologi terbuka, yang dapat dimaknai secara terus-menerus sampai merumuskan paradigma baru pemikiran dan pemaknaan Pancasila sehingga tetap relevan dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Pancasila menjadi penting bagi bagi pluralisme Indonesia.*
Pancasila Ideologi yang Teruji Kesaktiannya.
Sebelum terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, nilai-nilai luhur nenek moyang kita (baca bangsa Indonesia) telah terbukti mampu mendorong dan memotivasi mewujudkan tekad dan semangat melawan penjajah, untuk mendirikan negara kesatuan yang merdeka. Dengan tekad dan semangat tersebut, para perintis kemerdekaan yang didukung penuh bangsa Indonesia telah berjuang sekuat tenaga, tanpa mengenal putus asa untuk merdeka mewujudkan negara kesatuan.
Perjuangan tersebut berhasil dengan diproklamirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pancasila merupakan nilai-nilai luhur nenek moyang, seperti yang termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Selama lebih dari 58 tahun Indonesia merdeka, ternyata Pancasila sebagai ideologi negara tidak terlalu mulus pelaksanaannya. Ada kelompok-kelompok yang tidak setuju dengan Pancasila sebagai ideologi negara, ada yang ingin mengadakan perubahan atau revisi, bahkan ada yang ingin mengganti Pancasila dengan ideologi yang lain.
Usaha-usaha untuk merubah dan menolak Pancasila ini dapat dicermati dan diamati dengan timbulnya gejolak dari sebagian masyarakat yang mengadakan pemberontakan di beberapa daerah, gagalnya konstituante dalam melaksanakan tugasnya, pemberontakan G30S/PKI, bahkan pada awal era reformasi pun sempat timbul perbedaan pendapat serta keinginan mengubah atau merevisi sila dalam Pancasila tersebut.
Salah satu ideologi yang dipaksakan untuk menggantikan Pancasila adalah ideologi komunis, dengan melakukan pemberontakan yang dikenal dengan G30S. Gerakan atau pemberontakan itu dapat segera diatasi dan ditumpas dengan kembali kepada ideologi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekwen, dan tanggal 1 Oktober kemudian kita nyatakan sebagai hari Kesaktian Pancasila.
Pancasila sebagai ideologi terbuka mempunyai tiga tatanan nilai yaitu nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksis. Nilai dasar bersifat tetap sepanjang masa, abstrak, universal, ideal, dan mencakup cita-cita dan tujuan serta tatanan dasar.
Nilai instrumental dan nilai praktis tidak boleh bertentangan dengan nilai dasar. Pengembangan pemikiran dan tindakan dimungkinkan selama tidak bertentangan dengan nilai dasar. Para perumus Pancasila dapat sepakat dan merumuskan lima nilai dasar yang terkandung dalam masyarakat menjadi Pancasila. Kelima nilai dasar tersebut digali dari suasana atau pengalaman kehidupan masyarakat desa, yang bersifat kekeluargaan, kegotong-royongan atau kebersamaan. Sifat kegotong-royongan atau kebersamaan tersebut direkat atau dijalin dengan iman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, rasa perikemanusiaan, semangat persatuan, musyawarah-mufakat, dan rasa keadilan sosial. Kelima nilai dasar itu harus dipahami dan dihayati sebagai nilai-nilai dasar yang saling berkaitan, saling mengisi, dan saling memperkuat dalam satu rangkaian yang utuh, inilah yang merupakan kekhasan, serta keorisinilan Pancasila. Hal ini pulalah yang memberi keyakinan kepada bangsa Indonesia bahwa Pancasila adalah ideologi terbaik yang diciptakan bangsa Indonesia, yang mempunyai keunggulan terhadap ideologi-ideologi lain.
Dengan demikian nilai praktis, sebagai kenyataan di lapangan tidak terlalu jauh atau bertentangan dengan nilai dasarnya. Pancasila akan selalu berinteraksi dengan perkembangan zaman dan realita kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara dari masa ke masa dan dari generasi ke generasi berikutnya.
Itulah sebabnya Pancasila merupakan ideologi terbuka, yang mengandung nilai dasar yang universal dan abadi, yang dapat merangsang pengembangan pemikiran kreatif serta inovatif melalui nilai instrumentalnya, sehingga segala segi kehidupan bangsa dapat diwujudkan secara nyata yang tetap berlandaskan nilai dasar Pancasila. Pancasila sebagai ideologi terbuka perlu dan bahkan wajib dikembangkan melalui pemikiran-pemikiran kritis, kreatif, dan inovatif agar Pancasila menjadi dinamis dan operasional. Pancasila sebagai ideologi terbuka telah nyata berhasil dengan baik, yaitu dengan kualitas nilai dasarnya yang prima, telah terbukti mampu mempersatukan bangsa Indonesia dalam suatu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Sedangkan menyangkut pengembangan pemikiran-pemikiran kritis, kreatif, dan inovatif nampaknya masih sangat lamban, belum atau tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Kebanyakan pengembangan pemikiran masih sebatas pada pemikiran-pemikiran atau konsep yang membahas tentang nilai instrumentalnya saja, itupun baru dalam bentuk adu pemikiran atau adu konsep yang tidak jarang justru menjadi konflik atau yang polemik berkepanjangan.
Akibatnya nilai praktisnya masih jauh dari nilai idealnya, sebagai contoh kebutuhan masyarakat yang mendasar (baca lapangan kerja, keamanan, pangan, pendidikan, kesehatan, sandang, dan tempat tinggal) masih belum dapat dinikmati oleh sebagian besar warga bangsa secara layak dan merata. Dalam era reformasi yang berjalan empat tahun ini, nampaknya reformasi baru memberi kesempatan dan kenikmatan bagi sebagian kecil warga bangsa, terutama yang duduk dijabatan aksekutif dan dewan perwakilan serta sebagian pemuka masyarakat tertentu saja.
KESIMPULAN
Pancasila telah diterima secara luas sebagai lima aksioma politik yang disarikan dari kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk dan mempunyai sejarah yang sudah tua. Namun ada masalah dalam penuangannya ke dalam sistem kenegaraan dan sistem pemerintahan, yang ditata menurut model sentralistik yang hanya dikenal dalam budaya politik Jawa. Doktrin Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional masih mengandung nuansa yang amat sentralistik, dan perlu disempurnakan dengan melengkapinya dengan Doktrin Bhinneka Tunggal Ika.Sebelum ini ada diskrepansi antara nilai yang dikandung Pancasila dengan format kenegaraan dan pemerintahan yang mewadahinya. Penyelesaiannya terasa seakan-akan merupakan kebijakan ad hoc yang berkepanjangan. Di masa depan, kehidupan politik berdasar aksioma Pancasila harus terkait langsung dengan doktrin Bhinneka Tunggal Ika, dimana setiap daerah, setiap golongan, setiap ras, setiap umat beragama, setiap etnik berhak mengatur dan mengurus dirinya sendiri (souverein in eigen kring). Negara dan Pemerintah dapat memusatkan diri pada masalah-masalah yang benar-benar merupakan kepentingan seluruh masyarakat, atau seluruh bangsa, seperti masalah fiskal dan moneter, keamanan, hubungan luar negeri, atau hubungan antar umat beragama. Pemerintah nasional yang efektif dalam menunaikan dua tugas pokok negara, beriringan dengan pemerintah daerah yang selain efektif dalam melaksanakan dua tugas dasar pemerintah daerah, juga melayani aspirasi dan kepentingan khas dari masyarakat daerah yang bersangkutan.
Agar Pancasila yang telah dikaitkan langsung dengan doktrin Bhinneka Tunggal Ika itu dapat berjalan dengan stabil, seluruh kaidahnya harus dituangkan dalam format hukum, yang selalu harus dijaga agar sesuai dengan perkembangan rasa keadilan masyarakat. Kita patut bersyukur, bahwa empat kali amandemen UUD 1945 dalam era reformasi nasional telah mampu menampung dinamika bangsa ini, khususnya dengan mengakui kesetaraan antara berbagai unsur dalam batang tubuh bangsa Indonesia serta mewadahinya dalam sistem dan struktur pemerintahan yang berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
WWW. GOOGLE.COM
WWW. KINGRODE.BLOGSPOT.COM
HTML WIKIPEDIA
No comments:
Post a Comment