Manusia merupakan sebangsa binatang. Dia memiliki banyak persamaan dengan binatang lainnya. Pada saat yang sama manusia memiliki banyak ciri yang membedakan dirinya dengan binatang lainnya,[1] salah satu diantaranya yaitu berfikir. Manusia adalah makhluk berfikir dan merupakan ciptaan Tuhan yang paling sempurna dibanding makhluk Tuhan lainnya, kapasitas berfikir yang dimilikinya menjadikan manusia menempati kedudukan tertinggi di antara makhluk Tuhan yang lain.[2] Manusia mempunyai kemampuan berfikir, sehingga mampu membuat keputusan dangan dasar pikiran, akal dan nalar.[3] Binatang memiliki kemampuan mengenal (mengetahui), segala sesuatu yang ada di sekitarnya hanya melalui indra (alat untuk merasa, mencium bau, mendengar, melihat, meraba dan merasakan sesuatu secara naluriah).
Dari segi pengetahuan binatang tidak sanggup keluar dari kerangka lahiriahnya, kekhususannya, lingkungan hidupnya dan masa sekarang. Sedangkan manusia selain melihat, dia juga mampu menafsirkan melalui pemikiran sehingga terciptalah bangunan ilmu pengetahuan. Inilah kemudian yang menjadikan manusia ebih unggul daripada binatang. Karena itu, dikatakan al-insan hayawan natiq “manusia adalah binatang yang berfikir” atau dengan istilah lain yang lebih populer dikenal Homo sapiens “makhluk yang berfikir. Berpikir itulah yang menjadi ciri khas manusia dan karena berfikirlah dia menjadi manusia.
Manusia adalah manusia, dikarenakan adanya berbagai potensi yang sangat luar biasa diberikan pada awal penciptaannya. Manusia pikiran dan rasio, berbagai potensi ilmiah, yang mana semua itu tidak terdapat pada binatang, tumbuhan, dan benda mati.[4] Karenah itulah manusia lebih terhormat daripada seekor binatang atau tumbuhan.
Manusia tidak seperti benda-benda. Ia berada di tengah dunia dengan cara yang khas, yaitu bahwa manusia sadar akan benda-benda yang ada di sekitarnya.[5] Kesadaran akan kehadiran benda-benda yang ada di sekitarnya ini melahirkan pemikiran sebagai dasar sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pikiran tertentu yang akhirnya sampai pada kesimpulan yang berupa pengetahuan.
Setiap manusia tentu mengetahui berbagai hal dalam kehidupan dan dalam dirinya terdapat berbagai pemikiran dan pengetahuan.[6] Pengetahuan yang merupakan produk kegiatan berpikir merupakan obor dan semen peradaban di mana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup dengan lebih sempurna.[7] Namun ada sederet persoalan yang senantiasa menghadang manusia sebagai makhluk berkesadaran dan berfikir, serta bagi yang mereka yang memiliki salah satu ciri utama sebagi manusia, sebagaimana yang dikemukakan Rene Descartes (1596-1650) dalam bahasa Perancis berbunyi: Je pensee, donct je suis, atau lebih dikenal dengan bahasa latin: Cogito, ergo sum, yang berarti: aku berfikir, karena itu aku ada. Ketidakpuasan dan kebutuhan inilah yang terutama mendorong manusia dari zaman ke zaman untuk mencari penyebab asal dari segala sesuatu, untuk menelusuri dasar-dasar dari semua pengetahuan.[8]
Ketidakpuasan karena tidak memadainya suatu pengetahuan untuk menjawab suatu masalah, atau tidak tuntasnya penjelasan yang diberikan oleh suatu pengetahuan, atau sudah bosannya manusia dengan pengetahuan, penjelasan dan kemampuan yang mereka miliki, sudah menghantui manusia sejak dahulu kala. Sejak manusia pertama kali mulai berfikir (atau lebih tepat bernalar).[9]
Secara historis, kegiatan olah pikir sudah dimulai sejak enam abad sebelum masehi. Kegiatan itu disebut falsafah atau filsafat. Sementara di dalam Islam, kegiatan seperti itu disebut dengan hikmah.[10] Falsafah berasal dari bahasa Yunani, yakni philosophia, yang berarti “cinta akan pengetahuan”.[11] Sejak semula, filsafat ditandai dengan rencana umat manusia untuk menjawab persoalan seputar alam, manusia, dan Tuhan.[12] orang yang mula-mula sekali menggunakan akal secara serius adalah orang Yunani yang bernama Thales (+ 624 – 546 SM). Orang inilah yang digelari Bapak Filsafat. Gelar itu diberikan kepadanya karena ia mengajukan pertanyaan yang aneh, apakah sebenarnya bahan alam semesta ini? dia sendiri menjawab: air. Setelah itu silih bergantilah filosof sezamannya dan sesudahnya mengajukan jawabannya. Semakin lama persoalan yang dipikirkan semakin luas, dan semakin rumit pula pemecahannya.[13]
Puncak kebingungan terlihat pada tokoh sufisme, yaitu Protagoras (481-411 SM). Dia mengatakan bahwa manusia adalah ukuran segala-galanya. Nah, inilah rumus utama relativisme.[14] Kebenaran telah direlatifkan. Yang benar ialah apa yang menurutku, menurutmu; kebenaran objektif tidak ada.[15] Di tengah anggapan bahwa semua kebenaran relatif, cara mengungkapkan yang memukau menjadi penting. Maksudnya, kebenaran tidak lagi tergantung pada isi (bukankah isinya sudah dianggap relatif); kebenaran tergantung pada bagaimana cara menyampaikannya; juga sebaliknya.
Tokoh kedua dari kaum sofis adalah Georgias (483-375 SM). Filsuf satu ini menyatakan tidak ada satupun yang benar. Dia mengatakan, tidak ada sesuatu pun yang ada, jika ada maka ia tidak dapat diketahui, dan jika dapat diketahui sesuatu itu tidak dapat dikabarkan”.[16] Georgias menyatakan dengan tegas bahwa segala pemikiran atau pendirian adalah salah, salah satu kebalikan dari pemikiran Protagoras yang menyatakan segala pendirian atau pemikiran bisa jadi benar. Protagoras dianggap sebagai seorang skeptis, ia meragukan adanya kebenaran di dunia ini, sedang Georgias bisa disebut sebagai nihilis karena ia menyatakan lebih keras lagi, kebenaran itu memang sudah tidak ada lagi. Retorika (keterampilan mengelola kata) sekali lagi menjadi cara untuk meyakinkan orang.
Aliran sofisme ternyata mulai mengubah pandangan filosofis dari naturalis ke humanis sebagai makhluk yang berpengetahuan dan berkemauan. Tetapi sofisme terlalu mengemukakan pendirian yang sebyektif, relatif, skeptis dan nihilis. Sebab itu tak mungkin ia menjadi suatu sistem pengetahuan yang bulat dan kukuh. Pada umumnya dalam zaman sofisme ini perhatian orang kepada manusia satu persatu dan norma atau ukuran bagi baik-buruk diletakkan pada perseorangan. Tidak diakui norma yang umum bagi semua orang. Jika subjek merasa baik, itulah yang baik, sedangkan yang dianggapnya jelek, itulah yang jelek. Norma adalah subjektif. Pada masa ini mulai masa antropologis.
Di tengah kuatnya pengaruh kaum sofis, muncullah seorang filsuf lain yang mencoba memberikan alternatif baru, Sokrates namanya (470-399 SM). Dia setuju bahwa pada manusialah memiliki pengetahuan dan kemauan, “aku tak punya urusan dengan pemikiran-pemikiran tentang alam”, demikian ujarnya Socrates dalam Apology. Namun ia tidak setuju pada pendirian bahwa tidak ada kebenaran yang bisa ditemukan ajaran guru-guru sofis yang merelatifkan kebenaran, atau bahkan menihilkan kebenaran.[17] Tujuan Socrates ialah mengajar orang mencari kebenaran. Sikapnya itu adalah suatu reaksi terhadap ajaran sofisme yang merajalelah waktu itu.[18] Dengan filosofinya yang diamalkan dengan cara hidup dia mencoba memperbaiki masyarakat yang rusak. Orang diajak memperhitungkan tanggung jawab. Ia selalu berkata, yang ia ketahui cuma satu, yaitu bahwa ia tak tahu. Sebab itu dia bertanya. Tanya jawab adalah jalan baginya untuk memperoleh pengetahuan. Itulah permulaan dialektika.[19]
Usaha Socrates itu diteruskan oleh murid dan sahabat utamanya. Plato (427-347 SM) adalah pengikut Socrates yang taat di antara pengikutnya yang mempunyai pengaruh besar. Selain dikenal sebagai ahli fikir juga dikenal sebagai sastrawan yang terkenal.[20] Dalam berfilsafat, Plato meneruskan tradisi yang ditempuh oleh Socrates, yaitu dengan jalan dialog. Plato memilih dialog karena berkeyakinan bahwa filsafat pada intinya tidak lagi dari pada suatu dialog. Berfilsafat berarti mencari kebijaksanaan atau kebenaran. Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa mencari kebenaran sebaiknya dilakukan bersama-sama dalam suatu dialog.[21]
Plato dikenal sebagai filosof dualisme, artinya dia mengakui adanya dua kenyataan yang terpisah dan berdiri sendiri, yaitu dunia ide dan dunia bayangan (indrawi). Dunia ide adalah dunia tetap dan abadi, di dalamnya tidak ada perubahan, sedangkan dunia bayangan adalah dunia yang berubah, yang mencakup benda-benda jasmani yang disajikan kepada indra. Bertitik-tolak dari pandangan ini, Plato mengajarkan adanya dua bentuk pengenalan. Di satu pihak ada pengenalan idea-idea yang merupakan pengenalan yang sebenarnya. Pengenalan ini mempunyai sifat yang sama seperti objek yang menjadi arah pengenalan yang sifatnya teguh, jelas dan tidak berubah. Di pihak lain ada pengenalan tentang benda-benda jasmani pengenalan ini mempunyai sifat tidak tetap, selalu berubah.[22]
Pemikiran filsafat Yunani mencapai puncaknya pada murid Plato yang bernama Aristoteles (384-322 SM).[23] Aristoteles dilahirkan di Stagira pada tahun 384. Untuk menyelesaikan pendidikannya, dia pergi ke Athena dan tinggal selama 20 tahun, sebagai murid Plato.[24] Aristoteles mengawali metafisikanya dengan pertanyaan “Setiap manusia dari kodratnya ingin tahu”. Dia begitu yakin mengenai hal itu sehingga dorongan untuk tahu ini tidak hanya disadari tetapi benar diwujudkan di dalam karyanya sendiri.[25] Aristoteles yang pertama kali menyusun cara berpikir teratur dalam satu sistem. Oleh karena itu, tidak salah jika beliau digelari sebagai bapak logika.
Setelah masa Yunani, pemikiran manusia (filsafat) memasuki suatu periode yang panjang sekali, sekitar 1500 tahun. Periode ini yang sering disebut abad pertengahan.[26] Filsafat pertengahan ini bisa pula disebut dengan filsafat skolastik.[27] Sistem pemikiran filosof di masa ini adalah filsafat teologis/teosentris, yakni sistem pemikirannya didasarkan pada ajaran agama. Pada pertengahan ini muncullah dari agama Kristen dan Islam.[28] Filosof dari kalangan agama Kristen antara lain: Augustinus (354-430, An Selmus (1033-1109) Abaelardus (1079-1142). Adapun para filosof dari kalangan Islam yang telah berjasa menerjemahkan filsafat Yunani ke dalam dunia Islam antara lain: Yusuf Ya’qub bin Ishaq al-Kindi (801-873), Abu Nashr al-Farabi (870-950), Ibnu Sina (980-1037), dan Abu Hamid ibn Muhammad al-Ghazali (1058-1111).[29]
Selama periode abad pertengahan, pemikiran pengetahuan filsafat di barat dipengaruhi oleh agama Kristen, boleh dikatakan tidak banyak menghasilkan penemuan, pemikiran seperti direm. Yang mengeremnya adalah orang-orang Kristen, atas nama agama Kristen. Akal dikekang dan dikungkung secara keterlaluan oleh agama Kristen pada masa ini. Itulah sebabnya periode ini sering disebut juga periode skolastik, dan filsafatnya disebut skolastisisme.[30] Begitupun dalam pemikiran Islam ternyata juga sedikit mengalami kemandekan, akibat kritik-kritik Al-Ghazali. Bagi Al-Ghazali argumen-argumen yang dilontarkan oleh para filosof tidaklah kuat, dan menurut keyakinannya (Al-Ghazali), ada yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pada akhirnya ia mengambil sikap menentang filsafat.[31]
Sejak zaman filsafat Yunani sampai berakhirnya, akal mendominasi. Setiap orang bebas berpikir guna memperoleh pengetahuan. Namun setelah 1500 tahun sesudahnya, yaitu abad pertengahan Kristen, akal harus tunduk pada keyakinan Kristen, maka konsekuensinya kebebasan berpikir dibatasi dan pemikiran di bawah kendali agama. Oleh sebab itulah, sejak Rene Descartes, tokoh pertama filsafat modern berusaha mengembalikan peranan akal dalam mendomiasi filsafat.
Descartes dengan cogito ergo sum-nya berusaha melepaskan filsafat dari dominasi agama Kristen. Dia ingin akal mendominasi filsafat.[32] Akal diberi kepercayaan yang lebih besar, karena adanya suatu keyakinan bahwa akal pasti dapat menerangkan segala macam persoalan yang diperlukan juga pemecahannya. Maka pada era inilah dapat dikatakan, merupakan awal mula filsafat modern, dan merupakan cikal bakal munculnya berbagai aliran seperti, rasionalisme, empirisme, kritisisme dan lain-lain.
Dalam peta sejarah pemikiran Islam, filsafat bercorak Islam sistematis tertulis sejak Alkindi yang dijuluki sebagai filsuf Arab yang pertama, salah satu perannya yang paling signifikan dalam mengembangkan corak filsafat Islam adalah menjembatani pemikir Islam dengan filsafat Yunani Kuno.[33] Memasuki masa setelahnya, filsafat Islam semakin menemukan bentuknya yang khas dalam filsafat al-Farabi. Jika al-Kindi dipandang sebagai seorang failasuf muslim pertama dalam arti kata yang sebenarnya, al-Farabi disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida falsafah dalam Islam yang sejak itu dibangun dengan tekun. Maka setelah Aristoteles sang “Guru Pertama” (al-muallim al-awwal), Al-Farabi dalam dunia intelektual Islam dinilai sebagai “Guru Kedua” (al-muallim al-tsani).[34] lalu akhirnya muncullah Ibnu Sina sebagai pewaris tulen tradisi filsafat Islam rintisan al-Kindi dan peletakan fondasi al-Farabi. Pada masa ibnu Sina falsafat mencapai puncaknya yang tertinggi, dan karena prestasiya itu Ibnu Sina memperoleh gelar kehormatan sebagai “Al-Syaikh Al-Ra’is” (Kiyai Utama).[35] Satu generasi setelah Ibnu Sina, tampil al-Ghazali, seorang pemikir dengan dahsyat dan tandas mengeritik filsafat, khususnya Neoplatonisme.[36]
Di dunia Barat abad pertengahan Al-Ghazali dikenal dengan nama Abu Hamet Algazel. Di dunia Islam dia diberi gelar Hujjatul Islam. Al-Ghazali merupakan filosof besar terakhir di dunia bagian timur.[37] Dalam falsafah al-Ghazali dikenal banyak mengeritik pendapat para filosof-filosof lainnya. Kritikan pedas tersebut dituangkan dalam bukunya yang terkenal Tahafut Al-Falasifat (The Incoherence of Philosoper; Kerancuan Pemikiran Para Filosof).[38] Sehubungan dengan sanggahan yang mematikan dari al-Ghazali terhadap para filosof muslim, akhirnya setelah beberapa generasi lahirlah Ibnu Rusyd sebagai seorang filosof muslim merasa wajib menjawab sanggahan tersebut, yang tidak pula kalah mautnya dari sanggahan al-Ghazali. Menurut Ibnu Rusyd bukan pemikiran para pemikir muslim yang rancu, melainkan pemikiran al-Ghazali sendiri.[39] Oleh karena itu, kalau Ibnu Rusyd di Eropa dikenal sebagai common tator dari Aristoteles, sedangkan di dunia Islam ia dikenal sebagai orang membela kaum filosof dari serangan Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah. Untuk itulah dia susun bukunya yang bernama Tahafut al-Tahafut.[40]
Filsafat Islam pada Ibnu Rusyd seakan-akan berhenti ini dapat dilihat banyak filosof setelah Ibnu Rusyd tidak mendapat perhatian yang memadai. Pada waktu yang hampir bersamaan dengan meninggalnya Ibnu Rusyd, di dunia Islam timur baru saja berdiri sebuah mazhab baru filsafat Islam, yang disebut filsafat iluminasi (isyraqi) didirikan oleh Suhrawardi al-Maqtul (w.1191).[41] Terutama di dunia Syi’ah, filsafat Islam tidak pernah mati dan terus menghasilkan filosof-filosof besar pada setiap zamannya. Pada abad ketiga belas, misalnya seorang filosof Syi’ah telah mencoba menghidupkan kembali filsafat Ibnu Sina, yang bernama Al-Din al-Thusi (w.1274). pada abad berikutnya, muncullah seorang pengikut Suhrawardi, tetapi juga murid Thusi, yaitu Quthub al-Din Syirazi(w.1311). Dia telah menulis sebuah karya komentar Syarh Hikmah Al-Isyraq, di samping karyanya sendiri yang terkenal Durrat al-Tajj fi Ghurrat al-Dubbaj.[42] Di samping itu, masih banyak filosof-filosof minor antara Thusi dan Mir Damad, pendiri mazhab isfahan, dan sekaligus guru utama Mulla Shadra.
Tonggak baru filsafat Islam pasca Ibnu Rusyd berdiri segera setelah mazhab Isfahani, yaitu mazhab filsafat Hikmah al-Mualliyyah atau filsafat hikmah, yang didirikan oleh Shadr al-Din al-Syirazi, atau Mulla Sadra (w. 1941).[43] Jadilah Mullah Shadra bergabung tradisi paripatetik, irfan dan iluminasi, sekaligus teologi dan tradisi Islam.[44] Pemikiran filsafat Islam terus bergulir, dengan silih berganti filosof-filosof setelah era Mullah Shadra sehingga akhirnya sampai pada revolusi Iran, muncul salah seorang guru besar Ayatullah Khomaini sekaligus sebagai pemimpin revolusi. Dia merupakan guru filsafat yang handal bersama rekannya Allama Thabathabai.
Thabathabai dan Imam Khomaini telah mengantarkan filsafat dan irfan ke puncak kejayaan.[45] Berkat usaha keduanya dari sinilah akhirnya telah berhasil mencetak puluhan filsuf-filsuf muslim muda yang kelak mewarnai dinamika intelektual Islam, salah satu di antaranya yaitu Sayyid Murthadha Muthahhari.
Menyimak dari uraian di atas, dengan munculnya berbagai aliran mazhab pemikiran, mulai dari usaha manusia untuk menjawab persoalan alam, manusia dan Tuhan. dapat dianalisa bahwa yang menjadi inti permasalahan atau pokok persoalan munculnya berbagai aliran tersebut diakibatkan oleh metode pendekatan epistemologi yang berbeda. Hal ini dapat dilihat pada filosof tentang alam, Thales menganggap bahwa alam ini berasal dari air, lalu filosof selanjutnya Anaximandros (710-547 SM) menganggap bahwa bukanlah air, tapi Apeiron dan Anaximenes (588-528) beranggapan bahwa asal dari segala sesuatu itu adalah udara sedangkan filosof lainya Heraklitos (535-75 SM) menganggap bahwa hakekat dari alam ini adalah api.
Perbedaan metode berbagai mazhab pemikiran ini mencapai puncak kebingungan ketika membahas tentang persoalan manusia pada masa sofisme. Salah satu tokohnya di antaranya yaitu Protagoras yang mengemukakan bahwa tidak ada kebenaran mutlak. Manusia adalah ukuran kebenaran, sedangkan manusia sifatnya subjektif dan relatif. Jadi semua kebenaran relatif, maka dari sinilah awal munculnya relatifisme. Tokoh yang lain Georgeas lebih parah lagi karena dia, meniadakan kebenaran dengan mengatakna bahwa segala sesuatu itu ada pada dasanrya tidak ada, maka dari sinilah pula awal bakal munculnya nihilisme.
Menanggapi pokok persoalan di atas, maka muncullah seorang bijaksana Socrates mengemukakan bahwa ada kebenaran objektif yang dapat diperoleh melalui dialektika. Plato selaku pelanjut Socrates mengemukakan bahwa memang benar ada kebenaran objektif yaitu ada pada dunia idea. Selanjutnya Aristoteles teman dan murid Plato mengemukakan bahwa kebenaran objektif itu dapat ditemukan dengan melalui metode silogisme oleh karena itu dia menyusun aturan-aturan berfikir, akhirnya ia digelari Bapak Logika.
Pada masa abad pertengahan atau zaman skolastik metode epistemologis yang digunakan di barat, ternyata lebih menitikberatkan pada agama (ajaran gereja) akal tidak mempunyai peranan. Dalam dunia Islam juga demikian ketika masa al-Ghazali. Namun pada masa sebelumnya, al-Kindi berusaha memadukan agama dan filsafat. Sehingga dia membagi pengetahuan ke dalam dua jenis, pengetahuan Ilahi, yang berdasarkan pada keyakinan dan pengetahuan filsafat, dasarnya ialah pemikiran (ratio-reasion).[46]
Masa selanjutnya diteruskan oleh Al-Farabi yang lebih menitikberatkan pada logika. Bagi al-Farabi, logika ialah ilmu tentang peraturan (pedoman) yang dapat menegakkan pikiran dan menunjukkan kepada kebenaran dalam lapangan yang tidak bisa dijamin kebenarannya. Filosof selanjutnya Ibnu Sina metode epistemologi yang digunakan adalah metode deduksi dan metode induksi. Di samping itu, ia juga mempergunakan metode meditasi, yakni metode yang menyelidiki keadaan yang di dalamnya diperoleh hakikat.[47] Maka akhirnya sampailah pada al-Ghazali. Dia ingin mencari kebenaran yang sebenarnya, yaitu kebenaran yang diyakininya betul-betul merupakan kebenaran.
Adapun metode epistemologis yang digunakan al-Ghazali pada mulanya, yaitu mulai pada awal yang ditangkap oleh pancaindera, tetapi baginya kemudian ternyata bahwa pancaindera juga berdusta. Karena itu tidak percaya lagi pada pancaindera. Dia kemudian meletakkan kepercayaannya pada akal. Tetapi akal juga ternyata tidak dapat dipercaya.[48] Dia kemudian mempelajari filsafat untuk menyelidiki apakah pendapat-pendapat yang dikemukakan filosof-filosof itulah yang merupakan kebenaran. Baginya ternyata argumen-argumen yang mereka kemukakan tidak kuat, dan menurut keyakinannya ada yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dia beralih kepada ilmu kalam, tapi dalam ilmu al-Kalam, sama halnya dengan falsafah mempunyai argumen yang tidak kuat. Akhirnya dalam tasawuflah dia memperoleh apa yang dicarinya.[49]
Filosof lainnya yang tak kalah pentingnya ialah Ibnu Rusyd, metode epistemologi yang digunakan yaitu lebih menitikberatkan pada falsafah, yang tak lain adalah berfikir. Berfikir tentang wujud untuk mengetahui pencipta semua yang ada ini. Al-Qur’an, sebagaimana dapat dilihat dari ayat-ayat yang mengandung kata-kata …dan sebagainya, menyuruh supaya manusia berfikir tentang wujud dan alam sekitarnya untuk mengetahui Tuhan. dengan demikian Tuhan sebenarnya menyuruh manusia supaya berfalsafah. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa berfalsafah wajib atau sekurang-kurangnya sunat. Kalau pendapat akal bertentangan dengan wahyu, demikian pendapat Ibnu Rusyd, teks wahyu harus diberi interpretasi begitu rupa sehingga sesuai dengan pendapat akal.[50]
Filsafat pasca Ibnu Rusyd, berdiri falsafah Iluminasi (Isyraqi) yang menggunakan metode pencerahan atau pancaran langsung dari Tuhan, kemudian selanjutnya berdiri lagi mazhab filsafat Hikmah yang berusaha memadukan semua berbagai metode pemikiran tersebut.
Setelah melihat bahwa titik persoalan yang menjadi inti permasalahan terletak pada metode epistemologi yang mereka gunakan. Pemecahan yang keliru dan penyimpangan sebagaimana yang ditawarkan relatifisme dan nihilisme justru terbukti tidak memberikan kenyamanan psikologis dan kesejahteraan sosial. Oleh karena itu, orang perlu mencari sebab utama terjadinya kerusakan individual dan sosial umat manusia dalam berbagai pandangan dan pemikiran yang melenceng. Tidak ada cara lain kecuali bertekad kuat untuk membangun landasan pengetahuan bagi kehidupan manusia, sekaligus mencegah pengaruh jahat pemikiran dan ajaran yang melenceng.
Kiranya upaya yang perlu dilakukan adalah, bagaimana agar dapat merenungkan dan merumuskan ulang epistemologi. Sebagai sebuah tawaran alternatif yang dapat memperbaiki dan melengkapi pengetahuan dalam memperoleh serta menyusun pengetahuan yang benar; dan menjadi ukuran keshahihan pengetahuan.
Menanggapi dari berbagai persoalan di atas penulis merasa tergugah untuk membahas “Prinsip-prinsip epistemologi menurut Murtadha Muthahhari” sebagai sebuah tawaran alternatif landasan bagi teori pengetahuan (epistemologi).
Pembahasan epistemologi yang menarik dalam pandangan Muthahhari adalah karena selain mengakui indra dan akal sebagai alat dan sumber epistemologi ia juga meyakini bahwa hati adalah bagian dari alat epistemologi, dan tak hanya itu, argumen-argumennya juga didasarkan kepada nash. Oleh karena itulah, selain dia terkenal sebagai seorang filosof juga dikenal sebagai seorang ulama yang pemikiran-pemikirannya masih tetap memiliki pengaruh yang besar dalam kancah pemikiran Islam.
Muthahhari dalam membahas setiap persoalan pertama kali secara rasional dan filosofis, lalu kemudian memverifikasinya dengan dasar-dasar keislaman: Al-Qur’an dan hadits, oleh sebab itulah Muthahhari di Iran, bersama Ayatullah Muhammad Taqi Ja’fari, dikenal sebagai bagian dari kelompok “Mazhab Kalami”.[51]
Adapun tujuan dan agenda Muthahhari lebih bersifat ideologis. Menurutnya, setiap ideologi pasti berlandaskan pada suatu bentuk pandangan alam (pandangan dunia) dan pandangan alam berlandaskan pada epistemologi.[52] Setiap doktrin atau filsafat hidup secara tak terelakkan berdasar atas semacam kepercayaan, suatu penilaian tentang hidup dan semacam penafsiran dan analisis tentang dunia. Pemikiran mengenai hidup dan dunia dipercayai merupakan dasar dari seluruh pemikiran aliran tersebut. Dasar ini disebut sebagai pandangan atau konsepsi dunia (world view atau world conception).
Semua agama, ajaran, aliran dan filsafat sosial bertumpu pada suatu bentuk pandangan dunia yang merupakan asas dari pola pemikiran.[53] Semua tujuan yang diajukan suatu mazhab pemikiran, cara-cara dan metode-metode yang dilahirkannya merupakan bagian dari pandangan dunia yang dianutnya. Pada gilirannya, Muthahhari berkeyakinan bahwa pandangan dunia suatu kelompok manusia ditentukan oleh filsafat yang dominan dalam kelompok itu. Dengan kata lain yang menentukan ideologi adalah pandangan dunia filosofis.
Bagi Muthahhari meski epistemologi telah dirintis pada abad-abad yang lalu termasuk juga dalam filsafat Islam, namun sebagian besar persoalan yang menyangkut masalah ini dipaparkan secara terpisah-pisah dalam berbagai pembahasan. Dahulu sedikit banyak orang telah memahami pentingnya epistemologi, tetapi pada zaman ini segala hal yang terkait dengan pandangan dunia berpangkal pada masalah ini (epistemologi).
Dalam konteks ini, Muthahhari menyadari benar peran epistemologi, sebagai akar dari setiap metodologi dalam menentukan ideologi. Sebab ideologi tidak akan pernah mantap selama pandangan dunia (world view atau world conception) tidak terarah dan pandangan dunia tidak akan pernah terarah apabila epistemologi tidak jelas. Maka atas dasar inilah, mutlak kiranya untuk merumuskan prinsip-prinsip epistemologi sebagaimana yang ditawarkan Muthahhari sebagai sebuah landasan pokok dalam setiap metodologi, sehingga mampu melahirkan konsep yang dapat menetralisir kekacauan pengetahuan umat manusia saat ini.
Geneologi Pemikirannya
Pertama kali Muthahhari belajar filsafat dan ilmu rasional di bawah bimbingan Mirza Mehdi ,Syahidi Razawi, setelah guru pembimbingnya itu wafat., Muthahhari meninggalkan hauzah masyahad dan berhijjrah ke Qum untuk memperdalam ilmu di hauzah kota suci itu. Di Qum inilah dia berkenalan dengan ulamah tahbathabai dan kemudian juga, ayatullah ruhullah komeini, kedua tokoh yang di kenal sebagai ahli filsafat dan irfan ( tasawuf ).
Perhatian besar dan hubungan dekat mencirikan hubungan Mutahhari dengan guru utamannya yaitu imam Khomeini di Qum. Ketika muthahhari tiba di Qum, sang imam adalah pengajar ( Mudarris ) muda yang menonjol karena kedalaman dan keluasan wawasan keislamannya dan kemampuan menyampaikan kepada orang lain. Sehingga Muthahhari sendiri bercerita betapa pelajaran-pelajaran irfan dari ayatullah Khomeini telah meninggalkan bekas yang amat kuat dalam hatinya. Pelajaran-pelajaran yang diberikan gurunya ini bahkan masih terngiang-ngiang ditelinganya hingga beberapa hari setelah ia mendengarkannya untuk pertama kalinya selain pada imam Khomeini, Muthahhari memperdalam filsafat dan irfan. Ia pun belajar filsafat dan irfan pada seorang guru besar di masanya. Yakni allamah thabatthaba’i. dia juga amat dalam dipengaruhi oleh pelajaran-pelajaran mengenai Nahj al- balaghah (kumpulan wacana, pidato, surah-surah, dan kata-kata bijak khalifah keempat dan imam pertama dalam mazhab syia’ah, Ali bin abi thalib.[54]
Untuk lebih mengenal latar belakang intelektual Muthahhari, maka terasa perlu mengenal sedikit lebih jauh sumber-sumber pengaruh atas tokoh tersebut. Ayatullah ruhullah khomein, yang di kenal sebagai seorang fagih dan pemimpin revolusi, sesungguhnya adalah seorang peminat irfan sejak masa mudanya. Meski sesungguhnya minat ayatullah Khomeini meluas sehingga khehikmah ( filsafat mistikal ) Mullah Shadra, dia sudah mulai dikenal sebagai ahli irfan bahkan sejak umurnya sebelum genap 30 tahun. Ketika memberi pelajaran irfan kepada Muthahhari itu, usianya belum lagi lebih dari 27 tahun. Diantara salah satu karya awalnya, yang di tulisnya ketika umur 26 tahun adalah komentar ( syarh ) atas doa al-sahar dari imam Muhammad al-baqir. Tiga tahun kemudian ia menerbitkan mishbah al-hidayah, sebuah ulasan ringkas tapi mendalam tentang khakikat Nabi Saw dan para imam. Sebelum usianya mencapai 40 tahun, tepatnya 37 tahun, Khomeini muda ini menyelesaikan sebuah catatan-pinggir ( hamisy atau glossarium ) atas komentar Daud Qaysari atas fushush al- hikamnya Ibnu ‘arabi dan mishbah a-Uns-nya shadruddin al-Qunawi ( anak angkat dan murid Ibnu ‘Arabi ). Allamah thabathaba’i adalah juga guru Khomeini. Minatnya amat murid dengan muridnya itu-filsafat dan iran. Namun, meskipun banyak berbicara tentang irfan. Sejauh mendorong minat tokoh-tokoh seperti Husayn Nasr, Henry Corbin, dan Tostihiko Izutsu untuk rajin menyambangi pengajian-pengajiannya. Thabathaba’i dikenal dengan beberapa karya filosofinya penting,termasuk bidayah al-hikmah dan nihayah al-hikmah, serta Usus-e falsafeh wa rawisy-e Realism ( Dasar-dasar filsafat dan mazhab Realisme ) yang diberi catatan kaki amat ekstensif oleh Muthahhari. Belakangan dia amat dikenal dengan mognum-opusnya dibidang tafsir al – Qur’an dengan karya 20 jilidnya berjudul al-mizan fi tafsir al- Qur’an. Meski berlandaskan pada penafsiran al- Qur’an dengan al- Qur’an, karya ini takbisa sama sekali lepas dari kecendrungan filosofinya yang mengambil bentuk penjelasan filosofinya bagi setiap kelompok ayat yang diulasnya.[55] Akhirnya diantara guru yang berpengaruh pada Muthahhari di Qum adalah mufassir besar al- Qur’an dan filosof, ayatullah Sayyid Muhammad Husein thabathabai, muthahhari mengikuti kuliah-kuliah thabathaba’i mengenal Asy- Syifa’nya ibnu Sina dari tahun 1950-1953, maupun pertemuan-pertemuan kamis malam dibawah bimbingannya.[56]
Mengenai Nahj al-Balagha, selain di kenal merupakan suatu model ketinggian sastra arab, seperti antara lain diungkapkan oleh syaikh Muhammad ‘Abduh, kitab ini berisi banyak ungkapan-ungkapan teologis, filosofis, dan mistis yang amat Sophisticated. Dari kitap ini (disamping ucapan-ucapan para imam lain) kaum syi’ah menggali banyak dasar-dasar filsafat dan irfan. Inkorporasi Nahj al- Balaghah kedalam system filsafat islam yang berkembang di iran diketahui mencapai puncaknya pada aliran hikmah mullah shadra. Untuk sekedar mengetahui isinya, khususnya yang menarik minat muthahhari, berikut ini adalah topik-topik yang terutama dibahas kitap ini muthahhari dalam karyanya yang berjudul Sayr-e dar Nahul Balagha (pelancangan dalam Nahj al- Nalagha). Teologi dan metafisika, suluk (tashawuf ) dan ibadah, kuliah-kuliah mengenai akhlak, serta dunia dan keduniaan (dalam hubunganya dengan sikap seseorang arif dan sufi terhadapnya ).
Dari kesemuanya diatas itulah yang membentuk dasar karakter pola pikir Muthahhari menjadi seorang pemikir syi’i yang dapat memadukan antara filsafat dan agama serta menanggapi setiap persoalan secara rasionalitas dan pendekata filosofis, sebagaimana di dalam syar dan Nahj al- Balagha, misalnya muthahhari membantah pernyataan sebagian pengamat yang menyatakan bahwa rasionalisme dan kecendrungan kepada filsafat lebih merupakan Ingredient ke – persi- an ketimbang ke-Islam-an. Dia menunjukkan bahwa semuanya itu berada dijantung ajaran islam, sebagai mana ditunjukkan oleh al – Qur’an, hadits Nabi dan ajaran para imam.
[1]Murtadha Muthahhari, Man and universe. Diterj, Ilyas Hasan, Manusia dan Alam Semesta (Cet. III; Jakarta: Lentera, 2002), h. 1.
[2]Amroen Drajat, Suhrawardi (Kritik Filsafat Paripatetik) (Cet. I; Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 1.
[3] Murtadha Muthahhari, Falsafah Pergerakan Islam (Cet; I Jakarta: Amanah Press, 1988) h. 96
[4]Idem , Asynaa’i Baa Qur’an. Ditrj, oleh Muhammad Jawad Bafagih, Pelajaran-Pelajaran Penting dari Al-Qur’an (cet; II Jakarta: Lentera, 2002) h.271
[5]Bambang Q-Anees, Radea Juli A. Hambali, Filsafat untuk Umum (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2003), h. 199.
[6]Muhammad Baqir Ash-Shadr, Fisalfatuna. Diterj oleh M. Nur Mufid bin Ali, Falsafatuna; Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr terhadap pelbagai Aliran Filsafat Dunia (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1998), h. 25.
[7]Jujun S. Suria Sumantri, Ilmu dalam Perspektif (Cet. XV; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), h. 2.
[8]Conny Setiawan, Th..I Setiawan Yufiarti, Panorama Filsafat Ilmu (Cet. I; Jakarta: Teraju, 2005), h. 114-115.
[9]Ibid.
[10]Amroen Drajat, Suhrawardi …, op.cit., h. 2.
[11]Muhammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Cet. III; Jakarta: Tinta Mas, 1986), h. 3.
[12]Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis (Cet. III; Bandung: Mizan, 2002), h. 1.
[13]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra (Cet. II; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003), h. 1
[14]Relativisme adalah ajaran bahwa tidak ada hal-hal absolute, dalam penerapan epistemologinya, ajaran ini menyatakan bahwa semua kebenaran relative. Ajran ini dianut oleh Protagoras, Pyrrho, dan pengikut-pengikutnya. Lihat, Logens Bagus, Kamus Filsafat (Cet; III Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2002) h. 949
[15]Bambang Q-Anees, Radea Juli A. Hambali, op.cit., h. 150-151.
[16]Ibid., h. 151-152.
[17]Ibid.
[18]Muhammad Hatta, op.cit., h. 75.
[19]Ibid.
[20]Asmoro Achmadi, Filsafat Umum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 50.
[21]Rizal Mustansyi dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu (Cet. VI; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 63.
[22]Ibid., h. 17.
[23]Ibid.
[24]Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat (Cet. XII; Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 19.
[25]Hardono Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan (Cet. XI; Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 13.
[26]Ahmad Tafsir, op.cit., h. 3.
[27] Skolastik (dari istilah latin scholasticus, yang berarti murid) sejumlah aliran filsafat dan teologi di Eropa Barat antara abad ke-12 dan15. Pada umumnya berpangkal pada filsafat Aristoteles, mencari sintesis antara akal budi manusia dan wahyu ilahi, tetapi sekaligus membedakan antara ilmu dan iman kepercayaan. Lihat, Dick Hardoko, Kamus Populer Filsafat (cet; III Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002) h. 88
[28]Abd. Rahman Musa, dkk., Diktat Filsafat (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1991), h. 30.
[29]Ibid., h. 54.
[30]Ahmad Tafsir, op.cit., h. 3.
[31]Harun Nasution, Falsafah dan Mistisime dalam Islam (Cet. X; Jakarta: Bulan Bintang, 1999), h. 37.
[32]Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu; Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h. 83.
[33] Muhsin Labib, Para Filosof; Sebelum dan Sesudah Mullah Shadra (Cet. I; Jakarta: Al-Huda, 2005), h. 35.
[34]Nurcholish Madjid, Khasanah Intelektual Islam (Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 30.
[35]Ibid., h. 32-33
[36]Ibid.
[37]Harun Nasution¸ Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 2002), h. 51.
[38]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 159.
[39]Ibid., h. 227-228.
[40]Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme…, op.cit., h. 43.
[41]Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan (Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 179.
[42]Ibid., h. 179-180.
[43]Ibid., h. 186.
[44]Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam (Cet. I; Bandung: Mizan, 2005), h. 98.
[45]Muhsin Labib, Para Filosof, op.cit., h. 56.
[46]Miska Muhammad Amin, Epistemologi Islam (Jakarta: UI Press, 2006), h. 45.
[47]Ibid., h. 49.
[48]Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme …, h. 36.
[49]Ibid., h. 37.
[50]Harun Nasution, Islam Ditinjau .., h. 55.
[51]Haidar Baqir, Membincang Metodologi Ayatullah Muratadha Muthahhari (Makalah dalam Seminar Pascasarjana UGM, 2004).
[52]Murtadha Muthahhari, Mas’ale-ye Syenokh .Diterj, oleh M.J. Bafqih, Mengenal Epistemologi (Cet. I; Jakarta: Lentera, 2001), h. 22.
[53]Idem, Syesy Maqoleh. Diterj, oleh M.J. Bafqih, Kumpulan Artikel Pilihan (Cet. I; Jakarta: Lentera, 2003), h. 226.
[54] Haidar Bagir, Membincang Metodologi…, h.2
[55] Ibid
[56] Hamid Algar, Hidup dan Karya Murtadha Muthahhar. Pengantar untuk buku Murtadha Muthahhari Introduction to Irfan. Diterj, C. Ramli Bihar dengan judul Mengenal Irfan Meniti Makam-Makam Kearifan (cet. I; Jakarta: Iman dan Hikmah, 2002)
Dari segi pengetahuan binatang tidak sanggup keluar dari kerangka lahiriahnya, kekhususannya, lingkungan hidupnya dan masa sekarang. Sedangkan manusia selain melihat, dia juga mampu menafsirkan melalui pemikiran sehingga terciptalah bangunan ilmu pengetahuan. Inilah kemudian yang menjadikan manusia ebih unggul daripada binatang. Karena itu, dikatakan al-insan hayawan natiq “manusia adalah binatang yang berfikir” atau dengan istilah lain yang lebih populer dikenal Homo sapiens “makhluk yang berfikir. Berpikir itulah yang menjadi ciri khas manusia dan karena berfikirlah dia menjadi manusia.
Manusia adalah manusia, dikarenakan adanya berbagai potensi yang sangat luar biasa diberikan pada awal penciptaannya. Manusia pikiran dan rasio, berbagai potensi ilmiah, yang mana semua itu tidak terdapat pada binatang, tumbuhan, dan benda mati.[4] Karenah itulah manusia lebih terhormat daripada seekor binatang atau tumbuhan.
Manusia tidak seperti benda-benda. Ia berada di tengah dunia dengan cara yang khas, yaitu bahwa manusia sadar akan benda-benda yang ada di sekitarnya.[5] Kesadaran akan kehadiran benda-benda yang ada di sekitarnya ini melahirkan pemikiran sebagai dasar sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pikiran tertentu yang akhirnya sampai pada kesimpulan yang berupa pengetahuan.
Setiap manusia tentu mengetahui berbagai hal dalam kehidupan dan dalam dirinya terdapat berbagai pemikiran dan pengetahuan.[6] Pengetahuan yang merupakan produk kegiatan berpikir merupakan obor dan semen peradaban di mana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup dengan lebih sempurna.[7] Namun ada sederet persoalan yang senantiasa menghadang manusia sebagai makhluk berkesadaran dan berfikir, serta bagi yang mereka yang memiliki salah satu ciri utama sebagi manusia, sebagaimana yang dikemukakan Rene Descartes (1596-1650) dalam bahasa Perancis berbunyi: Je pensee, donct je suis, atau lebih dikenal dengan bahasa latin: Cogito, ergo sum, yang berarti: aku berfikir, karena itu aku ada. Ketidakpuasan dan kebutuhan inilah yang terutama mendorong manusia dari zaman ke zaman untuk mencari penyebab asal dari segala sesuatu, untuk menelusuri dasar-dasar dari semua pengetahuan.[8]
Ketidakpuasan karena tidak memadainya suatu pengetahuan untuk menjawab suatu masalah, atau tidak tuntasnya penjelasan yang diberikan oleh suatu pengetahuan, atau sudah bosannya manusia dengan pengetahuan, penjelasan dan kemampuan yang mereka miliki, sudah menghantui manusia sejak dahulu kala. Sejak manusia pertama kali mulai berfikir (atau lebih tepat bernalar).[9]
Secara historis, kegiatan olah pikir sudah dimulai sejak enam abad sebelum masehi. Kegiatan itu disebut falsafah atau filsafat. Sementara di dalam Islam, kegiatan seperti itu disebut dengan hikmah.[10] Falsafah berasal dari bahasa Yunani, yakni philosophia, yang berarti “cinta akan pengetahuan”.[11] Sejak semula, filsafat ditandai dengan rencana umat manusia untuk menjawab persoalan seputar alam, manusia, dan Tuhan.[12] orang yang mula-mula sekali menggunakan akal secara serius adalah orang Yunani yang bernama Thales (+ 624 – 546 SM). Orang inilah yang digelari Bapak Filsafat. Gelar itu diberikan kepadanya karena ia mengajukan pertanyaan yang aneh, apakah sebenarnya bahan alam semesta ini? dia sendiri menjawab: air. Setelah itu silih bergantilah filosof sezamannya dan sesudahnya mengajukan jawabannya. Semakin lama persoalan yang dipikirkan semakin luas, dan semakin rumit pula pemecahannya.[13]
Puncak kebingungan terlihat pada tokoh sufisme, yaitu Protagoras (481-411 SM). Dia mengatakan bahwa manusia adalah ukuran segala-galanya. Nah, inilah rumus utama relativisme.[14] Kebenaran telah direlatifkan. Yang benar ialah apa yang menurutku, menurutmu; kebenaran objektif tidak ada.[15] Di tengah anggapan bahwa semua kebenaran relatif, cara mengungkapkan yang memukau menjadi penting. Maksudnya, kebenaran tidak lagi tergantung pada isi (bukankah isinya sudah dianggap relatif); kebenaran tergantung pada bagaimana cara menyampaikannya; juga sebaliknya.
Tokoh kedua dari kaum sofis adalah Georgias (483-375 SM). Filsuf satu ini menyatakan tidak ada satupun yang benar. Dia mengatakan, tidak ada sesuatu pun yang ada, jika ada maka ia tidak dapat diketahui, dan jika dapat diketahui sesuatu itu tidak dapat dikabarkan”.[16] Georgias menyatakan dengan tegas bahwa segala pemikiran atau pendirian adalah salah, salah satu kebalikan dari pemikiran Protagoras yang menyatakan segala pendirian atau pemikiran bisa jadi benar. Protagoras dianggap sebagai seorang skeptis, ia meragukan adanya kebenaran di dunia ini, sedang Georgias bisa disebut sebagai nihilis karena ia menyatakan lebih keras lagi, kebenaran itu memang sudah tidak ada lagi. Retorika (keterampilan mengelola kata) sekali lagi menjadi cara untuk meyakinkan orang.
Aliran sofisme ternyata mulai mengubah pandangan filosofis dari naturalis ke humanis sebagai makhluk yang berpengetahuan dan berkemauan. Tetapi sofisme terlalu mengemukakan pendirian yang sebyektif, relatif, skeptis dan nihilis. Sebab itu tak mungkin ia menjadi suatu sistem pengetahuan yang bulat dan kukuh. Pada umumnya dalam zaman sofisme ini perhatian orang kepada manusia satu persatu dan norma atau ukuran bagi baik-buruk diletakkan pada perseorangan. Tidak diakui norma yang umum bagi semua orang. Jika subjek merasa baik, itulah yang baik, sedangkan yang dianggapnya jelek, itulah yang jelek. Norma adalah subjektif. Pada masa ini mulai masa antropologis.
Di tengah kuatnya pengaruh kaum sofis, muncullah seorang filsuf lain yang mencoba memberikan alternatif baru, Sokrates namanya (470-399 SM). Dia setuju bahwa pada manusialah memiliki pengetahuan dan kemauan, “aku tak punya urusan dengan pemikiran-pemikiran tentang alam”, demikian ujarnya Socrates dalam Apology. Namun ia tidak setuju pada pendirian bahwa tidak ada kebenaran yang bisa ditemukan ajaran guru-guru sofis yang merelatifkan kebenaran, atau bahkan menihilkan kebenaran.[17] Tujuan Socrates ialah mengajar orang mencari kebenaran. Sikapnya itu adalah suatu reaksi terhadap ajaran sofisme yang merajalelah waktu itu.[18] Dengan filosofinya yang diamalkan dengan cara hidup dia mencoba memperbaiki masyarakat yang rusak. Orang diajak memperhitungkan tanggung jawab. Ia selalu berkata, yang ia ketahui cuma satu, yaitu bahwa ia tak tahu. Sebab itu dia bertanya. Tanya jawab adalah jalan baginya untuk memperoleh pengetahuan. Itulah permulaan dialektika.[19]
Usaha Socrates itu diteruskan oleh murid dan sahabat utamanya. Plato (427-347 SM) adalah pengikut Socrates yang taat di antara pengikutnya yang mempunyai pengaruh besar. Selain dikenal sebagai ahli fikir juga dikenal sebagai sastrawan yang terkenal.[20] Dalam berfilsafat, Plato meneruskan tradisi yang ditempuh oleh Socrates, yaitu dengan jalan dialog. Plato memilih dialog karena berkeyakinan bahwa filsafat pada intinya tidak lagi dari pada suatu dialog. Berfilsafat berarti mencari kebijaksanaan atau kebenaran. Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa mencari kebenaran sebaiknya dilakukan bersama-sama dalam suatu dialog.[21]
Plato dikenal sebagai filosof dualisme, artinya dia mengakui adanya dua kenyataan yang terpisah dan berdiri sendiri, yaitu dunia ide dan dunia bayangan (indrawi). Dunia ide adalah dunia tetap dan abadi, di dalamnya tidak ada perubahan, sedangkan dunia bayangan adalah dunia yang berubah, yang mencakup benda-benda jasmani yang disajikan kepada indra. Bertitik-tolak dari pandangan ini, Plato mengajarkan adanya dua bentuk pengenalan. Di satu pihak ada pengenalan idea-idea yang merupakan pengenalan yang sebenarnya. Pengenalan ini mempunyai sifat yang sama seperti objek yang menjadi arah pengenalan yang sifatnya teguh, jelas dan tidak berubah. Di pihak lain ada pengenalan tentang benda-benda jasmani pengenalan ini mempunyai sifat tidak tetap, selalu berubah.[22]
Pemikiran filsafat Yunani mencapai puncaknya pada murid Plato yang bernama Aristoteles (384-322 SM).[23] Aristoteles dilahirkan di Stagira pada tahun 384. Untuk menyelesaikan pendidikannya, dia pergi ke Athena dan tinggal selama 20 tahun, sebagai murid Plato.[24] Aristoteles mengawali metafisikanya dengan pertanyaan “Setiap manusia dari kodratnya ingin tahu”. Dia begitu yakin mengenai hal itu sehingga dorongan untuk tahu ini tidak hanya disadari tetapi benar diwujudkan di dalam karyanya sendiri.[25] Aristoteles yang pertama kali menyusun cara berpikir teratur dalam satu sistem. Oleh karena itu, tidak salah jika beliau digelari sebagai bapak logika.
Setelah masa Yunani, pemikiran manusia (filsafat) memasuki suatu periode yang panjang sekali, sekitar 1500 tahun. Periode ini yang sering disebut abad pertengahan.[26] Filsafat pertengahan ini bisa pula disebut dengan filsafat skolastik.[27] Sistem pemikiran filosof di masa ini adalah filsafat teologis/teosentris, yakni sistem pemikirannya didasarkan pada ajaran agama. Pada pertengahan ini muncullah dari agama Kristen dan Islam.[28] Filosof dari kalangan agama Kristen antara lain: Augustinus (354-430, An Selmus (1033-1109) Abaelardus (1079-1142). Adapun para filosof dari kalangan Islam yang telah berjasa menerjemahkan filsafat Yunani ke dalam dunia Islam antara lain: Yusuf Ya’qub bin Ishaq al-Kindi (801-873), Abu Nashr al-Farabi (870-950), Ibnu Sina (980-1037), dan Abu Hamid ibn Muhammad al-Ghazali (1058-1111).[29]
Selama periode abad pertengahan, pemikiran pengetahuan filsafat di barat dipengaruhi oleh agama Kristen, boleh dikatakan tidak banyak menghasilkan penemuan, pemikiran seperti direm. Yang mengeremnya adalah orang-orang Kristen, atas nama agama Kristen. Akal dikekang dan dikungkung secara keterlaluan oleh agama Kristen pada masa ini. Itulah sebabnya periode ini sering disebut juga periode skolastik, dan filsafatnya disebut skolastisisme.[30] Begitupun dalam pemikiran Islam ternyata juga sedikit mengalami kemandekan, akibat kritik-kritik Al-Ghazali. Bagi Al-Ghazali argumen-argumen yang dilontarkan oleh para filosof tidaklah kuat, dan menurut keyakinannya (Al-Ghazali), ada yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pada akhirnya ia mengambil sikap menentang filsafat.[31]
Sejak zaman filsafat Yunani sampai berakhirnya, akal mendominasi. Setiap orang bebas berpikir guna memperoleh pengetahuan. Namun setelah 1500 tahun sesudahnya, yaitu abad pertengahan Kristen, akal harus tunduk pada keyakinan Kristen, maka konsekuensinya kebebasan berpikir dibatasi dan pemikiran di bawah kendali agama. Oleh sebab itulah, sejak Rene Descartes, tokoh pertama filsafat modern berusaha mengembalikan peranan akal dalam mendomiasi filsafat.
Descartes dengan cogito ergo sum-nya berusaha melepaskan filsafat dari dominasi agama Kristen. Dia ingin akal mendominasi filsafat.[32] Akal diberi kepercayaan yang lebih besar, karena adanya suatu keyakinan bahwa akal pasti dapat menerangkan segala macam persoalan yang diperlukan juga pemecahannya. Maka pada era inilah dapat dikatakan, merupakan awal mula filsafat modern, dan merupakan cikal bakal munculnya berbagai aliran seperti, rasionalisme, empirisme, kritisisme dan lain-lain.
Dalam peta sejarah pemikiran Islam, filsafat bercorak Islam sistematis tertulis sejak Alkindi yang dijuluki sebagai filsuf Arab yang pertama, salah satu perannya yang paling signifikan dalam mengembangkan corak filsafat Islam adalah menjembatani pemikir Islam dengan filsafat Yunani Kuno.[33] Memasuki masa setelahnya, filsafat Islam semakin menemukan bentuknya yang khas dalam filsafat al-Farabi. Jika al-Kindi dipandang sebagai seorang failasuf muslim pertama dalam arti kata yang sebenarnya, al-Farabi disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida falsafah dalam Islam yang sejak itu dibangun dengan tekun. Maka setelah Aristoteles sang “Guru Pertama” (al-muallim al-awwal), Al-Farabi dalam dunia intelektual Islam dinilai sebagai “Guru Kedua” (al-muallim al-tsani).[34] lalu akhirnya muncullah Ibnu Sina sebagai pewaris tulen tradisi filsafat Islam rintisan al-Kindi dan peletakan fondasi al-Farabi. Pada masa ibnu Sina falsafat mencapai puncaknya yang tertinggi, dan karena prestasiya itu Ibnu Sina memperoleh gelar kehormatan sebagai “Al-Syaikh Al-Ra’is” (Kiyai Utama).[35] Satu generasi setelah Ibnu Sina, tampil al-Ghazali, seorang pemikir dengan dahsyat dan tandas mengeritik filsafat, khususnya Neoplatonisme.[36]
Di dunia Barat abad pertengahan Al-Ghazali dikenal dengan nama Abu Hamet Algazel. Di dunia Islam dia diberi gelar Hujjatul Islam. Al-Ghazali merupakan filosof besar terakhir di dunia bagian timur.[37] Dalam falsafah al-Ghazali dikenal banyak mengeritik pendapat para filosof-filosof lainnya. Kritikan pedas tersebut dituangkan dalam bukunya yang terkenal Tahafut Al-Falasifat (The Incoherence of Philosoper; Kerancuan Pemikiran Para Filosof).[38] Sehubungan dengan sanggahan yang mematikan dari al-Ghazali terhadap para filosof muslim, akhirnya setelah beberapa generasi lahirlah Ibnu Rusyd sebagai seorang filosof muslim merasa wajib menjawab sanggahan tersebut, yang tidak pula kalah mautnya dari sanggahan al-Ghazali. Menurut Ibnu Rusyd bukan pemikiran para pemikir muslim yang rancu, melainkan pemikiran al-Ghazali sendiri.[39] Oleh karena itu, kalau Ibnu Rusyd di Eropa dikenal sebagai common tator dari Aristoteles, sedangkan di dunia Islam ia dikenal sebagai orang membela kaum filosof dari serangan Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah. Untuk itulah dia susun bukunya yang bernama Tahafut al-Tahafut.[40]
Filsafat Islam pada Ibnu Rusyd seakan-akan berhenti ini dapat dilihat banyak filosof setelah Ibnu Rusyd tidak mendapat perhatian yang memadai. Pada waktu yang hampir bersamaan dengan meninggalnya Ibnu Rusyd, di dunia Islam timur baru saja berdiri sebuah mazhab baru filsafat Islam, yang disebut filsafat iluminasi (isyraqi) didirikan oleh Suhrawardi al-Maqtul (w.1191).[41] Terutama di dunia Syi’ah, filsafat Islam tidak pernah mati dan terus menghasilkan filosof-filosof besar pada setiap zamannya. Pada abad ketiga belas, misalnya seorang filosof Syi’ah telah mencoba menghidupkan kembali filsafat Ibnu Sina, yang bernama Al-Din al-Thusi (w.1274). pada abad berikutnya, muncullah seorang pengikut Suhrawardi, tetapi juga murid Thusi, yaitu Quthub al-Din Syirazi(w.1311). Dia telah menulis sebuah karya komentar Syarh Hikmah Al-Isyraq, di samping karyanya sendiri yang terkenal Durrat al-Tajj fi Ghurrat al-Dubbaj.[42] Di samping itu, masih banyak filosof-filosof minor antara Thusi dan Mir Damad, pendiri mazhab isfahan, dan sekaligus guru utama Mulla Shadra.
Tonggak baru filsafat Islam pasca Ibnu Rusyd berdiri segera setelah mazhab Isfahani, yaitu mazhab filsafat Hikmah al-Mualliyyah atau filsafat hikmah, yang didirikan oleh Shadr al-Din al-Syirazi, atau Mulla Sadra (w. 1941).[43] Jadilah Mullah Shadra bergabung tradisi paripatetik, irfan dan iluminasi, sekaligus teologi dan tradisi Islam.[44] Pemikiran filsafat Islam terus bergulir, dengan silih berganti filosof-filosof setelah era Mullah Shadra sehingga akhirnya sampai pada revolusi Iran, muncul salah seorang guru besar Ayatullah Khomaini sekaligus sebagai pemimpin revolusi. Dia merupakan guru filsafat yang handal bersama rekannya Allama Thabathabai.
Thabathabai dan Imam Khomaini telah mengantarkan filsafat dan irfan ke puncak kejayaan.[45] Berkat usaha keduanya dari sinilah akhirnya telah berhasil mencetak puluhan filsuf-filsuf muslim muda yang kelak mewarnai dinamika intelektual Islam, salah satu di antaranya yaitu Sayyid Murthadha Muthahhari.
Menyimak dari uraian di atas, dengan munculnya berbagai aliran mazhab pemikiran, mulai dari usaha manusia untuk menjawab persoalan alam, manusia dan Tuhan. dapat dianalisa bahwa yang menjadi inti permasalahan atau pokok persoalan munculnya berbagai aliran tersebut diakibatkan oleh metode pendekatan epistemologi yang berbeda. Hal ini dapat dilihat pada filosof tentang alam, Thales menganggap bahwa alam ini berasal dari air, lalu filosof selanjutnya Anaximandros (710-547 SM) menganggap bahwa bukanlah air, tapi Apeiron dan Anaximenes (588-528) beranggapan bahwa asal dari segala sesuatu itu adalah udara sedangkan filosof lainya Heraklitos (535-75 SM) menganggap bahwa hakekat dari alam ini adalah api.
Perbedaan metode berbagai mazhab pemikiran ini mencapai puncak kebingungan ketika membahas tentang persoalan manusia pada masa sofisme. Salah satu tokohnya di antaranya yaitu Protagoras yang mengemukakan bahwa tidak ada kebenaran mutlak. Manusia adalah ukuran kebenaran, sedangkan manusia sifatnya subjektif dan relatif. Jadi semua kebenaran relatif, maka dari sinilah awal munculnya relatifisme. Tokoh yang lain Georgeas lebih parah lagi karena dia, meniadakan kebenaran dengan mengatakna bahwa segala sesuatu itu ada pada dasanrya tidak ada, maka dari sinilah pula awal bakal munculnya nihilisme.
Menanggapi pokok persoalan di atas, maka muncullah seorang bijaksana Socrates mengemukakan bahwa ada kebenaran objektif yang dapat diperoleh melalui dialektika. Plato selaku pelanjut Socrates mengemukakan bahwa memang benar ada kebenaran objektif yaitu ada pada dunia idea. Selanjutnya Aristoteles teman dan murid Plato mengemukakan bahwa kebenaran objektif itu dapat ditemukan dengan melalui metode silogisme oleh karena itu dia menyusun aturan-aturan berfikir, akhirnya ia digelari Bapak Logika.
Pada masa abad pertengahan atau zaman skolastik metode epistemologis yang digunakan di barat, ternyata lebih menitikberatkan pada agama (ajaran gereja) akal tidak mempunyai peranan. Dalam dunia Islam juga demikian ketika masa al-Ghazali. Namun pada masa sebelumnya, al-Kindi berusaha memadukan agama dan filsafat. Sehingga dia membagi pengetahuan ke dalam dua jenis, pengetahuan Ilahi, yang berdasarkan pada keyakinan dan pengetahuan filsafat, dasarnya ialah pemikiran (ratio-reasion).[46]
Masa selanjutnya diteruskan oleh Al-Farabi yang lebih menitikberatkan pada logika. Bagi al-Farabi, logika ialah ilmu tentang peraturan (pedoman) yang dapat menegakkan pikiran dan menunjukkan kepada kebenaran dalam lapangan yang tidak bisa dijamin kebenarannya. Filosof selanjutnya Ibnu Sina metode epistemologi yang digunakan adalah metode deduksi dan metode induksi. Di samping itu, ia juga mempergunakan metode meditasi, yakni metode yang menyelidiki keadaan yang di dalamnya diperoleh hakikat.[47] Maka akhirnya sampailah pada al-Ghazali. Dia ingin mencari kebenaran yang sebenarnya, yaitu kebenaran yang diyakininya betul-betul merupakan kebenaran.
Adapun metode epistemologis yang digunakan al-Ghazali pada mulanya, yaitu mulai pada awal yang ditangkap oleh pancaindera, tetapi baginya kemudian ternyata bahwa pancaindera juga berdusta. Karena itu tidak percaya lagi pada pancaindera. Dia kemudian meletakkan kepercayaannya pada akal. Tetapi akal juga ternyata tidak dapat dipercaya.[48] Dia kemudian mempelajari filsafat untuk menyelidiki apakah pendapat-pendapat yang dikemukakan filosof-filosof itulah yang merupakan kebenaran. Baginya ternyata argumen-argumen yang mereka kemukakan tidak kuat, dan menurut keyakinannya ada yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dia beralih kepada ilmu kalam, tapi dalam ilmu al-Kalam, sama halnya dengan falsafah mempunyai argumen yang tidak kuat. Akhirnya dalam tasawuflah dia memperoleh apa yang dicarinya.[49]
Filosof lainnya yang tak kalah pentingnya ialah Ibnu Rusyd, metode epistemologi yang digunakan yaitu lebih menitikberatkan pada falsafah, yang tak lain adalah berfikir. Berfikir tentang wujud untuk mengetahui pencipta semua yang ada ini. Al-Qur’an, sebagaimana dapat dilihat dari ayat-ayat yang mengandung kata-kata …dan sebagainya, menyuruh supaya manusia berfikir tentang wujud dan alam sekitarnya untuk mengetahui Tuhan. dengan demikian Tuhan sebenarnya menyuruh manusia supaya berfalsafah. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa berfalsafah wajib atau sekurang-kurangnya sunat. Kalau pendapat akal bertentangan dengan wahyu, demikian pendapat Ibnu Rusyd, teks wahyu harus diberi interpretasi begitu rupa sehingga sesuai dengan pendapat akal.[50]
Filsafat pasca Ibnu Rusyd, berdiri falsafah Iluminasi (Isyraqi) yang menggunakan metode pencerahan atau pancaran langsung dari Tuhan, kemudian selanjutnya berdiri lagi mazhab filsafat Hikmah yang berusaha memadukan semua berbagai metode pemikiran tersebut.
Setelah melihat bahwa titik persoalan yang menjadi inti permasalahan terletak pada metode epistemologi yang mereka gunakan. Pemecahan yang keliru dan penyimpangan sebagaimana yang ditawarkan relatifisme dan nihilisme justru terbukti tidak memberikan kenyamanan psikologis dan kesejahteraan sosial. Oleh karena itu, orang perlu mencari sebab utama terjadinya kerusakan individual dan sosial umat manusia dalam berbagai pandangan dan pemikiran yang melenceng. Tidak ada cara lain kecuali bertekad kuat untuk membangun landasan pengetahuan bagi kehidupan manusia, sekaligus mencegah pengaruh jahat pemikiran dan ajaran yang melenceng.
Kiranya upaya yang perlu dilakukan adalah, bagaimana agar dapat merenungkan dan merumuskan ulang epistemologi. Sebagai sebuah tawaran alternatif yang dapat memperbaiki dan melengkapi pengetahuan dalam memperoleh serta menyusun pengetahuan yang benar; dan menjadi ukuran keshahihan pengetahuan.
Menanggapi dari berbagai persoalan di atas penulis merasa tergugah untuk membahas “Prinsip-prinsip epistemologi menurut Murtadha Muthahhari” sebagai sebuah tawaran alternatif landasan bagi teori pengetahuan (epistemologi).
Pembahasan epistemologi yang menarik dalam pandangan Muthahhari adalah karena selain mengakui indra dan akal sebagai alat dan sumber epistemologi ia juga meyakini bahwa hati adalah bagian dari alat epistemologi, dan tak hanya itu, argumen-argumennya juga didasarkan kepada nash. Oleh karena itulah, selain dia terkenal sebagai seorang filosof juga dikenal sebagai seorang ulama yang pemikiran-pemikirannya masih tetap memiliki pengaruh yang besar dalam kancah pemikiran Islam.
Muthahhari dalam membahas setiap persoalan pertama kali secara rasional dan filosofis, lalu kemudian memverifikasinya dengan dasar-dasar keislaman: Al-Qur’an dan hadits, oleh sebab itulah Muthahhari di Iran, bersama Ayatullah Muhammad Taqi Ja’fari, dikenal sebagai bagian dari kelompok “Mazhab Kalami”.[51]
Adapun tujuan dan agenda Muthahhari lebih bersifat ideologis. Menurutnya, setiap ideologi pasti berlandaskan pada suatu bentuk pandangan alam (pandangan dunia) dan pandangan alam berlandaskan pada epistemologi.[52] Setiap doktrin atau filsafat hidup secara tak terelakkan berdasar atas semacam kepercayaan, suatu penilaian tentang hidup dan semacam penafsiran dan analisis tentang dunia. Pemikiran mengenai hidup dan dunia dipercayai merupakan dasar dari seluruh pemikiran aliran tersebut. Dasar ini disebut sebagai pandangan atau konsepsi dunia (world view atau world conception).
Semua agama, ajaran, aliran dan filsafat sosial bertumpu pada suatu bentuk pandangan dunia yang merupakan asas dari pola pemikiran.[53] Semua tujuan yang diajukan suatu mazhab pemikiran, cara-cara dan metode-metode yang dilahirkannya merupakan bagian dari pandangan dunia yang dianutnya. Pada gilirannya, Muthahhari berkeyakinan bahwa pandangan dunia suatu kelompok manusia ditentukan oleh filsafat yang dominan dalam kelompok itu. Dengan kata lain yang menentukan ideologi adalah pandangan dunia filosofis.
Bagi Muthahhari meski epistemologi telah dirintis pada abad-abad yang lalu termasuk juga dalam filsafat Islam, namun sebagian besar persoalan yang menyangkut masalah ini dipaparkan secara terpisah-pisah dalam berbagai pembahasan. Dahulu sedikit banyak orang telah memahami pentingnya epistemologi, tetapi pada zaman ini segala hal yang terkait dengan pandangan dunia berpangkal pada masalah ini (epistemologi).
Dalam konteks ini, Muthahhari menyadari benar peran epistemologi, sebagai akar dari setiap metodologi dalam menentukan ideologi. Sebab ideologi tidak akan pernah mantap selama pandangan dunia (world view atau world conception) tidak terarah dan pandangan dunia tidak akan pernah terarah apabila epistemologi tidak jelas. Maka atas dasar inilah, mutlak kiranya untuk merumuskan prinsip-prinsip epistemologi sebagaimana yang ditawarkan Muthahhari sebagai sebuah landasan pokok dalam setiap metodologi, sehingga mampu melahirkan konsep yang dapat menetralisir kekacauan pengetahuan umat manusia saat ini.
Geneologi Pemikirannya
Pertama kali Muthahhari belajar filsafat dan ilmu rasional di bawah bimbingan Mirza Mehdi ,Syahidi Razawi, setelah guru pembimbingnya itu wafat., Muthahhari meninggalkan hauzah masyahad dan berhijjrah ke Qum untuk memperdalam ilmu di hauzah kota suci itu. Di Qum inilah dia berkenalan dengan ulamah tahbathabai dan kemudian juga, ayatullah ruhullah komeini, kedua tokoh yang di kenal sebagai ahli filsafat dan irfan ( tasawuf ).
Perhatian besar dan hubungan dekat mencirikan hubungan Mutahhari dengan guru utamannya yaitu imam Khomeini di Qum. Ketika muthahhari tiba di Qum, sang imam adalah pengajar ( Mudarris ) muda yang menonjol karena kedalaman dan keluasan wawasan keislamannya dan kemampuan menyampaikan kepada orang lain. Sehingga Muthahhari sendiri bercerita betapa pelajaran-pelajaran irfan dari ayatullah Khomeini telah meninggalkan bekas yang amat kuat dalam hatinya. Pelajaran-pelajaran yang diberikan gurunya ini bahkan masih terngiang-ngiang ditelinganya hingga beberapa hari setelah ia mendengarkannya untuk pertama kalinya selain pada imam Khomeini, Muthahhari memperdalam filsafat dan irfan. Ia pun belajar filsafat dan irfan pada seorang guru besar di masanya. Yakni allamah thabatthaba’i. dia juga amat dalam dipengaruhi oleh pelajaran-pelajaran mengenai Nahj al- balaghah (kumpulan wacana, pidato, surah-surah, dan kata-kata bijak khalifah keempat dan imam pertama dalam mazhab syia’ah, Ali bin abi thalib.[54]
Untuk lebih mengenal latar belakang intelektual Muthahhari, maka terasa perlu mengenal sedikit lebih jauh sumber-sumber pengaruh atas tokoh tersebut. Ayatullah ruhullah khomein, yang di kenal sebagai seorang fagih dan pemimpin revolusi, sesungguhnya adalah seorang peminat irfan sejak masa mudanya. Meski sesungguhnya minat ayatullah Khomeini meluas sehingga khehikmah ( filsafat mistikal ) Mullah Shadra, dia sudah mulai dikenal sebagai ahli irfan bahkan sejak umurnya sebelum genap 30 tahun. Ketika memberi pelajaran irfan kepada Muthahhari itu, usianya belum lagi lebih dari 27 tahun. Diantara salah satu karya awalnya, yang di tulisnya ketika umur 26 tahun adalah komentar ( syarh ) atas doa al-sahar dari imam Muhammad al-baqir. Tiga tahun kemudian ia menerbitkan mishbah al-hidayah, sebuah ulasan ringkas tapi mendalam tentang khakikat Nabi Saw dan para imam. Sebelum usianya mencapai 40 tahun, tepatnya 37 tahun, Khomeini muda ini menyelesaikan sebuah catatan-pinggir ( hamisy atau glossarium ) atas komentar Daud Qaysari atas fushush al- hikamnya Ibnu ‘arabi dan mishbah a-Uns-nya shadruddin al-Qunawi ( anak angkat dan murid Ibnu ‘Arabi ). Allamah thabathaba’i adalah juga guru Khomeini. Minatnya amat murid dengan muridnya itu-filsafat dan iran. Namun, meskipun banyak berbicara tentang irfan. Sejauh mendorong minat tokoh-tokoh seperti Husayn Nasr, Henry Corbin, dan Tostihiko Izutsu untuk rajin menyambangi pengajian-pengajiannya. Thabathaba’i dikenal dengan beberapa karya filosofinya penting,termasuk bidayah al-hikmah dan nihayah al-hikmah, serta Usus-e falsafeh wa rawisy-e Realism ( Dasar-dasar filsafat dan mazhab Realisme ) yang diberi catatan kaki amat ekstensif oleh Muthahhari. Belakangan dia amat dikenal dengan mognum-opusnya dibidang tafsir al – Qur’an dengan karya 20 jilidnya berjudul al-mizan fi tafsir al- Qur’an. Meski berlandaskan pada penafsiran al- Qur’an dengan al- Qur’an, karya ini takbisa sama sekali lepas dari kecendrungan filosofinya yang mengambil bentuk penjelasan filosofinya bagi setiap kelompok ayat yang diulasnya.[55] Akhirnya diantara guru yang berpengaruh pada Muthahhari di Qum adalah mufassir besar al- Qur’an dan filosof, ayatullah Sayyid Muhammad Husein thabathabai, muthahhari mengikuti kuliah-kuliah thabathaba’i mengenal Asy- Syifa’nya ibnu Sina dari tahun 1950-1953, maupun pertemuan-pertemuan kamis malam dibawah bimbingannya.[56]
Mengenai Nahj al-Balagha, selain di kenal merupakan suatu model ketinggian sastra arab, seperti antara lain diungkapkan oleh syaikh Muhammad ‘Abduh, kitab ini berisi banyak ungkapan-ungkapan teologis, filosofis, dan mistis yang amat Sophisticated. Dari kitap ini (disamping ucapan-ucapan para imam lain) kaum syi’ah menggali banyak dasar-dasar filsafat dan irfan. Inkorporasi Nahj al- Balaghah kedalam system filsafat islam yang berkembang di iran diketahui mencapai puncaknya pada aliran hikmah mullah shadra. Untuk sekedar mengetahui isinya, khususnya yang menarik minat muthahhari, berikut ini adalah topik-topik yang terutama dibahas kitap ini muthahhari dalam karyanya yang berjudul Sayr-e dar Nahul Balagha (pelancangan dalam Nahj al- Nalagha). Teologi dan metafisika, suluk (tashawuf ) dan ibadah, kuliah-kuliah mengenai akhlak, serta dunia dan keduniaan (dalam hubunganya dengan sikap seseorang arif dan sufi terhadapnya ).
Dari kesemuanya diatas itulah yang membentuk dasar karakter pola pikir Muthahhari menjadi seorang pemikir syi’i yang dapat memadukan antara filsafat dan agama serta menanggapi setiap persoalan secara rasionalitas dan pendekata filosofis, sebagaimana di dalam syar dan Nahj al- Balagha, misalnya muthahhari membantah pernyataan sebagian pengamat yang menyatakan bahwa rasionalisme dan kecendrungan kepada filsafat lebih merupakan Ingredient ke – persi- an ketimbang ke-Islam-an. Dia menunjukkan bahwa semuanya itu berada dijantung ajaran islam, sebagai mana ditunjukkan oleh al – Qur’an, hadits Nabi dan ajaran para imam.
[2]Amroen Drajat, Suhrawardi (Kritik Filsafat Paripatetik) (Cet. I; Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 1.
[3] Murtadha Muthahhari, Falsafah Pergerakan Islam (Cet; I Jakarta: Amanah Press, 1988) h. 96
[4]Idem , Asynaa’i Baa Qur’an. Ditrj, oleh Muhammad Jawad Bafagih, Pelajaran-Pelajaran Penting dari Al-Qur’an (cet; II Jakarta: Lentera, 2002) h.271
[5]Bambang Q-Anees, Radea Juli A. Hambali, Filsafat untuk Umum (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2003), h. 199.
[6]Muhammad Baqir Ash-Shadr, Fisalfatuna. Diterj oleh M. Nur Mufid bin Ali, Falsafatuna; Pandangan Muhammad Baqir Ash-Shadr terhadap pelbagai Aliran Filsafat Dunia (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1998), h. 25.
[7]Jujun S. Suria Sumantri, Ilmu dalam Perspektif (Cet. XV; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), h. 2.
[8]Conny Setiawan, Th..I Setiawan Yufiarti, Panorama Filsafat Ilmu (Cet. I; Jakarta: Teraju, 2005), h. 114-115.
[9]Ibid.
[10]Amroen Drajat, Suhrawardi …, op.cit., h. 2.
[11]Muhammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Cet. III; Jakarta: Tinta Mas, 1986), h. 3.
[12]Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis (Cet. III; Bandung: Mizan, 2002), h. 1.
[13]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra (Cet. II; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003), h. 1
[14]Relativisme adalah ajaran bahwa tidak ada hal-hal absolute, dalam penerapan epistemologinya, ajaran ini menyatakan bahwa semua kebenaran relative. Ajran ini dianut oleh Protagoras, Pyrrho, dan pengikut-pengikutnya. Lihat, Logens Bagus, Kamus Filsafat (Cet; III Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2002) h. 949
[15]Bambang Q-Anees, Radea Juli A. Hambali, op.cit., h. 150-151.
[16]Ibid., h. 151-152.
[17]Ibid.
[18]Muhammad Hatta, op.cit., h. 75.
[19]Ibid.
[20]Asmoro Achmadi, Filsafat Umum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 50.
[21]Rizal Mustansyi dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu (Cet. VI; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 63.
[22]Ibid., h. 17.
[23]Ibid.
[24]Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat (Cet. XII; Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 19.
[25]Hardono Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan (Cet. XI; Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 13.
[26]Ahmad Tafsir, op.cit., h. 3.
[27] Skolastik (dari istilah latin scholasticus, yang berarti murid) sejumlah aliran filsafat dan teologi di Eropa Barat antara abad ke-12 dan15. Pada umumnya berpangkal pada filsafat Aristoteles, mencari sintesis antara akal budi manusia dan wahyu ilahi, tetapi sekaligus membedakan antara ilmu dan iman kepercayaan. Lihat, Dick Hardoko, Kamus Populer Filsafat (cet; III Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002) h. 88
[28]Abd. Rahman Musa, dkk., Diktat Filsafat (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1991), h. 30.
[29]Ibid., h. 54.
[30]Ahmad Tafsir, op.cit., h. 3.
[31]Harun Nasution, Falsafah dan Mistisime dalam Islam (Cet. X; Jakarta: Bulan Bintang, 1999), h. 37.
[32]Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu; Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h. 83.
[33] Muhsin Labib, Para Filosof; Sebelum dan Sesudah Mullah Shadra (Cet. I; Jakarta: Al-Huda, 2005), h. 35.
[34]Nurcholish Madjid, Khasanah Intelektual Islam (Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 30.
[35]Ibid., h. 32-33
[36]Ibid.
[37]Harun Nasution¸ Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 2002), h. 51.
[38]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 159.
[39]Ibid., h. 227-228.
[40]Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme…, op.cit., h. 43.
[41]Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan (Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 179.
[42]Ibid., h. 179-180.
[43]Ibid., h. 186.
[44]Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam (Cet. I; Bandung: Mizan, 2005), h. 98.
[45]Muhsin Labib, Para Filosof, op.cit., h. 56.
[46]Miska Muhammad Amin, Epistemologi Islam (Jakarta: UI Press, 2006), h. 45.
[47]Ibid., h. 49.
[48]Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme …, h. 36.
[49]Ibid., h. 37.
[50]Harun Nasution, Islam Ditinjau .., h. 55.
[51]Haidar Baqir, Membincang Metodologi Ayatullah Muratadha Muthahhari (Makalah dalam Seminar Pascasarjana UGM, 2004).
[52]Murtadha Muthahhari, Mas’ale-ye Syenokh .Diterj, oleh M.J. Bafqih, Mengenal Epistemologi (Cet. I; Jakarta: Lentera, 2001), h. 22.
[53]Idem, Syesy Maqoleh. Diterj, oleh M.J. Bafqih, Kumpulan Artikel Pilihan (Cet. I; Jakarta: Lentera, 2003), h. 226.
[54] Haidar Bagir, Membincang Metodologi…, h.2
[55] Ibid
[56] Hamid Algar, Hidup dan Karya Murtadha Muthahhar. Pengantar untuk buku Murtadha Muthahhari Introduction to Irfan. Diterj, C. Ramli Bihar dengan judul Mengenal Irfan Meniti Makam-Makam Kearifan (cet. I; Jakarta: Iman dan Hikmah, 2002)
No comments:
Post a Comment