Sejarah masuknya agama Kristen ke Indonesia tidak terlepas dari sejarah perbenturan antara dunia Islam dan dunia Barat sejak abad pertengahan. Selanjutnya,
dengan kemajuan bidang militer dan kemaritiman bangsa-bangsa Barat, sejarah pelayaran dan kolonisasi akhirnya dimulai. Beberapa peristiwa penting yang lekat dalam ingatan yang melatar-belakangi hal ini antara lain:
(1) Konsili Clermont tahun 1095 M dimana Paus Urbanus II mendeklarasikan Perang Salib melawan dunia Islam;
(2) Konstantinopel, pusat imperium Bizantium, direbut Sultan Muhammad II tahun 1453 M;
(3) Bulla Paus berjudul Romanus Pontifex tertanggal 8 Januari 1455 M yang berisi pernyataan menghadiahkan Afrika untuk dikristenkan oleh Portugis;
(4) Kota Granada lepas dari kekuasaan Islam tahun 1492 M;
(5) Bulla Paus berjudul Inter Caetera Divinae tahun 1493 M membagi dunia menjadi dua bagian, masing-masing untuk Portugis dan Spanyol;
(6) Perjanjian Tordesillas tanggal 7 Juni 1494 M, menguatkan Bulla Paus tahun 1493 M, memberi hak istimewa kepada dua bangsa tersebut untuk melakukan conquistadores (penaklukan).
Ismatu Ropi menyebutkan adanya 3 (tiga) fase masuknya Kristen ke Indonesia yang kesemuanya tidak dapat dilepaskan dari sejarah kemaritiman di tanah air dan dunia pada umumnya: Pertama, melalui kiprah Gereja Timur Nestorian yang ditengarai sempat muncul di Sibolga Sumatera Utara sekitar abad ke-16. Kedua, masuknya Katholik Roma melalui jasa ordo Jesuit di bawah payung organisasi Society of Jesus dan ordo Dominikan yang turut hadir bersama armada Portugis. Ketiga adalah Kristen Protestan yang muncul bersamaan dengan armada pelayaran Belanda.
Portugis pertama kali singgah di Malaka tahun 1509 M setelah sebelumnya menaklukkan kerajaan Goa di India. Ini berarti Portugis hadir di Indonesia hampir satu dekade setelah Raden Patah mendirikan kerajaan Islam Demak di pulau Jawa. Tahun 1511 M Malaka sudah dapat dikuasai oleh Portugis di bawah Afonso de Albuquerqe (1459-1515 M). Dua tahun kemudian, Pati Unus putra Raden Patah memimpin armada menyerang kekuasaan Portugis di Malaka, tetapi berakhir dengan kegagalan. Berikutnya Portugis bergerak untuk menguasai daerah rempah-rempah yang berpusat di Maluku (berasal dari istilah bahasa Arab: Jazirat al-Mulk, yakni kepulauan raja-raja). Di daerah ini khususnya Ambon, melalui peran ordo Jesuit hingga tahun 1560 M, tercatat ada sekitar 10.000 orang yang memeluk Katholik dan bertambah menjadi 50.000 hingga 60.000 pada tahun 1590 M. Sementara ordo Dominikan mampu mengkristenkan sekitar 25.000 orang di kepulauan Solor.
Sementara kerajaan Belanda yang karena situasi politik dan perekonomian negaranya terdorong untuk melakukan pelayaran sendiri mencari sumber rempah-rempah di dunia Timur. Tercatat bahwa Belanda muncul pertama kali di Banten sekitar tahun 1596 M. Selanjutnya, tahun 1602 M kongsi dagang VOC mereka dirikan. Kekuasaan bangsa Belanda di Indonesia (mereka menyebutnya Hindia Belanda) bertahan sampai akhirnya bangsa Jepang memaksanya menyerah pada tahun 1942 M. Demi stabilitas dan kelanggengan kekuasaannya, pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam politiknya dikenal berupaya untuk berlaku netral atau menjaga jarak yang sama dengan agama-agama yang ada. Tetapi, kesan bahwa Pemerintah Hindia Belanda pun mengemban misi kristenisasi (zending) memang tak sepenuhnya dapat dieliminasi dari wacana umum karena dalam sejarahnya ada fakta-fakta yang menunjukkan korelasi di antara keduanya. Sebagai misal apa yang ditulis oleh O. Hashem tentang sambutan Alexander W.F. Idenburg yang kelak diangkat sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda. Idenburg sempat mengemukakan bahwa satu-satunya jalan untuk melanjutkan penjajahan adalah pengkristenan.
Pada konteks ini perlu kiranya memahami bagaimana konstruk perseptual umat nasrani yang dating ke Indonesia (yang ketika itu masyarakatnya telah banyak menjadi muslim) terhadap Islam dan pemeluknya. Karel Steenbrink mengemukakan bahwa konstruk ini dapat dibedakan kedalam 4 (empat) model, yaitu:
(1) Islam dipandang sebagai ajaran bid’ah dengan disertai adanya perasaan keingintahuan terhadapnya (respected heretics);
(2) Islam dilihat sebagai benar-benar ajaran kesesatan yang nyata (detestable heretics);
(3) Islam ditempatkan sebagai musuh alamiah dari dunia Kristen (natural enemy of Christians);
(4) Islam dianggap sebagai bagian dari komunitas terbelakang (the members of a backward religion) yang perlu dibimbing dan dididik oleh bangsa Barat.
Sebaliknya, sikap perseptual kaum muslim terhadap orang-orang Kristen pada masa awal kolonialisme tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama, bersifat pragmatis. Dalam artian lebih didorong atas penilaian perilaku aktual yang umum ditunjukkan oleh kaum asing Barat tersebut yang disifati sebagai untrustworthy allies (pihak yang sukar dipercaya). Sehingga muncul ungkapan yang menunjukkan sifat keserakahan mereka, seperti “you give the one inch, they take an ell” (seperti ungkapan Jawa: diwenwhi ati ngrogo rempelo). Bahwa Sultan Ageng Tirtayasa dengan kegeramannya pernah menyebut mereka sebagai racun budaya (cultural poison). Kedua, bersifat politis, dengan dibangunnya konsep-konsep pemikiran yang mendemarkasi antara kaum muslim dan tokoh-tokoh penguasa muslim lokalnya dengan “londo kapir” dari negeri asing. Konsep-konsep darul-Islam dan darul-harb kembali menjadi akrab didengungkan untuk meneguhkan keyakinan dan spirit juang bahwa negeri Islam tengah diserang oleh bangsa asing.
dengan kemajuan bidang militer dan kemaritiman bangsa-bangsa Barat, sejarah pelayaran dan kolonisasi akhirnya dimulai. Beberapa peristiwa penting yang lekat dalam ingatan yang melatar-belakangi hal ini antara lain:
(1) Konsili Clermont tahun 1095 M dimana Paus Urbanus II mendeklarasikan Perang Salib melawan dunia Islam;
(2) Konstantinopel, pusat imperium Bizantium, direbut Sultan Muhammad II tahun 1453 M;
(3) Bulla Paus berjudul Romanus Pontifex tertanggal 8 Januari 1455 M yang berisi pernyataan menghadiahkan Afrika untuk dikristenkan oleh Portugis;
(4) Kota Granada lepas dari kekuasaan Islam tahun 1492 M;
(5) Bulla Paus berjudul Inter Caetera Divinae tahun 1493 M membagi dunia menjadi dua bagian, masing-masing untuk Portugis dan Spanyol;
(6) Perjanjian Tordesillas tanggal 7 Juni 1494 M, menguatkan Bulla Paus tahun 1493 M, memberi hak istimewa kepada dua bangsa tersebut untuk melakukan conquistadores (penaklukan).
Ismatu Ropi menyebutkan adanya 3 (tiga) fase masuknya Kristen ke Indonesia yang kesemuanya tidak dapat dilepaskan dari sejarah kemaritiman di tanah air dan dunia pada umumnya: Pertama, melalui kiprah Gereja Timur Nestorian yang ditengarai sempat muncul di Sibolga Sumatera Utara sekitar abad ke-16. Kedua, masuknya Katholik Roma melalui jasa ordo Jesuit di bawah payung organisasi Society of Jesus dan ordo Dominikan yang turut hadir bersama armada Portugis. Ketiga adalah Kristen Protestan yang muncul bersamaan dengan armada pelayaran Belanda.
Portugis pertama kali singgah di Malaka tahun 1509 M setelah sebelumnya menaklukkan kerajaan Goa di India. Ini berarti Portugis hadir di Indonesia hampir satu dekade setelah Raden Patah mendirikan kerajaan Islam Demak di pulau Jawa. Tahun 1511 M Malaka sudah dapat dikuasai oleh Portugis di bawah Afonso de Albuquerqe (1459-1515 M). Dua tahun kemudian, Pati Unus putra Raden Patah memimpin armada menyerang kekuasaan Portugis di Malaka, tetapi berakhir dengan kegagalan. Berikutnya Portugis bergerak untuk menguasai daerah rempah-rempah yang berpusat di Maluku (berasal dari istilah bahasa Arab: Jazirat al-Mulk, yakni kepulauan raja-raja). Di daerah ini khususnya Ambon, melalui peran ordo Jesuit hingga tahun 1560 M, tercatat ada sekitar 10.000 orang yang memeluk Katholik dan bertambah menjadi 50.000 hingga 60.000 pada tahun 1590 M. Sementara ordo Dominikan mampu mengkristenkan sekitar 25.000 orang di kepulauan Solor.
Sementara kerajaan Belanda yang karena situasi politik dan perekonomian negaranya terdorong untuk melakukan pelayaran sendiri mencari sumber rempah-rempah di dunia Timur. Tercatat bahwa Belanda muncul pertama kali di Banten sekitar tahun 1596 M. Selanjutnya, tahun 1602 M kongsi dagang VOC mereka dirikan. Kekuasaan bangsa Belanda di Indonesia (mereka menyebutnya Hindia Belanda) bertahan sampai akhirnya bangsa Jepang memaksanya menyerah pada tahun 1942 M. Demi stabilitas dan kelanggengan kekuasaannya, pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam politiknya dikenal berupaya untuk berlaku netral atau menjaga jarak yang sama dengan agama-agama yang ada. Tetapi, kesan bahwa Pemerintah Hindia Belanda pun mengemban misi kristenisasi (zending) memang tak sepenuhnya dapat dieliminasi dari wacana umum karena dalam sejarahnya ada fakta-fakta yang menunjukkan korelasi di antara keduanya. Sebagai misal apa yang ditulis oleh O. Hashem tentang sambutan Alexander W.F. Idenburg yang kelak diangkat sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda. Idenburg sempat mengemukakan bahwa satu-satunya jalan untuk melanjutkan penjajahan adalah pengkristenan.
Pada konteks ini perlu kiranya memahami bagaimana konstruk perseptual umat nasrani yang dating ke Indonesia (yang ketika itu masyarakatnya telah banyak menjadi muslim) terhadap Islam dan pemeluknya. Karel Steenbrink mengemukakan bahwa konstruk ini dapat dibedakan kedalam 4 (empat) model, yaitu:
(1) Islam dipandang sebagai ajaran bid’ah dengan disertai adanya perasaan keingintahuan terhadapnya (respected heretics);
(2) Islam dilihat sebagai benar-benar ajaran kesesatan yang nyata (detestable heretics);
(3) Islam ditempatkan sebagai musuh alamiah dari dunia Kristen (natural enemy of Christians);
(4) Islam dianggap sebagai bagian dari komunitas terbelakang (the members of a backward religion) yang perlu dibimbing dan dididik oleh bangsa Barat.
Sebaliknya, sikap perseptual kaum muslim terhadap orang-orang Kristen pada masa awal kolonialisme tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama, bersifat pragmatis. Dalam artian lebih didorong atas penilaian perilaku aktual yang umum ditunjukkan oleh kaum asing Barat tersebut yang disifati sebagai untrustworthy allies (pihak yang sukar dipercaya). Sehingga muncul ungkapan yang menunjukkan sifat keserakahan mereka, seperti “you give the one inch, they take an ell” (seperti ungkapan Jawa: diwenwhi ati ngrogo rempelo). Bahwa Sultan Ageng Tirtayasa dengan kegeramannya pernah menyebut mereka sebagai racun budaya (cultural poison). Kedua, bersifat politis, dengan dibangunnya konsep-konsep pemikiran yang mendemarkasi antara kaum muslim dan tokoh-tokoh penguasa muslim lokalnya dengan “londo kapir” dari negeri asing. Konsep-konsep darul-Islam dan darul-harb kembali menjadi akrab didengungkan untuk meneguhkan keyakinan dan spirit juang bahwa negeri Islam tengah diserang oleh bangsa asing.
No comments:
Post a Comment