Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
“Dalil ‘aqli (akal) yang benar akan sesuai dengan dalil naqli/nash yang shahih.”
Kata ‘Aql dalam bahasa Arab mempunyai beberapa arti [1], di antaranya: Ad-diyah (denda), al-hikmah (kebijakan), husnut tasharruf (tindakan yang baik atau tepat). Secara terminologi, ‘aql (selanjutnya ditulis akal) digunakan untuk dua pengertian:
[1]. Aksioma-aksioma rasional dan pengetahuan-pengetahuan dasar yang ada pada setiap manusia.
[2]. Kesiapan bawaan yang bersifat instinktif dan kemampuan yang matang.
Akal merupakan ‘ardh atau bagian dari indera yang ada dalam diri manusia yang bisa ada dan bisa hilang. Sifat ini dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam salah satu sabdanya:
"Artinya : ...dan termasuk orang gila sampai ia kembali berakal.”[2]
Akal adalah insting yang diciptakan Allah Subahnahu wa Ta'ala kemudian diberi muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah aktivitas pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia yang telah dimuliakan Allah Azza wa Jalla.
Firman-Nya:
"Artinya : Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan.” [Al-Israa’: 70]
Syari’at Islam memberikan nilai dan urgensi yang amat tinggi terhadap akal manusia. Dan itu dapat dilihat pada beberapa point berikut:
Pertama [3]:
Allah hanya menyampaikan kalam-Nya kepada orang yang berakal, karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syariat-Nya.
Allah Subahanahu wa Ta'ala berfirman:
"Artinya :...Dan merupakan peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal." [Shaad: 43]
Kedua [4] :
Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk dapat menerima taklif (beban kewajiban) dari Allah Azza wa Jalla. Hukum-hukum syari’at tidak berlaku bagi mereka yang tidak menerima taklif. Dan di antara yang tidak menerima taklif itu adalah orang gila karena kehilangan akalnya.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Artinya : Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan; orang yang tidur sampai bangun, anak kecil sampai bermimpi, orang gila sampai ia kembali sadar (berakal)."[5]
Ketiga [6].
Allah Azza wa Jalla mencela orang yang tidak menggunakan akalnya. Misalnya celaan Allah terhadap ahli Neraka yang tidak menggunakan akalnya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Artinya : Dan mereka berkata: ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memi-kirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni Neraka yang menyala-nyala." [Al-Mulk: 10]
Keempat [7].
Penyebutan begitu banyak proses dan anjuran berfikir dalam al-Qur-an, seperti tadabbur, tafakkur, ta-aqqul dan lainnya. Maka kalimat seperti “la’allakum tatafakkaruun” (mudah-mudahan kamu berfikir), atau “afalaa ta’qiluun” (apakah kamu tidak berakal), atau “afalaa yatadabbaruuna al-Qur'ana” (apakah mereka tidak mentadabburi/merenungi isi kandungan al-Qur'an) dan lainnya.
Kelima.
Islam mencela taqlid yang membatasi dan melumpuhkan fungsi dan kerja akal.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Artinya : Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab: ‘Tidak! Tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami. (Apakah mereka akan mengikutinya juga) walau-pun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk? "[Al-Baqarah: 170]
Perbedaan antara taqlid dan ittiba’ adalah sebagaimana telah dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, “Ittiba’ adalah sese-orang mengikuti apa-apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” [8]
Ibnu ‘Abdil Barr (wafat th. 463 H) dalam kitabnya, Jaami’ul Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi [9] menerangkan perbedaan antara ittiba’ (mengikuti) dan taqlid yaitu terletak pada adanya dalil-dalil qath’i yang jelas. Bahwa ittiba’ yaitu penerimaan riwayat berdasarkan diterimanya hujjah sedangkan taqlid adalah penerimaan yang ber-dasarkan pemikiran logika semata.
Berkata Ibnu Khuwaiz Mindad al-Maliki (namanya adalah Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdillah, wafat th. 390 H) : “Makna taqlid secara syar’i adalah merujuk kepada perkataan yang tidak ada hujjah/dalil atas orang yang mengatakannya. Dan makna ittiba’ yaitu mengikuti apa-apa yang berdasarkan atas hujjah/dalil yang tetap. Ittiba’ diperkenankan dalam agama, namun taqlid dilarang.” [10]
Jadi definisi taqlid adalah menerima pendapat orang lain tanpa dilandasi dalil.[11]
Keenam [12]
Islam memuji orang-orang yang menggunakan akalnya dalam memahami dan mengikuti kebenaran.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Artinya : ..Sebab itu sampaikanlah berita (gembira) itu kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal." [Az-Zumar: 17-18]
Ketujuh.
Pembatasan wilayah kerja akal dan pikiran manusia sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.
"Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “Ruh itu adalah urusan Rabb-ku. Dan tiadalah kalian diberi ilmu melainkan sedikit." [Al-Israa’: 85]
Firman Allah Azza wa Jalla :
"Artinya : Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka, sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya." [Thaahaa: 110]
Ulama Salaf (Ahlus Sunnah) senantiasa mendahulukan naql (wahyu) atas ‘aql (akal). Naql adalah dalil-dalil syar’i yang tertuang dalam al-Qur-an dan as-Sunnah. Sedangkan yang dimaksud dengan akal ialah, dalil-dalil ‘aqli yang dibuat oleh para ulama ilmu kalam dan mereka jadikan sebagai agama yang menundukkan/mengalahkan dalil-dalil syar’i.
Mendahulukan dalil naqli atas dalil akal bukan berarti Ahlus Sunnah tidak menggunakan akal. Tetapi maksudnya adalah dalam menetapkan ‘aqidah mereka tidak menempuh cara seperti yang ditempuh para ahli kalam yang menggunakan rasio semata untuk memahami masalah-masalah yang sebenarnya tidak dapat dijangkau oleh akal dan menolak dalil naqli (dalil syar’i) yang bertentangan dengan akal mereka atau rasio mereka.
Imam Abul Muzhaffar as-Sam’ani Rahimahullah (wafat th. 489 H) [13] berkata: “Ketahuilah, bahwa madzhab Ahlus Sunnah mengatakan bahwa akal tidak mewajibkan sesuatu bagi seseorang dan tidak melarang sesuatu darinya, serta tidak ada hak baginya untuk meng-halalkan atau mengharamkan sesuatu, sebagaimana juga tidak ada wewenang baginya untuk menilai ini baik atau buruk. Seandainya tidak datang kepada kita wahyu, maka tidak ada bagi seseorang suatu kewajiban agama pun dan tidak ada pula yang namanya pahala dan dosa.”
Secara ringkas pandangan Ahlus Sunnah tentang penggunaan akal, di antaranya sebagai berikut :[14]
[1]. Syari’at didahulukan atas akal, karena syari’at itu ma’shum sedang akal tidak ma’shum.
[2]. Akal mempunyai kemampuan mengenal dan memahami yang bersifat global, tidak bersifat detail.
[3]. Apa yang benar dari hukum-hukum akal pasti tidak bertentangan dengan syari’at.
[4]. Apa yang salah dari pemikiran akal adalah apa yang berten-tangan dengan syari’at.
[5]. Penentuan hukum-hukum tafshiliyah (terinci seperti wajib, haram dan seterusnya) adalah hak prerogatif syariat.
[6]. Akal tidak dapat menentukan hukum tertentu atas sesuatu sebelum datangnya wahyu, walaupun secara umum ia dapat mengenal dan memahami yang baik dan buruk.
[7]. Balasan atas pahala dan dosa ditentukan oleh syari’at.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
"Artinya : Kami tidak akan meng‘adzab sehingga Kami mengutus seorang Rasul." [Al-Israa’: 15]
[8]. Janji Surga dan ancaman Neraka sepenuhnya ditentukan oleh syari’at.
[9]. Tidak ada kewajiban tertentu terhadap Allah Azza wa Jalla yang diten-tukan oleh akal kita kepada-Nya. Karena Allah mengatakan tentang diri-Nya:
"Artinya :Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya" [Al-Buruuj: 16]
Dari sini dapat dikatakan bahwa keyakinan Ahlus Sunnah adalah yang benar dalam masalah penggunaan akal sebagai dalil. Jadi, akal dapat dijadikan dalil jika sesuai dengan al-Qur'an dan as-Sunnah atau tidak bertentangan dengan keduanya. Dan jika ia bertentangan dengan keduanya, maka ia dianggap bertentangan dengan sumber dan dasarnya. Dan keruntuhan pondasi berarti juga keruntuhan bangunan yang ada di atasnya. Sehingga akal tidak lagi menjadi hujjah (argumen, alasan) namun berubah men-jadi dalil yang bathil.[15]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal. 40).
[2]. HR. Abu Dawud (no. 4403), Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 3703) dan Irwaa-ul Ghaliil (II/5-6).
[3]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal. 40).
[4]. Ibid, hal. 40.
[5]. HR. Abu Dawud (no. 4403), Shahiih Sunan Abi Dawud (III/832 no. 3703).
[6]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 41).
[7]. Ibid, hal. 41.
[8]. Lihat Taarikh Ahlil Hadits Ta’yiin al-Firqah an-Najiyah wa Annaha Tha-ifah Ahlil Hadits oleh Syaikh Ahmad bin Muhammad ad-Dahlawi al-Madani, tahqiq oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halaby hal. 116.
[9]. Ibid, hal. 116.
[10]. Ibid, hal. 117 dan Jaami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, tahqiq Abu Asybal az-Zuhairi (II/993).
[11]. Lihat Manhaj Imam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/121) karya Dr. Muhammad bin ‘Abdil Wahhab al-‘Aqiil.
[12]. Lihat al-Madkhal (hal. 41).
[13]. Beliau adalah Abu Muzhaffar Manshuur bin Muhammad bin ‘Abdil Jabbar as-Sam’ani at-Taimi seorang ahli fikih, imam yang masyhur, beliau memiliki kitab-kitab tentang fikih dan ushul fikih serta hadits. Lihat al-Hujjah fi Bayyan al-Mahajjah (I/314) oleh Imam al-Ashbahani, tahqiq Muhammad bin Rabi’ bin Hadi ‘Amir al-Madkhaly. Cet. Daar ar-Raayah, 1411 H
[14]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 45).
[15]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah. hal. 46.
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
“Dalil ‘aqli (akal) yang benar akan sesuai dengan dalil naqli/nash yang shahih.”
Kata ‘Aql dalam bahasa Arab mempunyai beberapa arti [1], di antaranya: Ad-diyah (denda), al-hikmah (kebijakan), husnut tasharruf (tindakan yang baik atau tepat). Secara terminologi, ‘aql (selanjutnya ditulis akal) digunakan untuk dua pengertian:
[1]. Aksioma-aksioma rasional dan pengetahuan-pengetahuan dasar yang ada pada setiap manusia.
[2]. Kesiapan bawaan yang bersifat instinktif dan kemampuan yang matang.
Akal merupakan ‘ardh atau bagian dari indera yang ada dalam diri manusia yang bisa ada dan bisa hilang. Sifat ini dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam salah satu sabdanya:
"Artinya : ...dan termasuk orang gila sampai ia kembali berakal.”[2]
Akal adalah insting yang diciptakan Allah Subahnahu wa Ta'ala kemudian diberi muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah aktivitas pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia yang telah dimuliakan Allah Azza wa Jalla.
Firman-Nya:
"Artinya : Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan.” [Al-Israa’: 70]
Syari’at Islam memberikan nilai dan urgensi yang amat tinggi terhadap akal manusia. Dan itu dapat dilihat pada beberapa point berikut:
Pertama [3]:
Allah hanya menyampaikan kalam-Nya kepada orang yang berakal, karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syariat-Nya.
Allah Subahanahu wa Ta'ala berfirman:
"Artinya :...Dan merupakan peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal." [Shaad: 43]
Kedua [4] :
Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk dapat menerima taklif (beban kewajiban) dari Allah Azza wa Jalla. Hukum-hukum syari’at tidak berlaku bagi mereka yang tidak menerima taklif. Dan di antara yang tidak menerima taklif itu adalah orang gila karena kehilangan akalnya.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Artinya : Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan; orang yang tidur sampai bangun, anak kecil sampai bermimpi, orang gila sampai ia kembali sadar (berakal)."[5]
Ketiga [6].
Allah Azza wa Jalla mencela orang yang tidak menggunakan akalnya. Misalnya celaan Allah terhadap ahli Neraka yang tidak menggunakan akalnya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Artinya : Dan mereka berkata: ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memi-kirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni Neraka yang menyala-nyala." [Al-Mulk: 10]
Keempat [7].
Penyebutan begitu banyak proses dan anjuran berfikir dalam al-Qur-an, seperti tadabbur, tafakkur, ta-aqqul dan lainnya. Maka kalimat seperti “la’allakum tatafakkaruun” (mudah-mudahan kamu berfikir), atau “afalaa ta’qiluun” (apakah kamu tidak berakal), atau “afalaa yatadabbaruuna al-Qur'ana” (apakah mereka tidak mentadabburi/merenungi isi kandungan al-Qur'an) dan lainnya.
Kelima.
Islam mencela taqlid yang membatasi dan melumpuhkan fungsi dan kerja akal.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Artinya : Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab: ‘Tidak! Tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami. (Apakah mereka akan mengikutinya juga) walau-pun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk? "[Al-Baqarah: 170]
Perbedaan antara taqlid dan ittiba’ adalah sebagaimana telah dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, “Ittiba’ adalah sese-orang mengikuti apa-apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” [8]
Ibnu ‘Abdil Barr (wafat th. 463 H) dalam kitabnya, Jaami’ul Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi [9] menerangkan perbedaan antara ittiba’ (mengikuti) dan taqlid yaitu terletak pada adanya dalil-dalil qath’i yang jelas. Bahwa ittiba’ yaitu penerimaan riwayat berdasarkan diterimanya hujjah sedangkan taqlid adalah penerimaan yang ber-dasarkan pemikiran logika semata.
Berkata Ibnu Khuwaiz Mindad al-Maliki (namanya adalah Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdillah, wafat th. 390 H) : “Makna taqlid secara syar’i adalah merujuk kepada perkataan yang tidak ada hujjah/dalil atas orang yang mengatakannya. Dan makna ittiba’ yaitu mengikuti apa-apa yang berdasarkan atas hujjah/dalil yang tetap. Ittiba’ diperkenankan dalam agama, namun taqlid dilarang.” [10]
Jadi definisi taqlid adalah menerima pendapat orang lain tanpa dilandasi dalil.[11]
Keenam [12]
Islam memuji orang-orang yang menggunakan akalnya dalam memahami dan mengikuti kebenaran.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Artinya : ..Sebab itu sampaikanlah berita (gembira) itu kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal." [Az-Zumar: 17-18]
Ketujuh.
Pembatasan wilayah kerja akal dan pikiran manusia sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.
"Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “Ruh itu adalah urusan Rabb-ku. Dan tiadalah kalian diberi ilmu melainkan sedikit." [Al-Israa’: 85]
Firman Allah Azza wa Jalla :
"Artinya : Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka, sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya." [Thaahaa: 110]
Ulama Salaf (Ahlus Sunnah) senantiasa mendahulukan naql (wahyu) atas ‘aql (akal). Naql adalah dalil-dalil syar’i yang tertuang dalam al-Qur-an dan as-Sunnah. Sedangkan yang dimaksud dengan akal ialah, dalil-dalil ‘aqli yang dibuat oleh para ulama ilmu kalam dan mereka jadikan sebagai agama yang menundukkan/mengalahkan dalil-dalil syar’i.
Mendahulukan dalil naqli atas dalil akal bukan berarti Ahlus Sunnah tidak menggunakan akal. Tetapi maksudnya adalah dalam menetapkan ‘aqidah mereka tidak menempuh cara seperti yang ditempuh para ahli kalam yang menggunakan rasio semata untuk memahami masalah-masalah yang sebenarnya tidak dapat dijangkau oleh akal dan menolak dalil naqli (dalil syar’i) yang bertentangan dengan akal mereka atau rasio mereka.
Imam Abul Muzhaffar as-Sam’ani Rahimahullah (wafat th. 489 H) [13] berkata: “Ketahuilah, bahwa madzhab Ahlus Sunnah mengatakan bahwa akal tidak mewajibkan sesuatu bagi seseorang dan tidak melarang sesuatu darinya, serta tidak ada hak baginya untuk meng-halalkan atau mengharamkan sesuatu, sebagaimana juga tidak ada wewenang baginya untuk menilai ini baik atau buruk. Seandainya tidak datang kepada kita wahyu, maka tidak ada bagi seseorang suatu kewajiban agama pun dan tidak ada pula yang namanya pahala dan dosa.”
Secara ringkas pandangan Ahlus Sunnah tentang penggunaan akal, di antaranya sebagai berikut :[14]
[1]. Syari’at didahulukan atas akal, karena syari’at itu ma’shum sedang akal tidak ma’shum.
[2]. Akal mempunyai kemampuan mengenal dan memahami yang bersifat global, tidak bersifat detail.
[3]. Apa yang benar dari hukum-hukum akal pasti tidak bertentangan dengan syari’at.
[4]. Apa yang salah dari pemikiran akal adalah apa yang berten-tangan dengan syari’at.
[5]. Penentuan hukum-hukum tafshiliyah (terinci seperti wajib, haram dan seterusnya) adalah hak prerogatif syariat.
[6]. Akal tidak dapat menentukan hukum tertentu atas sesuatu sebelum datangnya wahyu, walaupun secara umum ia dapat mengenal dan memahami yang baik dan buruk.
[7]. Balasan atas pahala dan dosa ditentukan oleh syari’at.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
"Artinya : Kami tidak akan meng‘adzab sehingga Kami mengutus seorang Rasul." [Al-Israa’: 15]
[8]. Janji Surga dan ancaman Neraka sepenuhnya ditentukan oleh syari’at.
[9]. Tidak ada kewajiban tertentu terhadap Allah Azza wa Jalla yang diten-tukan oleh akal kita kepada-Nya. Karena Allah mengatakan tentang diri-Nya:
"Artinya :Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya" [Al-Buruuj: 16]
Dari sini dapat dikatakan bahwa keyakinan Ahlus Sunnah adalah yang benar dalam masalah penggunaan akal sebagai dalil. Jadi, akal dapat dijadikan dalil jika sesuai dengan al-Qur'an dan as-Sunnah atau tidak bertentangan dengan keduanya. Dan jika ia bertentangan dengan keduanya, maka ia dianggap bertentangan dengan sumber dan dasarnya. Dan keruntuhan pondasi berarti juga keruntuhan bangunan yang ada di atasnya. Sehingga akal tidak lagi menjadi hujjah (argumen, alasan) namun berubah men-jadi dalil yang bathil.[15]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
_________
Foote Note
[1]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal. 40).
[2]. HR. Abu Dawud (no. 4403), Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 3703) dan Irwaa-ul Ghaliil (II/5-6).
[3]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal. 40).
[4]. Ibid, hal. 40.
[5]. HR. Abu Dawud (no. 4403), Shahiih Sunan Abi Dawud (III/832 no. 3703).
[6]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 41).
[7]. Ibid, hal. 41.
[8]. Lihat Taarikh Ahlil Hadits Ta’yiin al-Firqah an-Najiyah wa Annaha Tha-ifah Ahlil Hadits oleh Syaikh Ahmad bin Muhammad ad-Dahlawi al-Madani, tahqiq oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halaby hal. 116.
[9]. Ibid, hal. 116.
[10]. Ibid, hal. 117 dan Jaami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, tahqiq Abu Asybal az-Zuhairi (II/993).
[11]. Lihat Manhaj Imam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/121) karya Dr. Muhammad bin ‘Abdil Wahhab al-‘Aqiil.
[12]. Lihat al-Madkhal (hal. 41).
[13]. Beliau adalah Abu Muzhaffar Manshuur bin Muhammad bin ‘Abdil Jabbar as-Sam’ani at-Taimi seorang ahli fikih, imam yang masyhur, beliau memiliki kitab-kitab tentang fikih dan ushul fikih serta hadits. Lihat al-Hujjah fi Bayyan al-Mahajjah (I/314) oleh Imam al-Ashbahani, tahqiq Muhammad bin Rabi’ bin Hadi ‘Amir al-Madkhaly. Cet. Daar ar-Raayah, 1411 H
[14]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 45).
[15]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah. hal. 46.
No comments:
Post a Comment