Pengertian Istiqra’
Istiqra’ secara etimologi berarti pengikutsertan, terus-menerus (at-tatabu’). Dalam istilah populer, istiqra’ disebut juga dengan Induksi (kebalikan dari deduksi) yaitu sebuah metode pemikiran yang bertolak dari suatu kekhususan menuju pada yang umum, kadang-kadang juga bertolak dari yang kurang umum menuju pada yang lebih umum.
Dalam istilah ilmu hukum Islam, istiqra’ (induksi) adalah sebuah metode pengambilan kesimpulan umum yang dihasilkan oleh fakta-fakta khusus yang digunakan oleh ahli-ahli Fiqh untuk menetapkan suatu hukum, metode ini tertuang dalam Usul Fiqih dan Qowaid Al-Fiqhiyah yang pernah diapliasikan oleh Imam Asy-Syafi’i dalam menentukan waktu lamanya menstrusi bagi wanita.
Menurut ahli mantiq, istiqra’ adalah menarik kesimpulan umum berdasarkan karakterisik satuan-satuannya. Definisi yang serupa dikemukakan oleh Ibnu Sina (w. 428 H/1037 M) dengan menambahkan, jika kesimpulan itu disasarkan atas kesamaan karakteristik semua satuannya disebut Istiqra’ tamm (induksi sempurna) dan jika didasarkan atas kesamaan karakteristik mayoritas satuannya disebut Istiqra’ Masyhur atau Istiqra’ Naqis (induksi tidak sempurna).
Istiqra’ Tamm biasanya ditemukan dalam penelitian ilmu-ilmu kealamian yang karakteristik objek-objeknya yang diteliti bersifat konstan, sedangkan istiqra’ masyhur sering ditemukan dalam kajian ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu agama. Dalam ilmu agama, obyek kajiannya adalah al-Qur’an, hadis, dan pendapat para ulama’ yang memiliki otoritas. Adanya istilah istiqra’ masyhur ini didalam ilmu-ilmu sosial disebabkan karakteristik tingkah laku manusia dan pranata sosial tidak konstan, begitu pula makna (dilalah) ayat al-Qur’an dan hadis riwayat yang mendukung jarang disepakati kepastian maknanya. Karena itu, hanya dapat dilakukan dengan istiqra’ masyhur yang menghasilkan kesimpulan zanni (kemungkinan besar benar).
Di kalangan ahli usul fiqh, metode induksi (manhaj istqra’iyah) digunakan antara lain, dalam menetapkan suatu kaedah umum untuk membahas persoalan-persoalan hukum atau menetapkan hukum fiqh ‘amaly (praktis) : apakah persoalan itu wajib, sunah, mubah, makruh, haram, halal, sah, batal atau fasid. Hukum yang dihasilkan oleh istiqra’ tamm adalah qat’I (pasti, tidak bisa dibantah) dan hukum dari kesimpulan yang dihasilkan istiqra’ masyhur adalah zanni, sebagaimana hukum yang terdapat pada kitab-kitab fiqh pada umumnya.
Metode istiqra’ pada dasarnya merupakan bagian dari kerja Epistimologi, yaitu dengan menjadikan teks al-Qur’an dan Hadis sebagaimana rujukan utama yang otoritatif sebagai landasan membangun pengetahuan, untuk mendapatkan pengetahuan dari teks ada dua cara, yaitu (1) berpegang pada teks zahir dan (2) berpegang pada maksud atau sasaran teks.
Dalam sejarah pemikiran Islam, kecenderungan epistemologi tekstualis diperlihatkan oleh as-Syafi’i (150-204/767-820), sebagai guru arsitek ilmu usul fiqh dan asy-Syafi’i inilah yang disebut-sebut sebagai peletak dasar epistemologi bayani. Adapun kecenderungan yang kedua yaitu berpegang pada maksud umum teks (maqasid as-Syari’ah) yang berawal dari prakasa Abu Ishaq Asy-Syatibi yang berpendapat bahwa metode induktif tematik atau Istiqra’ al-ma’nawi adalah salah satu metode yang paling tepat untuk mengidentifikasikan maqasid asy-Syari’ah, yaitu dengan model pengambilan kesimpulan premis umum dari sekumpulan dalil-dalil nas yang berserakan.
Prof. Dr. Muh. Zuhri dalam karyanya Telaah Matan Hadis sebuah tawaran metodologi mengatakan bahwa induksi yang dalam ushul fiqh dikenal dengan ijtihad Istiqra’i adalah sebuah teori yang menempatkan teks sebagai data empiri yang terbentang bersama teks-teks yang lain agar “berbicara sendiri” untuk selanjutnya ditarik sebuah kesimpulan. Teks yang dimaksudkan az-Zuhri di sini adalah al-Hadis Nabi SAW.
Asal Mula Munculnya Metode Istiqra’i
Pada awalnya para ahli hukum Islam mendefinisikan hukum Islam sebagai ilmu dan hukum Islam sebagai produk ilmu. Hukum Islam sebagai produk ilmu disebut dengan kumpulan hukum-hukum syara’ yang dihasilkan melalui ijtihad, sedangkan hukum Islam sebagai ilmu didefinisikan sebagai ilmu yang mengupayakan lahirnya hukum syara’ ‘amali dari dalil-dalil rinci. Hukum Islam sebagi ilmu dibuktikan dengan karakteristik keilmuan yaitu bahwa hukum Islam (1) dihasilkan dari akumulasi-akumulasi pengetahuan yang tersusun melalui asas-asas tertentu, (2) pengetahuan-pengetahuan itu terjaring dalam satu kesatuan sistem dan (3) mempunyai metode-metode tertentu.
Pengetahuan-pengetahuan dalam hukum Islam meliputi pengetahuan tentang dalil (al-Qur’an, hadis dan sebagainya), perintah, larangan dan lain-lain. Pengetahuan-pengetahuan ini diakumulasikan melalui asas-asas tertentu, misalnya asas tasyri’. Pengetahuan-pengetahuan tersebut dapat diakumulasikan dan disusun dengan baik karena setiap pengetahuan satu sama lain terkait secara fungsional dalam suatu sistem tertentu. Untuk karakteristik selanjutnya dalam hukum Islam terdapat beberapa metode, yang metode-metode tersebut tertuang dalam usul fiqh dan qowaid al-fiqhiyah yang dalam operasionalnya meliputi :
Metode deduktif (Istinbati)yaitu metode penarikan kesimpulan khusus (mikro) dari dalil-dalil umum. Metode ini dipakai untuk menjabarkan atau untuk menginterpretasikan dalil-dalil al-Qur’an dan hadis menjadi masalah-masalah usul fiqh.
Metode induktif (istiqra’i) adalah metode pengambilan kesimpulan umum yang dihasilkan dari fakta-fakta khusus. Metode ini juga dipergunakan oleh ahli-ahli fiqh untuk menetapkan suatu hukum atas masalah-masalah yang tidak disebutkan secara jelas dan rinci atas ketentuannya dalam nas al-Qur’an dan hadis.
Metode genetika (takwini), adalah metode penelusuran atau cara berfikir untuk mencari kejelasan suatu masalah dengan melihat sebab-sebab terjadinya, atau melihat sejarah kemunculan masalah tersebut. Metode ini banyak digunakan oleh ulama’ ahli hadis dalam meneliti status hadis dari segi riwayah dan dirayahnya.
Metode dialektika (jadali) adalah suatu metode yang menggunakan penalaran melalui pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan yang bersifat tesa (tesis-tesis) dan anti tesis. Kedua pernyataan (tesa dan anti tesa) tersebut kemudian didiskusikan dengan prinsip-prinsip logika yang logis untuk memperoleh kesimpulan. Dasar-dasar metode ini banyak ditulis dalam kitab-kitab Adab al-Ba’ts wa al-Munazarah.
Metode penggalian hukum induktif pada dasarnya sudah dilakukan oleh ilmuan Yunani dulu. Metode ini diadopsi oleh pemikir-pemikir Islam dari filsafat Aristoteles dengan mengedepankan rasional-filosofis.
Pemikiran filsafat Aristoteles berkembang di wilayah Islam bagian barat, yang kemudian dijadikan landasan epistemologi keilmuan, termasuk juga disiplin ilmu hukum Islam. Kerangka berfikir Aristoteles ini terkenal di dunia Islam dengan istilah nalar Burhani, yaitu sebuah pemikiran dengan mengedepankan logika dalam artian berusaha untuk menganalisis ilmu sampai pada prinsip-prinsip dan dasar-dasarnya yang terdalam. Adapun untuk mencapai itu terlebih dahulu harus memahami dan mendalami syllogisme. Syllogisme pada dasarnya terdiri dari beberapa propinsi yang disebut dengan premis mayor, premis minor dan konklusi. Hal ini berarti bahwa penyimpulan yang bersifat konklusif tidak bisa terjadi apabila hanya terdiri dari satu premis. Disamping itu dua premis tersebut harus mengandung satu term yang sama.
Premis-premis dalam syllogisme di atas menurut Aristoteles sebenarnya didapat dengan cara induktif (istiqra’i) dari realitas empiris yang ada, melalui proses abstraksi. Benda-benda dan peristiwa-peristiwa parsial dan empiris pada dasarnya masing-masing memiliki kandungan yang universal, yang dapat disatukan antara satu dengan yang lainnya yang sejenis. Proses abstraksi ini tidak lain merupakan hasil dari penalaran akal.
Cara induksi Aristoteles ini pada awalnya muncul berkaitan dengan hukum alam yaitu bertolak dari pengamatan induktif atas beberapa fenomena yang terdapat di alam, sebelum akhirnya sampai pada satu kesimpulan umum yang mencakup segenap fenomena partikularitas lainnya. Hukum alam pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan hukum syari’ah, jadi dalam masalah syari’ahpun bisa dilakukan hal yang serupa yaitu dengan cara menjadikan nas-nas yang jelas (al-Qur’an dan hadis) seperti halnya fenomena-fenomena alam yang jelas, yang dinyatakan sebagai satu data dari sekian data-data agama yang tidak bisa diubah atau diganti. Bila tidak ada nas yang jelas maka kewajiban seorang muslim adalah mencari dan merumuskan satu “dalil” atau pembuktian rasional, yakni dengan cara meneliti secara induktif (istiqra’) terhadap teks-teks agama, lalu dijadikan premis-premis yang kemudian digunakan untuk menarik satu kesimpulan hukum.
Dalam pemikiran hukum syari’ah pada awalnya dipelopori oleh Ibnu Hazm, kemudian dimatangkan oleh Ibnu Rusyd, kemudian dilanjutkan oleh asy-Syatibi dalam kerangka proyek pembaruannya dalam disiplin usul fiqh. Ibnu Hazm menyatakan bahwa dasar hukum itu hanya ada empat yakni al-Qur’an, sunah, ijma’ dan ad-dalil (argumentasi akal). Ad-dalil yang dimaksudkan Ibnu Hazm adalah metode penetapan hukum dengan cara meneliti secara induktif teks-teks syari’ah, lalu menarik satu kesimpulan hukum darinya. Ad-Dalil di sini harus memuat dua premis, yang terdiri darn empat macam. Pertama, dua premis tersebut merupakan teks syari’ah, seperti sabda Nabi “Setiap yang memabukkan adalah khomr, dan setiap khamr adalah haram”, maka dapat disimpulkan bahwa setiap yang memabukkan adalah haram. Kedua, dua premis yang salah satunya merupakan teks syari’ah dan yang lainnya adalah postulat logika aprion. Misalnya firman Allah “dan (apabila) kedua orang tuanya yang mewarisi, maka bagi ibu sepertiga” maka teks syari’ah ini menjadi premis minor, sementara premis mayornya adalah ketetapan logika bahwa bilangan menjadi bulat, satu bagian apabila sepertiga itu ditambah dengan dua pertiga. Maka dengan demikian bila ibu mendapat sepertiga, sementara ahli warisnya hanya bapak dan ibu, maka bapak menurut logika yang pasti mendapatkan dulu pertiga.
Ketiga, dua premis yang salah satunya merupakan hasil ijma’ dan lainnya adalah perintah syari’ah untuk mentaati ijma’ tersebut, maka konklusinya adalah ketetapan ijma’ misalnya ijma’ umat Islam bahwa darahnya Zaid terjaga karena dia Islam, maka dengan perintah syari’ah untuk mentaati ijma’ tersebut dapat disimpulan bahwa ijma’ yang menyatakan darahnya Zaid tersebut harus ditaati dan tidak boleh menyelisihinya.
Keempat, dua premis yang salah satunya merupakan ketetapan syari’ah yang umum, dan yang lainnya adalah kondisi atau peristiwa spesifik yang merupakan cabang dari ketetapan umum syari’ah tersebut. Misalnya ketetapan umum syari’ah yang menyatakan bahwa tergugat harus bersumpah (pembuktian bagi penggugat dan sumpah bagi tergugat) yang menjadi premis mayor, kemudian Zaid menggugat Umar dalam masalah utang piutang (sebagai premis minor), maka konklusinya adalah Umar harus memberikan sumpahnya bila menyangkal gugatan itu.
Abu Ishaq asy-Syatibi, seorang ilmuan hukum Islam Andalusia abad 8 H, yang pemikirannya dipandang sebagai puncak kemasan pemikiran hukum Islam, khususnya dalam bidang ushul fiqh. Pemikiran metodologi hukum Islam asy-Syatibi terletak pada dua macam metode, yaitu penyimpulan dengan syllogisme atau al qiyas al jami’ dan metode induksi (istiqra’i) yang keduanya mengacu pada maqasid asy-syari’ah (tujuan akhir syari’ah). Asy-Syatibi inilah yang mengembangkan sekaligus mempopulerkan metode induksi (istiqra’i) dalam hukum Islam.
Diriwayatkan bahwa pada masa asy-Syatibi jarang sekali ulama’ yang mendalami bidang ushul fiqh. Dari kenyataan itulah asy-Syatibi melihat kelemahan institusi fiqh dalam menghadapi perkembangan sosial yang sering mandek dalam usaha pemecahan hukumnya. Berangkat dari kondisi yang demikian asy-Syatibi mulai mendalami ushul fiqh dan menyusun bukunya yang terkenal yaitu al-Muwafaqat fi Usul asy-Syari’ah.
Karya gemilang asy-Syatibi tersebut merupakan bukti adanya pembaharuan pemikiran dalam hukum Islam. Karya tersebut muncul sebagai jawaban dari tantangan perubahan sosial yang menghendaki pemikiran hukum yang sesuai dengan kondisi pada masa itu.
Para ulama’ terdahulu pada umumnya berfikir secara deduktif dalam mengkaji agama, artinya dalil-dalil dari ayat-ayat al-Qur’an harus ditempatkan sebagai teori, kemudian dinalar secara deduktif, ditafsirkan dan ditakwilkan sesuai dengan alam pikiran masing-masing ulama’. Semakin luas pengetahuan seorang ulama’, uraian deduktifnya semakin menarik. Akan tetapi menurut sebagian ulama’, metode tersebut bukanlah cara yang tepat karena pada intinya pemikir-pemikir muslim, terlebih dibidang teologi dan filsafat dengan metode berfikir deduktif, mereka dalam memahami nas wahyu dengan membawa bingkai pemikiran tertentu, akibatnya nas wahyu dicocokkan dengan bingkai tersebut. Hal ini juga sangat memungkinkan terjadi perbedaan pendapat dalam memahami dan menafsirkan nas tersebut, sehingga tidak jarang ketika metode tersebut dihadapkan pada persoalan-persoalan baru yang terjadi hanyalah ketidak pastian hukum.
Abu Ishaq asy-Syatibi dalam hal ini, berupaya untuk merekonstruksi metodologi hukum Islam dengan meneliti substansi makna yang terkandung dalam sesuatu gagasan hukum. Menurut asy-Syatibi atas landasan itulah penyelesaian persoalan-persoalan baru dapat dilakukan. Makna yang terkandung dalam sesuatu gagasan hukum itulah yang menjadi puncak pemikiran asy-Syatibi yang populer dengan istilah Maqasid asy-Syari’ah. Maqasid asy-Syari’ah di sini merupakan landasan yang paling mendasar dari ilmu syari’ah, semua penetapan hukum harus merujuk pada maksud dan tujuan akhir yang hendak dicapai oleh ketetapan dan aturan syari’ah tersebut.
Untuk mengidentifikasi Maqasid asy-Syari’ah (maslahah) tersebut, menurut asy-Syatibi metode yang paling tepat adalah menggunakan istiqra’ (induksi) yaitu dengan model pengambilan kesimpulan premis umum dari sekumpulan dalil-dalil yang berserakan. Metode ini pada dasarnya memberi kebebasan pada akal untuk memahami sebuah nas. Akan tetapi akal di sini tentu saja dibatasi oleh konsep maqasid atau maslahah yang secara berurutan disebutkan oleh asy-Syatibi yakni maslahah daruriyah (primer), maslahah hajiyah (skunder) dan tahsiniyah.
Konsep maslahah yang dicetuskan oleh as-Satibi tersebut tidak lain adalah sebagai titik esensial atas jawaban apakah hukum Islam itu bersifat immutable atau adaptable. Perubahan hukum pada dasarnya adalah satu refleksi dari perubahan sosial yang kemudian menyuguhkan penggunaan maslahah sebagai prinsip adaptasi hukum. Dalam analisa asy-Syatibi dalam konsep maslahah pada dasarnya sangat mempertimbangkan konsekwensinya. Maslahah harus sesuai dengan tujuan penerapan syari’ah yang secara rinci ditujukan untuk memelihara agama, diri, akal, keturunan dan harta.
Ruang Lingkup Kajian Istiqra’i
Metode istiqrai pada intinya adalah metode berfikir induktif-empiris dalam penetapan hukum Islam. Hal ini tentu saja berhubungan erat dengan sumber-sumber hukum dalam Islam yakni al-Qur’an dan al-hadis. Sebagaimana diketahui bahwa cukup banyak teks al-Qur’an dan al-hadis yang hanya memaparkan norma-norma dan nilai-nilai dasar yang bersifat universal, sehingga untuk memahami teks-teks semacam itu diperlukan metode pemikiran tertentu, agar sebuah teks dapat difahami kandungannya dan dapat diperoleh sebuah ketetapan hukum darinya.
Seperti yang dikatakan oleh asy-Syatibi, bahwasanya metode istiqra’i adalah salah satu metode yang paling tepat untuk mengidentifikasi maqasid asy-Syari’ah. Metode ini tertuang dalam usul al-fiqh yang dibutuhkan oleh para mujtahid dalam rangka menjelaskan sekaligus menjawab persoalan-persoalan hukum atau lainnya. Sebab, walaupun umat Islam meyakini bahwa ayat-ayat al-Qur’an (dan juga hadis-hadis Nabi yang sahih) mengandung kebenaran mutlak, karena datangnya dari yang absolut dan mutlak (Allah), namun pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an tidaklah bersifat absolut, akan tetapi bersifat relatif sesuai dengan sifat relatif manusia itu sendiri.
Dalam metode istiqra’i, yang menjadi obyek kajian adalah teks dan konteks. Teks yang dimaksudkan di sini adalah mencermati dhahir nas, sedangkan konteks adalah ma’na substansi atau illat yang terkandung dalam sebuah teks. Makna substansi tidak boleh merusak arti zahir suatu nas, demikian pula sebaliknya. Sehingga syari’at Islam bisa berjalan secara harmonis, tanpa ada kontradiksi di dalamnya.
Pemahaman secara teks konteks ini dianut oleh para ulama’ yang beraliran al-Rasikhun. Aliran ini menurut asy-Syatibi adalah aliran yang pantas dijadikan rujukan dalam mengetahui maksud al-Qur’an dan hadits. Dalam hal ini asy-Syatibi menjelaskan pentingnya memperhatikan nas al-Qur’an dan hadits dari segi zahirnya, sekaligus mempertimbangkan makna tujuan syariat yang terkandung di dalamnya (makna substansial), misalnya larangan memukul orang tua, larangan mengkonsumsi pil ekstasi, narkoba dan ganja. Larangan-larangan tersebut tidak disebutkan secara eksplisit baik lafadz ataupun ma’nanya, akan tetapi didapat dari pemahaman ma’na substansial yang terkandung dalam nas al-Qur’an dan hadis.
Contoh Metode Istiqra’i
Cara kerja metode istiqra’i pada dasarnya merupakan bagian dari kerja epistemologi. Cara kerjanya harus melalui prosedur yang benar. Premis yang menyatakan karakteristik satuan-satuannya harus dibangun dengan pernyataan yang benar pula. Misalnya ada pernyataan : “Benda padat (seperti : besi, batu, kayu) memuai bila kena panas”, maka pernyataan itu harus benar-benar teruji kebenarannya. Dengan demikian apabila diambil kesimpulan : “Semua benda padat memuai bila kena panas”, adalah betul-betul merupakan kesimpulan yang meyakinkan.
Menurut asy-Syatibi, prosedur ideal yang harus dilalui dalam penerapan metode istiqra’i agar diperoleh pernyataan yang meyakinkan dan dapat ditarik kesimpulan yang falid harus memperhatikan 10 variabel (al-ihtimalat al-‘asyrah) yaitu : pendapat yang berkenaan dengan kebahasaan, pendapat yang berkenaan dengan gramatika (tata bahasa), pendapat yang berkenaan dengan perubahan bentuk kata (tasrif), redaksi yang dimaksud bukan kalimat yang bermakna ganda (ambigu, musytarak), redaksi yang dimaksud bukan kata metaforis (majaz), tidak mengandung sisipan makna, penetapan sisipan (domir) yang tepat, pendahuluan dan pengakhiran yang tepat (taqdim wa ta’khir), penelitian tentang pembatalan hukum (nasakh) dan tidak mengandung penolakan yang logis (‘adam al-muarrid al-aqly).
Dalam hal ini asy-Syatibi mengatakan bahwa jarang sekali bahkan boleh dikatakan tidak ada suatu pernyataan baik itu ayat ataupun hadits yang secara meyakinkan dinyatakan benar berdasarkan seluruh variabel di atas. Karena itu para ahli ushul fiqh hanya mampu mengambil kesimpulan dari istiqra’i berdasarkan dugaan yang cenderung ke arah kebenaran.
Sebagai contoh yang pernah dilakukan oleh para ahli ushul fiqh, yang mengambil kesimpulan berdasarkan penelitian istiqra’ bahwa “pada prinsipnya kalimat perintah yang terdapat pada teks (ayat atau hadis) menunjukkan wajib”. Kesimpulan ini diambil berdasarkan pada satuan-satuan pernyataan (premis) berupa :
Pernyataan ayat yang menunjukkan bahwa Allah SWT mencela orang yang tidak mengindahkan apa yang diperintahkan
Pernyataan yang menunjukkan bahwa Allah mengancam orang yang tidak melaksanakan perintah
Pernyataan Rasulullah berupa perintah atau tindakan memberi contoh yang difahami para sahabatnya sebagai sesuatu yang wajib dilaksanakan dan anggapan mereka dibenarkan oleh Rasulullah sendiri
Pernyataan berupa riwayat kebahasaan menunjukkan bahwa fi’il ‘amr (kalimat perintah) itu menunjukkan wajib kecuali ada indikasi yang menunjukkan makna lain
Beberapa pernyataan (premis) di atas terlebih dahulu harus dilihat dengan perspektif 10 variabel di atas, setelah teruji kebenarannya dan kebanyakan dari premis di atas mengisyaratkan bahwa amr menunjukkan makna wajib maka dapat ditarik kesimpulan umum bahwa pada prinsipnya ‘amr dipergunakan untuk wajibnya sesuatu yang diperintahkan. Kesimpulan umum ini dihasilkan oleh istiqra’ masyhur karena tidak semua premis menunjukkan karakteristik makna yang sama.
Contoh lain pada hukum fiqh “amali” adalah “salat lima waktu hukumnya wajib”, kesimpulan ini bukan hanya didasarkan pada satu penggalan ayat saja, karena itu belum cukup untuk menentukan satu kesimpulan hukum. Hukum wajib shalat dihasilkan oleh penelitian istiqra’i bahwa :
Banyak ayat yang mengandung ‘amr untuk melaksanakan shalat
Pujian kepada orang yang melaksanakan shalat
Cobaan dan ancaman bagi yang meninggalkan shalat
Perintah kepada mukallaf untuk melaksanakan shalat dalam keadaan apapun, baik dalam keadaan damai atau perang dengan cara berdiri, atau jika dalam keadaan udzur boleh dengan duduk, berbaring atau dengan isyarat
Riwayat secara turun temurun dari Nabi Muhammad SAW hingga kini yang menunjukkan bahwa umat Islam memelihara pelaksanaan shalat
Pernyataan 1 – 5 tersebut sudah diuji kebenarannya melalui perspektif 10 variabel di atas. Ternyata kebanyakan premis tersebut menunjukkan bahwa shalat itu hukumnya wajib. Karena menyangkut persoalan agama, maka kesimpulan yang diperoleh dari istiqra’ naqis dengan mutu zanni harus meyakinkan. Disebabkan hal itu mayoritas ahli usul fiqh memperkuat hasil istiqra’i dengan ijma’ umat, sehingga kesimpulan yang dihasilkan tidak mendapat bantahan seperti tidak ada bantahan dari umat Islam tentang wajibnya shalat lima waktu.
Contoh dari penerapan metode istiqra’i pada ayat-ayat al-Qur’an di atas pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan metode yang tergolong baru dalam menafsirkan al-Qur’an yaitu tafsir maudu’i. Caranya, untuk menafsirkan atau menggali hukum tentang suatu permasalahan (tema) tertentu, misalnya, “kufur menurut al-Qur’an”, maka terlebih dahulu harus mengumpulkan premis yang berupa ayat-ayat yang berbicara tentang kufur. Kemudian premis-premis tersebut diteliti dan difahami secara menyeluruh, dan diambil sebuah kesimpulan.
Hasan Mu’arif Ambary, “Istiqra’, Suplemen Ensiklopedi Islam, ed. Abdul Aziz Dahlan,, et.al, (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996), 256.
Tim Penyusun Pustaka Azet, “Istiqra’,Leksikan Islam, (Jakarta: Pustaka Azet Perkasa, 1988), 269.
Salah satu karakteristik hukum Islam sebagai ilmu adalah adanya metode-metode dalam hukum Islam, metode-metode tersebut diantaranya metode deduktif (istinbat), metode induksi (istiqra’), metode genetika (takwini) dan metode dialektika (jadali). Taha Jabir al-Wani, Metodologi Hukum Islam Kontemporer (Yogyakarta: UII Press, 2001).
Usul al Fiqh adalah kaidah- kaidah hukum yang dipetik dari bahasa arab itu sendiri misalnya lafadz ditinjau dari segi makna ada lafadz yang mutlaq, muqayyad, umum, khusus dan lain- lain.Mukhtar Yahya , Dasar- Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (Bandung: Al- Ma’arif,1986), 485
Qawaid al Fiqhiyyah adalah kaidah- kaidah umum yang meliputi seluruh cabang masalah- masalah fiqh yang menjadi pedoman untuk menetapkan hukum bagi setiap peristiwa fiqhiyyah baik yang telah di tunjuk oleh nash yang sharih maupun yang belum ada nashnya sama sekali. Ibid.
Imam Syafi’i menetapkan hukum masa haid terpendek adalah sehari semalam, masa yang lumrah enam atau tujuh hari atau tujuh malam, dan masa haid yang terpanjang adalah lima belas hari atau lima belas malam. Penetapan hukum semacam ini dilakukan oleh Imam Syafi’i berdasarkan penelitian atas beberapa wanita di Mesir yang kemudian ia tetapkan sebagai ketentuan hukum fiqh bagi semua wanita di dunia, …, Sumber dan Lingkungan Kitab Kuning, Pesantren on Line.Com. Situs Komunitas Muslim Indonesia, http://www.pesantren.com/id, 25 Mei 2005.
Hasan Mu’arif Ambari,Istiqra’, Suplemen Ensiklopedi Islam, Ibid, 257.
Ibid.
Ibid.
Fiqh disebut secara umum zanni, karena tidak semuanya demikian. Dalam fiqh juga ada yang qat’i, terutama yang diistinbatkan dari dalil-dalil qat’i dan disepakati semua mazhab, seperti tentang wajibnya shalat lima waktu.
Epistimologi secara etimologi berasal dari kata Yunani “episteme” yang berarti “pengetahuan”, dan logos yang berarti “teori tentang”. Secara terminologi epistemologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan validitas suatu pengetahuan. William James Eare, Introduction to Philosophy (New York: Toronto, Graw Hill, 1992), 21.
Abdul Mughits, Epistimologi Ilmu Ekonomi Islam, Hermenia, Vol. 2, No. 2, (Desember 2003), 185.
Epistimologi Bayani pada intinya mempunyai dua ciri 1) kecenderungan pada teks sebagai landasan pengetahuan dan 2) metode penalaran terhadap perluasan jangkauan teks. Lihat al-Jabiri, Bunyat al-Aql al-Arabi. Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah Lemudmi al-Ma’rifah fi as-Saqafah al-Arabiyah (Beirut: al-Markaz al-Saqafi’ al-Araby, 1993), 116 – 119.
Tentang Maqasid asy-Syari’ah tertuang dalam karya as-Satibi al-muwafaqat fi usul al-ahkam.Jilid 11
Abdul Mughits, Epistimologi Ilmu Ekonomi Islam, ibid, 186.
Moh. Zuhri, Telaah Matan Hadits, Sebuah Tawaran Metodologis (Yogyakarta: LESFI, 2003), 139 – 140.
Taha Jabir Al- Awani, Metodologi Hukum Islam Kontemporer, terj. (Yogyakarta: UII Press, 2001), Muqaddimah
Ibid.
Nalar Burhani adalah metode penalaran Aristoteles beserta seluruh pandangan-pandangan ilmiah filsafatnya. Dalam keilmuan Islam (klasik) pada dasarnya ada tiga nalar yang menjadi landasan berpijak yaitu nalar bayani, yaitu menjadikan teks al-Qur’an dan hadits sebagai rujukan utama yang otoritatif sebagai landasan membangun pengetahuan. Nalar irfani yaitu menjadi metode kasyf (intuisi batin) untuk mendapatkan pengetahuan. Nalar burhani yaitu berpegang pada kekuatan natural manusia yang berupa indera dan otoritas akal dalam memperoleh pengetahuan. Lihat Muhammad ‘Abid al-Jabin, Bunyah al-‘Aql al-‘Arab Dirasah Tahliliyah Naqdiyah li Nuzum al-Ma’rifah ti as-Saqofah al-‘Arabiyah (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-Arabiyah, 1990), hal. 383 – 384.
Syllogisme merupakan proses penalaran untuk mencapai kesimpulan yang benar.
Term yang sama disebut juga dengan term tengah, misalnya : setiap manusia mati (premis mayor), Aristoteles adalah manusia (premis minor), maka – dengan term tengah kata “manusia” – konklusinya adalah Aristoteles akan mati.
Agus Moh. Najib, Nalar Burhani dalam Hukum Islam : Sebuah Penelusuran Awal, HERMENIA, Ibid, 234.
Ibid.
H.R.Muslim
عن عبدلله احبرنا نافع عن ابن عمر قال ولا اعلمه الا عن النبى ص .م. كل مسكر خمر وكل خمر حرام00
Lihat : Abu Husain Muslim Ibn Hajjaj al- Qusyairi , Sahih Muslim,(Beirut: Dar al- Kitab al-Ilml ,tt),101
Di antara ulama’ yang tidak setuju dengan metode deduktif adalah Ibnu Taymiyah (1262 – 1328 M). Seorang ulama’ besar yang juga mendalami hukum Islam berpendapat “seharusnya nas tersebut ditempatkan sebagai data, disuruh berbicara sendiri-sendiri sebagaimana adanya, tanpa dipengaruhi oleh pemerhatinya. Lihat Dr. Muh. Zuhri Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 138.
Tentang Maqasid asy-Syari’ah dituangkan secara khusus dalam jilid kedua (kitab al-Maqasid) oleh asy-Syatibi dalam al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam.
Maslahah Daruriyyat adalah sesuatu yang mutlak harus ada untuk menopang kehidupan manusia baik urusan agama maupun keduniaan, dan jika tidak terealisir maka rusaklah tata kehidupan dan merugi di akhirat. Maslahah Hajjiyat merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan manusia, jika sesuatu itu tidak ada maka manusia akan kesulitan di alam hidup.Maslahah Tahsiniyyat adalah sesuatu yang bersifat sebagai penyempurna yang berkaitan dengan penilaian etika dan estetika. Asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam (Mesir, Tnp.tt), Juz III, 8.
Zakaria Anshari, Fiqh Profesif, Menjawab Tantangan Modernitas (Jakarta: FKKU PRESS, 2003), 113.
Ali Habibulloh, Usul al-Tasyri’ al-Islami (Mesir: Dar al-Ma’rifat, 1383 H/964 M), cet. III, 260.
Aliran-aliran yang diikuti para ulama’ dalam usaha menyingkap maqasid asy-syari’ah disebutkan oleh asy-syatibi di antaranya adalah aliran al-zahiriyun (tekstualis), aliran al-batiniyyun dan al-muta’ammiqun fi al-qiyas serta al-rasikhun yaitu aliran yang menggabungkan teks dan substansi. Lihat : asy-syatibi, al-muwafaqat fi usul al-ahkam, (Mesir: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubro, tt), vol II, 274 – 275.
Zainul Arifin, Pendekatan dalam Memahami al-Qur’an dan al-Hadis Perspektif asy-Syatibi, AKADEMIKA, vol. 06, No. 6 (2 Maret 2000), 109.
Hasan Mu’arif Ambari,Istiqra’,Ensiklopedi Islam, Ibid, 257
Quraisy Shihab, Membumikan Al- Qur’an
Hasan Mu’arif Ambari,Istiqra’,Ensiklopedi Islam, Ibid, 257
Ibid,258
No comments:
Post a Comment