Konsep Ekonomi Islam Tidak ada sedikit pun diantara yang Kami punyai (yakni harta dan penghasilan) benar-benar jadi milikmu kecuali yang kamu makan dan gunakan habis, yang kamu pakai dan kamu tanggalkan, dan yang kamu belanjakan untuk kepentingan bersedekah, yang imbalan pahalanya kamu simpan untukmu (dituturkan oleh Muslim dan Ahmad).
Penjelasan Islam menganggap harta sebagai anugerah dari Allah. As-Sibâ'î berpendapat bahwa Islam tidak membenarkan adanya kemiskinan, dengan mengacu sabda Nabi Muhammad SAW, "Kemiskinan hampir-hampir mendekatkan orang kepada pengingkaran terhadap Islam (kekufuran)." Nabi juga biasa berdoa:
"Ya Allah, lindungilah dan tolonglah saya untuk menghindari ketidakmampuan dan kemalasan, ketakutan dan ketamakan; lindungilah dan tolonglah saya untuk menghindari kemiskinan, kekufuran dan perilaku yang salah. "Ya Allah, saya berharap kiranya Engkau memberi petunjuk kepada saya ke jalan-Mu, memberikan rasa cinta kepada dan takut terhadap-Mu, membuat saya puas dengan apa yang Engkau berikan kepada saya, dan berikanlah kepada saya kecukupan."
As-Sibâ'î memberikan komentar terhadap bagian terakhir doa Nabi tersebut bahwa ia menunjukkan sikap positif terhadap harta dan bukan sekedar sikap negatif terhadap kemiskinan.
Sekalipun ketamakan merupakan kejahatan pemborosan pun demikian juga. Orang Mu'min dalam Al-Qur'ân dilukiskan sebagai salah satu diantara orang-orang yang ketika membelanjakan harta, tidak berlebih-lebihan dan tidak menimbulkan keburukan, tetapi (mempertahankan) keseimbangan yang adil diantara sikap-sikap (yang ekstrim) tersebut." Nabi pernah bersabda: "Tuhan senang dengan hamba-Nya yang menunjukkan tanda-tanda atas nikmat-nikmat yang diberikan-Nya kepadanya dalam kehidupannya (dalam pengertian pemilikan dan pembelanjaannya)." Namun demikian, dalam pembelanjaan untuk bersedekah, untuk meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat dan menyebarluaskan ajaran-ajaran Islam, konsep berlebih-lebihan tersebut tidak berlaku. Tidak ada pembatasan jumlah pembelanjaan dalam jenis ini dan setiap pembelanjaan untuk keperluan tersebut akan mendapatkan imbalan (pahala) dari Allah.
Semangat Islam dalam kaitannya dengan harta dan pembelanjaannya dirangkum dalam dua sabda Nabi Muhammad SAW berikut ini:
Suatu ketika Nabi Muhammad SAW bertanya kepada para sahabatnya: "Kepada siapakah diantara kamu harta milik ahli warisnya lebih berharga daripada miliknya sendiri?" Mereka menjawab: "Setiap orang menganggap harta miliknya sendiri lebih berharga daripada milik ahli warisnya." Kemudian Nabi bersabda: "Hartamu adalah apa yang kamu pergunakan dan harta ahli warismu adalah yang tidak kamu pergunakan."
Tidak ada sedikit pun diantara yang kami punyai (yakni harta dan penghasilan) benar-benar jadi milikmu kecuali yang kamu makan dan gunakan habis, yang kamu pakai dan kamu tanggalkan, dan yang kamu belanjakan untuk kepentingan bersedekah, yang imbalan pahalanya kamu simpan untukmu." (Dituturkan oleh Muslim dan Ahmad).
Inilah komponen-komponen dalam keberadaan perilaku Mu'min. Kajian terhadap ekonomi menunjukkan bahwa asumsi terhadap motivasi yang sekedar materialistik jelas tidak realistik. Namun demikian, faktor-faktor non-materialistik tersebut dengan serta merta dapat disisihkan dari analisis ekonomik dengan maksud memisahkan gejala-gejala ekonomiknya. Namun demikian meskipun hal ini bisa menyederhanakan persoalannya demi mencapai tujuan kajian, faktor-faktor non-material itu seharusnya diintegrasikan kembali dalam tahap analisis yang lebih tinggi.
Dengan memperhatikan faktor-faktor ini, maksimisasi perencanaan itu tidak lagi menimbulkan perdebatan dari sudut pandang pemikiran Islam. Maksimisasi perencanaan tersebut bahkan bisa digunakan sebagai skema kehidupan yang dirampakkan sebagai suatu kesatuan, yakni, "Kapan saja sesuatu itu dinyatakan baik orang seharusnya melakukannya sebanyak dia dapat." Itulah yang terbaik, namun bila tidak mungkin dilaksanakan, alternatif terbaik berikutnya dinyatakan dengan tatanan pemikiran Islam yang terkenal bahwa orang seharusnya mengorbankan lebih sedikit kebaikan bila hal ini merupakan satu-satunya jalan untuk mendapatkan kebaikan yang lebih besar. Atau menyatakannya dengan cara negatif, (bahwa) orang dibolehkan melakukan sesuatu yang salah bila hal itu merupakan satu-satunya jalan untuk menghindari sesuatu yang lebih buruk.
No comments:
Post a Comment